BAB II TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
TINJAUAN PUSTAKA. ontribusi sosial budaya. Perbedaan peran ini bukan disebabkan perbedaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA (INPRES) NOMOR 9 TAHUN 2000 (9/2000)

PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

AGROFORESTRI PENDAHULUAN. Apa itu Agroforestri? Cakupan pembahasan agroforestri

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dalam Undang-Undang RI No. 41 tahun 1999, hutan rakyat adalah hutan yang

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian merupakan salah satu tindakan yang mendukung untuk

PENDAHULUAN. 1 http ://cianjur.go.id (diakses15 Mei 2011)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

ANALISIS GENDER DALAM PENGELOLAAN AGROFORESTRI (Studi Kasus di Kawasan PLN Pangalengan Bandung) SANTI DWI RATNAPURI

DEFINISI OPERASIONAL

I. PENDAHULUAN. dan menjadi suatu sistem yang menguntungkan adalah sistem agroforestri.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. Indonesia. Pada tahun 2010 diperhitungkan sekitar 0,8 juta tenaga kerja yang

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB IX KESIMPULAN. bagaimana laki-laki dan perempuan diperlakukan dalam keluarga. Sistem nilai

I. PENDAHULUAN. masyarakat dengan memperhatikan tiga prinsip yaitu secara ekologi tidak merusak. waktu, aman dan terjangkau bagi setiap rumah tangga.

Alang-alang dan Manusia

MARGINALISASI PEREMPUAN DALAM PEMBANGUNAN PERTANIAN

VI. ALOKASI WAKTU KERJA, KONTRIBUSI PENDAPATAN, DAN POLA PENGELUARAN RUMAHTANGGA PETANI LAHAN SAWAH

ANALISIS HASIL PENELITIAN

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 2.1 Faktor yang Mempengaruhi Wanita Bekerja. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Riyani, dkk (2001) mengenai

IX. KESIMPULAN DAN SARAN. petani cukup tinggi, dimana sebagian besar alokasi pengeluaran. dipergunakan untuk membiayai konsumsi pangan.

II. TINJAUAN PUSTAKA. berinteraksi dalam satu sistem (pohon, tanaman dan atau ternak) membuat

PERATURAN DAERAH KOTA BANJARBARU NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB II LANDASAN TEORI

KEBIJAKAN PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN (PPRG) DALAM PERUBAHAN IKLIM

PERANAN WANITA DALAM PEMBANGUNAN BERWAWASAN GENDER

BAB I PENDAHULUAN. pada pulau. Berbagai fungsi ekologi, ekonomi, dan sosial budaya dari

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. kesempatan kerja sangatlah terbatas (Suratiyah dalam Irwan, 2006)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

PEMERINTAH KABUPATEN SIDENRENG RAPPANG

KONTRIBUSI EKONOMI PEREMPUAN. Dr. Ir. Herien Puspitawati, M.Sc., M.Sc

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 1998 TENTANG PENYERAHAN SEBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN DI BIDANG KEHUTANAN KEPADA DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. Pengrajin bambu merupakan mata pencaharian sebagian besar masyarakat

Geografi KEARIFAN DALAM PEMANFAATAN SUMBER DAYA ALAM II. K e l a s. C. Pertanian Organik

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Salah satu masalah pokok yang dihadapi Pemerintah Indonesia sebagai negara

TINJAUAN PUSTAKA. Hutan kemasyarakatan atau yang juga dikenal dengan community forestry

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. sumber mata pencahariannya. Mereka memanfaatkan hasil hutan baik hasil hutan

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan kualitas hidup manusia merupakan upaya yang terus

I. PENDAHULUAN. Sasaran pembangunan pertanian tidak saja dititik-beratkan pada. peningkatan produksi, namun juga mengarah pada peningkatan

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB V PROFIL RUMAHTANGGA MISKIN DI DESA BANJARWARU

BAB I PENDAHULUAN , pada RPJMNtahap-3 ( ), sektor pertanian masih. menjadi sektor penting dalam pembangunan ekonomi nasional.

II. TINJAUAN PUSTAKA. pertanian dan peternakan untuk mendapatkan keanekaragaman dan berkelanjutan

PENDAHULUAN Latar Belakang

KERANGKA PENDEKATAN TEORI. bangunan. Jika bangunan tersebut rumah, maka disebut pekarangan rumah.

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN. terdapat di Indonesia, baik sebagai tanaman liar maupun sebagai tanaman di

PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. pertanian meliputi sub-sektor perkebunan, perikanan, dan perikanan.

