TINJAUAN YURIDIS SOSIOLOGIS BATAS-BATAS MARITIM ANTARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN MALAYSIA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 2 DASAR TEORI 2.1 Pembagian Wilayah Laut

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Sejarah Perundingan Batas Maritim Indonesia Singapura

Wilayah Negara Dalam Hukum Internasional

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

BAB II DASAR TEORI. Dalam UNCLOS 1982 disebutkan adanya 6 (enam) wilayah laut yang diakui dan ditentukan dari suatu garis pangkal yaitu :

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN NASIONAL TERKAIT DENGAN PENETAPAN INDONESIA SEBAGAI NEGARA KEPULAUAN. Oleh : Ida Kurnia*

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

PENGANTAR ILMU DAN TEKNOLOGI KEMARITIMAN. Dr. Ir. Hj. Khodijah Ismail, M.Si www. Khodijahismail.com

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

I. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM) MINGGU 5. A. TUJUAN AJAR: Dapat menjelaskan evolusi batas maritim nasional di Indonesia

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II PENENTUAN BATAS LAUT DAERAH

IMPLEMENTASI BATAS WILAYAH dan KEPULAUAN TERLUAR INDONESIA terhadap KEDAULATAN NKRI

No b. pemanfaatan bumi, air, dan udara serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat; c. desentralis

TINJAUAN HUKUM LAUT TERHADAP WILAYAH NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA

Hukum Internasional Kl Kelautan. Riza Rahman Hakim, S.Pi

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Gambar 2. Zona Batas Maritim [AUSLIG, 2004]

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 38 TAHUN 2002 TENTANG DAFTAR KOORDINAT GEOGRAFIS TITIK-TITIK GARIS PANGKAL KEPULAUAN INDONESIA

ASPEK TEKNIS PEMBATASAN WILAYAH LAUT DALAM UNDANG UNDANG NO. 22 TAHUN 1999

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan hukum internasional 4. Kedaulatan

Hukum Laut Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. masalah-masalah hukum. Di Indonesia, salah satu masalah hukum

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II TINJAUAN UMUM PENENTUAN BATAS DAERAH

ZONASI LAUT TERITORIAL. Oleh Dr. Ir. HJ. KHODIJAH ISMAIL, M.Si

PERKEMBANGAN TERAKHIR BATAS MARITIM INDONESIA DENGAN NEGARA TETANGGA

2008, No hukum dan kejelasan kepada warga negara mengenai wilayah negara; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a,

ANALISIS UNDANG-UNDANG KELAUTAN DI WILAYAH ZONA EKONOMI EKSKLUSIF

MASALAH PERBATASAN NKRI

Studi Penentuan Batas Maritim Antara Dua Negara Berdasarkan Undang Undang yang Berlaku di Dua Negara yang Bersangkutan (Studi Kasus : NKRI dan RDTL)

ASPEK-ASPEK GEODETIK DALAM HUKUM LAUT

MENEGOSIASIKAN BATAS WILAYAH MARITIM INDONESIA DALAM BINGKAI NEGARA KEPULAUAN

PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

Perkembangan Hukum Laut dan Wilayah Perairan Indonesia

Perkembangan Hukum Laut Internasional

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERENCANAAN KAWASAN PESISIR

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. dan dalam lingkungan wilayah yang dibatasi oleh garis-garis perbatasan

xvii MARITIM-YL DAFTAR ISI

Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) I, II, III

BAB III REALISASI DELINEASI BATAS LAUT

BAB I PENDAHULUAN. Ambalat adalah blok laut seluas Km2 yang terletak di laut

TUGAS HUKUM LAUT INTERNASIONAL KELAS L PERMASALAHAN INDONESIA SEBAGAI NEGARA KEPULAUAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Sejarah Peraturan Perikanan. Indonesia

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB III BATAS DAERAH DAN NEGARA

Masalah Penetapan Batas Landas Kontinen dan Zone Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia. Oleh : Danar Widiyanta 1

BAB I PENDAHULUAN. berkelahi di laut dan saling bakar kapal-kapal penangkap ikannya. 1

Kajian Landas Kontinen Ekstensi Batas Maritim Perairan Barat Laut Sumatra

BAB I PENDAHULUAN. negara dimana wilayah daratnya berbatasan dengan laut. menimbulkan kerenggangan hubungan dan apabila berlarut-larut akan

SISTEMATIKA PEMAPARAN

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG LANDAS KONTINEN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENETAPAN BATAS LANDAS KONTINEN INDONESIA. Eka Djunarsjah dan Tangguh Dewantara. Departemen Teknik Geodesi FTSP ITB, Jl. Ganesha 10 Bandung 40132

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar belakang Dinamika Hukum Laut Internasional mengalami perkembangan yang

EKSISTENSI GARIS BATAS LANDAS KONTINEN ANTARA INDONESIA DENGAN MALAYSIA DITINJAU DARI HUKUM LAUT INTERNASIONAL 1 Oleh : Rialindy Justitia Palenewen 2

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

LAMPIRAN II RENCANA KERJA PENATAAN RUANG UNTUK PEMANTAPAN KEAMANAN NASIONAL (PENANGANAN KAWASAN PERBATASAN)

Penentuan Batas Pengelolaan Wilayah Laut Antara Provinsi Jawa Timur dan Provinsi Bali Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

I. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM) MINGGU 10

BAB I PENDAHULUAN I.1.

