BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tindak pidana Narkotika merupakan tindak pidana khusus karena tidak

dokumen-dokumen yang mirip
PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN PENGGOLONGAN NARKOTIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB II PENGATURAN HUKUM MENGENAI TINDAK PIDANA NARKOTIKA. 2.1 Pengaturan Hukum tentang Tindak Pidana Narkotika dalam Undang- Undang Nomor 9 Tahun 1976

BAB VII ZAT ADIKTIF DAN PSIKOTROPIKA

BAB I PENDAHULUAN. Adanya ketidakseimbangan antara perlindungan korban kejahatan dengan pelaku

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAHAYA NARKOTIKA. Direktorat Diseminasi Informasi, Deputi Bidang Pencegahan Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia Jakarta, 2012

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Peredaran narkotika semakin mengkhawatirkan di Indonesia karena

REHABILITASI MEDIS DAN SOSIAL TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA. (STUDI KASUS PUTUSAN NOMOR 22/PID.B/2014/PN.

PERATURAN BERSAMA KEPALA BADAN NARKOTIKA NASIONAL REPUBLIK INDONESIA TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Permasalahan mengenai penggunaan Narkotika semakin hari

BAB I PENDAHULUAN. hukum seperti telah diatur dalam Pasal 12 Undang-Undang No. 35 Tahun

I. PENDAHULUAN. kita mengetahui yang banyak menggunakan narkoba adalah kalangan generasi muda

I. PENDAHULUAN. pengobatan dan pelayanan kesehatan. Namun, dengan semakin berkembangnya zaman, narkotika

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN KEPALA BADAN NARKOTIKA NASIONAL NOMOR 11 TAHUN 2014 TENTANG

DAFTAR NARKOTIKA GOLONGAN I

BAB III PEMIDANAAN ORANG TUA ATAU WALI DARI PECANDU NARKOTIKA DI BAWAH UMUR MENURUT UU NO. 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN. sebanyak orang dan WNA sebanyak 127 orang 1.

PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA DITINJAU DARI UNDANG- UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009

PENYALAHGUNAAN NARKOBA DI KALANGAN REMAJA Oleh: Bintara Sura Priambada, S.Sos, M.H Dosen Fakultas Hukum Universitas Surakarta

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PENDAHULUAN. penyalahgunaan, tetapi juga berdampak sosial, ekonomi dan keamanan nasional,

BAB I PENDAHULUAN. dalam kesatuan langkah menuju tercapainya tujuan pembangunan tersebut.

BAB II PENGATURAN TERHADAP PERLINDUNGAN HUKUM PECANDU NARKOTIKA. Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtstaat) dan

KEBIJAKAN NARKOTIKA, PECANDU DALAM SISTEM HUKUM DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

BAB I PENDAHULUAN. penyakit kronik (sulit disembuhkan) yang berulang kali kambuh yang hingga

BAB I PENDAHULUAN. nasional, tetapi sekarang sudah menjadi masalah global (dunia). Pada era

BAB II PENGATURAN HUKUM TINDAK PIDANA NARKOTIKA

BAB I PENDAHULUAN. berinteraksi dengan masyarakat secara wajar. Istilah narkoba muncul sekitar

BAB III PERTANGGUNGJAWABAN HUKUM BAGI PENGEDAR DAN PENYALAH GUNA MAGIC MUSHROOM. 3.1 Pertanggungjawaban Hukum Bagi Pengedar Magic Mushroom

BAB III PENERAPAN REHABILITASI BAGI PECANDU NARKOTIKA DAN KORBAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA. 3.1 Penempatan Rehabilitasi Melalui Proses Peradilan

PELAKSANAAN TUGAS INSTITUSI PENERIMA WAJIB LAPOR DI PUSKESMAS PERKOTAAN RASIMAH AHMAD BUKITTINGGI

BAB I PENDAHULUAN. yang berkaitan dengan modus-modus kejahatan.

BAB I PENDAHULUAN. peradilan negara yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk mengadili

NARKOTIKA BERBAHAYA BAGI KESEHATAN

BAB I PENDAHULUAN. kejahatan yang bersifat trans-nasional yang sudah melewati batas-batas negara,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

TINJAUAN PUSTAKA. Upaya penanggulangan tindak pidana dikenal dengan istilah kebijakan kriminal

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembangunan nasional Indonesia bertujuan mewujudkan manusia

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

persepsi atau mengakibatkan halusinasi 1. Penggunaan dalam dosis yang 2

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan dan kemajuan teknologi. Adanya perkembangan dan kemajuan

Reni Jayanti B ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Narkotika diperlukan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Indonesia adalah negara berdasarkan UUD 1945 sebagai konstitusi

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang,

BAB II PERBEDAAN PUTUSAN REHABILITASI DAN PUTUSAN PIDANA PENJARA DALAM TINDAK PIDANA NARKOTIKA

I. PENDAHULUAN. kaya, tua, muda, dan bahkan anak-anak. Saat ini penyalahgunaan narkotika tidak

I. PENDAHULUAN. Permasalahan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba (narkotika,

BAB I PENDAHULUAN. atau kesulitan lainnya dan sampai kepada kematian tahun). Data ini menyatakan bahwa penduduk dunia menggunakan

BAB II LANDASAN TEORI

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA

I. PENDAHULUAN. mengisi kemerdekaan dengan berpedoman pada tujuan bangsa yakni menciptakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Peredaran gelap narkotika di Indonesia menunjukkan adanya

BAB V PENUTUP. unsur-unsurnya adalah sebagai berikut : dapat diminta pertanggung jawaban atas perbuatannya.

BAB I PENDAHULUAN. ketergantungan bagi penggunanya dimana kecenderung akan selalu

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2013 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA

BAB V PENUTUP. Penyalahguna magic mushroom dapat dikualifikasikan sebagai. golongan I sebagaimana dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009

BAB I PENDAHULUAN. mengancam hampir semua sendi kehidupan masyarakat, bangsa dan Negara. Masalah

PELAKSANAAN SISTEM PEMIDAAN MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. manusia dalam pergaulan di tengah kehidupan masyarakat dan demi kepentingan

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi

BAB I PENDAHULUAN. bermanfaat bagi pengobatan, tetapi jika dikonsumsi secara berlebihan atau tidak. rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan.

NOMOR 8 TAHUN 2015 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN PENYALAHGUNAAN DAN PEREDARAN GELAP NARKOBA (P4GN) DI KABUPATEN BANYUWANGI

Aspek Medikologal LSD JENIS-JENIS NARKOTIKA DAN PSIKOTROPIKA (NAPZA/NARKOBA)

BAB III PERKEMBANGAN PENGATURAN TENTANG TINDAK PIDANA NARKOTIKA DAN PSIKOTROPIKA SEBELUM LAHIRNYA DAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009

BAB I PENAHULUAN. A. Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA. perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan

I. PENDAHULUAN. Pemerintah Indonesia sekarang ini melaksanakan pembaharuan hukum pidana.

UPAYA PENEGAKAN HUKUM NARKOTIKA DI INDONESIA Oleh Putri Maha Dewi, S.H., M.H Dosen Fakultas Hukum Universitas Surakarta

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG BADAN NARKOTIKA NASIONAL PROVINSI, NARKOTIKA DAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA

BAB I PENDAHULUAN. keberadaannya menjadi ancaman bagi kelangsungan hidup masyarakat karena

I. PENDAHULUAN. Narkotika selain berpengaruh pada fisik dan psikis pengguna, juga berdampak

PERATURAN KEPALA BADAN NARKOTIKA NASIONAL NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG

I. PENDAHULUAN. Pemberantasan penyalahgunaan narkotika merupakan masalah yang sangat penting,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Penyalahgunaan narkotika pada akhir-akhir tahun ini dirasakan

I. PENDAHULUAN. untuk didapat, melainkan barang yang amat mudah didapat karena kebutuhan

2013, No.96 2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari ta

2017, No d. bahwa untuk belum adanya keseragaman terhadap penyelenggaraan rehabilitasi, maka perlu adanya pengaturan tentang standar pelayanan

BAB I PENDAHULUAN. Pembukaan Undang-Undang Dasar tahun 1945 yaitu melindungi segenap

BAB I PENDAHULUAN. dalam proses pembiusan sebelum pasien dioperasi. Seiring dengan perkembangan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. gerak atau kekuatan yang dimiliki sekumpulan orang dalam masyarakat yang

