BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI Analytial Hierarchy Process (AHP) Pengertian Analytical Hierarchy Process (AHP)

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI. 2.1 Kawasan Pengembangan Pariwisata Nasional

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB III TEORI HIERARKI ANALITIK. Proses Hierarki Analitik (PHA) atau Analytical Hierarchy Process (AHP)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Ekonomi dan Produk Domestik Regional Bruto. Istilah ekonomi berasal dari bahasa Yunani, terdiri atas kata oikos dan

ANALYTIC NETWORK PROCESS (ANP)

BAB II. KAJIAN PUSTAKA. perumahan yang terletak di jalan Kedungwringin Patikraja, Griya Satria Bukit

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Bab II Analytic Hierarchy Process

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI. AHP dan Promethee. Bahasa pemrograman yang digunakan Microsoft Visual

BAB 2 LANDASAN TEORI. Universitas Sumatera Utara

ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS (AHP) Amalia, ST, MT

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PENENTUAN KOMODITAS UNGGULAN PERTANIAN DENGAN METODE ANALY TICAL HIERARCHY P ROCESS (AHP) Jefri Leo, Ester Nababan, Parapat Gultom

Sesi XIII AHP (Analytical Hierarchy Process)

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Simplikasi. Asumsi. Validasi model. Verifikasi, pengujian yang diusulkan. Implementasi solusi Gagal

BAB II LANDASAN TEORI

APLIKASI ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS (AHP) PADA PEMILIHAN SOFTWARE MANAJEMEN PROYEK

Aplikasi Sistem Pendukung Keputusan Pemilihan Jurusan Siswa-Siswi SMA (IPA/IPS/BAHASA) Menggunakan Metode AHP (Studi Kasus SMA di Kota Padang).

Kuliah 11. Metode Analytical Hierarchy Process. Dielaborasi dari materi kuliah Sofian Effendi. Sofian Effendi dan Marlan Hutahaean 30/05/2016

MATERI PRAKTIKUM. Praktikum 1 Analytic Hierarchy Proses (AHP)

BAB II LANDASAN TEORI. pengambilan keputusan baik yang maha penting maupun yang sepele.

BAB III MENENTUKAN PRIORITAS DALAM AHP. Wharton School of Business University of Pennsylvania pada sekitar tahun 1970-an

BAB III LANDASAN TEORI Pengertian Metode Analytic Hierarchy Process (AHP) Metode Analytic Hierarchy Process (AHP) merupakan teori umum

RANCANG BANGUN APLIKASI SISTEM PENDUKUNG KEPUTUSAN MENGGUNAKAN MODEL ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS UNTUK PEMBERIAN BONUS KARYAWAN

BAB III METODE FUZZY ANP DAN TOPSIS

Pengertian Metode AHP

BAB 2 LANDASAN TEORI

APLIKASI METODE FUZZY ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS

PENGAMBILAN KEPUTUSAN DALAM MENENTUKAN NASABAH KARTU KREDIT BANK RAKYAT INDONESIA DENGAN METODE FUZZY ANALYTIC HIERARCHY PROCESS

ANALISIS KRITERIA SISTEM PENDUKUNG KEPUTUSAN BEASISWA BELAJAR BAGI GURU MENGGUNAKAN METODE ANALYTIC HIERARCHY PROCESS (AHP)

MATERI PRAKTIKUM. Praktikum 1 Analytic Hierarchy Proses (AHP)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

ANALISA FAKTOR PENDUKUNG KEPUTUSAN PEMILIHAN PERGURUAN TINGGI TINGKAT SARJANA MENGGUNAKAN METODE AHP (ANALITICAL HIRARKI PROCESS)

PENERAPAN METODE ANP DALAM MELAKUKAN PENILAIAN KINERJA KEPALA BAGIAN PRODUKSI (STUDI KASUS : PT. MAS PUTIH BELITUNG)

FUZZY MULTI-CRITERIA DECISION MAKING

BAB 2 LANDASAN TEORI

ANALISIS PEMILIHAN SUPPLIER MENGGUNAKAN METODE ANALYTIC HIERARCHY PROCESS (AHP)

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI

Analisis Hirarki Proses Vendor Pengembang System Informasi. STIE Indonesia

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Definisi Sistem, Keputusan dan Sistem Pendukung Keputusan

ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS SEBAGAI PENDUKUNG KEPUTUSAN (DECISION SUPPORT) PEMILIHAN LOKASI PEMBANGUNAN RUMAH KOS UNTUK KARYAWAN

APLIKASI FUZZY ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS UNTUK MENENTUKAN PRIORITAS PELANGGAN BERKUNJUNG KE GALERI (Studi Kasus di Secondhand Semarang)

ANALISIS DAN IMPLEMENTASI PERANGKINGAN PEGAWAI MENGGUNAKAN METODE ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS DAN SUPERIORITY INDEX

Aplikasi Fuzzy Analytical Hierarchy Process Dalam Seleksi Karyawan (Studi Kasus: Pemilihan Staf Administrasi Di PT. XYZ)

APLIKASI AHP UNTUK PENILAIAN KINERJA DOSEN

JURNAL LENTERA ICT Vol.3 No.1, Mei 2016 / ISSN

Analytic Hierarchy Process

PENENTUAN DALAM PEMILIHAN JASA PENGIRIMAN BARANG TRANSAKSI E-COMMERCE ONLINE

Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Informasi 2004 Yogyakarta, 19 Juni 2004