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

PENERAPAN UNCLOS 1982 DALAM KETENTUAN PERUNDANG UNDANGAN NASIONAL, KHUSUSNYA ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA. Oleh : Ida Kurnia * Abstrak

BAB II PENGATURAN HUKUM INTERNASIONAL MENGENAI BATAS WILAYAH SUATU NEGARA. A. Sejarah Perkembangan Hukum Laut Internasional

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

TINJAUAN YURIDIS KONFLIK INDONESIA MALAYSIA TENTANG KEPEMILIKAN HAK BERDAULAT ATAS BLOK AMBALAT DAN AMBALAT TIMUR

LAPORAN SINGKAT KOMISI I DPR RI

PEMANFAATAN DAN PENGENDALIAN RUANG KAWASAN PERBATASAN LAUT

RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG LANDAS KONTINEN INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 1998 TENTANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB III TAHAPAN KEGIATAN PENETAPAN BATAS LAUT DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

BAB III PENENTUAN GARIS BATAS MARITIM INDONESIA SINGAPURA PADA SEGMEN TIMUR MENGGUNAKAN PRINSIP EKUIDISTAN

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 49 TAHUN 2010 TENTANG TUNJANGAN OPERASI PENGAMANAN BAGI

BAB III PENUTUP. tahun 2006 tentang tim nasional pembakuan rupa bumi. Saat ini ada

BAB IV ANALISIS. 4.1 Analisis terhadap Seleksi Unsur Pemetaan Laut Teritorial Indonesia

I. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM) MINGGU 9. A. TUJUAN AJAR: Dapat menjelaskan Aspek Geospasial dalam Metode Delimitasi Batas Maritim

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENDAHULUAN. samudera Hindia dan samudera Pasifik dan terletak di antara dua benua yaitu

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB 3 PROSES REALISASI PENETAPAN BATAS LAUT (ZONA EKONOMI EKSKLUSIF) INDONESIA DAN PALAU DI SAMUDERA PASIFIK

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2002 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia memiliki sejarah

Pendekatan Aspek Hukum, Geomorfologi, dan Teknik Dalam Penentuan Batas Wilayah Laut Daerah

pres-lambang01.gif (3256 bytes)

Abstrak PENDAHULUAN.

Transkripsi:

102 TINJAUAN YURIDIS SOSIOLOGIS BATAS-BATAS MARITIM ANTARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN MALAYSIA Oleh Sariman BS & Dasril Adnin Dosen Fakultas Hukum Universitas Sang Bumi Ruwa Jurai ABSTRAK Masih banyak pulau yang terletak sebagai pulau terluar dari negara kepulauan Indonesia sesuai dengan konvensi hukum laut 198yang harus mendapat perhatian dan dijaga dalam berbagai segi. Lobi-lobi tingkat tinggi merupakan salah satu jalan untuk menyatukan konsepsi dengan negara tetangga salah satunya dengan Malaysia. Batas-batas maritim merupakan salah satu cermin perwujudan dan kewibawaan setiap negara dan merupakan komponen penting penegakkan hukum di Indonesia terutama Hukum Laut Indonesia. Keutuhan NKRI sudah merupakan harga mati, maka batas-batas maritim Republik Indonesia dengan negara-negara tetangga harus dibicarakan secara bilateral, perundingan dengan tidak mengesampingkan prinsip-prinsip hidup bertetangga yang baik (Good Neighbur Policy). Keywords: Yuridis, Maritim, Malaysia PENDAHULUAN Roda diplomasi untuk menyelesaikan selisih pandangan soal Pulau Ambalat khususnya terus ditempuh. Inisiatif ini ditandai dengan pertemuan Presiden Republik Indonesia dengan Perdana Menteri Malaysia setelah itu Menteri Luar Negeri (Menlu) Indonesia dengan Menlu Malaysia. Masalah perbatasan kedua negara perlu diselesaikan dengan jalan yang paling baik dan tidak menimbulkan konfrontasi fisik. Indonesia, sebagai negara kepulauan, memiliki perairan yang langsung berbatasan dengan negara tetangga. Ada 10 negara yang perairannya berbatasan langsung dengan Republik Indonesia, yaitu: Malaysia, Singapura, Thailand, India, Filipina, Vietnam, Papua Nugini, Australia, Palau dan Timor Leste. Penetapan batas-batas maritim tersebut sangat penting dilakukan dalam rangka penegakan kedaulatan dan hukum di wilayah yurisdiksi Indonesia di laut, pengelolaan sumber daya alam dan pengembangan ekonomi kelautan. Penetapan batas-batas maritim dengan negara-negara tetangga dilakukan berdasarkan beberapa peraturan, antara lain: Hukum Laut Internasional dan pada saat ini digunakan ketentuan Konvensi PBB Tentang Hukum Laut (UNCLOS 1982) yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia melalui UU No. 17 Tahun 1985, UU No. 6 Tahun 1996 dan Peraturan Pemerintah (PP) No. 38 Tahun 2002. Permasalahan tentang batasbatas maritim Pemerintah Indonesia dengan negara tetangga ternyata sampai saat ini masih banyak yang belum terselesaikan. Berdasarkan hasil identifikasi, ternyata baru batas-

