SITUASI CEMARAN MIKOTOKSIN PADA PAKAN DI INDONESIA DAN PERUNDANG UNDANGANNYA

dokumen-dokumen yang mirip
KEPUTUSAN MENTERI PERTANIAN. NOMOR: 242/Kpts/OT.210/4/2003 TENTANG PENDAFTARAN DAN LABELISASI PAKAN MENTERI PERTANIAN,

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI PERTANIAN NOMOR: 242/Kpts/OT.210/4/2003 TENTANG PENDAFTARAN DAN LABELISASI PAKAN

2017, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42,

KEPUTUSAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 241/Kpts/OT.210/4/2003 TENTANG PEDOMAN PENGAWASAN MUTU PAKAN MENTERI PERTANIAN,

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 65/Permentan/OT.140/9/2007 TENTANG PEDOMAN PENGAWASAN MUTU PAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR 19/Permentan/OT.140/4/2009 TENTANG SYARAT DAN TATACARA PENDAFTARAN PAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

IV. MACAM DAN SUMBER PANGAN ASAL TERNAK

TERNAK PERAH SEBAGAI PRODUSEN SUSU

KOMPOSISI KIMIA BEBERAPA BAHAN LIMBAH PERTANIAN DAN INDUSTRI PENGOLAHAN HASIL PERTANIAN

j ajo66.wordpress.com 1

KEBUTUHAN NUTRISI ITI PEDAGING : SUPRIANTO NIM : I

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN PERTANIAN. Tata Cara. Syarat. Pendaftaran Pakan. Pencabutan.

I. PENDAHULUAN. pertumbuhan tubuh dan kesehatan manusia. Kebutuhan protein hewani semakin

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, NOMOR PER. 02/MEN/2010 TENTANG PENGADAAN DAN PEREDARAN PAKAN IKAN

BAB I PENDAHULUAN. dalam pembangunan nasional. Undang-undang No.18 Tahun 2012 tentang Pangan

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan di seluruh dunia dan konsekuensi yang buruk pada ekonomi yang harus

PENDAHULUAN Latarbelakang aflatoksikosis

Nama Perusahaan :... A l a m a t. Sebagai produsen atau pembuat pakan dengan bahan pakan :...

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

HASIL DAN PEMBAHASAN. Pakan Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. seperti Indonesia adalah faktor suhu lingkungan yang cukup tinggi. Kondisi ini

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Jamur merang merupakan salah satu jenis jamur pangan yang memiliki nilai gizi yang tinggi dan permintaan pasar

Pakan konsentrat Bagian 5 : Ayam ras pedaging (broiler concentrate)

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 58/Permentan/OT.140/8/ TENTANG PELAKSANAAN SISTEM STANDARDISASI NASIONAL DI BIDANG PERTANIAN

Metode Uji Kualitas Bahan Pakan Oleh : ATI SIHOMBING, SP Pembahasan

I. PENDAHULUAN. untuk memenuhi kebutuhan protein hewani adalah sapi perah dengan produk

I. PENDAHULUAN. Peternakan dan Kesehatan Hewan (2012) menunjukkan bahwa konsumsi telur burung

PENDAHULUAN. yang berasal dari bagian biji pada kebanyakan tanaman lebih banyak. diantaranya adalah daun singkong (Manihot utilisima).

PROFIL UPTD BALAI PENGUJIAN MUTU PAKAN TERNAK CIKOLE LEMBANG DINAS PETERNAKAN PROVINSI JAWA BARAT

PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN NOMOR 038 TAHUN 2016

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR 39/Permentan/OT.140/8/2008 TENTANG PEMBENTUKAN LEMBAGA SERTIFIKASI PRODUK ALAT DAN MESIN PERTANIAN

Kacang Tanah: SUMBER Pangan Sehat dan Menyehatkan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan Negara yang memiliki keragaman jenis tanaman. Iklim

ILMU PASCAPANEN PETERNAKAN

j ajo66.wordpress.com 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. dan semua produk hasil pengolahan jaringan yang dapat dimakan dan tidak

TINJAUAN PUSTAKA. keberhasilan usaha pengembangan peternakan disamping faktor bibit dan