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. artian yang lebih spesifik yakni pihak ketiga dalam supply chain istilah dalam

BAB II LANDASAN TEORI. Menurut Pujawan dan Erawan (2010) memilih supplier merupakan

PEMILIHAN GURU BERPRESTASI MENGGUNAKAN METODE AHP DAN TOPSIS

BAB 3 METODE PENELITIAN

ANALISIS PENENTUAN RATING RISIKO PROYEK PT. XYZ METODE ANALYTICAL HIERARCHY PROSES (AHP)

METODE ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS DALAM PENGAMBILAN KEPUTUSAN PEMILIHAN GALANGAN KAPAL UNTUK PEMBANGUNAN KAPAL TANKER DI PULAU BATAM

ANALISIS DAN PERANCANGAN APLIKASI PEMILIHAN JENIS BEASISWA MENGGUNAKAN METODE ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS (STUDI KASUS: BEASISWA UKRIDA)

Sistem Penunjang Keputusan Penetapan Dosen Pembimbing dan Penguji Skipsi Dengan Menggunakan Metode AHP

PEMERINGKATAN PEGAWAI BERPRESTASI MENGGUNAKAN METODE AHP (ANALYTIC HIERARCHY PROCESS) DI PT. XYZ

Sistem Pendukung Keputusan Penentuan Supplier Terbaik dengan Metode AHP Pada AMALIUN FOODCOURT

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

PEMILIHAN OBJEK WISATA DI SUMATERA UTARA DENGAN METODE ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS (AHP)

VEKTOR PRIORITAS DALAM ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS (AHP) DENGAN METODE NILAI EIGEN

PEMILIHAN LOKASI PERGURUAN TINGGI SWASTA DI JAWA BARAT BERDASARKAN METODE ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS (AHP) Oleh : RATNA IMANIRA SOFIANI, SSi

BAB III ANALISA DAN DESAIN SISTEM

PENGAMBILAN KEPUTUSAN PEMILIHAN HANDPHONE TERBAIK DENGAN ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS (AHP)

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

PEMILIHAN SUPPLIER BAHAN BAKU DENGAN MENGGUNAKAN METODA ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS (AHP) (STUDI KASUS DI PT. EWINDO BANDUNG)

IMPLEMENTASI SISTEM PENDUKUNG KEPUTUSAN PENERIMA BERAS UNTUK KELUARGA MISKIN ( RASKIN ) MENGGUNAKAN METODE AHP (ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS) Ilyas

BAB 2 LANDASAN TEORI. 2.1 Definisi Model. Representasi sistem atau masalah berdasarkan model dapat dilakukan dengan berbagai macam tingkat abstraksi.

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

P11 AHP. A. Sidiq P.

III. METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA DAN DASAR TEORI

BAB III METODE PENELITIAN. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian

IMPLEMENTASI ANALYTIC HIERARCHY PROCESS DALAM PENENTUAN PRIORITAS KONSUMEN PENERIMA KREDIT. Sahat Sonang S, M.Kom (Politeknik Bisnis Indonesia)

PEDEKATAN MODEL FUZZY TIME SERIES DENGAN ANALYTIC HIERARCHY PROCESS UNTUK PERAMALAN MAHASISWA BERPRESTASI

PERBANDINGAN PENENTUAN PEMBOBOTAN EVALUASI TEKNIS JASA KONSULTANSI MENGGUNAKAN METODE AHP DAN FUZZY

BAB II LANDASAN TEORI. negara, atau instansi. Sedangkan transportasi adalah pengangkutan atau

SISTEM PENDUKUNG KEPUTUSAN PEMILIHAN PERGURUAN TINGGI UNTUK SISWA YANG MELANJUTKAN KULIAH PADA SMA N 1 TEGAL

Program Studi Ilmu Komputer, Universitas Pendidikan Indonesia

PENERAPAN ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS (AHP) GUNA PEMILIHAN DESAIN PRODUK KURSI SANTAI

Pengenalan Metode AHP ( Analytical Hierarchy Process )

Sistem Pendukung Keputusan Memilih Perguruan Tinggi Swasta di Palembang Sebagai Pilihan Tempat Kuliah

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

PENERAPAN FUZZY ANALYTICAL NETWORK PROCESS DALAM MENENTUKAN PRIORITAS PEMELIHARAAN JALAN

BAB 2 TINJAUAN TEORITIS

SISTEM PENDUKUNG KEPUTUSAN PEMILIHAN KADER KESEHATAN DI KECAMATAN PEUDAWA KABUPATEN ACEH TIMUR

BAB II LANDASAN TEORI

Transkripsi:

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Analytical Hierarchy Process (AHP) Analytial Hierarchy Process (AHP) adalah salah satu metode khusus dari Multi Criteria Decision Making (MCDM) yang diperkenalkan oleh Thomas L. Saaty. AHP sangat berguna sebagai alat dalam analisis pengambilan keputusan dan telah banyak digunakan dengan baik dalam berbagai bidang seperti peramalan, pemilihan karyawan, pemilihan konsep produk, dan lain-lain. AHP merupakan suatu teori pengukuran yang digunakan untuk menderivasi skala rasio baik dari perbandingan-perbandingan berpasangan (pairwise comparisons) diskrit maupun kontinu (Saaty, 1993). Dalam mendefinisikan masalah dan perbandingan berpasangan (pairwise comparisons) diperlukan suatu hirarki pada penerapan AHP untuk menentukan hubungan dalam struktur tersebut. Struktur hirarki digambarkan dalam suatu diagram pohon yang berisi goal (tujuan masalah yang akan dicari solusinya), kriteria, subkriteria, dan alternatif. Metode AHP yang dilakukan dengan cara memodelkan permasalahan diuraikan secara bertingkat yang terdiri atas kriteria dan alternatif. Selain Saaty, penulis lain mengemukakan bahwa metode AHP telah banyak digunakan untuk menentukan prioritas pilihan-pilihan dengan banyak kriteria tetapi penerapannya telah meluas sebagai model alternatif manfaat biaya, peramalan dan lain-lain (Latifah, 2005). Pendekatan AHP menawarkan penyelesaian masalah keputusan yang melibatkan seluruh sumber kerumitan seperti yang didefinisikan di atas. 2.1.1 Landasan Aksiomatik AHP memiliki landasan aksiomatik yang terdiri dari:

a. Resiprocal Comparison, yang mengandung arti bahwa matriks perbandingan berpasangan yang terbentuk harus bersifat berkebalikan. Misalnya, jika A adalah k kali lebih penting dari pada B maka B adalah 1 kali lebih penting dari kk A. b. Homogenity, yaitu mengandung arti kesamaan dalam melakukan perbandingan. Misalnya, tidak dimungkinkan membandingkan jeruk dengan bola tenisdalam hal rasa, akan tetapi lebih relevan jika membandingkan dalam hal berat. c. Dependence, yang berarti setiap level mempunyai kaitan (complete hierarchy) walaupun mungkin saja terjadi hubungan yang tidak sempurna (incomplete hierarchy). d. Expectation, yang berarti menonjolkon penilaian yang bersifat ekspektasi dan preferensi dari pengambilan keputusan. Penilaian dapat merupakan data kuantitatif maupun yang bersifat kualitatif. 2.1.2 Prinsip Dasar AHP Dalam menyelesaikan persoalan dengan Metode AHP, ada beberapa prinsip dasar yang harus dipahami, yakni: a. Decomposition (prinsip menyusun hirarki) Pengertian decomposition adalah memecahkan atau membagi problem yang utuh menjadi unsur unsurnya ke dalam bentuk hirarki proses pengambilan keputusan, dimana setiap unsur atau elemen saling berhubungan. Untuk mendapatkan hasil yang akurat, pemecahan dilakukan terhadap unsurunsur sampai tidak mungkin dilakukan pemecahan lebih lanjut, sehingga didapatkan beberapa tingkatan dari persoalan yang hendak dipecahkan. Struktur hirarki keputusan tersebut dapat dikategorikan sebagai complete dan incomplete. Suatu hirarki keputusan disebut complete jika semua elemen pada suatu tingkat memiliki hubungan terhadap semua elemen yang ada pada tingkat berikutnya (Gambar 2.1), sementara pada hirarki keputusan incomplete tidak semua unsur pada masing-masing jenjang mempunyai

hubungan. Pada umumnya problem nyata mempunyai karakteristik struktur yang incomplete. Gambar 2.1 Struktur Hirarki AHP Complete b. Comparative Judgement Comparative Judgement dilakukan dengan penilaian tentang kepentingan relatif dua elemen pada suatu tingkat tertentu dalam kaitannya dengan tingkatan di atasnya. Penilaian ini merupakan inti dari AHP karena akan berpengaruh terhadap urutan prioritas dari elemen-elemennya. Hasil dari penilaian ini lebih mudah disajikan dalam bentuk matriks pairwise comparison yaitu matriks perbandingan berpasangan memuat tingkat preferensi beberapa alternatif untuk tiap kriteria. Skala preferensi yang digunakan yaitu skala 1 yang menunjukkan tingkat yang paling rendah (equal importance) sampai dengan skala 9 yang menunjukkan tingkatan yang paling tinggi (extreme importance). c. Synthesis of Priority Synthesis of Priority dilakukan dengan menggunakan eigen vector method untuk mendapatkan bobot relatif bagi unsur-unsur pengambilan keputusan. d. Logical Consistency Logical Consistency merupakan karakteristik penting AHP. Hal ini dicapai dengan mengagresikan seluruh eigen vector yang diperoleh dari berbagai tingkatan hirarki dan selanjutnya diperoleh suatu vector composite tertimbang yang menghasilkan urutan pengambilan keputusan.

2.1.3 Tahapan-tahapan AHP Tahapan-tahapan pengambilan keputusan dengan Metode AHP adalah sebagai berikut: a. Mendefinisikan masalah dan menentukan solusi yang diinginkan. b. Membuat struktur hirarki yang diawali dengan tujuan umum, dilanjutkan dengan kriteria-kriteria, sub kriteria dan alternatif-alternatif pilihan yang ingin di ranking. c. Membentuk matriks perbandingan berpasangan yang menggambarkan kontribusi relatif atau pengaruh setiap elemen terhadap masing-masing tujuan atau kriteria yang setingkat diatasnya. Perbandingan dilakukan berdasarkan pilihan atau judgement dari pembuat keputusan dengan menilai tingkat tingkat kepentingan suatu elemen dibandingkan elemen lainnya. d. Menormalkan data yaitu dengan membagi nilai dari setiap elemen di dalam matriks yang berpasangan dengan nilai total dari setiap kolom. e. Menghitung nilai eigen vector dan menguji konsistensinya, jika tidak konsisten pengambil data (preferensi) perlu diulangi. Nilai eigen vector yang dimaksud adalah nilai eigen vector maximum yang diperoleh dengan menggunakan matlab maupun manual. f. Mengulangi langkah c, d, dan e untuk seluruh tingkat hirarki. g. Menghitung eigen vector dari setiap matriks perbandingan berpasangan. Nilai eigen vector merupakan bobot setiap elemen. Langkah ini mensintesis pilihan dan penentuan prioritas elemen-elemen pada tingkat hirarki terendah sampai pencapaian tujuan. h. Menguji konsistensi hirarki. Jika tidak memenuhi dengan CR < 0,100 maka penilaian harus diulang kembali. 2.1.4 Menetapkan Prioritas Langkah pertama dalam menetapkan prioritas elemen-elemen dalam suatu persoalan keputusan adalah dengan membuat perbandingan berpasangan (pairwise comparison),

