MEMORANDUM OF UNDERSTANDING

dokumen-dokumen yang mirip
Nota Kesepahaman. antara Pemerintah Republik Indonesia Dan. Gerakan Aceh Merdeka

Nota Kesepahaman. antara. Pemerintah Republik Indonesia. dan. Gerakan Aceh Merdeka

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

-1- RANCANGAN QANUN ACEH NOMOR TAHUN 2015 TENTANG BADAN REINTEGRASI ACEH

RUU ACEH PRESENT UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Keempat daerah khusus tersebut terdapat masing-masing. kekhususan/keistimewaannya berdasarkan payung hukum sebagai landasan

-1- QANUN ACEH NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG BADAN REINTEGRASI ACEH BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN NAMA ALLAH YANG MAHA PENGASIH LAGI MAHA PENYAYANG

QANUN ACEH NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG PENANGGULANGAN BENCANA BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHAKUASA GUBERNUR ACEH,

Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat Manusia

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2003 TENTANG PEMILIHAN UMUM PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN

-1- PENJELASAN ATAS QANUN ACEH NOMOR 17 TAHUN 2013 TENTANG KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI ACEH

- 2 - MEMUTUSKAN. 12. Kemitraan.../3 AZIZ/2016/PERATURAN/KEMITRAAN DALAM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

MENGHADIRKAN KOMISI KEBENARAN DI ACEH: SEBUAH TANTANGAN INDONESIA UNTUK BERPIHAK PADA KEBENARAN DAN KEADILAN

BAB I PENDAHULUAN. Aceh dengan fungsi merumuskan kebijakan (legislasi) Aceh, mengalokasikan

MENEGAKKAN TANGGUNG JAWAB MELINDUNGI: PERAN ANGGOTA PARLEMEN DALAM PENGAMANAN HIDUP WARGA SIPIL

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB III PEMBANGUNAN BIDANG POLITIK

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2010 TENTANG KERJA SAMA PEMERINTAH ACEH DENGAN LEMBAGA ATAU BADAN DI LUAR NEGERI

R U J U K A N UNDANG UNDANG DASAR 1945 DALAM PUTUSAN-PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2001 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

STATUTA INSTITUT INTERNASIONAL UNTUK DEMOKRASI DAN PERBANTUAN PEMILIHAN UMUM*

TERBENTUKNYA GAM DAN RMS SEBAGAI BUKTI LEMAHNYA PENERAPAN PANCASILA

BAB V PENUTUP. Skripsi ini meneliti mengenai peran Aceh Monitoring Mission (AMM)

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2001 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN TATA TERTIB DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2001 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN TATA TERTIB DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH

-1- QANUN ACEH NOMOR 12 TAHUN 2013 TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH ACEH TAHUN

QANUN ACEH NOMOR 13 TAHUN 2012 TENTANG PINJAMAN DAN HIBAH KEPADA PEMERINTAH ACEH DAN PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA

PROTOKOL OPSIONAL KONVENSI HAK-HAK ANAK MENGENAI KETERLIBATAN ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA

2016, No Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menjadi Undang- Undang; b. bahwa Pasal 22B huruf a dan huruf b Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tent

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

QANUN ACEH NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG ACEH TAHUN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

2008, No.2 2 d. bahwa Partai Politik merupakan sarana partisipasi politik masyarakat dalam mengembangkan kehidupan demokrasi untuk menjunjung tinggi k

WALIKOTA LHOKSEUMAWE

KONVENSI INTERNASIONAL PENGHAPUSAN SEGALA BENTUK DISKRIMINASI RAS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN KOMISI PEMILIHAN UMUM NOMOR TAHUN 2012 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

QANUN ACEH NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG SUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA DINAS REGISTRASI KEPENDUDUKAN ACEH

Diadopsi oleh resolusi Majelis Umum 53/144 pada 9 Desember 1998 MUKADIMAH

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

I. PENDAHULUAN. pemerintah negara indonesia yang melindungi segenap bangsa indonesia dan

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2010 TENTANG KERJA SAMA PEMERINTAH ACEH DENGAN LEMBAGA ATAU BADAN DI LUAR NEGERI

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

RUU TENTANG PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN SENDIRI DI ACHEH YANG MENGACU KEPADA MOU HELSINKI 15 AGUSTUS Ahmad Sudirman Stockholm - SWEDIA.

PROYEK TINDAK LANJUT PROSES PERDAMAIAN ACEH

BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kehadiran Partai Politik Lokal di Aceh merupakan suatu bukti

SAMBUTAN MENTERI NEGARA PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/KEPALA BAPPENAS

DENGAN RAHMAT TUHAN Y ANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENGENAAN SANKSI ADMINISTRATIF KEPADA PEJABAT PEMERINTAHAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia,

BUPATI PURWOREJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWOREJO NOMOR 14 TAHUN 2011 TENTANG

AMANDEMEN II UUD 1945 (Perubahan tahap Kedua/pada Tahun 2000)

KOMISI PEMILIHAN UMUM KABUPATEN BULELENG PETUNJUK TEKNIS PEMANTAU PEMILIHAN, LEMBAGA SURVEI ATAU JAJAK PENDAPAT DAN PENGHITUNGAN CEPAT

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH

QANUN ACEH NOMOR 18 TAHUN 2013 TENTANG

DEKLARASI PEMBELA HAK ASASI MANUSIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PENGADAAN PINJAMAN LUAR NEGERI DAN PENERIMAAN HIBAH

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 85/PUU-XV/2017 Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan

2012, No d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu membentuk Undang-Undang tentang Penang

Konsekuensi dari Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara Langsung?