PENGANTAR. Latar Belakang. 14,8 juta ekor adalah sapi potong (Anonim, 2011). Populasi sapi potong tersebut

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat pesat. Populasi ayam pedaging meningkat dari 1,24 milyar ekor pada

KEPUTUSAN MENTERI PERTANIAN NOMOR: 09/Kpts/TP.260/1/2003 TENTANG SYARAT DAN TATACARA PENDAFTARAN PUPUK AN-ORGANIK

I. PENDAHULUAN. yang memiliki potensi hijauan hasil limbah pertanian seperti padi, singkong, dan

ANALISIS NILAI TAMBAH LIMBAH JAGUNG SEBAGAI PAKAN TERNAK SAPI DI SULAWESI SELATAN ABSTRAK

Susu segar-bagian 1: Sapi

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR 19/Permentan/OT.140/4/2009 TENTANG SYARAT DAN TATA CARA PENDAFTARAN PAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ayam lokal persilangan merupakan ayam lokal yang telah mengalami

PENDAHULUAN. Daging ayam merupakan daging yang paling banyak dikonsumsi masyarakat

Tingkat Penggunaan Limbah Laju Pertumbuhan %

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN PERTANIAN. Jaminan Mutu Pangan.

SILASE TONGKOL JAGUNG UNTUK PAKAN TERNAK RUMINANSIA

Tanya Jawab Seputar DAGING AYAM SUMBER MAKANAN BERGIZI

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22/PERMENTAN/PK.110/6/2017 TENTANG PENDAFTARAN DAN PEREDARAN PAKAN

CUPLIKAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 02/Pert/HK.060/2/2006 TENTANG PUPUK ORGANIK DAN PEMBENAH TANAH

XIII. JAMUR DAN MIKOTOKSIN DALAM PANGAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi potong merupakan sumber utama sapi bakalan bagi usaha

MEWASPADAI CEMARAN AFLATOKSIN PADA PANGAN

=DITUNDA= PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 04/Pert/SR.130/2/2006 TENTANG

I. PENDAHULUAN. sangat besar untuk memenuhi kebutuhan daging di tingkat nasional. Kenyataan

BAB I PENDAHULUAN. Statistik peternakan pada tahun 2013, menunjukkan bahwa populasi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi perah merupakan salah satu jenis sapi yang dapat mengubah pakan

PENDAHULUAN. yang sangat penting untuk peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia.

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2012 TENTANG ALAT DAN MESIN PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PENDAHULUAN. Sapi perah merupakan sumber penghasil susu terbanyak dibandingkan

Bab V Standar Ransum

KEPUTUSAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 253/Kpts/OT.140/4/2004 TENTANG

A. Kesesuaian inovasi/karakteristik lokasi

I. PENDAHULUAN. dan siap untuk dimakan disebut makanan. Makanan adalah bahan pangan

TINJAUAN PUSTAKA. Nangka memiliki nama latin artocarpus heteropyllus sedangkan dalam

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

KEPUTUSAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 239/Kpts/ot.210/4/2003 TENTANG PENGAWASAN FORMULA PUPUK AN- ORGANIK MENTERI PERTANIAN,

BAB I PENDAHULUAN. dapat dijadikan bahan utama dalam pembuatan tempe. Tempe. karbohidrat dan mineral (Cahyadi, 2006).

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR: 58/Permentan/OT.140/8/2007 TENTANG PELAKSANAAN SISTEM STANDARDISASI NASIONAL DI BIDANG PERTANIAN

DUKUNGAN TEKNOLOGI PENYEDIAAN PRODUK PANGAN PETERNAKAN BERMUTU, AMAN DAN HALAL

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 20/Permentan/OT.140/2/2010 TENTANG SISTEM JAMINAN MUTU PANGAN HASIL PERTANIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

I. PENDAHULUAN. industri pertanian, dimana sektor tersebut memiliki nilai strategis dalam

LAPORAN PRAKTIKUM NUTRISI TERNAK UNGGAS DAN NON RUMINANSIA. Penyusunan Ransum dan Pemberian Pakan Pada Broiler Fase Finisher

BAB I PENDAHULUAN. yang cukup murah. Selain itu, jambu biji juga memiliki khasiat untuk

PENDAHULUAN. Latar Belakang. sangat berperan penting sebagai sumber asupan gizi yang dibutuhkan

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Padi Organik Dan Bekatul Organik. ditanam dan diolah menurut standar yang telah ditetapkan (IRRI, 2007).