103 batas maritim antara Indonesia dengan Australia yang sudah diselesaikan secara lengkap, sedangkan batas maritim dengan negara tetangga lainnya baru dilakukan penetapan batas-batas Dasar Laut (Landas Kontinen) dan sebagian batas-batas Laut Teritorial. Penetapan batas-batas maritim dengan negara-negara tetangga diperlukan untuk memperoleh kepastian hukum yang dapat mendukung berbagai kegiatan kelautan, seperti: penegakan kedaulatan dan hukum di laut, perikanan, wisata bahari, eksplorasi lepas pantai (off shore), transportasi laut dan lainnya. Uraian di atas sudah memberikan gambaran, betapa krusialnya perbatasan antara Republik Indonesia dan Malaysia, maka untuk membatasi ruang lingkup masalah yang dihadapi dalam penelitian ini adalah bagaimana menentukan perbatasan kedua negara secara Hukum Laut Internasional? METODE PENELITIAN Penyaji dalam penelitian ini menggunakan pendekatan normatif dengan mengkaji dokumen-dokumen, referensi maupun doktrin-doktrin yang relevan dan didukung data yang akurat. Berdasarkan observasi analisis peneliti saat ini Pemerintah Indonesia merubah cara penentuan laut teritorialnya dengan mengeluarkan Deklarasi Djuanda pada tanggal 13 Desembcr 1957. Deklarasi ini menentukan bahwa lebar laut teritorial Republik Indonesia adalah 12 mil laut diukur dari garis yang menghubungkan titik-titik terluar pada pulau-pulau terluar Negara Indonesia, serta segala perairan di sekitar, di antara dan yang menghubungkan pulau-pulau wilayah Republik Indonesia sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Deklarasi Djuanda sebagaimana telah dikutip di atas merupakan saat lahirnya suatu konsepsi yang merombak sistem hukum lama menjadi azas negara kepulauan. Konsepsi ini terkenal dengan nama konsepsi Wawasan Nusantara dan diundangkan dalam bentuk UU No. 4 Perpu Tahun 1960. PP Pengganti Undang-Undang (Perpu) No. 4 Tahun 1960 Pengaturan perairan Indonesia yang telah ditetapkan dasar-dasarnya dalam Deklarasi Djuanda 1957 ditetapkan menjadi sebuah undangundang dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang. Ketentuan pokok dari konsepsi negara kepulauan yang diundangkan dalam bentuk UU No. 4 Perpu Tahun 1960, yaitu : Perairan Indonesia ialah laut wilayah Indonesia beserta perairan pedalaman Indonesia. 1. Laut wilayah Indonesia ialah lajur laut selebar dua belas mil laut yang garis luarnya diukur tegak lurus atas garis pangkal atau titik pada garis pangkal yang terdiri dari garis-garis lurus yang menghubungkan titik-titik terluar pada garis air rendah daripada pulau-pulau atau bagian pulau-

104 pulau yang terluar dalam wilayah Indonesia. 2. Perairan pedalaman Indonesia ialah semua perairan yang terletak pada sisi darat dari garis pangkal. 3. Hak lintas damai kendaraan asing melaui perairan pedalaman dijamin selama tidak merugikan kepentingan negara dan mengganggu keamanan/ketertiban. Undang-Undang No. 6 Tahun 1996 Undang-Undang No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia dikeluarkan sebagai pengganti Perpu No. 4 tahun 1960 yang sudah tidak sesuai lagi dengan UNCLOS 1982. Dalam UU No. 6 tahun 1996 tentang Perairan Indonesia, Bab I Ketentuan Umum pada Pasal 1 telah diberikan berbagai pengertian mengenai hal-hal yang terkait dengan kegiatan penentuan batas wilayah laut, seperti pengertian mengenai: negara kepulauan, pulau, kepulauan, garis air rendah. teluk, dan alur laut. Pasal 10 ayat 1 mengatur penetapan batas laut teritorial apabila terdapat pantai Indonesia yang letaknya berhadapan atau berdampingan dengan negara lain, maka garis batas dengan negara tersebut adalah garis tengah yang titik-titiknya sama jaraknya dari titiktitik terdekat pada garis pangkal. Ayat 2 menyatakan ketentuan pada ayat 1, tidak berlaku apabila terdapat alasan hak historis atau keadaan khusus lain yang menyebabkan perlunya menetapkan batas laut menurut cara yang berbeda dengan ketentuan tersebut. Peraturan Pemerintah (PP) No. 38 Tahun 2002 Peraturan Pemerintah (PP) tentang daftar koordinat geografis titik-titik garis pangkal kepulauan Indonesia diperlukan untuk menggambarkan batas-batas wilayah perairan Indonesia. Dalam PP No. 38 ini, untuk menentukan koordinat geografis dari titik-titik terluar garis pangkal guna menetapkan lebar laut teritorial didasarkan pada ketentuan Pasal 3, 4, 5, 6, 7 dan Pasal 8. PEMBAHASAN Pemerintah Indonesia dan Malaysia dalam berbagai pertemuan saling mempertegas komitmen bahwa masalah Ambalat harus diselesaikan dengan persuasif dan damai. Statement kedua belah pihak dapat ditinjau dari beberapa sudut pandang antara lain ; Hukum Laut Internasional Hukum Laut Internasional bertujuan untuk menciptakan suatu sistem hukum yang teratur mengenai hubungan internasional antara negara-negara yang didasarkan prinsip keadilan dan dijalankan secara universal. a. Klaim Batas Laut Bangsa Eropa Klaim batas laut bangsa Eropa bermula dari jatuhnya Konstantinopel (Istambul) ke tangan Turki 1453, memaksa bangsa-bangsa Eropa menemukan jalan lain ke Timur misalnya Portugis sampai di kepulauan Maluku melalui Samudera