BUPATI JEMBER SALINAN PERATURAN BUPATI JEMBER NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG

I. PENDAHULUAN. segala bidanng ekonomi, kesehatan dan hukum.

BAB I PENDAHULUAN. Pertama kalinya konferensi tentang psikotropika dilaksanakan oleh The United

BAB I PENDAHULUAN. legal apabila digunakan untuk tujuan yang positif. Namun

I. PENDAHULUAN. anak-anak yang kurang perhatian orang tua, dan begitu beragamnya kegiatan yang

BAB I PENDAHULUAN. pada pembinaan kesehatan (Shaping the health of the nation), yaitu upaya kesehatan

A. Latar Belakang Masalah

Bab I. Pendahuluan. 1.1 Latar Belakang. Perancangan Interior Panti Rehabilitasi Penyalahgunaan Narkoba

BAB III PENUTUP. penulisan hukum/skripsi ini, yaitu ; menanggulangi peredaran gelap narkotika adalah: a. Upaya yang dilakukan oleh Polda DIY yaitu:

BAB I PENDAHULUAN. Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945

BAB I PENDAHULUAN. terbendung lagi, maka ancaman dahsyat semakin mendekat 1. Peredaran

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menurut Barda Nawawi Arief, pembaharuan hukum pidana tidak

Oleh : Slamet Pribadi

SAY NO TO DRUGS Nama : Nanda Abilla Aryaguna Nim : Prodi Akuntansi

Tulisan Diterima: 3 Agustus 2017; Direvisi: 28 September 2017; Disetujui Diterbitkan: 17 Oktober Abstrak

Zat Adiktif dan Psikotropika

Transkripsi:

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tindak pidana Narkotika merupakan tindak pidana khusus karena tidak menggunakan KUHPidana sebagai dasar pengaturan, akan tetapi menggunakan UU No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Narkotika secara etimologi berasal dari bahasa Yunani yang artinya kelenger merujuk sesuatu yang bisa membuat seseorang tak sadarkan diri (fly), sedangkan dalam bahasa Inggris lebih mengarah ke obat yang membuat penggunanya kecanduan. 4 Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009, pengertian narkotika adalah : zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dandapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan kedalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang ini. 5 Ketersediaan narkotika di satu sisi merupakan obat yang bermanfaat dibidang pengobatan atau pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan. Namun disisi lain menimbulkan ketergantungan yang sangat merugikan apabila disalahgunakan. Untuk melakukan pencegahan dan penyediaan narkotika demi kepentingan pengobatan dan pelayanan kesehatan, maka salah satu upaya pemerintah ialah dengan melakukan pengaturan secara hukum tentang 4 http://kerabatgalih.wordpress.com/2012/10/13/pengertian-narkoba/,diakses:30 September 2014, pukul 20.00 WIB. 5 Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. 1

2 pengedaran impor, ekspor, menanam, penggunaan narkotika secara terkendali dan dilakukan pengawasan yang ketat. 6 Istilah narkotika bukan lagi istilah asing bagi masyarakat Indonesia mengingat begitu banyaknya berita baik dari media cetak maupun elektronik yang memberikan tentang penggunaan narkotika dan bagaimana korban dari berbagai kalangan dan usia berjatuhan akibat pengggunaannya. 7 Dari fakta yang dapat disaksikan hampir setiap hari barang haram tersebut telah merebak kemana-mana tanpa pandang bulu, terutama diantara generasi muda yang sangat diharapkan menjadi generasi penerus bangsa dalam membangun negara dimasa mendatang. 8 Untuk mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika yang sangat merugikan dan membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara maka diperlukan perubahan pengaturan tentang narkotika. Untuk mengatur upaya pemberantasan terhadap tindak pidana narkotika yaitu melalui ancaman sanksi pidana berupa : pidana penjara, pidana seumur hidup, atau pidana mati. Disamping juga mengatur mengenai pemanfaatan narkotikajuga untuk mengatur kepentingan pengobatan dan kesehatan serta mengatur tentang rehabilitasi medis dan sosial. 9 Untuk lebih mengefektifkan pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika diatur mengenai penguatan kelembagaan yang sudah ada yaitu Badan Narkotika Nasional (BNN). BNN tersebut didasarkan pada Peraturan Presiden Nomor 83 6 Siswanto S, Politik Hukum Dalam Undang-Undang Narkotika (UU Nomor 35 tahun 2009), Rineka Cipta, Jakarta, 2012, hal 1. 7 AR. Sujono dan Bony Daniel, Komentar dan Pembahasan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hal 1. 8 Moh. Taufik Makarao, Suhasril dan Moh. Zakky, Tindak Pidana Narkotika, Ghalia Indonesia, Bogor, 2005, hal 1. 9 Siswanto S, Op. Cit, hal 1.

3 tahun 2007 tentang Badan Narkotika Nasional (BNN), Badan Narkotika Provinsi, Badan Narkotika Kabupaten/Kota. BNNtersebut merupakan lembaga non stukrural yang berkedudukan dibawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden, yang hanya mempunyai tugas dan fungsi melakukan koordinasi. Dalam undang-undang ini, BNN tersebut ditingkatkan menjadi lembaga pemerintah non kementerian (LPNK) dan diperkuat kewenangannya untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan. 10 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 diharapkan dapat membantu setiap penyalahgunaan narkotika di Indonesia bagaimana pun besar pemanfaatan narkotika, selain tujuan penelitian (ilmu pengetahuan) dan kesehatan, maka setiap penyimpangannya dapat dikategorikan sebagai tindak pidana kejahatan. Pada kenyataannya setelah berlakunya Undang-Undang narkotika ini, tindak pidana penyalahgunaan narkotika dan obat-obat terlarang yang lain tampaknya masih juga belum dapat ditekan secara maksimal, baik kualitas maupun kuantitas, dan ini merupakan tugas serta tanggung jawab semua pihak guna mengatasinya. Aparat penegak hukum mengalami kesulitan dalam mengatasi masalah penyalahgunaan narkotika. Di satu sisi masalah peredaran dan penyalahgunaan ini merupakan perbuatan terlarang dan sangat membahayakan bagi yang mengkonsumsinya. Disisi lain masih kurangnya aturan yang memadai untuk menjaring para pelaku (baik pengedar maupun pengguna). Sesuai dengan Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, para pengguna narkotika tidak semestinya dikenai sanksi hukuman penjara. Undang- 11 10 Ibid, hal 2. 11 http://www.bnn.go.id/portal/index.php/konten/detail/humas/pressrelease/11835/penandata nganan-peraturan-bersama-paradigma-penanganan-narkoba-lebih-humanis, diakses : 30 september 2014, pukul 20.15 WIB.

4 Undang tersebut secara jelas memperlakukan penyalahguna, pengedar dan penyalahguna yang merangkap pengedar narkotika secara berbeda. Para pengguna/pecandu atau korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan sosial. Bagi pengedar dan penyalahguna yang merangkap pengedar terancam pidana hingga hukuman mati. Atas dasar undang-undang tersebut, Badan Narkotika Nasional (BNN) mengusulkan dibentuknya tim penilai yang memeriksa dan menyimpulkan (asesmen) atas jenis hukuman yang akan dijeratkan kepada penyalahguna narkotika. 12 Sesuai Pasal 112 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (memiliki, menyimpan, menguasai menyediakan narkotika golongan 1 secara melawan hukum) yang diancam dengan ancaman hukuman penjara minimal 4 tahun, maksimal 12 tahun dan denda minimal Rp 800 juta maksimal Rp 8 milyar. Pasal itulah yang membuat para korban pengguna narkotika bisa dipenjara. Dalam konsep dekriminalisasi, hakim diberikan pilihan untuk menjatuhkan vonis rehabilitasi atau penjara terhadap pengguna narkotika. Meski demikian, kita semua berkeyakinan bahwa rehabilitasi jauh lebih baik daripada penjara. Jika pengguna di rehabilitasi maka mereka pun pulih dari ketergantungannya dan enggan mengkonsumsi barang haram lagi. Pasalnya konstruksi hukum di negeri ini menganut double track system pemidanaan, yang pada intinya pengguna narkoba bisa dipenjara atau direhabilitasi berdasarkan vonis hakim. Di tahun 2014 merupakan tahun peyelamatan bagi penyalahgunaan narkotika. Adanya perubahan besar terjadi pada orientasi penanganan pengguna 12 Ibid