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR 3 TAHUN 2005 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2002 TENTANG PARTAI POLITIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DEWAN KEHORMATAN PENYELENGGARA PEMILU REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN KOMISI PEMILIHAN UMUM NOMOR TAHUN 2012 TENTANG

PERATURAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM NOMOR 14 TAHUN 2013 TENTANG

PENJELASAN ATAS UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2006 TENTANG PEMERINTAHAN ACEH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

2008, No.59 2 c. bahwa dalam penyelenggaraan pemilihan kepala pemerintah daerah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pem

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH

-1- QANUN ACEH NOMOR 12 TAHUN 2016 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR DAN WAKIL GUBERNUR, BUPATI DAN WAKIL BUPATI, SERTA WALIKOTA DAN WAKIL WALIKOTA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membuat UU. Sehubungan dengan judicial review, Maruarar Siahaan (2011:

2017, No sesuai dengan perkembangan kebutuhan hukum, sehingga perlu diganti; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huru

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2015 NOMOR 7

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2007 TENTANG PARTAI POLITIK LOKAL DI ACEH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

WALIKOTA LHOKSEUMAWE

NOMOR 31 TAHUN 2002 TENTANG PARTAI POLITIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Transkripsi:

KOMPILASI PERMASALAHAN MENGENAI PELAKSANAAN MEMORANDUM OF UNDERSTANDING HELSINKI PARTAI NASIONAL ACEH KONIGSTEDT MANOR Konigstedt Manor di Finlandia merupakan saksi bersejarah tempat berlansungnya perundingan perwakilan Pemerintah RI dan Gerakan Aceh merdekan (GAM) MoU antara RI dan GAM Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) menegaskan komitmen mereka untuk penyelesaian konflik Aceh secara damai, menyeluruh, berkelanjutan dan bermartabat bagi semua. Para pihak bertekad untuk menciptakan kondisi sehingga pemerintahan rakyat Aceh dapat diwujudkan melalui suatu proses yang demokratis dan adil dalam negara kesatuan dan konstitusi Republik Indonesia. Para pihak sangat yakin bahwa hanya dengan penyelesaian damai atas konflik tersebut yang akan memungkinkan pembangunan kembali Aceh pasca Tsunami tanggal 26 Desember 2005 dapat mencapai kemajuan dan keberhasilan. Para pihak yang terlibat dalam konflik bertekad untuk membangun rasa saling percaya. Nota Kesepahaman ini memerinci isi persetujuan yang dicapai dan prinsip- prinsip yang akan memandu proses transformasi. Perunding Gerakan Aceh Merdeka (GAM) Foto, di ambil pada tangal 28 Januari 2005, pada saat perundingan pertama di Finlandia Foto di atas sebelah kiri: dr.zaini Abdullah Malik Mahmud Martti Ahtisaari (Mantan Presiden Finlandia) Nurdin Abdul Rahman Bakhtiar Abdullah Muhammad Nur Djuli Support Group: Shadia Marhaban, Teuku Hadi, Munawar Liza, Dr. Damien Kingsbury, Dr. Vacy Vlana, Prof.Dr. Ramasamy Jadwal Perundingan: 1.- 28. Jan - 29. Jan. 2005 2.- 21. Feb - 25. Feb. 2005 3.- 12. Apr. - 17. Apr. 2005 4.- 26. Mai - 31. Mai 2005

1.1 Undang-undang tentang penyelenggaraan pemerintahan di Aceh 1.1.1 Undang-undang baru tentang Penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh akan diundangkan dan akan mulai berlaku sesegera mungkin dan selambat-lambatnya tanggal 31 Maret 2006. Kegagalan ini menjadikan klausaklausa UUPA seolah-olah tidak mempunyai relevansi apa-apa dengan MoU. Bahkan timbul tafsiran bahwa UU Pemerintahan Aceh adalah hadiah Pemerintah Pusat untuk Aceh, yang sakral, harga mati, jangan diganggu gugat, nanti dicabut kembali... 1) PNA berpendapat bahwa UUPA Jelas melanggar Nota Kesepahaman terutama beberapa ketentuan UU tersebut, sehingga kami ingin ketentuan-ketentuan itu diamandemen sesegera mungkin dalam versi revisi UU Pemerintahan Aceh. Nota Kesepahaman tidak disebutkan dalam bagian pembukaan UU Pemerintahan Aceh padahal pembuatan UU ini merupakan salah satu ketentuan esensial Nota Kesepahaman. Oleh karena itu, kami memandang Nota Kesepahaman sebagai sumber hukum yang mengikat bagi UU Pemerintahan Aceh. Ketiadaan penyebutan Nota Kesepahaman di dalam UUPA itu bertentangan dengan semangat Nota Kesepahaman. Dengan alasan-alasan yang dijelaskan lebih lanjut di bawah ini, Nota Kesepahaman perlu disebutkan dalam pembukaan UU Pemerintahan Aceh. Bertolak belakang dengan sikap Pemerintah Indonesia bahwa Nota Kesepahaman tidak dapat disebutkan dalam bagian pembukaan UU Pemerintahan Aceh tersebut seperti dinyatakan dalam surat Pemerintah Indonesia kepada Pieter Feith tanggal 28 Agustus 2006, kami berpendapat bahwa Nota Kesepahaman dapat disebutkan pada bagian konsiderans pembukaan (menimbang) yang menjelaskan alasan-alasan penyusunan undang-undang. Menurut UU No 10/2004, bagian konsiderans (menimbang) itu memuat uraian singkat mengenai latar belakang pemikiran dan alasan penyusunan peraturan perundang-undangan, sedangkan juga menurut UU No 10/2004 Penjelasan Umum memuat uraian secara sistematis mengenai latar belakang pemikiran, maksud dan tujuan penyusunan peraturan perundang-undangan yang telah tercantum secara singkat dalam butir konsiderans (menimbang) peraturan perundang-undangan tersebut. Hal ini membuat kami menyimpulkan bahwa substansi Penjelasan Umum dapat dan seharusnya secara prinsip sama dengan bagian konsiderans (menimbang) pada pembukaan. Oleh karena itu, kami memandang sama sekali beralasan apabila Nota Kesepahaman dapat disebutkan dalam Penjelasan Umum, tetapi tidak dinyatakan dalam bagian konsiderans (menimbang) pembukaan. Kami juga yakin bahwa penyebutan Nota Kesepahaman dalam bagian pembukaan ini tidak dapat dijadikan dasar uji materi perundangundangan (judicial review). Sebaliknya, penyebutan Nota Kesepahaman dalam bagian konsiderans (menimbang) dengan cara yang sama seperti dinyatakan dalam Penjelasan Umum tentulah sesuai dengan ketentuan-ketentuan UU No 10/2004, dan karena itu sepenuhnya sesuai dengan ketentuanketentuan Konstitusi. Oleh karena itu, kami berpendapat bahwa versi amandemen UU Pemerintahan Aceh harus menyebutkan Nota Kesepahaman secara jelas dalam bagian konsiderans (menimbang), dengan alasan untuk memberikan acuan yang konsisten mengenai latar belakang penyusunan undang-undang tersebut.