105 Atlantik, Tanjung Harapan dan India yang mengklaim seluruh samudera yang dilaluinya sebagai miliknya. Demikian pula Spanyol yang juga sampai ke Maluku, melalui Samudera Pasifik menuntut samudera itu miliknya. Klaim Portugis dan Spanyol itu disetujui oleh Paus Alexander VI tahun 1493 dan dikukuhkan dengan perjanjian Tordesillas 1494 (Kusumaatmadja 1986, dalam PUSPICS 2001). Sementara itu negara-negara Eropa lainnya seperti Denmark dan Inggris juga menuntut laut di sekitar negaranya sebagai miliknya, klaim domini moris oleh Denmark atas laut Baltik dan laut Utara Norwegia dan Inggris atas wilayah di sekitarnya (mare anglicanum). Klaim tersebut memancing reaksi keras Belanda. b. Konvensi PBB Tentang Hukum Laut Tahun 1982 Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa telah berhasil mewujudkan hukum laut internasional melalui United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS 1982) yang telah ditandatangani oleh 117 negara peserta termasuk Indonesia di Montego Bay, Jamaica pada tanggal 10 Desember 1982 dan telah diratifikasi oleh Republik Indonesia dengan UU No. 17 tahun 1985. Dibandingkan dengan Konvensi Jenewa 1958, UNCLOS 1982 mengatur rezim-rezim hukum laut lengkap dan satu sama lain tidak dapat dipisahpisahkan, antara lain: Laut Teritorial (Territorial Sea), Zona Tambahan (Contiguous Zone),Zona Ekonomi Eksklusif (Exclusive Economic Zone), Laut Lepas (High Seas) dan Landas Kontinen (Continental Shelf). Implementasi ketentuanketentuan Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS 1982) yang bertalian ketentuan-ketentuan penarikan garis pangkal (base line) untuk menentukan batas maritim antara lain : a. Garis Pangkal Normal (Normal Baseline). Pasal 5 menyatakan bahwa garis pangkal normal untuk mengukur lebar laut teritorial adalah garis air rendah sepanjang pantai atau garis yang berimpit dengan garis pantai yang dinyatakan pada peta resmi skala besar dari negara pantai tersebut. b. Garis Pangkal Lurus (Straight Baseline). Pasal 7 ayat 1 menyatakan bahwa di tempattempat dimana garis pantai menjorok jauh ke dalam dan menikung ke dalam atau jika terdapat suatu deretan pulau sepanjang pantai di dekatnya, cara penarikan garis pangkal lurus yang menghubungkan titik-titik yang tepat dapat digunakan dalam menarik garis pangkal dari mana lebar laut teritorial diukur. c. Garis Lurus (Straight line) Penutupan Sungai. Pasal 9 menyatakan apabila suatu sungai mengalir langsung ke laut, garis pangkal adalah suatu garis lurus (straight line) melintasi muara sungai antara titik-titik pada garis air rendah ke dua tepi sungai. d. Garis Penutup (Closing Line) Teluk. Pasal 10 ayat 2 menyatakan suatu teluk adalah suatu lekukan yang

106 jelas lekukannya berbanding sedemikian rupa dengan lebar mulutnya sehingga mengandung perairan yang tertutup dan yang bentuknya lebih dari sekedar suatu lekukan pantai semata-mata. e. Garis Pangkal Kepulauan (Archipelagic Baseline). Pasal 47 ayat 1, menyatakan bahwa negara kepulauan dapat menarik garis pangkal lurus kepulauan yang menghubungkan titik-titik terluar pulau-pulau dan karang kering terluar dari kepulauan itu. Pasal 47 ayat 2, menyatakan bahwa panjang garis pangkal tidak boleh melebihi 100 mil laut, kecuali bahwa hingga 3% dari seluruh garis pangkal yang mengelilingi setiap kepulauan dapat melebihi kepanjangan tersebut hingga maksimum 125 mil laut. Metode Penentuan Batas Maritim Metode penentuan batas maritim, disusun berdasarkan pendekatan, pola pikir perencanaan, gambaran keberadaan peraturanperaturan yang berkaitan dengan pengelolaan batas maritim dihubungkan dengan kepentingan pembangunan nasional dan dengan tetap memperhatikan Hukum Laut Nasional dan Internasional. a. Pengukuran kedalaman (Batimetri) Pemetaan batimetri merupakan hasil kegiatan pengumpulan data melalui metode penginderaan atau rekaman dari permukaan dasar perairan. Data tersebut kemudian diolah (processing) untuk menghasilkan profil-profil (relief) dasar laut dengan jumlah yang cukup banyak sehingga dapat digambarkan kontur garis-garis kedalaman (Ingham 1975 dala m Dedeo 1995). b. Penentuan Garis Pantai Secara umum bentuk garis pantai ada dua macam, yaitu emerged shore line (garis tepi naik) dan submerged shoreline (garis tepi turun). Emerged shore line adalah garis tepi yang mengalami penaikan disebabkan adanya daratan yang naik, biasanya garis tepi naik ini mempunyai bentuk yang lurus dan datar sedangkan submerged shore line adalah garis tepi yang mengalami penurunan disebabkan adanya daratan yang turun dan biasanya mempunyai bentuk tidak lurus. Apabila ditinjau dari garis pantai (coastline) suatu wilayah pesisir mempunyai dua macam batas (boundaries}, yaitu: batas yang sejajar dengan pantai (long-shore) dan batas yang tegak lurus dengan pantai (crossshore). Penentuan batas-batas wilayah pesisir yang sejajar dengan pantai relatif lebih mudah dibandingkan dengan penentuan batas-batas wilayah pesisir yang tegak lurus pantai, namun demikian keduanya dalam pelaksanaannya memerlukan penelitian yang lengkap, akurat dan teliti (Dahuri et.al 1996). c. Pengamatan Pasang Surut (Pasut) Pasang surut pada umumnya dikaitkan dengan proses naik turunnya paras laut (sea level) secara berkala yang ditimbulkan oleh adanya gaya tarik dari benda-benda angkasa,