PENDAHULUAN. memadai, ditambah dengan diberlakukannya pasar bebas. Membanjirnya susu

Bahan pada pembuatan sutra buatan, zat pewarna, cermin kaca dan bahan peledak. Bahan pembuatan pupuk dalam bentuk urea.

I. PENDAHULUAN. Pakan merupakan masalah yang mendasar dalam suatu usaha peternakan. Minat

Keamanan Pangan Asal Ternak: Situasi, Permasalahan dan Prioritas Penanganannya di Tingkat Hulu

1 I PENDAHULUAN. Penelitian, (1.5) Kerangka Pemikiran, (1.6) Hipotesis Penelitian, dan (1.7) Waktu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. nutrisi yang sesuai sehingga dapat dikonsumsi dan dapat dicerna oleh ternak yang

I. PENDAHULUAN. pakan ternak. Produksi limbah perkebunan berlimpah, harganya murah, serta tidak

VI. TEKNIK FORMULASI RANSUM

I. PENDAHULUAN. Pakan merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan usaha peternakan,

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pakan merupakan salah satu komponen terpenting dalam proses produksi

III. KEBUTUHAN ZAT-ZAT GIZI AYAM KUB. A. Zat-zat gizi dalam bahan pakan dan ransum

BAB I PENDAHULUAN. Ayam broiler merupakan salah satu sumber protein hewani yang gemar

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan daerah pada hakekatnya merupakan bagian integral dan

BAB I PENDAHULUAN. peternakan ayam petelur dipengaruhi oleh faktor bibit dan pakan. Pakan

FORMULASI RANSUM PADA USAHA TERNAK SAPI PENGGEMUKAN

Pemanfaatan Kulit Nanas Sebagai Pakan Ternak oleh Nurdin Batjo (Mahasiswa Pascasarjana Unhas)

HUBUNGAN VARIASI PAKAN TERHADAP MUTU SUSU SEGAR DI DESA PASIRBUNCIR KECAMATAN CARINGIN KABUPATEN BOGOR

Ditulis oleh Mukarom Salasa Minggu, 19 September :41 - Update Terakhir Minggu, 19 September :39

KOMBINASI AZOLLA MICROPHYLLA DENGAN DEDAK PADI SEBAGAI ALTERNATIF SUMBER BAHAN PAKAN LOKAL AYAM PEDAGING

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi

PENDAHULUAN. adalah Timbal (Pb). Timbal merupakan logam berat yang banyak digunakan

Transkripsi:

SITUASI CEMARAN MIKOTOKSIN PADA PAKAN DI INDONESIA DAN PERUNDANG UNDANGANNYA Djodi Achmad Hussain Suparto Direktorat Budidaya Peternakan Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan, Jakarta PENDAHULUAN Pakan, di satu sisi merupakan faktor penentu utama keberhasilan dalam usaha peternakan, yaitu bahwa Pakan: (i). merupakan komponen terbesar (sekitar 70%) dari total biaya produksi, (ii). sangat mempengaruhi produksi (siklus berahi, angka kelahiran, dll.), dan (iii). memberikan dampak yang besar pada kualitas hasil ternak (daging, telur, susu) maupun bahan asal ternak lain (kulit dan tulang), disisi lain, serta (iv). dapat mempengaruhi keamanan hasil ternak maupun bahan asal ternak lainnya (apabila Pakan tercemar), disisi lain, Pakan sangatlah mudah rusak karena terbuat sebagian besar dari hasil pertanian, peternakan dan perikanan ataupun bahan organik lain (perishable, voluminous, raw material). Oleh karena itu Pakan perlu bermutu agar produksi dan produktivitas ternak tinggi, sehingga menjamin keberhasilan usaha peternakan dan meningkatnya pendapatan serta keuntungan. Kerusakan pakan, selain memang sifatnya yang mudah rusak (perishable), juga disebabkan karena mudah tercemar (misalnya adanya mikotoksin/aflatoksin). Kerusakan pakan dapat juga disebabkan karena pemalsuan ataupun pencampuran, penyimpanan, dan prediksi penyediaan pakan ditingkat peternak yang kurang baik. Untuk mengatasi agar mutu pakan tetap terjaga dan sebagai upaya mewujudkan system jaminan mutu di Indonesia, Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan standardisasi melalui Peraturan Pemerintah (PP) No.15 Tahun 1991 tentang Standar Nasional Indonesia (SNI) serta Keputusan Presiden (Keppres) No.12 Tahun 1991 tentang Penyusunan, Penerapan dan Pengawasan Standar Nasional. PP dan Keppres tersebut memberikan dasar hukum bagi pelaksanaan Sistem Standardisasi Nasional (SSN) yang telah dicanangkan pada tahun 1994. Dengan dasar SSN, saat ini telah diterbitkan Sistem Standardisasi Pertanian / Standar Mutu Sub Sektor Peternakan, yang meliputi SNI Pakan (17 jenis), Persyaratan Mutu Bahan Baku Pakan (27 jenis), Persyaratan Pakan Non Ruminansia yang merupakan Revisi SNI Pakan (17 jenis), Persyaratan Teknis Minimal (PTM) Pakan Non Ruminansia (10 jenis) dan Persyaratan Teknis Minimal (PTM) Pakan Ruminansia (9 jenis). Standar Mutu Nasional yang diacu secara umum meliputi standar kandungan air, protein kasar, lemak kasar, serat kasar, abu, kalsium, phosphor, asam amino (lisin, methionin) dan aflatoksin. Batas toleransi kadar Alfatoksin berkisar antara 50 200 ppb pada bahan baku pakan, 20 50 ppb pada pakan non ruminansia, 50 ppb pada pakan konsentrat non ruminansia, dan antara 100 200 ppb pada pakan konsentrat ruminansia. Sebagai upaya agar Standar Mutu Pakan dapat diikuti dengan baik, Pemerintah melalui Departemen Pertanian telah menerbitkan Pedoman atau Peraturan mengenai Pakan yang dituangkan dalam Keputusan Menteri Pertanian. Ada 3 (tiga) buah Keputusan Menteri Pertanian yang merupakan suatu rangkaian dalam Sistem Mutu Pakan, yaitu Pedoman Cara Pembuatan Pakan Yang Baik (CPPB), Pedoman Pengawasan Mutu Pakan (PMP), serta Pendaftaran dan Labelisasi Pakan (PLP). 121