1. 1. 2 U n d a n g - u n d a n g b a r u t e n t a n g Penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh akan didasarkan pada prinsip-prinsip sebagai berikut: 1.1.2a Aceh akan melaksanakan kewenangan dalam semua sektor publik, yang akan d i s e l e n g g a r a k a n b e r s a m a a n d e n g a n administrasi sipil dan peradilan, kecuali dalam bidang hubungan luar negeri, pertahanan luar, keamanan nasional, hal ikhwal moneter dan fiskal, kekuasaan kehakiman dan kebebasan beragama, dimana kebijakan tersebut merupakan kewenangan Pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan Konstitusi. Ini adalah 6 otoriats yg diberikan oleh Aceh untuk Jakarta: 1.Hubungan luar negeri, 2.Pertahanan luar, 3. Keamanan nasional, 4. Hal ikhwal moneter dan fiskal, 5. Kekuasaan kehakiman 6. Kebebasan beragama PERSOALAN KRITIS Lihat UU Pemerintahan Aceh Pasal 7 dan 11, yang secara signifikan berbeda dari prinsip-prinsip Nota Kesepahaman. 1) Untuk enam sektor urusan publik tersebut, yang dinyatakan secara eksplisit oleh Nota Kesepahaman sebagai kewenangan Pemerintah Pusat, UU Pemerintahan Aceh menambahkan hal ikhwal urusan pemerintahan yang bersifat nasional. Definisi mengenai hal ini, yang dijelaskan dalam Penjelasan UU Pemerintahan Aceh, sangat tidak jelas dan tidak sesuai dengan Nota Kesepahaman, sehingga membuka peluang bagi Pemerintah Pusat untuk memiliki begitu banyak kewenangan yang akan terlalu membatasi kewenangan Aceh sebagaimana dimaksudkan oleh Nota Kesepahaman. UU Pemerintahan Aceh juga menyatakan bahwa perihal urusan pemerintahan yang bersifat nasional tersebut akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah (Pasal 270 (1)). PNA berpendapat bahwa kewenangan Pemerintah Pusat di luar dari enam sektor yang disebutkan dalam Nota Kesepahaman seharusnya tidak diatur dengan Peraturan Pemerintah tetapi Pemerintah Pusat seharusnya hanya melaksanakan kewenangan-kewenangan tersebut di Aceh berdasar ketentuan-ketentuan yang diatur dalam undangundang nasional sepanjang tidak bertentangan dengan UU Pemerintahan Aceh. 2) Terminologi enam sektor urusan publik dalam UU Pemerintahan Aceh juga berbeda dari Nota Kesepahaman. Tambahan istilah eksternal pada pertahanan dan istilah nasional pada keamanan tidak digunakan dalam UU Pemerintahan Aceh karena Pemerintah Indonesia dan DPR menganggap hal itu tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kami tidak sependapat dengan pandangan itu. Khususnya berkaitan dengan masalah pertahanan eksternal, argumentasi kami merujuk pada ketentuan 4.11 Nota Kesepahaman sehingga kami menginginkan perubahan terhadap ketentuan-ketentuan itu dalam UU Pemerintahan Aceh. 3) Kami tidak dapat menerima bahwa Pemerintah Indonesia memiliki kewenangan untuk menetapkan norma, standar, dan prosedur mengenai urusan pemerintah daerah secara umum yang harus dilaksanakan Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 11 (1) dan penjelasan pasal itu. Penjelasan Pemerintah Indonesia bahwa Aceh dan Kabupaten/Kota harus mengikuti norma, standar, dan prosedur sebagaimana disebutkan secara eksplisit dalam UU 11/2006, sangat tidak memuaskan karena hampir tidak ada hal ikhwal urusan pemerintahan dalam undangundang itu yang tidak harus mematuhi norma, standar, dan prosedur nasional. Hal ini terlihat dalam ketentuan yang mewajibkan Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota untuk melaksanakan kewenangan pemberian izin berdasarkan norma, standar, dan prosedur nasional (Pasal 165 ayat 2 dan 3). Kami yakin bahwa penetapan secara tidak selektif dari norma, standar, dan prosedur nasional untuk diterapkan pada Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/ Kota akan sangat membatasi hak Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota untuk melaksanakan kewenangan khusus mereka sebagaimana dimaksudkan oleh Nota Kesepahaman dan UU No 11/2006 itu sendiri. Oleh karena itu kami bersikukuh pada sikap kami seperti dijelaskan di atas bahwa kewenangan Pemerintah Indonesia di luar enam sektor yang disebutkan dalam Nota Kesepahaman seharusnya tidak diatur dengan Peraturan Pemerintah, tetapi Pemerintah Pusat seharusnya hanya melaksanakan kewenangan tersebut di Aceh berdasar ketentuan-ketentuan yang diatur dalam undang-undang nasional sepanjang tidak bertentangan dengan UU Pemerintahan Aceh.