107 terutama matahari dan bulan terhadap massa air di bumi. Sejak pertengahan abad ke-17, mulai muncul teori-teori yang secara ilmiah menerangkan gejala pasut, antara lain: pengamatan pasut dapat dilakukan satu bulari (29 piantan), satu tahun sampai periode 18.61 tahun yang merupakan satu periode nutasi dari sumbu putar bumi. Pada tahun 1928, Doodson mengenalkan metode yang amat praktis untuk analisa pasut dari pengamatan 15 atau 29 hari, yang kemudian dikenal dengan Admiralty Method of Analysis of Tides ( Mihardja et. al 1994). Penentuan Kedudukan Garis Pantai Pengertian garis pantai lazim digunakan dalam pemetaan, kedudukan garis pantai menurut peta laut adalah pertemuan garis air tinggi dengan daratan, sedang garis pantai yang digunakan untuk pemetaan darat (topografi) merupakan pertemuan garis air rata-rata (MSL) dengan daratan dan garis pantai pada peta navigasi merupakan pertemuan air rendah dengan daratan (SP. No. 51 IHO 1993-TALOS). Berdasarkan ketentuan di atas, kedudukan garis pantai menggunakan batas air rendah (chan datum) merupakan acuan. Metode ini dalam UNCLOS 1982 disebut low water line, dalam UU No. 6 Tahun 1996. Metode Penentuan Garis Air Rendah Pantai Penentuan posisi garis air rendah sejajar pantai dilakukan secara grafis dari data hasil pengukuran kedalaman (batimetri) atau Peta laut skala besar pada kontur kedalaman nol (garis air rendah sepanjang pantai). Apabila kontur nol tidak diperoleh, maka garis air rendah diidentikkan dengan garis pantai bentukan alamiah seperti karang terjal, batuan maupun garis pantai dari bangunan misalnya dermaga, break water dan lainnya. Penentuan Titik Dasar Setelah posisi garis air rendah didapat, selanjutnya posisi dari koordinat titik dasar ditentukan pada garis air rendah sepanjang pantai. Titik Dasar diikat posisinya dari hasil pengukuran geodetik titik acuan secara deferensial dan dihitung arah atau azimuthnya dan jarak terhadap titik acuan. Penentuan Garis Pangkal Dari posisi dan koordinat titik dasar yang sudah ditentukan tersebut selanjutnya dilaksanakan penarikan garis pangkal yang menghubungkan antara titik dasar yang satu dengan yang lain, jarak maksimum garis pangkal adalah 125 mil dan akan membuat poligon melalui titik-titik dasar tersebut. Penarikan Garis pangkal (Base Line) Penarikan garis pangkal diperoleh dengan cara menarik titiktitik dasar pada kedalaman nol meter sepanjang pantai yang tergambar pada lembar lukis teliti (LLT) survei batimetri atau ditentukan dari kontur nol pada peta laut skala besar (1:10.000 s/d 1:50.000).

108 Ketentuan pasal-pasal dalam UNCLOS 1982 yang digunakan sebagai dasar penarikan garis pangkal (base line} dalam penentuan batas Maritim suatu negara, antara lain : Garis Pangkat Normal (Normal Baseline) Garis pangkal normal untuk mengukur lebar laut teritorial adalah garis air rendah sepanjang pantai atau garis antara yang berimpit dengan garis pantai yang dinyatakan pada peta resmi skala besar dari negara pantai tersebut (Pasal 5). Batas Maritim RI Dengan Negara Sebagai negara kepulauan, Indonesia mempunyai batas maritim dengan 10 (sepuluh) negara tetangga, yaitu Malaysia, Singapura, Thailand, India, Filipina, Vietnam, Papua Nugini, Australia, Palau, dan Timor Leste. Penetapan batas maritim dilakukan untuk penegakkan kedaulatan dan hukum di wilayah yurisdiksi Indonesia di laut, pengelolaan sumber daya alam dan pengembangan ekonomi kelautan. Penetapan batas-batas maritim tersebut dilakukan berdasarkan ketentuan hukum laut internasional dan pada saat ini menggunakan UNCLOS 1982 yang telah diratifikasi pemerintah RI melalui UU No. 17 Tahun 1985. Implementasinya antara lain diperlukannya pengelolaan terhadap batas maritim, dimana meliputi batas laut yang langsung berbatasan dengan negara tetangga dan batas laut dengan laut bebas. Batas-batas maritim republik Indonesia dengan negara tetangga meliputi: Batas Laut Teritorial (Territorial Sea) Batas Zone Tambahan (Contiguous Zone) Batas Perairan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Batas Landas Kontinen (Continental Shelf) Sampai saat ini penetapan batas maritim RI dengan negaranegara tetangga belum selesai secara keseluruhan, hal ini menimbulkan permasalahan-permasalahan perbatasan dengan negara tetangga. Dalam makalah ini diuraikan tentang batas-batas maritim yang sudah ada disertai dengan permasalahan yang timbul dalam pelaksanaannya. Garis Batas Laut Wilayah RI - Malaysia. Roda diplomasi untuk menyelesaikan selisih pandangan soal Pulau Ambalat terus bergulir. Pucuk pimpinan kedua negara terus memperbanyak frekuensi pertemuan dialog untuk menyelesaikan perbatasan kedua belah pihak diantaranya dengan Ambalat. Batas maritim dengan Malaysia meliputi batas laut wilayah dan batas landas kontinen. a. Garis batas laut wilayah terletak di Selat Malaka antara Indonesia dan Malaysia, terutama pada bagian yang sempit, sebagai implementasi dari penentuan batas wilayah laut masing-masing negara sejauh 12 mil laut yang