yaitu elemen-elemen dibandingkan secara berpasangan terhadap suatu kriteria yang ditentukan. Perbandingan berpasangan ini dipresentasikan dalam bentuk matriks. Skala yang digunakan untuk mengisi matriks ini adalah 1 sampai dengan 9 (skala Saaty) dengan penjelasan pada Tabel 2.1 Tabel 2.1 Skala untuk Perbandingan Berpasangan Tingkat Kepentingan Definisi 1 Equally important (sama penting) 3 Moderately more important (sedikit lebih penting) 5 Strongly more important (lebih penting) 7 Very strongly more important (sangat penting) 9 Extremely more important (mutlak lebih penting) 1, 4, 6, 8 Intermediate values (nilai yang berdekatan) Setelah keseluruhan proses perbandingan berpasangan dilakukan, maka bentuk matriks perbandingan berpasangannya adalah seperti pada Tabel 2.2. Apabila dalam suatu sub sistem operasi terdapat n elemen operasi yaitu A 1, A 2,, A n maka hasil perbandingan dari elemen-elemen operasi tersebut akan membentuk matriks A berukuran n n sebagai berikut: Tabel 2.2 Matriks Perbandingan Berpasangan A 1 A 2 A n A 1 1 a 12 a 1n A 2 a 21 1 a 2n A n a n1 a n2 1

Matriks A nxn merupakan matriks reciprocal yang diasumsikan terdapat n elemen yaitu w 1, w 2,, w n yang akan dinilai secara perbandingan. Nilai perbandingan secara berpasangan antara w i dan w j yang dipresentasikan dalam sebuah matriks WWii WWWW = a ij, dengan i, j = 1, 2,,n sedangkan a ij, merupakan nilai matriks hasil perbandingan yang mencerminkan nilai kepentingan a i terhadap a j bersangkutan sehingga diperoleh matriks yang dinormalisasi. Untuk i = j, maka nilai a ij = 1 (diagonal matriks), atau apabila antara elemen operasi a i dengan a j memiliki tingkat kepentingan yang sama maka a ij = a ji = 1. Data dari matriks perbandingan berpasangan ini merupakan dasar untuk menyusun vektor prioritas dalam AHP. Bila vektor pembobotan elemen-elemen operasi dinyatakan dengan W, dengan W = (w 1, w 2,, w n ), maka intensitas kepentingan elemen operasi A 1 terhadap A 2 adalah ww 1 ww 2 sebagai berikut: = A 12, sehingga matriks perbandingan berpasangan dapat dinyatakan Tabel 2.3 Matriks Perbandingan Intensitas Kepentingan Elemen Operasi A 1 A 2 A n A 1 ww 1 ww 1 ww 1 ww 2 A 2 ww 2 ww 1 ww 2 ww 2 ww 1 ww nn ww 2 ww nn A n ww nn ww 1 ww nn ww 2 ww nn ww nn Berdasarkan matriks perbandingan berpasangan tersebut dilakukan normalisasi dengan langkah-langkah sebagai berikut: a. Menjumlahkan nilai setiap kolom dalam matriks perbandingan berpasangan: nn ii=1 aa iiii, untuk i, j = 1, 2,,n. b. Membagi nilai aa iiii pada setiap kolom dengan jumlah nilai pada kolom:

aa iiii = aa iiii nn ii=1 aa iiii untuk i, j = 1, 2,,n. c. Menjumlahkan semua nilai setiap baris dari matriks yang telah dinormalisasi dan membaginya dengan elemen tiap baris. Hasil pembagian tersebut menunjukkan nilai prioritas untuk masing-masing elemen. 2.1.5 Konsistensi Dalam penilaian perbandingan berpasangan sering terjadi ketidak konsistenan dari pendapat/preferensi yang diberikan oleh pengambil keputusan. Konsistensi dari penilaian berpasangan tersebut dievaluasi dengan menghitung Consistency Ratio (CR). Saaty menetapkan apabila CR 0,1, maka hasil penilaian tersebut dikatakan konsisten. Formulasi untuk menghitung adalah: CR = CCCC. Di mana, CI = Consistency Indeks (Indeks Konsistensi) dan RI = Random Consistency Index. RRRR Formula CI adalah: = (λ mmmmmm nn) ; di mana λ nn 1 mmmmmm = nilai maksimum dari eigen value berordo n. Eigen value maksimum didapat dengan menjumlahkan hasil perkalian matriks perbandingan dengan eigen vector utama (vektor prioritas) dan membaginya dengan jumlah elemen. Nilai CI tidak akan berarti bila tidak terdapat acuan untuk menyatakan apakah CI menunjukkan suatu matriks yang konsisten atau tidak konsisten. Saaty mendapatkan nilai rata-rata Random Index (RI) seperti pada Tabel 2.4 Tabel 2.4 Nilai Random Indeks (RI) Ordo 1,2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 Matriks RI 0 0,52 0,89 1,11 1,25 1,35 1,4 1,45 1,49 1,51 1,54 1,56