1.1.2b Persetujuan-persetujuan internasional yang diberlakukan oleh Pemerintah Indonesia yang terkait dengan hal ikhwal kepentingan khusus Aceh akan berlaku dengan konsultasi dan persetujuan legislatif Aceh. 1. 1. 2 c K e p u t u s a n - k e p u t u s a n D e w a n Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang terkait dengan Aceh akan dilakukan dengan konsultasi dan persetujuan legislatif Aceh. 1.1.2d Kebijakan-kebijakan administratif yang diambil oleh Pemerintah Indonesia berkaitan dengan Aceh akan dilaksanakan dengan konsultasi dan persetujuan Kepala Pemerintah Aceh. Kepala dilepas Tapi Ekor Dipegang PERSOALAN KRITIS Lihat UU Pemerintahan Aceh Pasal 8. Telah terjadi perubahan eksplisit dari prinsip Nota Kesepahaman, yaitu ketentuan bahwa keputusan-keputusan Pemerintah Indonesia dan DPR yang berpengaruh langsung pada Pemerintahan Aceh seharusnya dibuat dengan konsultasi dan persetujuan Gubernur dan DPRA diganti dengan ketentuan dalam UU Pemerintahan Aceh yang hanya menyatakan dengan konsultasi dan pertimbangan. Ketentuan-ketentuan yang menyatakan bahwa persetujuan-persetujuan internasional, keputusankeputusan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan kebijakan-kebijakan administratif oleh Pemerintah Indonesia berkaitan dengan Aceh yang mensyaratkan persetujuan legislatif Aceh dan Kepala Pemerintah Daerah Aceh dicantumkan dalam Nota Kesepahaman untuk menjamin bahwa keputusan-keputusan seperti itu tidak dibuat secara sepihak oleh DPR dan Pemerintah Indonesia. Pemerintah Indonesia berpendapat seperti juga diungkapkan dalam beberapa kasus lain ketentuan-ketentuan tersebut akan bertentangan dengan konstitusi apabila diatur dalam UU No 11/2006. Kami masih tidak dapat memahami mengapa hal-hal yang menyangkut kesesuaian ketentuan-ketentuan konstitusional dengan kesepakatan Helsinki tidak dipertimbangkan oleh wakilwakil Pemerintah Indonesia ketika mereka merundingkan Nota Kesepahaman yang ditandatangani dengan iktikad baik. Kami PNA oleh karena itu bersikukuh pada sikap kami bahwa keputusan-keputusan yang langsung berpengaruh pada Aceh hanya dapat dibuat dengan persetujuan Pemerintah Aceh. Sebagai konsekuensinya, Peraturan Presiden tentang tata cara konsultasi antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Aceh seperti dimandatkan oleh UU Pemerintahan Aceh harus menempatkan konsensus sebagai hukum. Mengingat fakta bahwa Pemerintah Indonesia harus mengeluarkan beberapa peraturan pelaksana penting untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan UU Pemerintahan Aceh, yang berdampak besar pada penyelenggaraan pemerintahan di Aceh, kami berpendapat bahwa Peraturan Presiden tentang tata cara untuk mencapai konsensus harus dikeluarkan sesegera mungkin.

1.1.3 Nama Aceh dan gelar pejabat senior yang dipilih akan ditentukan oleh legislatif Aceh setelah pemilihan umum yang akan datang. PERSOALAN KRITIS Lihat UU Pemerintahan Aceh Pasal 251. Walaupun Pasal 251 (1) sesuai dengan Nota Kesepahaman menyatakan bahwa nama Aceh dan gelar pejabat senior yang dipilih akan ditentukan oleh legislatif Aceh, Pasal 251 (3) mengurangi kewenangan DPRA menjadi hanya sebatas usulan yang harus ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah, yang jelas-jelas menempatkan keputusan final pada Pemerintah Republik Indonesia. Kami PNA memandang hal ini jelas-jelas menyimpang dari maksud Nota Kesepahaman dan oleh karena itu kami meminta ketentuan itu direvisi. Apabila keputusan mengenai nama Aceh dan gelar pejabat senior yang dipilih harus dibuat sebelum perubahan UU Pemerintahan Aceh tersebut, kami tetap berpendapat bahwa kewenangan DPRA menyangkut hal ini tetap dilaksanakan sepenuhnya sesuai dengan Nota Kesepahaman. 1.1.4 Perbatasan Aceh merujuk pada perbatasan 1 Juli 1956...dan juga untuk mencegah pemecahahan wilayah Aceh 1.1.5. Aceh memiliki hak untuk menggunakan simbol-simbol wilayah termasuk bendera, lambang dan himne. PERSOALAN PENTING Lihat UU Pemerintahan Aceh Pasal 3. Pencantuman dasar acuan perbatasan Aceh sebagaimana diatur dalam UU No 24/1956 adalah sangat penting untuk menghindari kesalahpahaman mengenai titik perbatasan antara antara Aceh dan Sumatera Utara, dan juga untuk mencegah pemecahan provinsi itu tanpa persetujuan DPRA dan Gubernur Aceh. Pengunaan nama Samudera Indonesia (Indonesian Ocean) seharusnya diubah menjadi Samudera Hindia (Indian Ocean) karena peta internasional hanya mengakui nama Samudera Hindia (Indian Ocean). PERSOALAN PENTING Ini adalah hak penuh Aceh, yang harus di sosialisakan sepenuhnya kepada Masyarakat Aceh dan di laksanakan tampa permintaan izin dari Pemerintah.