CPPB dimaksudkan agar pakan yang dibuat untuk diedarkan itu memenuhi standar mutu (sesuai SNI dan PTM) dan tujuan penggunaannya, sedangkan PMP dimaksudkan agar pakan yang diproduksi dan diedarkan / diperdagangkan sampai dengan diberikan kepada ternak tetap terjamin mutunya sesuai SNI dan PTM. Kemudian dengan PLP, mewajibkan seluruh pakan yang diproduksi dan diedarkan / diperdagangkan agar didaftarkan dan diberikan label (Labelisasi Pakan) sehingga Pakan selalu dapat dijaga mutu dan keamanannya. Yang perlu ditekankan adalah bahwa Sistem Mutu Pakan perlu dilaksanakan dengan sebaik baiknya, sehingga produksi dan produktivitas ternak meningkat, pendapatan dan keuntungan pun meningkat pula. CEMARAN MIKOTOKSIN (AFLATOKSIN) PADA PAKAN Saat ini para ahli nutrisi telah berhasil mengidentifikasi tidak kurang dari 200 jenis mikotoksin di seluruh dunia, sedang jenis mikotoksin yang banyak dijumpai di negara tropis seperti Indonesia, adalah aflatoksin. Berbagai jenis aflatoksin telah ditemukan, tetapi yang paling toksis adalah jenis aflatoksin B1 (AFB1). Yang lain adalah jenis B2, G1, G2, M1, M2, B2a, G2a, GM1, GM2, Q1, BG2 dan B3. Mikotoksin yang terdapat pada biji-bijian (seperti jagung) dapat mucul ketika kondisi lingkungan menguntungkan (favourable), dengan kisaran suhu antara 4 0 C s/d 40 0 C (optimum pertumbuhan adalah antara 25 0 C s/d 32 0 C), serta pada kadar air (optimum pertumbuhan pada 18 %) dan kelembaban tertentu (optimum pertumbuhan pada kelembaban relative 85 % atau lebih). Aflatoksin merupakan senyawa beracun atau salah satu kontaminan toksik yang dihasilkan oleh jamur sejumlah produk pangan dan pakan ternak, seperti Aspergillus flavus dan Aspergillus parasiticus yang banyak terdapat pada tanaman pangan dan bahan baku pakan terutama pada biji-bijian terutama pada jenis kacang kacangan, seperti jagung, kacang tanah, bungkil kacang tanah, biji kapas dan bungkil biji kapas. Aflatoksin pada tanaman dapat terjadi ketika masih berada di ladang/sawah, baik sebelum atau sesudah panen, pada tanaman yang membusuk maupun masa penyimpanan (pada biji bijian yang disimpan lama). Apabila Aflatoksin secara akumulatif terkonsumsi manusia, akan dapat menyebabkan penyakit kanker pada hati, ginjal dan usus besar manusia. Jika biji-bijian yang terkontaminasi aflatoksin dikonsumsi ternak, akan mengakibatkan suatu jenis penyakit pernafasan yang dikenal sebagai broder pneumonia. Aflatoksikosis atau keracunan aflatoksin pada ternak akan menyebabkan kerugian ekonomi yang besar bagi peternak, sebab dapat menurunkan fungsi kekebalan tubuh baik fungsi seluler maupun fungsi humoral sehingga ternak mudah sekali terserang berbagai penyakit. Pada angsa umumnya dapat terserang penyakit hati. Penurunan tingkat pertumbuhan dan tingkat efisiensi pakan terjadi apabila pakan mengandung level aflatoksin antara 100 s/d 400 ppb. Ternak yang muda dan ternak bibit adalah ternak yang paling sensitive pada aflatoksikosis. Kerusakan pada hati, perdarahan dan kematian dapat terjadi apabila level aflatoksin mencapai lebih dari 400 ppb. Pada level demikian, Babi bunting akan mengalami keguguran (abort sow) atau anak yang lahir akan mati (farrow dead pigs). Konversi pakan, produksi telur, dan kualitas daging dan susu, juga akan menurun dengan adanya intoksikasi aflatoksin. Penurunan kualitas daging pada unggas yang terjadi karena adanya cemaran aflatoksin adalah warna daging menjadi sangat pucat disebabkan rendahnya kandungan protrombin dalam sel darah merahnya. Oleh karena itu kontrol kualitas pangan dan pakan menjadi sangat penting untuk dilakukan demi menjaga keamanan pangan bagi masyarakat yang akan mengkonsumsi berbagai produk pangan. Berdasarkan pengamatan di lapangan, melalui hasil uji kadar aflatoksin di salah satu Laboratorium Pemerintah yang telah terakreditasi pada tahun 2003, dari 27 buah sample pakan dan atau bahan baku pakan yang diuji (dengan metode uji dan ELISA), terdapat 3 sampel pakan yang kandungan aflatoksinnya melampaui SNI yaitu 60 ppb, 70,6 ppb dan 123,3 ppb, dan 1 sampel bahan baku pakan (feed supplement) 122