2.1.6 Nilai Eigen dan Vektor Eigen Definisi. Misalkan A adalah sebarang matriks bujur sangkar. Skalar disebut sebagai nilai eigen dari A jika terdapat vektor (kolom) bukan-nol v sedemikian rupa sehingga: Av = λv Sebarang vektor yang memenuhi hubungan ini disebut sebagai vektor eigen dari A yang termasuk dalam nilai eigen λ. Dicatat bahwa setiap kelipatan skalar kv dari vektor eigen v yang termasuk dalam λ juga adalah vektor eigen karena: A(kv) = k (Av) = k (λv) = λ (kv) (2.1) Untuk mencapai nilai eigen dari matriks A yang berukuran n n, maka dapat ditulis pada persamaan berikut: Av = λv (2.2) Atau secara ekuivalen: (λi - A)v = 0 (2.3) Agar λ menjadi nilai eigen, maka harus ada pemecahan tak nol dari persamaan (2.3). Akan tetapi, persamaan (2.3) akan mempunyai pemecahan tak nol jika dan hanya jika: det(λi - AA) = 0 (2.4) Persamaan 2.4 dinamakan persamaan karakteristik A, skalar yang memenuhi persamaan 2.4 adalah nilai eigen dari AA. Bila diketahui bahwa nilai perbandingan elemen AA ii terhadap elemen AA jj adalah a ij, maka secara teoritis matriks tersebut berciri positif berkebalikan, yakni a ij = 1 aa iiii. Bobot yang dicari dinyatakan dalam vektor w = (w 1, w 2, w 3,, w n ). Nilai w n menyatakan bobot kriteria AA nn terhadap keseluruhan set kriteria pada sub sistem tersebut.

Jika a ij mewakili derajat kepentingan faktor i terhadap faktor j dan a ik menyatakan derajat kepentingan dari faktor j terhadap faktor k, maka agar keputusan menjadi konsisten, kepentingan i terhadap faktor k harus sama dengan a ij. a jk atau jika a ij. a jk = a ik untuk semua i, j, k. Untuk suatu matriks konsisten dengan vektor w, maka elemen a ij dapat ditulis: a ij = ww ii ww jj ; i,j = 1,2,3,, n (2.5) Jadi, matriks konsistennya adalah: a ij. a jk = ww ii ww jj. ww jj ww kk = ww ii ww kk = a ik (2.6) Seperti yang diuraikan dinatas, maka untuk pairwise comparison matrix diuraikan menjadi: a ij = ww ii ww jj = 1 = 1 (2.7) ww jj /ww ii aa jjjj Dari persamaan (2.7) dapat dilihat bahwa: ww a ij jj = 1 (2.8) ww ii Dengan demikian untuk matriks perbandingan berpasangan yang konsisten menjadi: nn aa iiii ii,jj =1 ww iiii 1 ww iiii = nn ; ii, jj = 1,2,3,, nn (2.9) nn aa iiii ii,jj =1 ww iiii = nnww iiii ; ii, jj = 1,2,3,, nn (2.10)

Persamaan (2.10) ekuivalen dengan bentuk persamaan matriks AA ww = nn ww (2.11) Dalam teori matriks, formulasi (2.11) diekspresikan bahwa w adalah eigen vektor dari matriks A dengan nilai eigen n. Perlu diketahui bahwa n merupakan dimensi matriks itu sendiri. Dalam bentuk persamaan matriks dapat ditulis sebagai berikut: ww 1 ww 1 ww 1 ww 1 ww 2 ww nn ww 2 ww 2 ww 2 ww 1 ww 2 ww nn ww nn ww nn ww nn ww 2 ww nn ww 1 Tetapi pada prakteknya tidak dapat dijamin bahwa: a ij = aa iiii aa jjjj Salah satu penyebabnya yaitu karena unsur manusia (decision maker) tidak selalu dapat konsisten mutlak dalam mengekspresikan preferensi terhadap elemen-elemen yang dibandingkan. Dengan kata lain, bahwa penilaian yang diberikan untuk setiap elemen persoalan pada suatu level hirarki dapat saja tidak konsisten (inconsistent). 2.2 Himpunan Fuzzy Pada tahun 1965, Zadeh memodifikasi teori himpunan dimana setiap anggotanya memiliki derajat keanggotaan yang bernilai kontinu antara 0 dan 1. Himpunan ini disebut dengan Himpunan Kabur (Fuzzy Set). Himpunan Fuzzy didasarkan pada gagasan untuk memperluas jangkauan fungsi karakteristik sedemikian hingga fungsi tersebut akan mencakup bilangan real pada interval [0, 1]. Nilai keanggotaannya menunjukkan bahwa suatu item dalam semesta pembicaraan tidak hanya berada pada 0 atau 1, namun juga nilai yang berada diantaranya. Sedangkan