1.1.6. Kanun Aceh akan disusun kembali untuk Aceh dengan menghormati tradisi sejarah dan adat istiadat rakyat Aceh serta mencerminkan kebutuhan hukum terkini Aceh. Qanun Al-Asyi yang disebut juga Meukuta Alam. Oleh para ahli sejarah dikatakan amat sempurna menurut ukuran zamannya. Hal ini menyebabkan Qanun Al-Asyi dipakai menjadi pedoman oleh Kerajaan- Kerajaan Islam lainnya di Asia Tenggara. Krusial dan tidak ada dalam UUPA Pemahaman tentang ketentuan pasal ini oleh Pemerintah Pusat dan juga Pemerintah Aceh, sangat jauh berbeda dari apa yang dimasutkan dengan Qanun dalam ketentuan tersebut. Para pihak perunding di Helsinki merujuk kepada Qanun Al Asyi sebagai dasar dan ranka Undangundang Pemerintahan Aceh itu sendiridi, setelah di susun kembali, dengan menghormati tradisi sejarah dan adat istidat rakyat aceh serta mencerminkan kebutuhan hukum terkini di Aceh Ini artinya Qanun yang dimaksud di dalam Nota Kesepahaman adalah Undang-undang tertinggi di Aceh, namun apa yg terjadi sekarang merupakan yg terrendah sebagai Qanun yang sama dengan Peraturan Daerah (Perda). 1.1.7. Lembaga Wali Nanggroe akan dibentuk dengan segala perangkat upacara dan gelarnya. Wali-wali Negara Aceh Dalam MoU versi bahsa ingris di sebutkan: The instution of Wali Nanggroe with all its ceremonial attributes and entitlements will be established. Sebenarnya "entitlements" harus di terjemahkan dengan kata "Hak-haknya" bukan "gelarnya" Lembaga Wali Nangroe bisa di bentuk tampa izin Pemerintah Pusat (Lht. 1.1.2a) 1. Tengku Tjhik di Tiro Muhammad Saman (1874-1891) 2. Tengku Tjhik di Tiro Muhammad Amin (1891-1896) 3. Tengku Tjhik di Tiro Ubaidullah (1896-1899) 4. Tengku Tjhik di Tiro Lam Bada (1899-1904) 5. Tengku Tjhik di Tiro Muhammad Ali Zainul Abidin (1904-1910) 6. Tengku Tjhik di Tiro Mahyeddin (1910) 7. Tengku Tjhik Maat di Tiro (1911) 8. Tengku Hasan Muhammad di Tiro (1976-2010)

1.2. Partisipasi Politik 1.2.1 Sesegera mungkin, tetapi tidak lebih dari satu tahun sejak penandatanganan Nota Kesepahaman ini, Pemerintah RI menyepakati dan akan memfasilitasi pembentukan partaipartai politik yang berbasis di Aceh yang memenuhi persyaratan nasional. Memahami aspirasi rakyat Aceh untuk partai-partai politik lokal, Pemerintah RI, dalam tempo satu tahun, a t a u p a l i n g l a m b a t 1 8 b u l a n s e j a k penandatanganan Nota Kesepahaman ini, akan menciptakan kondisi politik dan hukum untuk pendirian partai politik lokal di Aceh dengan berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat. Pelaksanaan Nota Kesepahaman ini yang tepat waktu akan memberi sumbangan positif bagi maksud tersebut. "...pembentukan partai-partai politik yang berbasis di Aceh.." yang harus di pahamin adalah, Aceh boleh membentuk Partai Politik Lokal lebih dari satu Partai. 1.2.2 Dengan penandatanganan Nota Kesepahaman ini, rakyat Aceh akan memiliki hak menentukan calon-calon untuk posisi semua pejabat yang dipilih untuk mengikuti pemilihan di Aceh pada bulan April 2006 dan selanjutnya. Pasal 1.2.2 harus di pahami sesungguh-sungguhnya dengan kata, "... dan selanjutnya." 1.2.3 Pemilihan lokal yang bebas dan adil akan diselenggarakan di bawah undang-undang baru tentang Penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh untuk memilih Kepala Pemerintah Aceh dan pejabat terpilih lainnya pada bulan April 2006 serta untuk memilih anggota legislatif Aceh pada tahun 2009. 1.2.4 Sampai tahun 2009 legislatif (DPRD) Aceh tidak berkewenangan untuk mengesahkan peraturan perundangundangan apapun tanpa persetujuan Kepala Pemerintah Aceh. 1.2.5 Semua penduduk Aceh akan diberikan kartu identitas baru yang biasa sebelum pemilihan pada bulan April 2006.

1.2.6 Partisipasi penuh semua orang Aceh dalam pemilihan lokal dan nasional, akan dijamin sesuai dengan Konstitusi Republik Indonesia. 1.2.7 Pemantau dari luar akan diundang untuk memantau pemilihan di Aceh. Pemilihan lokal bisa diselenggarakan dengan bantuan teknis dari luar. 1.2.8 Akan adanya transparansi penuh dalam dana kampanye. 1.3. Ekonomi 1.3.1. Aceh berhak memperoleh dana melalui hutang luar negeri. Aceh berhak untuk menetapkan tingkat suku bunga berbeda dengan yang ditetapkan oleh Bank Sentral Republik Indonesia (Bank Indonesia). PERSOALAN PENTING Lihat UU Pemerintahan Aceh Pasal 186 (1) dan (3). Penafsiran kami mengenai ketentuan Nota Kesepahaman ini sangat jelas bahwa Aceh berhak memperoleh secara langsung pinjaman dari sumber-sumber luar negeri. Kami tetap menginginkan pengaturan seperti itu dibuat dalam versi amandemen UU Pemerintahan Aceh. Kendati demikian, kami bersedia melihat pengaturan ketentuan-ketentuan itu, sebagaimana diuraikan secara tidak jelas dalam surat Pemerintah (tanggal 28 Agustus 2006), diuji selama masa transisi untuk mengetahui apakah ketentuan-ketentuan itu terbukti menguntungkan bagi pembangunan Aceh yang akan datang. 1.3.2. Aceh berhak menetapkan dan memungut pajak daerah untuk membiayai kegiatan-kegiatan internal yang resmi. Aceh berhak melakukan perdagangan dan bisnis secara internal dan internasional serta menarik investasi dan wisatawan asing secara langsung ke Aceh. 1.3.3. Aceh akan memiliki kewenangan atas sumber daya alam yang hidup di laut teritorial di sekitar Aceh. 1.3.4. Aceh berhak menguasai 70% hasil dari semua cadangan hidrokarbon dan sumber daya alam lainnya yang ada saat ini dan di masa mendatang di wilayah Aceh maupun laut teritorial sekitar Aceh.