5 dan pecandu narkotika, dimana selama ini pengguna bermuara pada hukuman penjara, kedepan pengguna narkotika akan bermuara di tempat rehabilitasi karena hukuman bagi pengguna disepakati berupa rehabilitasi. Seperti yang di ketahui bahwa pengguna/pecandu narkotika adalah penyakit kejiwaan yang tidak bisa sembuh dengan sendirinya. Kondisi psikologis yang perlu mendapat penanganan khusus melalui proses dan tahapan serta dukungan penuh dari lingkungan sekitar terutama keluarga agar mendapat hasil yang maksimal. Dengan dikeluarkannya aturan baru yaitu mengenai Peraturan bersama Ketua Mahkamah Agung, Menteri Hukum dan HAM, Menteri Kesehatan, Menteri Sosial, Jaksa Agung, Kapolri dan BNN sebagai implementasi dari Undang- Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika yang memberikan perubahan besar pada orientasi penanganan pengguna narkotika, dimana selama ini pengguna bermuara pada hukuman pidana penjara, kedepan pengguna narkotika akan bermuara di tempat rehabilitasi, karena hukuman bagi pengguna disepakati berupa pidana rehabilitasi. Sebelum peraturan bersama ini muncul, setidaknya ada beberapa aturan yang telah diperkenalkan di Indonesia. Misalnya Surat Edaran Ketua Mahkamah Agung (SEMA) No. 4 Tahun 2010 dan SEMA No. 3 Tahun 2011 yang membuka ruang pemahaman bahwa pengguna narkotika dapat diperlakukan berbeda. Diatur pula tentang kualifikasi yang mempermudah aparat penegak hukum dan hakim dalam mengambil keputusan terkaitpengguna narkotika.tetapi pada praktiknya, seluruh SEMA ini tidak berjalan karena dianggap tidak mengingat institusi lain.

6 Bahkan lebih buruk, hakim sendiri tidak mencerminkan ketundukan pada aturan tersebut dikarenakan bentuknya SEMA. 13 Pada peraturan bersama tersebut dibentuk Tim Asesmen Terpadu yang berkedudukan di tingkat pusat, tingkat provinsi, tingkat kabupaten/kota terdiri dari tim dokter dan tim hukum yang bertugas melaksanakan analisis peran tersangka yang ditangkap atas permintaan penyidik yang berkaitan dengan peredaran gelap narkoba terutama pengguna, melaksanakan analisis hukum, analisis medis dan analisis psikososial serta membuat rencana rehabilitasi yang memuat berapa lama rehabilitasi diperlukan. Hasil asesmen tersebut sebagai kelengkapan berkas perkara berfungsi sebagai keterangan seperti visum et repertum. 14 Hasil analisisnya akan memilah-milah peran tersangka sebagai pengguna murni, pengguna merangkap pengedar atau pengedar. Terhadap pengguna narkoba murni tetap menjalani proses pidana dan diancam dengan pasal tunggal yaitu Pasal 127 UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dimana ancaman pidana paling tinggi 4 tahun, terhadap pengguna yang merangkap sebagai pengedar/bandar dapat dilakukan pasal berlapis. 15 Analisis Tim Asesmen terhadap pengguna ini akan menghasilkan tingkatan pecandu mulai dari pecandu kelas berat, menegah dan kelas ringan dimana setiap tingkatan pecandu memerlukan rehabilitasi yang berbeda. Hal ini sangat diperlukan dalam rangka mengoperasionalkan Pasal 54 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dimana pecandu Narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. 13 http://www.hukumpedia.com/erasmus70/peraturan-bersama-narkotika-diragukan-lebihbaik-merevisi-uu-narkotika, diakses : 30 September 2014, pukul 20.15 WIB. 14 Ibid 15 Ibid

7 Dampak yang diharapkan dari paradigma ini adalah, pertama para pengguna narkoba yang saat ini "bersembunyi" dapat keluar dan tidak takut dihukum penjara untuk melaporkan diri secara sukarela kepada Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL) agar mendapatkan perawatan. Kedua, dapat memberikan pemahaman persepsi yang sama kepada masyarakat maupun para penegak hukum bahwa pidana rehabilitasi adalah hukuman yang paling tepat dan bermanfaat bagi pengguna dalam menyongsong kehidupan masa depannya. Ketiga, dalam rangka Lapas Reform agar lapas tidak overload dan terakhir dapat menurunkan prevalensi pengguna narkoba sebagai indikator tingkat keberhasilan menangani masalah peredaran narkotika di Indonesia. Paradigma baru ini selaras dengan konvensi-konvensi internasional tentang narkotika yang menekankan penanganan narkoba dengan pendekatan seimbang antara pendekatan demand (pencegahan, pemberdayaan, rehabilitasi) dan supply (pemberantasan jaringan peredaran gelap) serta memberikan alternatif penghukuman rehabilitasi bagi pengguna narkoba. Ketentuan tersebut di atas sudah diadopsi dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dimana tujuan Undang-undang Narkotika tercantum dalam Pasal 4, yaitu: mencegah, melindungi, dan menyelamatkan bangsa Indonesia dari penyalahgunaan narkotika, memberantas peredaran gelap narkotika dan perkusor narkotika, dan menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial bagi penyalahguna dan pecandu narkotika. Dengan berlakunya peraturan bersama ini, pengemban fungsi rehabilitasi, yaitu Kementrian Kesehatan, Kementrian Sosial, dan BNN harus bekerja sama dan bekerja lebih keras untuk merumuskan tugas merehabilitasi 4 juta lebih warga

8 bangsa agar berhenti mengonsumsi narkoba untuk mewujudkan Indonesia negeri bebas narkoba, dengan dua cara, yaitu dipaksa melalui penegakan hukum dan secara sukarela melaporkan diri ke IPWL, yaitu rumah sakit yang telah ditunjuk oleh Menteri Kesehatan yang tersebar di seluruh Indonesia. Berdasarkan semua uraian diatas, maka penulis terdorong untuk mengangkat dan membahas ke dalam skripsi yang berjudul Analisis Yuridis Peraturan Bersama Antar Lembaga Negara dalam Penanganan Pecandu dan Korban Penyalahgunaan Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi. B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang diatas maka yang menjadi permasalahan di dalam skripsi ini adalah : 1. Bagaimana perkembangan pengaturan tindak pidana narkotika dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia? 2. Bagaimana peraturan bersama antar lembaga negara dan peranan lembaga rehabilitasi dalam penanganan pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika di Indonesia? C. Tujuan dan Manfaat Penulisan Adapun yang menjadi tujuan dari penulisan dalam skripsi ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui perkembangan pengaturan tindak pidana narkotika dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia.

9 2. Untuk mengetahui peraturan bersama antar lembaga negara dan peranan lembaga rehabilitasi dalam penanganan pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika di Indonesia. Sedangkan manfaat dari penulisan ini adalah : 1. Secara Teoritis Secara teoritis penulisan ini dapat memberikan pemikiran dalam rangka perkembangan ilmu hukum pada umumnya, perkembangan hukum pidana khususnya mengenai pengaturan narkotika, memperkaya khasanah ilmu pengetahuan dalam memahami rehabilitasi terhadap pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika dalam hukum pidana Indonesia. Selain itu penulisan ini juga bermanfaat menambah dan melengkapi perbendaharaan dengan memberikan kontribusi bagi pengaturan narkotika di Indonesia. 2. Secara Praktis Secara praktis penulisan ini bermanfaat menjadi kerangka acuan dan landasan bagi penulis lanjutan dan dapat memberikan masukan kepada praktisi, civitas akademika serta pihak pemerintah Indonesia dalam upaya penanganan pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika ke dalam lembaga rehabilitasi. Serta dengan tulisan ini dapat menambah wawasan khususnya dalam pemahaman Undang-undang Narkotika dalam hukum pidana Indonesia.

10 D. Keaslian Penulisan Adapun judul penulisan dalam skripsi ini adalah tentang Analisis Yuridis Peraturan Bersama Antar Lembaga Negara dalam Penanganan Pecandu dan Korban Penyalahgunaan Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi. Sejauh pengamatan penulis pada Repository Universitas Sumatera Utara dan data yang diperoleh dari Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara bahwa skripsi dengan judul tersebut diatas belum pernah diteliti oleh peneliti sebelumnya. E. Tinjauan Kepustakaan 1. Pengertian dan Jenis-Jenis Narkotika Secara terminologi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang dimaksud dengan narkoba atau narkotika adalah obat yang dapat menenangkan syaraf, menghilangkan rasa sakit, menimbulkan rasa mengantuk atau merangsang. 16 Didalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009, yang dimaksud dengan narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan kedalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang ini. 17 Sedangkan menurut keterangan/penjelasan dari Merriam-Webster (http://www.meriam webster.com/dictionary/narcotic) adalah: 609. 16 Anton M. Moelyono, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1988, hal 17 Pasal 1 angka 1 UU No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.