dalam himpunan crisp, nilai keanggoataan hanya 2 kemungkinan yaitu 0 atau 1. Jika aa AA maka nilai yang berhubungan dengan aa adalah 1. Namun, jika aa AA, maka nilai yang berhubungan dengan aa adalah 0. Misalkan diketahui klasifikasi sebagai berikut: MUDA umur < 35 tahun SETENGAH BAYA 35 umur 55 tahun TUA umur > 55 tahun Dengan menggunakan pendekatan crisp, amatlah tidak adil untuk menetapkan nilai SETENGAH BAYA. Pendekatan ini bisa saja dilakukan untuk hal-hal yang bersifat diskontinu. Misalkan umur klasifikasi 55 tahun dan 56 tahun sangat jauh berbeda, umur 55 tahun termasuk SETENGAH BAYA, sedangkan umur 56 tahun sudah termasuk TUA. Demikian pula untuk kategori TUA dan MUDA. Dengan demikian pendekatan crisp ini sangat tidak cocok untuk diterapkan pada hal-hal yang bersifat kontinu, seperti umur. Selain itu, untuk menunjukkan suatu unsur pasti termasuk SETENGAH BAYA atau tidak, dan menunjukkan suatu nilai kebenaran 0 atau 1, dapat digunakan nilai pecahan, dan menunjuk 1 atau nilai yang dekat dengan 1 untuk umur 45 tahun, kemudian perlahan menurun menuju ke 0 untuk umur dibawah 35 tahun dan di atas 55 tahun. Terkadang kemiripan antara keanggotaan fuzzy dengan probabilitas menimbulkan kerancuan. Keduanya memiliki interval [0, 1], namun interpretasi nilainya sangat berbeda. Keanggotaan fuzzy memberikan suatu ukuran terhadap pendapat atau keputusan, sedangkan probabilitas mengindikasikan proporsi terhadap keseringan suatu hasil bernilai besar dalam jangka panjang (Kusumadewi, 2004). 2.2.1 Fungsi Keanggotaan Fungsi keanggotaan (membership function) adalah suatu kurva yang menunjukkan pemetaan titik-titik input data ke dalam nilai keanggotaannya (sering juga

disebut dengan derajat keanggotaan) yang memiliki interval antara 0 sampai 1. Atau dapat dinotasikan sebagai berikut: μμ AA : R [0, 1] Untuk xx R maka μμ AA (xx) adalah derajat keanggotaan xx dalam AA. 2.2.2 Bilangan Fuzzy Triangular Fungsi keanggotaannya adalah sebagai berikut: aa xx 1 αα μμ AA (xx) = 1 xx aa ββ ; aa αα xx aa ; aa xx aa + ββ 0 ; llllllllllllll Berikut akan ditampilkan gambar bilangan fuzzy segitiga (Triangular): Gambar 2.2 Bilangan Fuzzy Triangular 2.2.3 Bilangan Fuzzy Trapezoidal Fungsi keanggotaannya adalah sebagai berikut:

aa xx 1 ; aa αα xx aa αα 1 ; aa xx bb μμ AA (xx) = xx aa 1 ; aa xx aa + ββ ββ 0 ; llllllllllllll Berikut akan ditampilkan gambar bilangan fuzzy trapezoidal: Gambar 2.3 Bilangan Fuzzy Trapezoidal 2.2.4 Himpunan Penyokong (Support Set) Terkadang bagian tidak nol dari suatu himpunan fuzzy ditampilkan dalam domain. Sebagai contoh, domain untuk BERAT adalah 40 kg hingga 60 kg, namun kurva yang ada dimulai dari 42 kg hingga 60 kg. Daerah ini disebut dengan himpunan penyokong (support set). Hal ini penting untuk menginterpretasikan dan mengatur daerah fuzzy yang dinamis. 2.2.5 Nilai Ambang Alfa-Cut Salah satu teknik yang erat hubungannya dengan himpunan penyokong adalah himpunan level-alfa (α-cut). Level-alfa ini merupakan nilai ambang batas domain yang didasarkan pada nilai keanggotaan untuk tiap-tiap domain. Himpunan ini berisi

semua nilai domain yang merupakan bagian dari himpunan fuzzy dengan nilai keanggotaan lebih besar atau sama dengan α. 2.2.6 Operasi-operasi pada Himpunan Fuzzy Seperti halnya himpunan konvensional, ada beberapa operasi yang didefinisikan secara khusus untuk mengkombinasi dan memodifikasi himpunan fuzzy. Berikut ini ada beberapa operasi logika fuzzy yang didefinisikan oleh Zadeh, yaitu: Interseksi Union Komplemen : μμ AA BB = mmmmmm (μμ AA [xx], μμ BB [yy]) : μμ AA BB = mmmmmm (μμ AA [xx], μμ BB [yy]) : μμ AA = 1 μμ AA [xx] Karena himpunan fuzzy tidak dapat dibagi dengan tepat seperti halnya dalam himpunan crisp, maka operasi-operasi ini diaplikasikan pada tingkat keanggotaan. Suatu elemen dikatakan menjadi anggota himpunan fuzzy jika: a. Berada pada domain himpunan tersebut. b. Nilai kebenaran keanggotaannya 0. c. Berada di atas ambang α-cut yang berlaku. Untuk interval [a, b] dan [d, e], maka operasi aritmetik untuk bilangan fuzzy adalah: a. Penjumlahan : [a, b] + [d, e] = [a + d, b + e] b. Perkalian : [a, b]. [d, e] = [min(ad, ae, bd, be), max(ad, ae, bd, be)] c. Pembagian : [a, b] / [d, e] = mmmmmm aa dd, aa ee, bb dd, bb ee, mmmmmm aa dd, aa ee, bb dd, bb ee