yang kandungan aflatoksinnya juga melampaui SNI yaitu 60 ppb, sedangkan 23 sampel lainnya sudah sesuai SNI, yaitu berkisar dari yang terkecil, negative ppb sampai yang terbesar 50 ppb. Situasi cemaran alfatoksin pada pakan dan bahan baku pakan selama periode tahun 2003 2004 adalah seperti terlihat di bawah ini : HASIL UJI CEMARAN ALFATOKSIN PADA BEBERAPA PAKAN/BAHAN BAKU PAKAN PADA BALAI PENGUJIAN MUTU PAKAN TERNAK BEKASI TAHUN 2003 2004 No. Asal Sampel Tanggal Uji Jenis Sampel Alfatoksin (ppb) 1. PT. Behn Mayer 07-08-2003 Pakan No.34 30 (B1) 2. Kimia 07-08-2003 Pakan No.35 50 (B1) 3. 08-09-2003 Pakan (BDA2) 12 (B1) 4. 08-09-2003 Pakan (BDA1) 26 (B1) 5. 30-10-2003 Fermacto 12,2 (B1) 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. Disnak Prop. Sumatera Utara PT. Altech Jakarta PT. Care Banjarmasin 14-11-2003 12-03-2004 31-03-2004 304-S 311 N-311 321 324-2 511 N-511 N-512 520 521 BR-101 L-18 CA-03 L-175 C-424 Feed Control Alplex H5H6 Alplex H9H10 Premix with Alplex Dedak (Berau) Dedak (Pasir) Dedak (Samarinda) 2,8 2,2 0,3 2,9 7,8 13,6 1,5 5,1 1,6 43,5 0,1 70,6 123,3 43,1 1,6 60 (B1) 60 (B1) 50 (B1) Neg. (B1) Negatif Negatif 10 Metode Pengujian Keterangan Bahan Baku Pakan Feed Supplement Hasil uji di atas memberikan gambaran bahwa kadar cemaran aflatoksin dalam Pakan tidak terlalu dirisaukan. Mungkin yang perlu lebih diperhatikan adalah terhadap penyebab rendahnya kualitas atau mutu pakan saat ini, dengan sering terjadinya pemalsuan (kandungan nilai nutrisi pakan yang beredar tidak sama dengan yang tercantum pada label pakan) atau pencampuran (repacking), serta lamanya pakan itu disimpan di gudang dan prediksi penyediaan pakan di tingkat peternak yang kurang baik. Apabila ini terjadi, maka kandungan aflatoksin mungkin akan tinggi, dan akan terjadi hal hal yang tidak diinginkan. PERATURAN MUTU PAKAN Sebagai faktor penting dan strategis dalam peningkatan produksi dan produktivitas ternak, pakan (baik yang dibuat maupun yang diedarkan/diperdagangkan) haruslah memenuhi standar mutu serta tetap terjamin dan terjaga mutunya. Pakan yang bermutu adalah pakan yang telah sesuai dengan persyaratan minimal pada standar yang telah ditetapkan, baik menyangkut bahan baku, proses pembuatan, penyimpanan, distribusi sampai dengan pemberian pada ternak. Pengujian mutu pakan dan bahan baku 123