1.3.5. Aceh melaksanakan pembangunan dan pengelolaan semua pelabuhan laut dan pelabuhan udara dalam wilayah Aceh. PERSOALAN PENTING Lihat UU Pemerintahan Aceh Pasal 19, 172, 173 dan 254. Perumusan ketentuan Nota Kesepahaman ini menyatakan secara jelas bahwa semua pelabuhan laut dan pelabuhan udara tanpa terkecuali harus dikendalikan oleh Aceh. Oleh karena itu, kami ingin ketentuan-ketentuan tersebut dicantumkan dalam versi amandemen UU Pemerintahan Aceh. Kendati demikian, kami bersedia melihat lebih dulu pelaksanaan ketentuanketentuan UU Pemerintahan Aceh tersebut sebelum kami memutuskan apakah ketentuan-ketentuan itu perlu diubah atau tidak. Kami ingin menekankan bahwa ketentuan-ketentuan untuk melibatkan Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam pengoperasian kegiatan pelabuhan laut dan pelabuhan udara yang selama ini dimiliki dan dikelola oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN), harus jelas-jelas menguntungkan Aceh. Hal ini sekali lagi membutuhkan proses perundingan yang terbuka, adil, dan transparan untuk menentukan bentuk kerja sama dalam mengoperasikan pelabuhan laut dan pelabuhan udara. 1.3.6. Aceh akan menikmati perdagangan bebas dengan semua bagian Republik Indonesia tanpa hambatan pajak, tarif ataupun hambatan lainnya. 1.3.7. Aceh akan menikmati akses langsung dan tanpa hambatan ke negara- negara asing, melalui laut dan udara. PERSOALAN PENTING Lihat UU Pemerintahan Aceh Pasal 165 (1). Kami yakin bahwa ketentuan pasal ini dapat dan seharusnya dinyatakan dalam UU Pemerintahan Aceh dengan menggunakan istilah-istilah yang lebih jelas dan konkret. Kendati demikian, kami bersedia melihat penerapan ketentuan-ketentuan UU Pemerintahan Aceh itu diuji selama masa transisi untuk mengetahui apakah ketentuan-ketentuan itu sesuai dengan maksud Nota Kesepahaman, sebelum kami memutuskan apakah perlu ada perubahan-perubahan terhadap UU Pemerintahan Aceh menyangkut ketentuan-ketentuan tersebut.

1.3.8. Pemerintah RI bertekad untuk menciptakan transparansi dalam pengumpulan dan pengalokasian pendapatan antara Pemerintah Pusat dan Aceh dengan menyetujui auditor luar melakukan verifikasi atas kegiatan tersebut dan menyampaikan hasil-hasilnya kepada Kepala Pemerintah Aceh. 1.3.9.GAM akan mencalonkan wakil-wakilnya untuk berpartisipasi secara penuh pada semua tingkatan dalam komisi yang dibentuk untuk melaksanakan rekonstruksi pasca- Tsunami (BRR). 1.4. Peraturan Perundang-undangan 1.4.1. Pemisahan kekuasaan antara badan-badan legislatif, eksekutif dan yudikatif akan diakui. 1.4.2. Legislatif Aceh akan merumuskan kembali ketentuan hukum bagi Aceh berdasarkan prinsip-prinsip universal hak asasi manusia sebagaimana tercantum dalam Kovenan Internasional Perserikatan Bangsa-bangsa mengenai Hak-hak Sipil dan Politik dan mengenai Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. 1.4.3. Suatu sistem peradilan yang tidak memihak dan independen, termasuk pengadilan tinggi, dibentuk di Aceh di dalam sistem peradilan Republik Indonesia. 1.4.4. Pengangkatan Kepala Kepolisian Aceh dan Kepala Kejaksaan Tinggi harus mendapatkan persetujuan Kepala Pemerintah Aceh. Penerimaan (rekruitmen) dan pelatihan anggota kepolisian organik dan penuntut umum akan dilakukan dengan berkonsultasi dan atas persetujuan Kepala Pemerintahan Aceh, sesuai dengan standar nasional yang berlaku.

1.4.5. Semua kejahatan sipil yang dilakukan oleh aparat militer di Aceh akan diadili pada pengadilan sipil di Aceh. UUPA pasal 203. Perundang- undangan yang mana, sipil atau militer? PERSOALAN KRITIS Lihat UU Pemerintahan Aceh Pasal 203. Dalam UU Pemerintahan Aceh diatur bahwa tindak pidana yang dilakukan oleh anggota TNI di Aceh akan diadili sesuai dengan hukum dan peraturan yang berlaku. Karena peraturan-peraturan tersebut (UU No 31/1997 dan UU No 34/2004) tidak cukup jelas mengatur perihal proses peradilan tindak pidana yang dilakukan oleh tentara, kami menginginkan ada ketentuanketentuan yang jelas mengenai hal ini melalui perubahan peraturan-peraturan perundang-undangan tersebut atau ketentuan-ketentuan Nota Kesepahaman mengenai hal itu dicantumkan dalam versi revisi UU Pemerintahan Aceh. 2. Hak Asasi Manusia 2.1. Pemerintah RI akan mematuhi Kovenan Internasional Perserikatan Bangsa-bangsa mengenai Hak-hak Sipil dan Politik dan mengenai Hak- hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. 2.2. Sebuah Pengadilan Hak Asasi Manusia akan dibentuk untuk Aceh. PERSOALAN PENTING dan BELUM DILAKSANAKAN Lihat UU Pemerintahan Aceh Pasal 228 dan 259. Mengingat kebutuhan untuk sesegera mungkin menyediakan akses keadilan bagi korban pelanggaran hak asasi manusia di Aceh, kami mendesak Pemerintah Indonesia untuk mempercepat pembentukan Pengadilan Hak Asasi Manusia di Aceh. Karena UU Pemerintahan Aceh tidak menyatakan bahwa Pengadilan Hak Asasi Manusia dibentuk oleh UU Pemerintahan Aceh (berbeda dari Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi), dan tidak ada peraturan pelaksana yang spesifik mengenai Pengadilan Hak Asasi Manusia tersebut, kami berpendapat bahwa pembentukan Pengadilan Hak Asasi Manusia tersebut akan mengikuti ketentuan-ketentuan dalam UU No 26/2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Kami menekankan bahwa dalam membentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia tersebut, ketentuan-ketentuan UU No 26/2000 yang menyatakan bahwa pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi sebelum pemberlakuan undang-undang itu (23 November 2000) akan diadili oleh Pengadilan Hak Asasi Manusia adhoc (pengadilan bersifat retroaktif), - dan ketentuan-ketentuan mengenai pemidanaan terhadap para pelaku pelanggaran hak asasi manusia harus diterapkan. Kami berpendapat bahwa pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi antara November 2000 dan pada saat Pengadilan Hak Asasi Manusia Aceh akhirnya dibentuk akan diadili oleh Pengadilan Hak Asasi Manusia di Medan yang bertanggung jawab untuk yurisdiksi Aceh selama kurun waktu tersebut.