2.3 Fuzzy Analytic Hierarchy Process (Fuzzy AHP) Pada dasarnya langkah-langkah dalam Metode fuzzy AHP adalah hampir sama dengan Metode AHP. Penggunaan AHP dalam problem Multi Criteria Decision Making (MCDM) sering dikritisi sehubungan dengan kurang mampunya pendekatan ini untuk mengatasi faktor ketidakpresisian yang dialami oleh pengambil keputusan ketika harus memberikan nilai yang pasti dalam pairwise comparison. Untuk menangani ketidakpresisian ini diajukan dengan menggunakan teori fuzzy set. Tidak seperti dalam metode AHP orisinil yang menggunakan skala 1-9 dalam pairwise comparison, fuzzy AHP menggunakan fuzzy numbers. Dengan kata lain fuzzy AHP adalah metode analisis yang dikembangkan dari Metode AHP orisinil. Dalam pendekatan fuzzy AHP digunakan Triangular Fuzzy Number (TFN) atau Bilangan Fuzzy Segitiga (BFS) untuk proses fuzzyfikasi dari matriks perbandingan yang bersifat crisp. Data yang kabur akan dipresentasikan dalam TFN. Setiap fungsi keanggotaan didefinisikan dalam 3 parameter yakni, l, m, dan u, di mana l adalah nilai kemungkinan terendah, m adalah nilai kemungkinan tengah dan u adalah nilai kemungkinan teratas pada interval putusan pengambil keputusan. Nilai l, m, dan u dapat juga ditentukan oleh pengambil keputusan itu sendiri. Tulisan ini mengajukan tiga parameter bilangan fuzzy untuk merepresentasikan skala Saaty (1-9) sesuai dengan tingkat kepentingannya, yakni (Alias, 2009): 1 (1, 1, 1) xx (xx 1, xx, xx + 1) ; xx = 2, 3,, 8 9 (9, 9, 9) Bilangan kabur segitiga (TFN) dapat menunjukkan kesubjektifan perbandingan berpasangan atau dapat menunjukkan derajat yang pasti dari kekaburan (ketidakpastian). Dalam hal ini variabel linguistik dapat digunakan oleh pengambil keputusan untuk merepresentasikan kekaburan data seandainya ada ketidaknyamanan dengan TFN. TFN dan variabel linguistiknya sesuai dengan skala Saaty ditunjukkan pada tabel berikut:

Tabel 2.5 Fungsi Keanggotaan Bilangan Fuzzy Definisi Skala Saaty TFN Equally important (sama Penting Moderately more important (sedikit lebih penting) Strongly more important (lebih penting) Very strongly more important (sangat penting) Extremely more important (mutlak lebih penting) Intermediate Values (nilai yang berdekatan) 1 (1, 1, 1) 3 (2, 3, 4) 5 (4, 5, 6) 7 (6, 7, 8) 9 (9, 9, 9) (1, 2, 3), (3, 4, 5), (5, 6, 2, 4, 6, 8 7), dan (7, 8, 9) Angka perbandingan 1 sampai 9 pada tabel 2.5 memberikan pengertian bahwa: a. Skala 1 = setara antara kepentingan yang satu dengan yang lainnya. b. Skala 3 = kategori sedang dibandingkan dengan kepentingan yang lainnya. c. Skala 5 = kepentingan satu lebih penting dari kepentingan yang lainnya. d. Skala 7 = kepentingan satu sangat penting dari kepentingan yang lainnya. e. Skala 9 = kepentingan satu mutlak lebih penting dari kepentingan yang lainnya. f. Skala 2, 4, 6, 8 = nilai-nilai antara dua nilai pertimbangan-pertimbangan yang berdekatan, nilai ini diberikan bila ada dua kompromi antara dua pilihan. Untuk melakukan prioritas lokal dari matriks fuzzy pairwise comparison sudah banyak metode yang dikembangkan oleh para ahli sebelumnya. Dengan mengkombinasikan

prosedur AHP dengan operasi aritmetik untuk bilangan fuzzy, prioritas lokal dapat diperoleh dengan menggunakan persamaan berikut (Febransyah, 2006): mm jj SS ii = MM gggg jj =ii 1 nn mm jj MM gggg ii=1 jj =1 (2.12) di mana g i = goal set (i = 1, 2, 3,, n) jj MM gggg = bilangan kabur segitiga (j = 1, 2, 3,..., m) Yang memuat persamaan-persamaan berikut: mm jj MM gggg jj =ii mm mm mm = ll jj ; mm jj ; uu jj (2.13) jj =1 jj =1 jj =1 dan 1 nn mm jj MM gggg mm mm mm 1 = ll ii ; mm ii ; uu ii ii=1 jj =1 ii=1 ii=1 ii=1 (2.14) Perhatikan urutan l, m, u, bahwa letak l selalu berada di bagian kiri, m berada di tengah dan u berada di bagian kanan. Dan l < m < u, sehingga persamaan (2.14) menjadi: 1 nn mm jj MM gggg ii=1 jj =1 1 = nn ii=1 uu ii ; 1 nn ii=1 ll ii ; 1 nn ii=1 mm ii (2.15) dan persamaan (2.12) menjadi:

mm mm mm 1 SS ii = ll jj ; mm jj ; uu jj nn jj =1 jj =1 jj =1 ii=1 uu ii ; 1 nn ii=1 mm ii ; 1 nn ii=1 ll ii (2.16) untuk: l = nilai batas bawah (kemungkinan terendah) m = nilai yang paling menjanjikan (kemungkinan tengah) u = nilai batas atas (kemungkinan teratas) di mana operasi aritmetik untuk bilangan fuzzy dapat dilihat dari persamaan berikut: 1. nn 1 nn 2 = nn 1ll + nn 2ll ; nn 1mm + nn 2mm ; nn 1uu + nn 2uu 2. nn 1 nn 2 = nn 1ll nn 2ll ; nn 1mm nn 2mm ; nn 1uu nn 2uu (2.17) 3. 1 nn 1 = 1 nn 1uu ; 1 ; 1 nn 1mm nn 1ll sedangkan prioritas global diperoleh dengan mengalikan bobot setiap kriteria w j dengan nilai evaluasi. Persamaan dapat dituliskan sebagai berikut: PP ii = (ww 1 vv ii1 ) (ww 2 vv ii2 ) ww jj vv iiii (2.18) di mana vv iiii adalah prioritas lokal untuk alternatif i relatif terhadap kriteria j. Nilai defuzzyfikasi diperoleh dengan cara defuzzifying terhadap prioritas global. Untuk TFN PP ii = (llll ii ; mmmm ii ; uuuu ii ), nilai defuzzyfikasinya dapat diperoleh dari persamaan berikut: DDDD ii = [(uuuu ii llll ii ) + (mmmm ii llll ii )] 3 + llll ii ; ii (2.19) Dimana: DDDD ii = nilai defuzzyfikasi (llll ii ; mmmm ii ; uuuu ii ) = bilangan fuzzy segitiga dari prioritas global Nilai defuzzyfikasi dinormalkan dengan membaginya dengan nilai penjumlahan semua nilai defuzzyfikasi.

Lembaga Bimbingan Belajar yang banyak di pilih Siswa Kelas XII di Kota Medan K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7 A B C D E F G Keterangan: Gambar 2.4 Skema Hirarki Pemilihan Lembaga Bimbingan Belajar Berdasarkan Persepsi Siswa Kelas XII di Kota Medan K1 = Model Belajar A = Adzkia K2 = Harga B = Ganesa Operation K3 = Tentor C = Bima K4 = Jumlah Kelulusan D = Prima Gama K5 = Jarak & Lokasi E =Sony Sugema Collection K6 = Reputasi Bimbel F = Nurul Fikri K7 = Fasilitas G = Medica

2.4 Kriteria-kriteria dalam Pemilihan Lembaga Bimbingan Belajar Berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh SSCintrsolusi (2014) menunjukkan bahwa ada 7 kriteria yang menjadi pertimbangan siswa dalam memilih lembaga bimbingan belajar 1. Model Belajar Metode pengajaran yang diterapkan di lembaga bimbingan belajar menjadi daya tarik bagi seseorang untuk masuk di lembaga tersebut. Lembaga bimbingan belajar berbeda dengan sekolah formal. Menurut Yahya Karyana, Direktur Utama Pusat Klinik Pendidikan Indonesia, Lembaga pendidikan belajar lebih inovatif dalam soal proses pembelajaran. Ia memberikan contoh pendidikan berbasis teknologi informasi telah lebih dulu dikembangkan bimbingan belajar dari pada sekolah formal. Lembaga bimbingan belajar yang berkualitas memiliki standar pengajaran yang bagus dan modul belajar yang mudah dimengerti oleh siswanya. 2. Harga Setiap lembaga bimbingan belajar memiliki paket harga untuk mengikuti bimbingan. Untuk kualitas terbaik dan jaminan lulus di PTN maka harga yang ditawarkan juga semakin lebih mahal. Biaya yang dibutuhkan juga bisa termasuk biaya modul dan materi serta kesempatan mengikuti try out. 3. Tentor Biasanya Lembaga bimbingan belajar yang berkualitas tenaga pengajarnya berasal dari lulusan Perguruan Tinggi Negeri yang ternama. Inilah yang menjadi faktor pertimbangan seseorang dalam memilih Lembaga bimbingan belajar. 4. Jumlah Kelulusan Biasanya setiap Lembaga bimbingan belajar yang mempromosikan lembaganya selalu disertakan dengan keberhasilannya meluluskan siswanya di berbagai Perguruan Tinggi Negeri ternama. Ini juga yang menjadi daya tarik seseorang dalam memilih lembaga bimbingan belajar.

5. Jarak dan Lokasi Jarak bimbel yang dapat dijangkau dan letaknya yang strategis dengan tempat tinggal siswa biasanya lebih disukai karena tidak butuh waktu yang lama untuk menjangkaunya. Terkadang kualitas bimbelnya kantor pusat berbeda dengan cabangnya. 6. Reputasi Reputasi bimbel yang baik dapat dilihat dari banyaknya jumlah alumni lulusan bimbel tersebut yang diterima di PTN. Semakin baik reputasinya maka semakin meyakinkan seseorang untuk belajar di bimbel tersebut. 7. Fasilitas Fasilitas yang disediakan di bimbel minimal: papan tulis (wajib ada), ruang ber-ac, Pemeriksaan Try Out dengan komputer SPMB (OMR OPSCAN 4U SCANNER), OHP, ruang diskusi, ruang konsultasi, mushola, kantin, dll.