pakan mengaju pada persyaratan Standar Nasional Indonesia (SNI) dan Persyaratan Teknis Minimal (PTM) yang berlaku secara Nasional. Pengujian meliputi analisis zat makanan /proximate analysis, kadar Kalsium, Fosfor, Asam Amino (Lisin,Methionin), termasuk kadar cemaran racun seperti aflatoksin. Departemen Pertanian melalui Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan telah menyusun Pedoman atau Peraturan mengenai Pakan yang dituangkan dalam Keputusan Menteri Pertanian. Ada 3 (tiga) buah Keputusan Menteri Pertanian yang merupakan suatu rangkaian dalam Sistem Mutu Pakan, yaitu : (1) Pedoman Cara Pembuatan Pakan Yang Baik (CPPB), (2). Pedoman Pengawasan Mutu Pakan (PMP), dan (3) Pendaftaran dan Labelisasi Pakan (PLP). 1. Pedoman Cara Pembuatan Pakan Yang Baik (CPPB) Pedoman Cara Pembuatan Pakan Yang Baik (CPPB) yang dituangkan dalam Keputusan Menteri Pertanian No. 240/Kpts/OT.210/4/2003 adalah acuan bagi semua pihak yang terlibat dalam kegiatan pembuatan pakan. Ruang lingkupnya meliputi seluruh aspek produksi dan pengendalian mutu pakan mulai dari bahan bahan baku, proses produksi sampai penyimpanan dan pendistribusian pakan. Tujuan utama dari diterbitkannya peraturan ini adalah untuk menjamin agar pakan yang dibuat dan diedarkan memenuhi standar mutu dan tujuan penggunaannya sesuai Standar Nasional Indonesia (SNI) dan Persyaratan Teknis Minimal (PTM). Hal ini dimaksudkan agar konsumen terlindungi dari kerugian menurunnya produk dan produktivitas ternak akibat pakan yang dikonsumsi ternak bermutu rendah. Landasan pemikiran dibuatnya pedoman CPPB adalah bahwa mutu pakan tergantung pada proses pembuatan dan pengawasan mutu yang dilakukan, baik menyangkut mutu bangunan, peralatan yang digunakan maupun sumber daya manusia yang terlibat dalam proses pembuatannya. Dari pengawasan tersebut diharapkan akan dihasilkan pakan yang memenuhi standar mutu, setelah melalui serangkaian pengujian (analisis zat makanan / proximate analysis dan lain sebagainya) yang dilakukan oleh laboratorium milik Pemerintah atau Swasta yang telah diakreditasi atau yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian. Pakan yang bermutu tak akan dihasilkan tanpa melalui pengawasan menyeluruh sebagai suatu sistim manajemen mutu, mulai dari pengadaan dan penyimpanan serta penyiapan bahan baku, proses penggilingan, pencampuran, pembuatan pellet (peletting), pengepakan, pelabelan dan penyimpanan pakan, sampai dengan pengeluaran atau distribusi pakan. Apabila produsen telah memenuhi semua persyaratan yang ditentukan, maka akan diberikan sertifikat CPPB yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan. 2. Pedoman Pengawasan Mutu Pakan. Pedoman Pengawasan Mutu Pakan adalah acuan bagi aparatur yang melakukan pengawasan mutu pakan dalam melaksanakan tugasnya di lapangan, agar pakan yang diproduksi dan diedarkan/diperdagangkan sampai dengan diberikan kepada ternak, tetap terjamin mutunya sesuai SNI dan PTM yang telah ditetapkan. Pedoman yang tertuang dalam Keputusan Menteri Pertanian No. 241/Kpts/OT.210/4/2003 ini, hanya mengatur pembuatan dan peredaran pakan konsentrat dan pakan lengkap (completed feed). Latar belakang diterbitkannya peraturan ini adalah karena berlakunya UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan PP No.25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom. Dengan terbitnya kedua peraturan tersebut maka wewenang pengawasan di bidang pakan beralih dari Pemerintah Pusat kepada Daerah. Oleh karena itu dipandang perlu untuk diterbitkan Pedoman Pengawasan Mutu Pakan agar pengawasan peredaran pakan dapat berjalan sebagaimana yang diharapkan. Ruang lingkup Pedoman Pengawasan Mutu Pakan meliputi lokasi dan objek pengawasan, petugas pengawas mutu pakan, tatacara pengambilan sampel, tatacara pengawasan, pelaporan dan tindak lanjut hasil pengawasan. 124