109 diukur dari garis pangkal dan sesuai dengan Konvensi Hukum Laut Internasional 1982. Kesepakatan ini disetujui oleh kedua negara pada tanggal 17 Maret 1970 di Kuala Lumpur. b. Garis batas landas kontinen antara Indonesia dan Malaysia terletak di Selat Malaka, Laut Cina Selatan disebelah Timur Malaysia Barat dan Laut Cina Selatan bagian Timur di lepas pantai Sarawak, ditanda-tangani pada tanggal 27 Oktober 1969 di Kuala Lumpur. MoU ini merugikan Indonesia karena Malaysia menetapkan pulau Jara dan pulau Perak sebagai titik dasar untuk penarikan garis pangkalnya sehingga median line untuk batas landas kontinen kedua negara cenderung ke arah perairan Indonesia. Garis Batas Laut RI - Singapura Garis batas laut wilayah antara Indonesia dan Singapura di Selat Singapura disetujui di Jakarta pada tanggal 25 Mei 1973 berdasarkan prinsip sama jarak antara dua pulau yang berdekatan karena lebar laut antara kedua negara kurang dari 15 mil laut. Perjanjian di atas belum termasuk wilayah yang jaraknya 18 mil lain utara pulau Karimun besar dan 28,8 mil laut utara pulau Bintan yang belum mempunyai perjanjian batas laut karena merupakan wilayah perbatasan tiga negara yakni Indonesia, Singapura dan Malaysia. Negara Singapura gencar melakukan reklamasi pantainya sehingga garis pantainya berubah. Hal ini akan menyulitkan dikemudian hari bagi Indonesia di dalam menetapkan batas wilayah perairan kedua negara yang belum ditentukan, dimana Singapura akan mengklaim batas lautnya berdasarkan garis pangkal yang baru karena garis pangkal yang lama sudah tidak dapat diidentifikasi lagi. Singapura juga bisa menggunakan Pasal 11 UNCLOS 1982 yang menyatakan bahwa untuk penetapan batas laut teritorial, instalasi pelabuhan permanen yang terluar yang merupakan bagian integral dari sistem pelabuhan dianggap sebagai garis pantai, untuk mengklaim batas lautnya. Garis Batas Landas Kontinen Rl - Thailand Di bagian Utara Selat Malaka sudah dilakukan perjanjian batas landas kontinen (LK) antara Indonesia dan Thailand, yaitu : a. Perjanjian LK terdiri dari titik 1 dan 2, ditandatangani di Bangkok 17 Desember 1971 dan diratifikasi Keppres No. 21 Tahun 1972 b. Perjanjian LK terdiri dari titik A dan L, ditandatangani di Jakarta 11 Desember 1975 dan diratifikasi Keppres No. 1 Tahun 1977 tanggal 31 Januari 1977 c. Perjanjian LK terdiri tiga negara Rl - Thailand - Malaysia, dari titik 1 s/d 7, ditandatangani di Kuala Lumpur 21 Desember 1972 dan diratifikasi Keppres No. 20 Tahun 1972 tanggal 11 Maret 1972.