11 1. A drug (as opium or morphine) that in moderate doses dulls the sense, relieves pain, and induces profound sleep but in excessive doses causes stupor, coma, or convulsions; Sebuah obat (seperti opium atau morfin) yang dalam dosis tertentu dapat menumpulkan indra, mengurangi rasa sakit, dan mendorong tidur, tetapi dalam dosis berlebihan menyebabkan pingsan, koma atau kejang; 2. A drug (as marijuana or LSD) subject to restriction similiar to that of addictive narcotics whether physiologically addictive and narcotic or not; 3. Something that soothes, relieves, or lulls (untuk menenangkan). 18 Zat-zat yang sering disalahgunakan dan dapat menyebabkan gangguan dapat digolongkan sebagai berikut: yaitu : 1. Opioda, misalnya morfin, heroin, petidin dan candu; 2. Ganja atau kanabis, misalnya mariyuana dan hashish; 3. Kokain atau daun koka; 4. Alkohol yang terdapat dalam minuman keras; 5. Amfetamin; 6. Halusinogen, misalnya LSD, meskalin dan psilosin; 7. Sedative dan hipnotika, misalnya matal,rivo, nipam; 8. Fensiklidin (PCP); 9. Solven dan inhalansia; 10. Nikotin yang terdapat pada tembakau; 11. Dan kafein yang terdapat pada kopi. 19 Menurut UU No. 35 Tahun 2009, Narkotika dibagi menjadi 3 golongan a. Narkotika golongan I, yaitu narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pegetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan 18 AR. Sujono dan Bony Daniel, Op. Cit, hal 1. 19 Tina Afiatin, Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2008, hal 6.

12 ketergantungan. Contoh : ganja, morphine, putauw adalah heroin tidak murni berupa bubuk. b. Narkotika golongan II, yaitu narkotika yang berkhasiat untuk pengobatan yang digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuanserta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan. Contoh : petidin dan turunannya, benzetidin, betametadol. c. Narkotika golongan III, yaitu narkotika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan. Contoh : codein dan turunannya. 20 Narkotika Golongan II dan Golongan III yang berupa bahan baku, baik alami maupun sintetis, yang digunakan untuk produksi obat diatur dengan Peraturan Menteri. Untuk kepentingan pengobatan dan berdasarkan indikasi medis, dokter dapat memberikan Narkotika Golongan II atau Golongan III dalam jumlah terbatas dan sediaan tertentu kepada pasien sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 21 Dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika ini terdapat hal baru terkait pengertian narkotika karena pengertian narkotika dalam Undang-Undang tersebut mencakup psikotropika Golongan I dan Golongan II yang dulunya terlampir dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika. 22 20 E-journal.uajy.ac.id/ 2232/3/2TA12681.pdf 21 Ibid 22 AR. Sujono dan Bony Daniel, Op.Cit, hal 67.

13 Berikut adalah beberapa jenis narkotika, psikotropika dan zat aditif atau narkoba yang banyak beredar di masyarakat luas, yaitu: 1. Ganja / Maryuana / Cannabis Sativa / Gele / Cimeng Ganja berasal dari tanaman Cannabis yang mempunyai varietas/famili Cannabis Sativa, Cannabis Indica Dan Cannabis Americana. Tanaman tersebut termasuk keluarga Urticaceae atau keluarga Moraceae. Tanaman Cannabis merupakan tanaman setahun yang mudah tumbuh pada tanpa memerlukan pemeliharaan istimewa. Tanaman ini tumbuh pada daerah beriklim sedang pohonnya cukup rimbun dan tumbuh subur didaerah tropis. Ia dapat ditanam dan dapat tumbuh secara liar di semak belukar. 23 Tumbuhan seperti ini yang bagiannya banyak dipakai seperti daun, bunga, biji, dan batang. Awalnya berfungsi untuk mengatasi keracunan dan penyedap bumbu masakan. Hanya saja, setelah banyak disalahgunakan, cimeng atau gele yang masyarakat dikenal dengan bahasa slang dari arti ganja itu, dijadikan bahan campuran untuk lintingan rokok. Pengguna ganja biasanya mengalami gejala diantaranya : denyut jantung atau nadi lebih cepat, mulut dan tenggorokan kering, merasa lebih santai, banyak bicara dan bergembira, sulit mengingat suatu kejadian, kesulitan kinerja yang membutuhkan konsentrasi, reaksi yang cepat dan koordinasi, kadang-kadang menjadi agresif bahkan kekerasan, bilamana pemakaian dihentikan dapat diikuti dengan sakit kepala, mual yang berkepanjangan, rasa letih/capek, 23 Hari Sasangka, Narkotika dan Psikotropika Dalam Hukim Pidana, Mandar Maju, Bandung, 2003, hal 47-48.

14 gangguankebiasaan tidur, sensitif dan gelisah, berkeringat, berfantasi, selera makan bertambah. 24 2. Morphin Kata morphin berasal dari bahasa Yunani morpheus, yang artinya dewa mimpi yang dipuja-puja. Penyebutan nama morpinis sangat cocok untuk pemakainya karena akibat yang ditimbulkannya, sipemakai merasa fly di awangawang. Morphin adalah semacam zat senyawa yang merupakan perpaduan hasil ekstraksi dari opium dengan zat kimia tertentu untuk menghilangkan rasa sakit bagi pasien yang menderita penyakit tertentu. Ada 3 macam morphin yang beredar di masyarakat: a. Cairan yang berwarna putih, yang disimpan didalam ampul atau botol kecil dan pemakainya dengan cara injeksi. b. Bubuk atau serbuk berwarna putih seperti kapur atau tepung yang mudah larut didalam air dan lenyap tanpa bekas. Pemakaiannya dengan cara injeksi, merokok dan sering pula dengan cara menyilet kulit tubuh. c. Tablet kecil berwarna putih, pemakaiannya dengan cara ditelan. 25 Sejatinya morphin dapat meminimalisir rasa sakit, mengurangi rasa lapar dan merangsang batuk. Hanya saja efek samping yang disebabkan juga tidak kalah buruknya yang menurut hasil penelitian adalah menderita susah tidur (insomnia) dan mimpi buruk. Dewasa ini morfin di kalangan medis telah banyak 24 http://bomberpipitpipit.wordpress.com/jenis-jenis-narkoba/, diakses : 5 Oktober 2014, pukul 19.00 WIB. 25 Mardani, Penyalahgunaan Narkotika Dalam Perspektif Hukum Islam Dan Hukum Pidana Nasional, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2008, hal 83.

15 diganti dengan obat-obatan lain yang memiliki kegunaan sama namun ramah bagi pemakainya. 3. Heroin Zat heroin ini ditemukan pada tahun 1898 oleh seorang ilmuwan berkebangsaan Jerman bernama Dr. Dresser, yang pada awalnya dunia kedokteran mengira bahwa heroin ini dapat menggantikan morphin dalam proses pembedahan maupun untuk mengobati mereka pecandu morphin, tetapi ternyata kemudian terbukti bahwa heroin menimbulkan kecanduan yang jauh lebih cepat dan kecanduan yang lebih kuat dibanding morphin dan lebih sulit disembuhkan. 26 Heroin disebut sebagai keturunan morfin atau opioda semisintatik dengan proses kimiawi yang dapat menimbulkan ketergantungan dan kecanduan yang berlipat ganda dibandingkan morfin. Heroin banyak dipakai para pecandu nya dengan cara menyuntik heroin ke otot atau urat/pembuluh vena di kulit, karena ketidaktahuan atau memang sengaja berbuat seperti itu untuk menimbulkan efek euforia dan histeris. 4. Kokain Tanaman koka adalah tanaman dari semua genus Erithroxylon dari keluarga Erythroxlaceace. Kokain mentah adalah semua hasil-hasil yang diperoleh dari daun koka yang diolah secara langsung untuk mendapatkan kokain. Tanaman koka dapat tumbuh subur didaerah dengan ketinggian 400-600 meter diatas permukaan laut. Di Indonesia tanaman ini juga dapat tumbuh subur, dan saat ini terdapat didaerah Jawa Timur. Penghasil koka terbesar adalah negara 26 Andi Hamzah dan RM. Surachman, Kejahatan Narkotika Dan Psikotropika, Sinar Grafika, Jakarta, 1994, hal 18.