2.3. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi akan dibentuk di Aceh oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Indonesia dengan tugas merumuskan dan menentukan upaya rekonsiliasi. PERSOALAN PENTING dan BELUM DILAKSANAKAN Lihat UU Pemerintahan Aceh Pasal 229. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) belum dibentuk meskipun ada ketentuan-ketentuan sebagai berikut dalam UU Pemerintahan Aceh: - Pasal 229 (1) menyatakan bahwa KKR dibentuk dengan UU Pemerintahan Aceh No 11/2006 itu sendiri, dan - Pasal 229 (2) menyatakan bahwa KKR di Aceh merupakan bagian tak terpisahkan dari KKR Indonesia. Mempertimbangkan bahwa UU tentang KKR Indonesia (UU No 27/2004) telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi, kami menyarankan dua opsi: a) Merevisi UU No 27/2004 sesegera mungkin untuk memungkinkan pembentukan KKR Indonesia sehingga pembentukan KKR di Aceh tidak akan terhambat oleh rintangan-rintangan di tingkat nasional; Mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang dengan pertimbangan bahwa hal ini merupakan keadaan genting yang memaksa. Menurut pendapat kami, proses perdamaian dapat menjadi lumpuh hanya karena fakta bahwa KKR di Aceh tidak dapat dibentuk, yang membuat para korban konflik tidak memiliki akses untuk melakukan proses rekonsiliasi yang bisa dipercaya. 3. Amnesti dan reintegrasi ke dalam masyarakat 3.1. Amnesti 3.1.1. Pemerintah RI, sesuai dengan prosedur konstitusional, akan memberikan amnesti kepada semua orang yang telah terlibat dalam kegiatan GAM sesegera mungkin dan tidak lewat dari 15 hari sejak penandatanganan Nota Kesepahaman ini.

3.1.2. Narapidana dan tahanan politik yang ditahan akibat konflik akan dibebaskan tanpa syarat secepat mungkin dan selambat-lambatnya 15 hari sejak penandatanganan Nota Kesepahaman ini. 3.1.3. Kepala Misi Monitoring akan memutuskan kasus-kasus yang dipersengketakan sesuai dengan nasihat dari penasihat hukum Misi Monitoring. 3.1.4. Penggunaan senjata oleh personil GAM setelah penandatanganan Nota Kesepahaman ini akan dianggap sebagai pelanggaran terhadap Nota Kesepahaman dan hal itu akan membatalkan yang bersangkutan memperoleh amnesti. 3.2. Reintegrasi kedalam masyarakat 3.2.1. Sebagai warga negara Republik Indonesia, semua orang yang telah diberikan amnesti atau dibebaskan dari Lembaga Permasyarakatan atau tempat penahanan lainnya akan memperoleh semua hak-hak politik, ekonomi dan sosial serta hak untuk berpartisipasi secara bebas dalam proses politik baik di Aceh maupun pada tingkat nasional. 3.2.2. Orang-orang yang selama konflik telah menanggalkan kewarganegaraan Republik Indonesia berhak untuk mendapatkan kembali kewarganegaraan mereka. 3.2.3. Pemerintah RI dan Pemerintah Aceh akan melakukan upaya untuk membantu orang-orang yang terlibat dalam kegiatan GAM guna memperlancar reintegrasi mereka ke dalam masyarakat. Langkah-langkah tersebut mencakup pemberian kemudahan ekonomi bagi mantan pasukan GAM, tahanan politik yang telah memperoleh amnesti dan masyarakat yang terkena dampak. Suatu Dana Reintegrasi di bawah kewenangan Pemerintah Aceh akan dibentuk. 3.2.4. Pemerintah RI akan mengalokasikan dana bagi rehabilitasi harta benda publik dan perorangan yang hancur atau rusak akibat konflik untuk dikelola oleh Pemerintah Aceh. Belum ada tanda-tanda Pemerintah akan melaksanakan kententuan ini sepenuhnya. Bahkan dana yang dijanjikan kepada BRA sebesar 2.1 trillion rupiah tidak seluruhnya diberikan ketika Pemerintah Pusat menyatakan tidak akan melanjutkan dana Reintegrasi setelah 2012. Sistim birokrasi keuangan negara yang biasa telah digunakan untuk penyaluran dana khusus ini yang menimbulkan berbagai masalah pencairan dana tepat waktu dan penyaluran yang lebih efektif dan bermanfaat.