110 Garis Batas Landas Kontinen Indonesia-India Garis batas landas kontinen antara Indonesia dan India terletak di laut Andaman, Samudera Hindia, perairan Sumatera dan pulau Nicobar Besar. a. Perjanjian ditandatangani di Jakarta pada tanggal 8 Agustus 1974 dan diratifikasi dengan Keppres No. 51 tahun 1974 tanggal 25 September 1974, terdiri dari 4 titik koordinat (titik 1-4). b. Perjanjian ditandatangani di New Delhi pada tanggal 14 Januari 1977 dan diratifikasi dengan Keppres No. 26 Tahun 1977 tanggal 4 April 1977, terdiri dari 9 titik koordinat (4 titik di laut Andaman dan 5 titik di Samudera Hindia), merupakan perpanjangan garis batas landas kontinen tahun 1974. Garis Batas Landas Kontinen Indonesia-India-Thailand Garis batas maritim Indonesia- India-Thailand tentang penetapan garis batas tiga negara ini terletak di laut Andaman disetujui pada tanggal 22 Juni 1978 di New Delhi dan diratifikasi dengan Keppres No. 24 Tahun 1978 tanggal 16 Agustus 1978. Batas Maritim Indonesia-Australia Perairan antara Indonesia dan Australia merupakan daerah yang sangat luas terbentang lebih dari 2100 mil laut dari selat Torres sampai perairan pulau Christmas. Perjanjian perbatasan maritim antara Indonesia dan Australia yang telah ditentukan, menjadi menarik untuk dipelajari perkembangannya, karena perjanjian tersebut dilaksanakan baik sebelum berlakunya UNCLOS 1982 (menggunakan konvensi Genewa 1958) maupun sesudahnya. Secara garis besar perjanjian batas maritim Indonesia-Australia dibagi menjadi menjadi 3 (tiga) bagian, yaitu : a. Perjanjian Garis Batas Landas Kontinen ditandatangani di Canberra pada tanggal 18 Mei 1971 dan diratifikasi dengan Keppres No. 42 Tahun 1971, terdiri dari 16 titik koordinat yaitu: Laut Arafura (titik Al - A12), Perairan Selatan pantai selatan Papua (titik B1 -B2) dan Perairan Utara pantai Utara Papua (titik Cl - C2). b. Sebagai tambahan dan kelanjutan dilakukan perjanjian perbatasan pada tanggal 9 Oktober 1972 dan diratifikasi dengan Keppres No. 66 Tahun 1972 tanggal 4 Desember 1972, terdiri dari: Perbatasan di Selatan Kep. Tanimbar pada laut Arafura (A13 - A16) dan Selatan Pulau Roti dan Pulau Timor (A17- A25). c. Perjanjian perbatasan maritim tanggal 16 Maret 1997 yang meliputi ZEE dan Batas Landas Kontinen Indonesia-Australia dari perairan Selatan Jawa, termasuk perbatasan maritim di Pulau Ashmore dan Pulau Christmas. Batas Maritim Indonesia-Vietnam Perundingan penetapan batas landas kontinen antara RI-Vietnam telah dilakukan sejak Juni 1978 dan merupakan salah satu perundingan

111 yang cukup alot dalam pengalaman perundingan perbatasan. Upaya yang ditempuh lewat 11 kali putaran perundingan formal serta 20 kali konsultasi dan perundingan informal diantara pejabat tingkat teknis kedua negara. Perundingan terakhir tim teknis batas landas kontinen dilaksanakan pada tanggal 10-13 Maret 2003 di Ho Chi Minh Vietnam. Setelah melalui perundingan yang sangat intensif, dengan berdasarkan kepada hasil-hasil yang telah dicapai sebelumnya, Indonesia dan Vietnam sepakat menandatangani Garis Batas Landas Kontinen di Hanoi, Vietnam tanggal 26 Juni 2003. Batas Maritim Indonesia-Philipina Perundingan RI-Philipina telah berkali-kali dilaksanakan khususnya balas maritim di laut Sulawesi dan Selatan Mindanao sejak 1973, perundingan RI-Philipina sudah mencapai kemajuan yang cukup baik setelah kedua Negara secara periodik bertemu dalam Joint Permanent Working Group Meeting on Maritime and Oceans Concerns dan perundingan terakhir dilaksanakan di Jakarta tanggal 2-6 September 2004. Dalam perundingan permaalahan keberadaan pulau Miangas sudah tidak dipermasalahkan lagi. Philipina berdasarkan Treaty of Paris tahun 1898, menggambarkan wilayah maritim Philipina dalam bentuk kotak dengan memasukkan Pulau Miangas ke dalam wilayah Philipina, metode ini tidak sesuai dengan prinsip UNCLOS 1982. Batas Maritim Indonesia-Palau Palau adalah negara kepulauan dan terletak di timur laut Indonesia. Penarikan zona perikanan yang diperluas 200 mil laut sesuai rezim ZEE oleh Palau akan tumpang tindih dengan ZEE Indonesia, sehingga perlu adanya perundingan garis batas ZEE kedua negara. Batas Maritim Indonesia-Papua New Guinea (PNG) Perjanjian Garis-garis Batas Tertentu RI - PNG ditandatangani di Jakarta pada tanggal 12 Februari 1973 dan diratifikasi melalui UU No. 6 Tahun 1973 tanggal 8 Desember 1973, antara lain: a. Mengatur penetapan batas Dam Cise sebelah Utara dan Selatan Sungai Fly berdasarkan prinsip Thalweg (alur pelayaran) sebagai batas alamiah berdasarkan perjanjian yang dibuat pemerintah Kolonial Belanda dan Inggris di kawasan tersebut. b. Menetapkan Garis Batas Laut Wilayah di Selatan Irian Jaya c. Menetapkan Garis Batas Dasar Laut (Landas Kontinen) di Selatan Irian Jaya. Persetujuan Batas Maritim dan Kerjasama dengan PNG ditandatangani di Jakarta dan telah diratifikasi dengan Keppres No. 21 Tahun 1982. Batas Maritim Indonesia-Timor Leste Sejak Timor-Timur (sekarang Timor Leste) merdeka dari wilayah NKRI 1997 terus berbenah diri dari aspek hukum lautnya. Indonesia