16 Amerika Selatan yaitu Peru dan Bolivia, yang menghasilkan 25 juta ton pertahun. 27 Bubuk kristal berwarna putih yang didapat dari hasil ekstraksi dengan daun coca (erythoroxylon coca) dapat membuat rangsangan pada saraf dengan cara diminum atau mencampurnya dengan minuman yang digunakan tim medis didunia kedokteran. Hanya saja setelah sampai di masyarakat luas, kokain ini disalahgunakan menjadi sejenis zat atau obat perangsang dengan cara disuntik ke pembuluh darah atau di hirup dari hidung dengan sebuah pipa kecil. Sama halnya dengan yang dilakukan oleh suku Indian di benua Amerika oleh penduduk setempat kokain digunakan untuk mendapatkan efek stimulan dalam bertempur kepada musuh-musuhnya. Akibatnya penggunaan dari kokain menurut penelitian hanya dirasakan sebentar saja, yaitu tidak sampai lima belas menit yang meliputi rasa senang, pede, terangsang dan menambah tenaga serta stamina. Hanya saja setelah seperempat jam itu, maka perasaan enak akan hilang seketika dan berubah menjadi rasa lelah yang berkepanjangan. Selain itu pengguna juga dapat mengalami depresi mental dan ketagihan untuk menggunakannya lagi,lagi dan lagi sampai mati. 5. Opium Opium adalah getah berwarna putih seperti susu yang keluar dari kotak biji tanaman papaver somniferum yang belum masak. Buah candu yang belut telur ini jika disayat maka akan keluar getah berwarna putih yang dapat dijemur dan akan menjadi opium mentah. Pada saat ini ada metode yang lebih modern untuk 27 M. Ridha Ma ruf, Narkotika Masalah Dan Bahayanya, CV. Marga Jaya, Jakarta, 1976, hal 15.

17 menghasilkan opium mentah dengan cara mengolah jeraminya secara besarbesaran dan dari jerami tersebut akan diperoleh candu yang matang dan kemudian akan menghasilkan alkaloid dalam bentuk cairan, padat dan bubuk. 28 Pada awalnya tanaman opium ini diketahui subur dikawasan mediterania yaitu sekitar 4 abad sebelum masehi. Selanjutnya tanaman ini dibudidayaakan bangsa-bangsa di Asia seperti Afghanistan, Cina, India, Kawasan segitiga Emas, Pakistan dan juga di berbagai daerah Eropa. 29 Pengguna opium ini biasanya mengalami beberapa gejala diantaranya : menimbulkan rasa kesibukan (rushing sensation), menimbulkan semangat, merasa waktu berjalan lambat, pusing, kehilangan keseimbangan/mabuk, merasa rangsang birahi meningkat (hambatan seksual hilang), timbul masalah kulit disekitar mulut dan hidung. 30 6. Putauw Jenis narkotika ini banyak beredar dan dikonsumsi oleh kawula muda dewasa ini, khususnya sebagai trend anak mandiri, agar tidak dianggap ketinggalan zaman. Istilah putauw sebenarnya merupakan minuman khas Cina yang mengandung alkohol dan rasanya seperti green sand, akan tetapi oleh para pecandu narkotika barang sejenis heroin ini dijuluki dengan nama putauw. Kadar yang dikandung putauw lebih rendah dari heroin yang ada beredar selama ini, sehingga putauw dapat lebih disebut sebagai heroin kelas empat sampai kelas enam. 28 Mardani, Op. Cit, hal 81. 29 Andi Hamzah dan RM. Surachman, Op. Cit, hal 16. 30 http://bomberpipitpipit.wordpress.com/jenis-jenis-narkoba/, diakses : 5 Oktober 2014, pukul 19.00 WIB.

18 Cara memakai putauw yang biasa dilakukan oleh junkies (istilah bagi para pecandu putauw), biasanya dengan cara mengejar dragon (naga), yaitu asap putih yang keluar dari hasil putauw yang dipanaskan diatas kertas timah, dihisap melalui hidung ataupun mulut. Cara lain yang biasa dilakukan adalah dengan nyipet, yaitu menyuntikkan putauw yang dilarutkan ke dalam air hangat ke pembuluh darah dan sering menjadi penyebab tertularnya HIV/AIDS diantara sesama pemakai putauw akibat memakai jarum suntik secara bergantian. Dalam prakteknya, para junkies lebih banyak memilih cara pakai dengan mengejar dragon. 31 7. Shabu-shabu Sejenis nama yang identik dengan masakan Jepang, namun shabu-shabu ini bernama Metamfetamina, adalah sebuah serbuk berwarna putih kristal. Awalnya dibuat pada akhir abad 20 untuk mengobati gangguan bagi penderita hiperaktifitas, yaitu seseorang yang tidak bisa diam. Tetapi seiring berjalannya waktu, shabu-shabu malah disalahgunakan dengan pemakaian yang menyimpang. Di Indonesia sendiri banyak selebritis, olahragawan, dan musisi yang karirnya hancur akibat mengkonsumsi narkoba ini. Shabu-shabu sendiri sejatinya adalah berbentuk pil, namun karena banyak disalahgunakan menjadi serbuk yang pemakaiannya menggunakan kertas aluminium yang dibakar dan asapnya dihisap melalui hidung dengan memakai botol kaca yang dibuat khusus yang bernama bong. 32 31 Dadang Hawari, Konsep Islam Dalam Memerangi AIDS dan NAZA, cetakan XI, Dhana Bakti Primayasa, Yogyakarta, hal 152. 32 http://dedihumas.bnn.go.id/read/section/artikel/2013/08/28/727/efek-negatif-pemakaiannarkoba, diakses : 5 Oktober 2014, pukul 19.20 WIB.

19 Adapun yang yang dimaksud dengan Narkotika golongan I adalah: 1. Tanaman Papaver Somniferum L dan semua bagian-bagiannya termasuk buah dan jeraminya, kecuali bijinya. 2. Opium mentah, yaitu getah yang membeku sendiri, diperoleh dari buah tanaman Papaver Somniferum L dengan atau tanpa mengalami pengolahan sekedarnya untuk pembungkus dan pengangkutan tanpa memperhatikan kadar morfinnya. 3. Opium masak terdiri dari : a. candu, hasil yang diperoleh dari opium mentah melalui suatu rentetan pengolahan khususnya dengan pelarutan, pemanasan dan peragian dengan atau tanpa penambahan bahan-bahan lain, dengan maksud mengubahnya menjadi suatu ekstrak yang cocok untuk pemadatan. b. jicing, sisa-sisa dari candu setelah dihisap, tanpa memperhatikan apakah candu itu dicampur dengan daun atau bahan lain. c. jicingko, hasil yang diperoleh dari pengolahan jicing. 4. Tanaman koka, tanaman dari semua genus Erythroxylon dari keluargaerythroxylaceae termasuk buah dan bijinya. 5. Daun koka, daun yang belum atau sudah dikeringkan atau dalam bentuk serbuk dari semua tanaman genus Erythroxylon dari keluarga Erythroxylaceae yang menghasilkan kokain secara langsung atau melalui perubahan kimia. 6. Kokain mentah, semua hasil-hasil yang diperoleh dari daun koka yang dapat diolah secara langsung untuk mendapatkan kokaina. 7. Kokaina, metil ester-1-bensoil ekgonina. 8. Tanaman ganja, semua tanaman genus genus cannabis dan semua bagian dari tanaman termasuk biji, buah, jerami, hasil olahan tanaman ganja atau bagian tanaman ganja termasuk damar ganja dan hasis. 9. Tetrahydrocannabinol, dan semua isomer serta semua bentuk stereo kimianya. 10. Delta 9 tetrahydrocannabinol, dan semua bentuk stereo kimianya. 11. Asetorfina : 3-0-Acetiltetrahidro-7α-(1-hidroksi-1-metilbutil)-6, 14- endoeteno-oripavina. 12. Acetil alfa metilfentanil : N-[1-(α-Metilfenetil)-4-piperidil] aset-anilida. 13. Alfa-metilfentanil : N-[1 (α-metilfenetil)-4-piperidil] propionanilida 14. Alfa-metiltiofentanil : N-[1-] 1-Metil-2-(2-tienil) etil]-4-piperidil] priopionanilida 15. Beta-hidroksifentanil:N-[1-(beta-Hidroksifenetil)-4-piperidil propionanilida 16. Beta-hidroksi-3-metil-fentanil : N-[1-(beta-Hidroksifenetil)-3-metil-4 piperidil]propionanilida. 17. Desmorfina : Dihidrodeoksimorfina 18. Etorfina: Tetrahidro-7α-(1-hidroksi-1-metilbutil)-6,14-endoeteno-oripavina 19. Heroina : Diacetilmorfina 20. Ketobemidona: 4-Meta-hidroksifenil-1-metil-4-propionilpiperidina 21. 3-Metilfentanil: N-(3-Metil-1-fenetil-4-piperidil) propionanilida 22. 3-Metiltiofentanil: N-[3-Metil-1-[2-(2-tienil) etil]-4-piperidil] propionanilida 23. MPPP : 1-Metil-4-fenil-4-piperidinol propianat (ester) 24. Para-fluorofentanil : 4 -Fluoro-N-(1-fenetil-4-piperidil) propionanilida