PP 62/1998, PENYERAHAN SEBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN DI BIDANG KEHUTANAN KEPADA DAERAH *35837 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP)

I. PENDAHULUAN. Tabel 1.1 Penduduk Indonesia usia 15 tahun ke Atas yang Bekerja Menurut Lapangan Pekerjaan Utama, (juta orang) No.

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR : 132 TAHUN 2003 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. Perum Perhutani adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang diberi

TINJAUAN PUSTAKA. kehidupan mulai dari tanaman keras, non kayu, satwa, buah-buahan, satuan budi

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 15 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN UMUM PELAKSANAAN PENGARUSUTAMAAN GENDER DI DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PENDAHULUAN. dimiliki oleh petani masih dalam jumlah yang sangat terbatas.

I. PENDAHULUAN. Berkurangnya hutan tropis untuk kepentingan pertanian terkait dengan upayaupaya

Kontribusi Pendapatan Buruh (Lisna Listiani)

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BUPATI BINTAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU PERATURAN DAERAH KABUPATEN BINTAN NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DIDAERAH

BAB II. GAMBARAN UMUM WILAYAH DAN PEMBANGUNAN PENDIDIKAN DI KABUPATEN SUMBA BARAT

I. PENDAHULUAN. Salah satu tujuan pembangunan pertanian di Indonesia adalah

MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN BUPATI BULUNGAN TENTANG PEDOMAN UMUM PELAKSANAAN PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DI KABUPATEN BULUNGAN.

VIII. RINGKASAN DAN SINTESIS

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUNINGAN NOMOR 16 TAHUN 2013 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat dilakukan secara tradisional untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 248,8 juta jiwa dengan pertambahan penduduk 1,49%. Lajunya tingkat

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. rumahtangga yang mengusahakan komoditas pertanian. Pendapatan rumahtangga

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang harus dilindungi keberadaannya. Selain sebagai gudang penyimpan

BAB I PENDAHULUAN. dan pertumbuhan ekonomi nasional tekanan terhadap sumber daya hutan semakin

BAB V GAMBARAN UMUM RESPONDEN

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, DAN KERANGKA PEMIKIRAN

PENDAHULUAN. kadang-kadang tidak mencukupi (Ekstensia, 2003). Peran sektor pertanian di Indonesia terlebih di Sumatera Utara

PENDAHULUAN. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia hingga saat ini masih tergolong negara yang sedang berkembang dengan tingkat pertumbuhan penduduk yang

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL (Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul) Nomor : 2 Tahun : 2015

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 14 INSTRUMEN PENELITIAN STUDI KELUARGA. Oleh: Herien Puspitawati Tin Herawati

BAB I PENDAHULUAN. daerah pesisir pantai yang ada di Medan. Sebagaimana daerah yang secara

BUPATI KOTABARU PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 16 TAHUN 2013 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN KABUPATEN KOTABARU

ANALISIS GENDER. SUYATNO, Ir. MKes FKM UNDIP SEMARANG, 2009

BUPATI SOPPENG PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SOPPENG NOMOR 2 TAHUN 2017 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH

BAB VI PEMBAHASAN. pelaksanaan, dan hasil terhadap dampak keberhasilan FMA agribisnis kakao di

I. PENDAHULUAN. dan pengurangan kemiskinan. Untuk mencapai tujuan tersebut perlu

AGROFORESTRY : SISTEM PENGGUNAAN LAHAN YANG MAMPU MENINGKATKAN PENDAPATAN MASYARAKAT DAN MENJAGA KEBERLANJUTAN

Transkripsi:

6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Agroforestri Secara umum agroforestri adalah manajemen pemanfaatan lahan secara optimal dan lestari, dengan cara mengkombinasikan kegiatan kehutanan dan pertanian pada unit pengelolaan lahan yang sama, dengan memperhatikan kondisi lingkungan fisik, sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat yang berperan serta. Agroforestri juga merupakan sistem pengelolaan hutan dengan menerapkan pola budidaya tanaman hutan dengan tanaman pertanian, peternakan, dan perikanan baik pada saat yang sama maupun yang berurutan dengan tujuan peningkatan produktivitas dan kelestarian hutan (Perum Perhutani 1990). Menurut Michon et al. (2000), agroforestri lebih tepat diartikan sebagai tema penghimpun, yang dibahas dari berbagai segi sesuai dengan minat masingmasing ilmu. Agroforestri adalah nama bagi sistem-sistem dan teknologi penggunaan lahan dimana pepohonan berumur panjang (termasuk semak, palem, bambu, kayu, dll) dan tanaman pangan atau pakan ternak berumur pendek diusahakan pada petak lahan yang sama dalam suatu pengaturan ruang dan waktu. Dalam sistem agroforestri terjadi interaksi ekologi dan ekonomi antar unsurunsurnya. Ternyata bermacam-macam pola agroforestri yang tidak terhitung jumlahnya di seluruh kepulauan Indonesia, dapat dikelompokan menjadi dua kategori utama, yaitu: 1. Sistem agroforestri sederhana, yaitu perpaduan-perpaduan konvensional yang terdiri atas sejumlah kecil unsur, menggambarkan apa yang kini dikenal sebagai skema agroforestri, biasanya perhatian terhadap perpaduan tanaman itu menyempit menjadi satu unsur pohon yang memiliki peran ekonomi penting atau yang memiliki peran ekologi dan sebuah unsur tanaman musiman, atau jenis tanaman lain. Sistem agroforestri sederhana menjadi salah satu ciri umum pada pertanian komersil. 2. Sistem agroforestri kompleks atau agroforest, adalah sistem-sistem yang terdiri dari sejumlah besar unsur pepohonan, perdu, tanaman musiman dan atau rumput. Penampakan fisik dan dinamika di dalamnya mirip dengan

7 ekosistem hutan alam primer maupun sekunder. Pada sistem agroforestri kompleks, pepohonannya dimiliki petani dan pada tahap dewasa petani tetap memadukan bermacam-macam tanaman lain yang bermanfaat. Pemaduan terus berlangsung pada keseluruhan masa keberadaan agroforest. 2.2 Pengertian Gender Gender adalah pembedaan peran, status, pembagian kerja yang dibuat oleh sebuah masyarakat berdasarkan jenis kelamin. Gender berbeda dengan jenis kelamin (sex). Gender adalah bentukan manusia bukan kodrat, yang artinya dapat berubah setiap saat (Simatauw et al 2001). Sedangkan gender menurut Inpres No.9 tahun 2000 dalam Kelompok Kerja Convention Watch adalah konsep yang mengacu pada peran-peran dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan yang terjadi akibat dari dan dapat berubah oleh keadaan sosial dan budaya masyarakat. Pengarusutamaan Gender adalah strategi yang dibangun untuk mengintegrasikan gender menjadi satu dimensi integral dari perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan dan program pembangunan nasional. Kesetaraan Gender adalah kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan dan hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan keamanan nasional, dan kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan tersebut. Analisa Gender adalah proses yang dibangun secara sistematik untuk mengidentifikasi dan memahami pembagian kerja/peran laki-laki dan perempuan, akses dan kontrol terhadap sumber-sumber daya pembangunan, partisipasi dalam proses pembangunan dan manfaat yang mereka nikmati, pola hubungan antara laki-laki dan perempuan yang timpang, yang di dalam pelaksanaannya memperhatikan faktor-faktor lainnya seperti kelas sosial, ras, dan suku bangsa Dalam semua strata, terindikasi bahwa peran dan status wanita dalam mengurus keberlangsungan rumah tangga lebih tinggi dibanding pria (kepala keluarga). Dominasi peran dan status tersebut menunjukkan tingginya potensi wanita untuk mengendalikan dan mengarahkan rumah tangganya, ke arah lebih baik atau menjadi semakin buruk. Hal tersebut diperkuat bahwa pada

8 kenyataannya lebih 50 persen dari total penduduk Indonesia adalah wanita (BPS 1990-2006) Kesetaraan dan keadilan gender (KKG) adalah suatu kondisi yang setara dan seimbang antara laki-laki dan perempuan dalam memperoleh peluang/ kesempatan, partisipasi, kontrol dan manfaat pembangunan pendidikan untuk mewujudkan secara penuh hak-hak hambatan-hambatan berperan baik bagi perempuan maupun laki-laki (Puspitawati 2007). 2.3 Gender dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan Sumberdaya alam adalah sumber kehidupan, tanpa itu manusia tidak dapat hidup. Karena itu pula sumberdaya alam hampir selalu menjadi pusat perebutan kepentingan antar manusia. Gender sangat berhubungan dengan penguasaan dan pengelolaan sumberdaya alam, karena didalamnya terkait persoalan hubungan kuasa dan peran antara laki-laki dan perempuan dalam menjadikan alam sebagai sumber kehidupan. Terdapat beberapa dilema yang harus dihadapi dalam upaya menangani persoalan perempuan dan sumberdaya alam, yaitu persoalan sumber daya alam selama ini di pandang hanya persoalan laki-laki. Penguatan rakyat ditumpukan pada kepemimpinan lokal yang ada dan umumnya juga berada pada laki-laki. Keluarga atau rumah tangga merupakan satuan masyarakat terkecil dimana segala macam hubungan antara laki-laki dan perempuan dapat tercermin. Mulai dari pembedaan peran, pembagian kerja, penguasaan dan akses atas sumbersumber baik fisik, maupun ideologis, hak dan posisi (Simatauw et al 2001). Salah satu usaha untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat serta menjaga kelestarian hutan yang dilakukan oleh perhutani adalah program perhutanan sosial yang merupakan program pembangunan hutan dengan mengikutsertakan masyarakat sekitar. Program ini ditujukan bagi masyarakat secara keseluruhan baik laki-laki maupun wanita (Hatmayanti 1990). Hutauruk (1990) mengatakan bahwa data mikro menunjukan partisipasi wanita dalam program perhutanan sosial oleh Perum Perhutani, melalui keluarga dan rumah tangga serta masyarakat luas cukup nyata.