112 mempunyai batas darat dan batas maritim dengan Timor Leste yang sampai sekarang perundingannya belum selesai. Perundingan yang telah dilaksanakan yaitu first meeting joint border committee antara pemerintah RI dengan Timor Leste pada tanggal 18 dan 19 Desember 2002 di Jakarta. Pada tahap awal akan dilaksanakan penentuan batas darat berupa delintasi dan demarkasi, selanjutnya akan dilanjutkan dengan perundingan penentuan batas maritim. Perundingan Joint Border Committee kedua telah disepakati diselenggarakan pada bulan Juli 2003 di Dilli. Dengan lepasnya Timor Leste dari Indonesia, maka perlu dilakukan beberapa kajian tentang batas maritime, antara lain. a. Perubahan Titik Dasar (TD) baru di pulau-pulau sebelah Utara Timor Leste, karena 5 TD yang berada di Selatan Pantai Timor Leste sudah tidak berlaku lagi. b. Batas Oikussi sebagai wilayah Timor Leste yang terpisah geografis perlu ditentukan batas wilayah lautnya. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Beberapa hal yang perlu mendapat perhatian berkenaan dengan penentuan batas maritim, bahwa pada dasarnya Indonesia telah cukup mengadopsi ketentuanketentuan konvensi hukum laut internasional dalam peraturan perundang-undangan nasional yang mengatur perairannya, akan tetapi perlu adanya pengkajian lebih mendalam berkaitan dengan isu perbatasan yang saat ini terjadi. Perhatian lain yang perlu mendapat prioritas dimasa yang akan datang adalah pembuatan peta batas maritim yang merupakan bagian dari peta batas yuridiksi nasional Indonesia, agar seluruh lapisan masyarakat dapat mengetahui dengan pasti batas wilayah kedaulatan Republik Indonesia. Berdasarkan kesimpulan di atas dapat lebih dipertajam lagi sehingga tidak menimbulkan permasalahan di masa datang yaitu ; 1. Batas-batas maritim harus kongkrit dan mengacu pada United Nations Convention On The Law Of The Sea (UNCLOS) tahun 1982. 2. Kasus Ambalat sebagai salah satu contoh perebutan perbatasan Republik Indonesia dan Malaysia dapat diselesaikan dengan Good Neighbur Policy atau berdasarkan kebijaksanaan bertetangga yang baik, artinya sengketa perbatasan dapat diselesaikan sesuai dengan semangat Dasasila Bandung dan Piagam PBB. Saran Sesuai dengan misi Good Neighbur Policy bahwa hidup bernegara dan bertetangga hendaknya: 1. Segala perselisihan (batas -batas maritim) dapat diselesaikan dengan jalan perundingan, musyawarah yang diilhami jiwa / semangat Dasasila Bandung.

113 2. Batas antara kedua negara khususnya (RI dan Malaysia) maupuan dengan negara tetangga pada umumnya dapat diselesaikan dengan rujukan UNCLOS 1982. DAFTAR PUSTAKA Dishidros TNI AL. 2000. Batas-Batas Maritim RI dengan Negara Tetangga, Jakarta. Djaja, R. 1987. Pengamatan Pasang Surut Laut Untuk Penentuan dalam Ketinggian. Makalah Seminar Sehari Asean-Australia Cooperative Programs on Marine Science. LIPI, Jakarta. Djoko Nugroho, Haris. 2003. Kajian Kedudukan Garis Pantai untuk Penentuan Batas Wilayah Laut Provinsi, Kabupaten dan Kota Menurut UU. No. 22 Tahun 1999 (Studi Ka sus: Provinsi DKI Jakarta). IPB, Bogor. Ello, P. 1998. Kemampuan Survei dan Pemetaan Hidro-Oseanografi Dalam Mendukung Pembangunan Kelautan Nasional. Jakarta: Dishidros. Hamzah, A. 1984. Laul Teritorial dan Perairan Indonesia, Jakarta: Akademika Presindo. International Hydrographic Organization Special Publications No. 51, 1993. A Manual On Technical Aspects of the United Nations Convention On the Law of the Sea-1982. International Hydrographic Bureau, Monaco. International Hydrographic Organization Special Publications No. 44, 1987. Standards For Hydrographic Surveys. International Hydrographic, Monaco. Joko P. Subagyo, 2002, Hukum Laut Indonesia, Jakarta. Rineka Cipta Mihardja, D.K., M. Ali, dan S. Hadi. 1994. Pasang Surut. Bandung; Institut Teknologi Bandung. Mihardja, D.K. dan R. Setiadi. 1987. Analisis Pasang Surut di daerah Cilacap dan Surabaya. Makalah Seminar Sehari. LIPI. Jakarta. Mochtar Kusumaatmadja, 1999, Pengantar Hukum Internasional, Jakarta, Putra A. Bardin, Ettyr Agoes, 2003, Pengantar Hukum Internasional, Bandung, PT. Alumni Mochtar Kusumaatmadja, 1978, Hukum Laut Internasional, Bandung, Binacipta, 1995, Masalah Lebar Laut Territorial Pada Konferensi- Konferensi Hukum Laut Djenewa, Bandung, Pusat Studi Wawasan Nusantara, Hukum, dan Pembangunan.

114 Wayan, I Parthiana, 2005, Landas Kontinen Dalam Hukum Laut Internasional, Bandung, Mandar Maju. Department of Commerce U.S.A., 1986. Geodetic Glossary. National Geodetic Survey, Rockville, MD. RI (Republik Indonesia). 1996. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan. Lembaran Negara Tahun 1996 No. 3647. Sekretariat Negara. Jakarta. RI (Republik Indonesia). 1985. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hukum Laut (UNCLOS 1982). Sekretariat Negara. Jakarta.