3. Pendaftaran dan Labelisasi Pakan. Pendaftaran dan Labelisasi Pakan sebagaimana yang dituangkan dalam Keputusan Menteri Pertanian No. 242/Kpts/OT.210/4/2003, didasari pada pemikiran bahwa setiap jenis pakan yang diproduksi dengan maksud diedarkan/diperdagangkan wajib didaftarkan dan diberi label agar dapat dijaga mutu dan keamanannya. Kep. Mentan ini diharapkan dapat memperjelas pelaksanaan pendaftaran dan labelisasi pakan bagi pelaku usaha yang melakukan kegiatan di bidang produksi pakan. Ruang lingkup pengaturan pendaftaran dan labelisasi pakan meliputi ketentuan tentang syarat dan tatacara pendaftaran, pengujian, sertifikasi pakan, pemberian nomor pendaftaran, labelisasi pakan, serta pembinaan dan pengawasannya. Dengan dasar Kep. Mentan tersebut maka setiap orang atau badan hukum yang melakukan kegiatan usaha memproduksi pakan dengan maksud untuk diedarkan dan atau diperdagangkan, wajib didaftarkan dan berlabel. Pakan yang dihasilkan haruslah memenuhi standar mutu (SNI) dan persyaratan teknis minimal (PTM) serta didaftarkan kepada Direktur Jenderal Bina Produksi Peternakan. 4. Standar Nasional Indonesia (SNI) Pakan. Standar Nasional Indonesia (SNI) adalah standar yang dikeluarkan oleh Badan Standarisasi Nasional (BSN) dan berlaku secara Nasional. Standar Pakan yang sesuai dengan SNI adalah seperti terlihat pada Tabel-1 dan Tabel-2. 5. Persyaratan Teknis Minimal (PTM). Terhadap standar mutu pakan yang tidak atau belum ditetapkan dalam SNI, maka Menteri Pertanian menetapkan Persyaratan Teknis Minimal (PTM). Untuk pakan yang ditetapkan PTM oleh Menteri Pertanian terdiri atas PTM Pakan Konsentrat Non Ruminansia dan PTM Pakan Konsentrat Ruminansia seperti terlihat pada Tabel-3 dan Tabel-4. 6. Persyaratan Mutu Bahan Baku Pakan. Ketentuan ini mengatur tentang kriteria mutu bahan baku pakan yang baik sehingga layak diproses untuk dijadikan pakan. Persyaratan Mutu Bahan Baku Pakan yang tertuang dalam Keputusan Direktur Jenderal Peternakan Nomor 524/TN.250/KPTS/DJP/DEPTAN/1997 adalah sebagai terlihat pada Tabel-5 dan Tabel-6. P E N U T U P Kesimpulan 1. Mikotoksin seperti Aflatoksin saat ini belum mendapat perhatian yang serius di Indonesia. Tetapi walaupun demikian, Indonesia telah mempunyai standar ambang batas toleransi kandungan kadar Aflatoksin yang boleh ada pada pakan. 2. Batas toleransi kadar Aflatoksin, sebagaimana telah tercantum pada Standar Nasional Indonesia (SNI) Pakan maupun perubahannya, pada Persyaratan Mutu Bahan Baku Pakan dan pada Persyaratan Teknis Minimal (PTM) Pakan, baik Non Ruminansia maupun Ruminansia. Batas toleransi kadar Alfatoksin tersebut berkisar antara 50 200 ppb pada bahan baku pakan, 20 50 ppb pada pakan non ruminansia, 50 ppb pada pakan konsentrat non ruminansia, dan antara 100 200 ppb pada pakan konsentrat ruminansia. 3. Apabila kita lihat aturan ambang batas kadar Aflatoksin yang diterapkan di Luar Negeri, misalnya oleh USA, The Food and Drug Administration (FDA), telah menetapkan kadar ambang batas Aflatoksin adalah 0,5 ppb untuk kadar Aflatoksin M1 pada Susu, dan 20 ppb pada pakan sapi perah. Untuk bahan baku pakan seperti jagung, kadar Aflatoksin adalah 100 ppb untuk Sapi Bibit, Angsa Bibit dan Ayam Bibit. Terlihat bahwa standar yang diterapkan Indonesia masih lebih tinggi pada pakan (20 ppb vs. 50 200 ppb), maupun bahan baku pakan (100 ppb vs. 50 200 ppb). 125

4. Berdasarkan pengamatan di lapangan, melalui hasil uji kadar aflatoksin di BPMPT Bekasi, dari 27 buah sample pakan dan atau bahan baku pakan yang diuji, terdapat 3 sampel pakan yang kandungan aflatoksinnya melampaui SNI yaitu 60 ppb, 70,6 ppb dan 123,3 ppb, dan 1 sampel bahan baku pakan (feed supplement) yang kandungan aflatoksinnya juga melampaui SNI yaitu 60 ppb, sedangkan 23 sampel lainnya sudah sesuai SNI, yaitu berkisar dari yang terkecil, negative ppb sampai yang terbesar 50 ppb. Boleh dikatakan bahwa pakan dan bahan baku pakan relative masih aman untuk dikonsumsi dan cukup baik untuk digunakan. Ini memberikan gambaran bahwa kadar cemaran aflatoksin dalam Pakan tidak terlalu dirisaukan, kecuali apabila terjadi pemalsuan pakan, lamanya pakan disimpan di gudang dan lain sebagainya. Hal ini dapat diatasi dengan diikutinya Pedoman Mutu Pakan secara baik dan konsekuen. S a r a n 1. Aflatoksin perlu menjadi perhatian yang lebih serius bagi Pemerintah Indonesia. Perlu dilakukan pengkajian yang lebih mendalam mengenai aturan standar ambang batas kandungan Aflatoksin pada pakan dan ditingkatkannya pengujian kandungan aflatoksin di lapangan, baik jumlah maupun macam pakan yang digunakan. 2. Aturan Pakan yang ada perlu dipedomani dan diikuti secara baik dan konsekuen. 126