25. PEPAP : 1-Fenetil-4-fenil-4-piperidinolasetat (ester) 26. Tiofentanil : N-[1-[2-(2-Tienil)etil]-4-piperidil] propionanilida 27. BROLAMFETAMINA, nama lain DOB : (±)-4-Bromo-2,5-dimetoksi- α metilfenetilamina 28. DET : 3-[2-(Dietilamino )etil] indol 29. DMA : ( + )-2,5-Dimetoksi- α metilfenetilamina 30. DMHP : 3-(1,2-Dimetilheptil)-7,8,9,10-tetrahidro-6,6,9-trimetil-6Hdibenzo[ b,d]piran-1-ol 31. DMT : 3-[2-( Dimetilamino )etil] indol 32. DOET : (±)-4-Etil-2,5-dimetoksi- α metilfenetilamina 33. ETISIKLIDINA, nama lain PCE : N-Etil-1-fenilsikloheksilamina 34. ETRIPTAMINA. : 3-(2-Aminobutil) indol 35. KATINONA : (-)-(S)- 2-Aminopropiofenon 36. ( + )-LISERGIDA, nama lain LSD, LSD-25 : 9,10-Didehidro-N,N-dietil-6- metilergolina-8 β karboksamida 37. MDMA : (±)-N, α-dimetil-3,4-(metilendioksi)fenetilamina 38. Meskalina : 3,4,5-Trimetoksifenetilamina 39. METKATINONA : 2-(Metilamino )-1- fenilpropan-1-on 40. 4- Metilaminoreks : (±)-sis- 2-Amino-4-metil- 5- fenil- 2-oksazolina 41. MMDA : 5-Metoksi- α-metil-3,4-(metilendioksi)fenetilamina 42. N-etil MDA : (±)-N-Etil- α -metil-3,4-(metilendioksi)fenetilamina 43. N-hidroksi MDA : (±)-N-[α-Metil-3,4-(metilendioksi)fenetil] hidroksil amina 44. Paraheksil : 3-Heksil-7,8,9,10-tetrahidro-6,6, 9-trimetil-6H-dibenzo[b,d] piran-1-ol 45. PMA : p-metoksi-α metilfenetilamina 46. psilosina, psilotsin : 3-[2-(Dimetilamino )etil]indol-4-ol 47. PSILOSIBINA : 3-[2-(Dimetilamino)etil]indol-4-il dihidrogen fosfat 48. ROLISIKLIDINA, nama lain PHP, PCPY: 1-( 1- Fenilsikloheksil)pirolidina 49. STP, DOM : 2,5-Dimetoksi- α,4-dimetilfenetilamina 50. TENAMFETAMINA, nama lain MDA : α -Metil-3,4-(metilendioksi) fenetilamina 51. TENOSIKLIDINA, nama lain TCP : 1-[1-(2-Tensil] piperidina 52. TMA : (±)-3,4,5-Trimetoksi- α metilfenetilamina 53. AMFETAMINA : (±)- α Metilfenetilamina 54. DEKSAMFETAMINA : ( + )- α Metilfenetilamina 55. FENETILINA : 7-[2-[(α-Metilfenetil)amino]etil]teofilina 56. FENMETRAZINA : 3-Metil-2-fenilmorfolin 57. FENSIKLIDINA, nama lain PCP : 1-(1-Fenilsikloheksil)piperidina 58. LEVAMFETAMINA, nama lain levamfetamina: (- )-(R)- α Metilfenetil amina 59. Levometamfetamina : ( -)-N, α Dimetilfenetilamina 60. MEKLOKUALON: 3-(o-klorofenil)-2-metil-4(3H)- kuinazolinon 61. METAMFETAMINA : (+ )-(S)-N, α Dimetilfenetilamina 62. METAKUALON : 2-Metil-3-o-tolil-4(3H)-kuinazolinon 63. ZIPEPPROL:α-(α-Metoksibenzil)-4-(β-metoksifenetil)-1-piperazinetano 64. Sediaan opium dan/atau campuran dengan bahan lain bukan Narkotika 65. 5-APB: 5-(2-Aminopropil)benzofuran; 1-benzofuran-5-ilpropan amina 20

21 66. 6-APB : 6-(2-Aminopropil)benzofuran ; 1-benzofuran-6-ilpropan-2- amina 67. 25B-NBOMe:2-(4-Bromo-2,5-dimetoksifenil)-N-[(2-metoksifenil) metil]etanamina 68. 2-CB:2-(4-Bromo-2,5-dimetoksifenil)etanamina;4-Bromo-2,5- dimetoksimetamfetamina 69. 25C-NBOMe, nama lain 2C-c-NBOMe: 1-(4-Kloro-2,5-dimetoksifenil)-N- [(2-metoksifenil)metal]-2-etanamia 70. Dimetilamfetamina, nama lain DMA : N,N-Dimetil-1-fenilpropan-2- amina 71. DOC : 1-(4-Kloro-2,5-dimetoksi-fenil)propan-2-amina 72. ETKATINONA: 2-etilamino-1-fenilpropan-1-on 73. JWH-018 : (1-Pentil-1H-indol-3-il)-1-naftalenil-metanon 74. MDPV: 3,4-Metilendioksipirovaleron, nama lain : 1-(3,4- metilendioksifenil)-2-(1-pirolidinil)pentan-1-on; 75. MEFEDRON,namalain 4-MMC: 1-(4-metilfenil)-2 metilaminopropan-1- on 76. METILON,nama lain MDMC: 2-Metilamino-1-(3,4- metilendioksifenil) propan-1-on 77. 4-METILKATINONA, nama lain 4-MEC : 2-etilamino-1-(4- metilfenil)propan-1-on 78. MPHP : 1-(4-Metilfenil)-2-(1-pirrolidinil)-1-heksan-1-on 79. 25I-NBOMe, nama lain 2C-I-NBOMe : 1-(4-Iodo-2,5-dimetoksifenil)-N- [(2-metoksifenil)metil]etanamina 80. PENTEDRONE : (±)-1-Fenil-2-(metilamino)pentan-1-on 81. PMMA:p-Metoksimetamfetamina;N-metil-1-(4Metoksifenil)propan-2- amina 82. XLR-11: (1-(5-Fluoropentil)-1H-indol-3-il)2,2,3,3-tetrametilsiklo propil)- metanon 33 Narkotika golongan II, antara lain: 1. Alfasetilmetadol 2. Alfameprodina 3. Alfametadol 4. Alfaprodina 5. Alfentanil 6. Allilprodina 7. Anileridina 8. Asetilmetadol 9. Benzetidin 10. Benzilmorfina 11. Betameprodina 12. Betametadol 13. Betaprodina 14. Betasetilmetadol 15. Bezitramida 16. Dekstromoramida 17. Diampromida 33 Lampiran Peraturan Menteri Kesehatan No. 13 Tahun 2014 Tentang Perubahan Penggolongan Narkotika.