9 Perempuan selalu dikaitkan dengan alam maka pembahasnya lingkungan menjadi penting, peran perempuan telah dirasakan dalam proses peningkatan produktivitas lahan, pemungutan hasil hutan non kayu, industri hasil hutan, penanaman, pembibitan, dan lain-lain. Peran gender pula yang mengakibatkan perempuan memiliki tugas seharihari yang sangat erat terkait dengan kelestarian lingkungan sebagai sumber pemenuhan kehidupan keluarga. Perempuan yang hidup di pedesaan menanam tanaman obat, sayuran, tanaman keras yang komersil untuk keperluan keluarganya, disamping untuk memenuhi kebutuhan keluarga kegiatan penanaman juga dapat melestarikan dan mendukung usaha konservasi sumberdaya hutan. Perempuan mendapatkan kebutuhan hidup dari hutan, memiliki pengetahuan mendalam serta sistematis mengenai proses-proses alam serta yakin bahwa mereka harus pula memulihkan kekayaan alamnya (Rosalinda 2009). Menurut Simatauw et al (2001) kaitan perempuan dengan pembangunan kehutanan khususnya dalam upaya konservasi sumberdaya hutan, jika ditinjau lebih jauh ternyata memiliki sifat sebagai pemelihara kelestarian yang cocok dengan sifat lingkungan itu sendiri. 2.4 Gender dan Pembagian Tugas Dalam hal kegiatan rumah tangga, diketahui bahwa curahan kerja wanita pada stratum jauh lebih besar dibandingkan dengan pria. Curahan kerja wanita tertinggi pada kegiatan memasak. Terdapat kecenderungan bahwa wanita memiliki tanggung jawab yang lebih besar dalam pekerjaan rumah tangga yang ditunjukan dengan jam kerja yang relatif besar. Namun demikian tampaknya sudah ada perubahan norma masyarakat, dimana pria juga terlibat dalam pekerjaan rumah tangga (Hutauruk 1990). Posisi perempuan dalam pembagian kerja juga lemah. Perempuan cenderung menerima dan berkompromi dengan suami dan keluarga besar untuk diberikan posisi dalam aspek domestik sesuai dengan anjuran budaya (Puspitawati 2009).

10 Saat ini perempuan bukan hanya sebagai pekerja domestik atau pekerja rumah tangga yang dikategorikan sebagai pekerja bukan produktif, sehingga tidak diperhitungkan dalam statistik ekonomi negara, padahal perempuan yang berasal dari keluarga miskin juga berperan produktif dalam menyumbang ekonomi keluarga yaitu dengan melakukan pekerjaan yang mendapatkan upah, perempuan juga berperan mempunyai peran yang berkaitan dengan pengelolaan komunitas (community managing work). Dalam hubungannya dengan gender masyarakat komunal biasanya membagi peran antara laki-laki dan perempuan lebih adil. Perempuan dan laki-laki tidak terlalu memiliki masalah dalam urusan beban kerja. Hanya saja yang mesti dilihat apakah dalam pembedaan peran tersebut perempuan memiliki kesempatan untuk bertindak lain dibandingkan laki-laki (Rosalinda 2009). Menurut Supriyantini (2002) dalam Mardiana (2010) membedakan pandangan peran gender melalui dua bagian yaaitu peran gender tradisional dan peran gender modern. a. Peran gender tradisional Pandangan ini membagi tugas secara tegas berdasarkan jenis kelamin. Lakilaki yang mempunyai pandangan peran gender yang tradisonal, tidak ingin perempuan menyamakan kepentingan dan minat diri sendiri dengan kepentingan keluarga secara keseluruhan. b. Peran gender modern Dalam peran gender modern, tidak ada lagi pembagian tugas yang berdasarkan jenis kelamin secara kaku, kedua jenis kelamin diperlakukan sejajar atau sederajat. Laki-laki mengakui minat dan kepentingan perempuan sama pentingnya dengan minat laki-laki, menghargai kepentingan pasangannya dalam setiap masalah rumahtangga dan memutuskan masalah yang dihadapi secara bersama-sama. Perempuan yang berpandangan modern berusaha memusatkan perhatiannya untuk mencapai minatnya sendiri yang tidak lebih rendah dari minat suami. 2.5 Gender dalam Pengambilan Keputusan Menurut Roosganda (2007), selama ini peran perempuan dalam sektor pertanian di pedesaan sangat tinggi namun seringkali tidak dilibatkan dalam

11 proses pengambilan keputusan yang berkaitan dengan pengembangan sektor pertanian, karena wanita yang turut bekerja di usahatani, tidak dianggap berprofesi sebagai petani, tetapi hanya sebagai isteri (anggota keluarga) petani, yang wajib membantu segala pekerjaan suami (petani). Menurut Simatauw et al 2001, mengatakan bahwa perempuan memiliki banyak sekali beban pekerjaan yang dilimpahkan kepada mereka, namun dalam beberapa kasus yang terjadi di Indonesia perempuan tetap tidak memiliki peluang dalam pengambilan keputusan. Perempuan amat jarang atau bisa dikatakan tidak pernah dilibatkan dalam perundingan-perundingan di tingkat masyarakat maupun dengan pemerintah atau perusahaan. Padahal dilihat dari cara mengelola sumberdaya alam, seperti bercocok tanam misalnya, perempuan mengeluarkan waktu dan tenaga lebih banyak dibandingkan laki-laki. Di dalam rumah tangga setiap hal yang menyangkut kepentingan keluarga atau bahkan pribadi-pribadi anggota memiliki cara tertentu untuk mengambil keputusan. Ada keluarga yang pengambilan keputusan tertinggi adalah ayah, ada yang bersama-sama (ayah dan ibu), ada pula yang ibu saja. Kadangkala pengambilan keputusan memiliki jenjang berdasar umur dan jenis kelamin. Posisi perempuan dalam pengambilan keputusan yang berhubungan dengan kepemilikan asset, penentuan pendidikan anak, peminjaman kredit dan hal-hal yang berhubungan dengan pekerjaan suami adalah lemah. Posisi perempuan dalam pengambilan keputusan yang berhubungan dengan pekerjaannya sendiri juga lemah (Puspitawati 2007). Penempatan kaum perempuan dalam posisi yang seolah-olah tidak penting dalam aktivitas pengelolaan sumber daya alam ini disebabkan adanya mitos negatif yang masih berkembang, antara lain: perempuan adalah istri dirumah, hasil hutan adalah domain laki-laki, laki-laki adalah kepala rumah tangga, perempuan adalah anggota masyarakat yang pasif, perempuan kurang produktif dibanding laki-laki (Suharjito et al.2003). Berdasarkan hasil penelitian Kaban (2005) di Kabupaten Karo, menyebutkan bahwa, kesetaraan perempuan dalam pengambilan keputusan di dalam keluarga pada masyarakat Karo tidak bersifat statis melainkan dinamis sesuai dengan salah satu sifat hukum adat. Perubahan itu selalu dipengaruhi oleh

12 pengetahuan, pengalaman, lingkungan, kepercayaan yang dimiliki oleh masyarakat setempat. Sesuai dengan pola hubungan masing-masing pelaku dalam rumah tangga dan dalam masyarakat yang lebih luas, wanita dan pria dapat mempunyai posisi dan peranan yang berbeda dalam pengambilan keputusan. Pengambilan keputusan di bidang produksi misalnya tidak selalu mutlak dilakukan oleh pria saja atau wanita saja. Orang akan mengira bahwa segala sesuatu hanya diputuskan oleh pria, padahal sebenarnya dalam hal ini wanitapun mempunyai peranan yang setara. Dalam bidang konsumsi, sebagai pelaku yang menentukan segala sesuatunya wanita berada pada posisi yang kuat, tetapi hal ini tidak berarti bahwa pria tidak turut menentukan, ternyata priapun turut terlibat dalam kegiatan konsumsi (Sajogyo et al. 1980).