18. Dietiltiambutena 19. Difenoksilat 20. Difenoksin 21. Dihidromorfina 22. Dimefheptanol 23. Dimenoksadol 24. Dimetiltiambutena 25. Dioksafetil butirat 26. Dipipanona 27. Drotebanol 28. Ekgonina, termasuk ester dan derivatnya yang setara dengan ekgonina dan kokaina. 29. Etilmetiltiambutena 30. Etokseridina 31. Etonitazena 32. Furetidina 33. Hidrokodona 34. Hidroksipetidina 35. Hidromorfinol 36. Hidromorfona 37. Isometadona 38. Fenadoksona 39. Fenampromida 40. Fenazosina 41. Fenomorfan 42. Fenoperidina 43. Fentanil 44. Klonitazena 45. Kodoksima 46. Levofenasilmorfan 47. Levomoramida 48. Levometorfan 49. Levorfanol 50. Metadona 51. Metadona intermediat 52. Metazosina 53. Metildesorfina 54. Metildihidromorfina 55. Metopon 56. Mirofina 57. Moramida intermediat 58. Morferidina 59. Morfina-N-oksida 60. Morfin metobromida 61. Morfina 62. Nikomorfina 63. Norasimetadol 64. Norlevorfanol 22

23 65. Normetadona 66. Normorfina 67. Norpipanona 68. Oksikodona 69. Oksimorfona 70. Petidina intermediat A 71. Petidina intermediat B 72. Petidina intermediat C 73. Petidina 74. Piminodina 75. Piritramida 76. Proheptasina 77. Properidina 78. Rasemetorfan 79. Rasemoramida 80. Rasemorfan 81. Sufentanil 82. Tebaina 83. Tebakon 84. Tilidina 85. Trimeperidina 86. Garam-garam dari Narkotika dalam golongan tersebut di atas. 34 Narkotika golongan III, antara lain: 1. Asetildihidrokodeina 2. Dekstropropoksifena 3. Dihidrokodeina 4. Etilmorfina 5. Kodeina 6. Nikodikodina 7. Nikokodina 8. Norkodeina 9. Polkodina 10. Propiram 11. Buprenorfina 12. Garam-garam dari narkotika dalam golongan tersebut diatas 13. Campuran atau sediaan difenoksin dengan bahan lain bukan narkotika 14. Campuran atau sediaan difenoksilat dengan bahan lain bukan narkotika. 35 34 Lampiran UU No.35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. 35 Ibid

24 2. Pecandu dan Korban Penyalahgunaan Narkotika Didalam Undang-Undang Narkotika Nomor 35 Tahun 2009 yang dimaksud dengan pecandu narkotika adalah orang yang menggunakan atau menyalahgunakan narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada narkotika, baik secara fisik maupun psikis. Ketergantungan narkotika adalah kondisi yang ditandai dorongan untuk menggunakan narkotika secara terus-menerus dengan takaran yang meningkat agar menghasilkan efek yang sama dan apabila penggunanya dikurangi dan/atau dihentikan secara tiba-tiba, menimbulkan gejala fisik dan psikis yang khas. Penyalahguna adalah orang yang menggunakan narkotika tanpa hak atau melawan hukum. 36 Untuk korban penyalahgunaan narkotika, tidak disebutkan pengertiannya dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2009, namun merujuk pada ketentuan umum Peraturan Bersama antar Lembaga Nrgara Republik Indonesia mengenai Penanganan Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi, pengertian korban penyalahgunaan narkotika adalah seseorang yang tidak sengaja menggunakan narkotika karena dibujuk, diperdaya, ditipu, dipaksa, dan/atau diancam menggunakan narkotika. Berdasarkan ketentuan Pasal 128 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, terhadap pecandu yang belum cukup umur atau orang tuanya sengaja tidak melaporkan diri akan diancam dengan pidana kurungan paling lama 6 bulan atau denda paling banyak satu juta rupiah. Sedangkan terhadap pecandu yang sudah cukup umur dan sedang menjalani rehabiltasi medis sebanyak dua 36 Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.

25 kali, maka tidak dituntut. Demikian juga terhadap pecandu yang belum dewasa dan telah dilaporkan oleh orang tuanya, maka tidak akan dilakukan penuntutan. Dalam Pasal 127 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, seorang penyalahguna dikenai pidana sesuai dengan kriteria kejahatannya, wajib menjalani rehabilitasi medis dan sosial. Disebutkan bahwa: 1. Setiap Penyalah Guna: a. Narkotika Golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun; b. Narkotika Golongan II bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun; dan c. Narkotika Golongan III bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun. 2. Dalam memutus perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hakim wajib memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54, Pasal 55 dan Pasal 103. 3. Dalam hal Penyalah Guna sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibuktikan atau terbukti sebagai korban penyalahgunaan narkotika, Penyalah Guna tersebut wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Menurut Dadang Hawari menyebutkan terdapat tiga kelompok besar penyalahguna narkoba beserta resiko yang dialaminya, yaitu: a. Kelompok ketergantungan primer, yang ditandai dengan adanya kepribadian yang tidak stabil, mengalami gangguan, cemas, dan depresi. Mereka mencoba mengobati sendiri gangguan yang dialaminya tanpa berkonsultasi

26 dengan dokter sehingga terjadi penyalahgunaan sampai pada tingkat ketergantungan. b. Kelompok ketergantungan simtomatis, yang ditandai dengan adanya kepribadian anti social (psikopatik). Mereka menggunakan narkoba tidak hanya untuk diri sendiri, tetapi juga menularkannya kepada orang lain dengan berbagai cara sehingga orang lain dapat terjebak ikut memakainya hingga mengalami ketergantungan yang serupa. c. Kelompok ketergantungan reaktif, mereka merupakan yang terdapat di kalangan remaja karena dorongan ingin tahu, pengaruh lingkungan dan tekanan kelompok teman sebaya. 37 Ada beberapa faktor yang menyebabkan timbulnya penyalahgunaan narkotika diantaranya sbb: 1. Faktor individu, terdiri dari aspek kepribadian dan kecemasan/depresi. Yang termasuk dalam aspek kepribadian antara lain kepribadian yang ingin tahu, mudah kecewa, sifat tidak sabar dan rendah diri. Sedangkan yang termasuk dalam kecemasan/depresi adalah karena tidak mampu menyelesaikan kesulitan hidup, sehingga melarikan diri dalam penggunaan narkotika dan obat-obat terlarang. 2. Faktor sosial budaya, terdiri dari kondisi keluarga dan pengaruh teman. Kondisi keluarga disini merupakan kondisi yang disharmonis seperti orangtua yang bercerai, orangtua yang sibuk dan jarang rumah serta perekonomian keluarga yang serba berlebihan maupun yang serba kekurangan. Sedangkan yang termasuk dalam perngaruh teman misalnya 37 Dadang Hawari, Penyalahgunaan Narkotika dan Zat Adiktif, Balai Penerbit FKUI, Jakarta, 1991, hlm. 14.

27 karena berteman dengan seorang yang ternyata pemakai narkoba dan ingin diterima dalam suatu kelompok. 3. Faktor lingkungan. Lingkungan yang tidak baik maupun yang tidak mendukung dan menampung segala sesuatu yang menyangkut perkembangan psikologis anak dan kurangnya perhatian terhadap anak, juga bisa mengarahkan seorang anak untuk menjadi user/pemakai narkotika. 4. Faktor narkotika itu sendiri. Mudahnya narkotika didapat didukung dengan faktor-faktor yang sudah disebut diatas, semakin memperlengkap timbulnyapenyalahgunaan narkotika. 38 Adapun pengaruh-pengaruh dari narkotika tersebut berupa: a. Pengaruh menerangkan. b. Pengaruh rangsangan (rangsangan semangat dan bukan rangsangan seksual). c. Menghilangkan rasa sakit. d. Menimbulkan halusinasi atau khayalan. 39 Sedangkan efek dari penggunaan narkotika itu sendiri antara lain sbb: a. Depresant yaitu mengendurkan atau mengurangi aktivitas atau kegiatan susunan syaraf pusat, sehingga dipergunakan untuk menenangkan syaraf seseorang untuk tidur/istirahat. b. Stimulant yaitu meningkatkan keaktifan susunan saraf, sehingga merangsang dan meninkatkan kemamuan fisik seseorang. c. Halusinogen yaitu menimbulkan perasaan-perasaan yang tidak riil atau khayalan-khayalan yang menyenangkan. 38 AR. Sujono dan Bony Daniel, Op.Cit, hal 7. 39 Soedjono Dirdjosisworo, Kriminologi, Bandung, Citra Aditya, 1995, hal 157.

28 d. Rusaknya susunan saraf pusat. e. Rusaknya organ tubuh, seperti hati dan ginjal. f. Timbulnya penyakit kulit, seperti bintik-bintik merah pada kulit, kudis dan sebagainya. g. Lemahnya fisik, moral dan daya pikir. h. Timbul kecenderungan melakukan penyimpangan sosial dalam masyarakat. i. Timbulnya kegiatan atau aktivitas dis-sosial seperti mencuri, menodong, merampok dan sebagainya. 40 3. Pengertian dan Jenis-Jenis Rehabilitasi Rehabilitasi merupakan rangkaian kegiatan yang bertujuan untuk melakukan aksi pencegahan, peningkatan, penyembuhan, pemakaian, serta pemulihan kemampuan bagi individu yang membutuhkan layanan khusus. Sedangkan rehabilitasi (treatment) atau perawatan dalam pemidanaan dikemukakan oleh aliran positif bahwa pemidanaan sangat pantas diarahkan kepada pelaku kejahatan, bukan pada perbuatannya. Pemidanaan yang dimaksud oleh aliran ini adalah untuk memberikan tindakan perawatan (treatment) dan perbaikan (rehabilitasi) kepada pelaku kejahatan sebagai pengganti dari penghukuman. Argumen aliran postif ini dilandaskan pada alasan bahwa pelaku kejahatan adalah orang yang sakit sehingga membutuhkan perawatan (treatment) dan perbaikan (rehabilitation). 41 40 Ibid, hal 6. 41 Mahmud Mulyadi, Criminal Policy, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2008, hal 79.

29 Rehabilitasi narkoba adalah tempat yang memberikan pelatihan keterampilan dan pengetahuan untuk menghindarkan diri dari narkoba. 42 Pusat atau Lembaga Rehabilitasi yang baik haruslah memenuhi persyaratan antara lain: a. Sarana dan prasarana yang memadai termasuk gedung, akomodasi, kamar mandi/wc yang higienis, makanan dan minuman yang bergizi dan halal, ruang kelas, ruang rekreasi, ruang konsultasi individual maupun kelompok, ruang konsultasi keluarga, ruang ibadah, ruang olah raga, ruang ketrampilan dan lain sebagainya; b. Tenaga yang profesional (psikiater, dokter umum, psikolog, pekerja sosial, perawat, agamawan/ rohaniawan dan tenaga ahli lainnya/instruktur). Tenaga profesional ini untuk menjalankan program yang terkait; c. Manajemen yang baik; d. Kurikulum/program rehabilitasi yang memadai sesuai dengan kebutuhan; e. Peraturan dan tata tertib yang ketat agar tidak terjadi pelanggaran ataupun kekerasan; f. Keamanan (security) yang ketat agar tidak memungkinkan peredaran NAZA di dalam pusat rehabilitasi (termasuk rokok dan minuman keras). 43 Menurut UU RI No. 35 Tahun 2009, ada dua jenis rehabilitasi, yaitu : a. Rehabilitasi Medis adalah suatu proses kegiatan pengobatan secara terpadu untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan narkotika. b. Rehabilitasi Sosial adalah suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu, baik fisik, mental maupun sosial, agar bekas pecandu narkotika dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat. 42 E-journal.uajy.ac.id223232TA12681.pdf 43 Ibid

30 Rehabilitasi medis pecandu narkotika dilaksanakan di rumah sakit yang diselenggarakan baik oleh pemerintah maupun swasta yang ditunjuk oleh Menteri Kesehatan. Meskipun demikian, undang-undang memberi kesempatan kepada lembaga rehabilitasi tertentu yang diselenggarakan oleh masyarakat dapat melakukan rehabilitasi medis pecandu narkotika, dengan syarat adanya persetujuan dengan Menteri Kesehatan. 44 Selain pengobatan dan perawatan melalaui rehabilitasi medis, proses penyembuhan pecandu narkotika dapat diselenggarakan oleh masyarakat melalui pendekatan keagamaan dan tradisinal (rehabilitasi sosial). Walaupun seorang pecandu narkotika telah sembuh dari ketergantungan narkotika secara fisik dan psikis, namun rehabilitasi sosial terhadap bekas pecandu narkotika dilakukan pada lembaga rehabilitasi sosial yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun masyarakat. 45 Adapun yang menjadi standar rehabilitasi sosial korban penyalahgunaan NAPZA yaitu: 1. Menjadi acuan dalam melaksanakan rehabilitasi sosial bagi korban penyalahgunaan NAPZA; 2. Memberikan perlindungan terhadap korban dari kesalahan praktik; 3. Memberikan arah dan pedoman kinerja bagi penyelenggara rehabilitasi sosial korban penyalahgunaan NAPZA; dan 4. Meningkatkan kualitas dan jangkauan pelayanan penyelenggara rehabilitasi sosial korban penyalahgunaan NAPZA. 46 44 Gatot Supramono, Hukum Narkoba Indonesia, Djambatan, Jakarta, 2004, hal 192. 45 Ibid 46 Pasal 2, Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia No.26 Tahun 2012 Tentang Standar Rehabilitasi Sosial Korban Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif Lainnya

31 Rehabilitasi terhadap pecandu narkotika juga menganut teori social defence sebab merupakan suatu bentuk perlindungan sosial yang mengintegrasikan pecandu narkotika ke dalam tertib sosial agar dia tidak lagi melakukan penyalahgunaan narkotika. Teori Social defence berkembang setelah Perang Dunia ke-2. Tokoh terkenal dari teori ini adalah Filippo Gramatica. Dalam teori ini, terbagi dua konsepsi yaitu: 47 1. Konsepsi radikal (ekstrim), bertujuan untuk mengintegrasikan individu ke dalam tata tertib sosial dan bukan pemidanaan terhadap perbuatannya. 2. Konsepsi yang moderat (reformist), yaitu bertujuan untuk mengintegrasikan ide-ide atau konsepsi-konsepsi perlindungan masyarakat kedalam konserpasi baru hukum pidana. Rehabilitasi pada hakekatnya bertujuan agar penderita bisa melakukan perbuatan secara normal, bisa melanjutkan pendidikan sesuai dengan bakat dan minatnya, dan yang terpenting bisa hidup menyesuaikan diri dengan lingkungan keluarga maupun masyarakat sekitarnya. 48 F. Metode Penelitian Metode adalah cara kerja atau tata kerja untuk dapat memahami obyek yang menjadi sasaran dari ilmu pengetahuan yang bersangkutan. Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisa dan kontruksi, yang dilakukan secara metodologis, sistematis dan konsisten. 49 Penelitian hukum 47 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, 1992, hlm. 35-38. 48 Zulkarnain, Memilih Lingkungan Bebas Narkoba Panduan Untuk Remaja, Citapustaka Media, Bandung, 2014, hlm.62 49 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta, 1986, hal 42.

32 merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan cara menganalisisnya. 50 Dengan demikian metode penelitian adalah upaya ilmiah untuk memahami dan memecahkan suatu masalah berdasarkan metode tertentu. Dalam melakukan suatu penelitian agar tercapainya sasaran dan tujuan yang diinginkan, maka penulis menggunakan metode sebagai berikut: 1. Jenis Penelitian Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian hukum normatif. Metode penelitian normatif adalah penelitian yang mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan. 2. Data dan Sumber Data Data yang dipergunakan dalam penelitian ini berupa data sekunder. Data sekunder yaitu data dari bahan-bahan kepustakaan yang antara lain meliputi bahan keperpustakaan seperti buku-buku, literatur, koran, majalah, jurnal maupun arsiparsip yang sesuai dengan permasalahan yang akan diteliti. Sumber data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: a. Bahan Hukum Primer, yaitubahan hukum yang isinya mempunyai kekuatan hukum mengikat, dalam hal ini adalah norma atau kaidah dasar peraturan perundang-undangan yang berlaku. Bahan Hukum primer yang paling utama digunakan dalam penelitian ini adalah: Undang-Undang Verdoovende Middelen Ordonantie yang berlaku pada masa Belanda di Indonesia Tahun 1927, Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang 50 Ibid, hal 43.

33 Narkotika, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997, Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Surat Edaran Mahkamah Agung No. 4 Tahun 2010, Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3 Tahun 2011, Peraturan Presiden Nomor 83 tahun 2007 tentang Badan Narkotika Nasional (BNN), Badan Narkotika Provinsi, Badan Narkotika Kabupaten/Kota, Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2011 Tentang Pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu Narkotika, Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia No.26 Tahun 2012 Tentang Standar Rehabilitasi Sosial Korban Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif Lainnya, Peraturan Menteri Kesehatan No. 80 Tahun 2014 Tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Rehabilitasi Medis Bagi Pecandu, Penyalahguna, dan Korban Penyalahgunaan Narkotika yang sedang dalam Proses Penyidikan, Penuntutan, dan Persidangan atau telah mendapatkan Penetapan/Putusan Pengadilan, Peraturan Bersama Ketua Mahkamah Agung, Menteri Hukum dan HAM, Menteri Kesehatan, Menteri Sosial, Jaksa Agung, KAPOLRI dan BNN RI tentang Penanganan Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi. b. Bahan Hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisis serta memahami bahan hukum primer, berupa buku-buku, hasil penelitian dan bahan pustaka lainnya yang berkaitan dengan penelitian. c. Bahan Hukum tersier, yaitu bahan-bahan hukum yang mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder dengan memberikan pemahaman