3.2.5. Pemerintah RI akan mengalokasikan tanah pertanian dan dana yang memadai kepada Pemerintah Aceh dengan tujuan untuk memperlancar reintegrasi mantan pasukan GAM ke dalam masyarakat dan kompensasi bagi tahanan politik dan kalangan sipil yang terkena dampak. Pemerintah Aceh akan memanfaatkan tanah dan dana sebagai berikut: a) Semua mantan pasukan GAM akan menerima alokasi tanah pertanian yang pantas, pekerjaan, atau jaminan sosial yang layak dari Pemerintah Aceh apabila mereka tidak mampu bekerja. b) Semua tahanan politik yang memperoleh amnesti akan menerima alokasi tanah pertanian yang pantas, pekerjaan, atau jaminan sosial yang layak dari Pemerintah Aceh apabila tidak mampu bekerja. c) Semua rakyat sipil yang dapat menunjukkan kerugian yang jelas akibat konflik akan menerima alokasi tanah pertanian yang pantas, pekerjaan, atau jaminan sosial yang layak dari Pemerintah Aceh apabila tidak mampu bekerja. Tidak ada ketentuan apapun dalam UUPA yang menyebutkan tentang kewajiban Pemerintah Pusat dan Pemerintah Aceh yang mengatur hal ini. Kegagalan menangani masalah ini yang berterusan akan mempunyai dampak yang sangat serius dalam proses perdamaian yang berkesinambungan. 3.2.6. Pemerintah Aceh dan Pemerintah RI a k a n m e m b e n t u k K o m i s i B e r s a m a Penyelesaian Klaim untuk menangani klaimklaim yang tidak terselesaikan. Badan Reintegrasi Aceh (BRA), telah dibentuk oleh Pemerintah Aceh untuk menyalurkan dana reintegrasi dari Pemerintah Pusat yang kemudian ikut di dananai oleh Pemerintah Aceh. Banyak sekali klaim-klaim yang tidak dapat diselesaikan oleh BRA karena tidak diberi mandat dan dana untuk tujuan tersebut, walaupun masyarakat menyangka, dengan sepatutnya, bahwa BRA bertanggungjawab untuk melayani klaim-klaim mereka. Sampai sekarang, belum ada tanda-tanda Komisi Bersama ini akan dibentuk dalam waktu yang singkat. 3.2.7. Pasukan GAM akan memiliki hak untuk memperoleh pekerjaan sebagai polisi dan tentara organik di Aceh tanpa diskriminasi dan sesuai dengan standar nasional. 4. Pengaturan Keamanan 4.1. Semua aksi kekerasan antara pihak-pihak akan berakhir selambat- lambatnya pada saat penandatanganan Nota Kesepahaman ini. 4.2. GAM melakukan demobilisasi atas semua 3000 pasukan militernya. Anggota GAM tidak akan memakai seragam maupun menunjukkan emblem atau simbol militer setelah penandatanganan Nota Kesepahaman ini.

4.3. GAM melakukan decommissioning semua senjata, amunisi dan alat peledak yang dimiliki oleh para anggota dalam kegiatan GAM dengan bantuan Misi Monitoring Aceh (AMM). GAM sepakat untuk menyerahkan 840 buah senjata. 4.4. Penyerahan persenjataan GAM akan dimulai pada tanggal 15 September 2005, yang akan dilaksanakan dalam empat tahap, dan diselesaikan pada tanggal 31 Desember 2005. 4.5. Pemerintah RI akan menarik semua elemen tentara dan polisi non-organik dari Aceh. 4.6. Relokasi tentara dan polisi non-organik akan dimulai pada tanggal 15 September 2005, dan akan dilaksanakan dalam empat tahap sejalan dengan penyerahan senjata GAM, segera setelah setiap tahap diperiksa oleh AMM, dan selesai pada tanggal 31 Desember 2005. 4.7. Jumlah tentara organik yang tetap berada di Aceh setelah relokasi adalah 14.700 orang. Jumlah kekuatan polisi organik yang tetap berada di Aceh setelah relokasi adalah 9.100 orang. PERSOALAN KRITIS Kami sangat prihatin bahwa pada kenyataannya tidak ada upaya-upaya hukum untuk menjamin pelaksanaan ketentuan yang penting ini, kecuali MoU itu sendiri. Kami berpendapat bahwa jumlah personel militer perlu dibatasi dengan peraturan perundangundangan. Sepanjang UU Pemerintahan Aceh belum direvisi untuk mengatur ketentuan-ketentuan tersebut, kami menginginkan ada upaya-upaya yang memadai untuk menjamin pelaksanaan sepenuhnya Pasal 4.7 Nota Kesepahaman secara berkelanjutan. Hal ini mencakup penerapan mekanisme verifikasi yang akan menjamin bahwa jumlah sesungguhnya pasukan keamanan di lapangan sesuai dengan batasan yang ditetapkan dalam Nota Kesepahaman. 4.8. Tidak akan ada pergerakan besar-besaran tentara setelah penandatanganan Nota Kesepahaman ini. Semua pergerakan lebih dari sejumlah satu peleton perlu diberitahukan sebelumnya kepada Kepala Misi Monitoring. 4.9. Pemerintah RI melakukan pengumpulan semua senjata illegal, amunisi dan alat peledak yang dimiliki oleh setiap kelompok dan pihak-pihak illegal manapun.

4.12. Anggota polisi organik Aceh akan memperoleh pelatihan khusus di Aceh dan di luar negeri dengan penekanan pada penghormatan terhadap hak asasi manusia. 4.10. Polisi organik akan bertanggung jawab untuk menjaga hukum dan ketertiban di Aceh. 4.11. Tentara akan bertanggung jawab menjaga pertahanan eksternal Aceh. Dalam keadaan waktu damai yang normal, hanya tentara organik yang akan berada di Aceh. Hanya Polisi organik yang bertanggungjawab untuk menjaga hukum dan ketertiban di Aceh PERSOALAN KRITIS Menurut Nota Kesepahaman peran TNI hanya sebatas pertahanan eksternal. Hal ini berarti peran TNI secara eksplisit tidak meliputi tugas-tugas lain seperti yang disebutkan dalam UU No 34/2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. Kami secara khusus tidak dapat menerima bahwa TNI dapat terlibat dalam urusan keamanan internal sebagaimana disarankan dalam tanggapan Pemerintah Indonesia (tanggal 28 Agustus 2006) pada surat AMM (tanggal 8 Agustus 2006), karena urusan keamanan internal ini seharusnya hanya menjadi fungsi kepolisian sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 4.10 Nota Kesepahaman. Karena Konstitusi tidak secara eksplisit menyatakan fungsi-fungsi keamanan internal TNI (Pasal 30 ayat 3 menyatakan:...untuk mempertahankan, melindungi dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara ), kami yakin bahwa pembatasan peran TNI di Aceh hanya sebatas pertahanan eksternal tidak akan menjadi sesuatu yang inkonstitusional. Oleh karena itu kami menginginkan ketentuan-ketentuan mengenai tugas-tugas TNI di Aceh dalam versi amandemen UU Pemerintahan Aceh disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan Nota Kesepahaman. 4.12. Anggota polisi organik Aceh akan memperoleh pelatihan khusus di Aceh dan di luar negeri dengan penekanan pada penghormatan terhadap hak asasi manusia.

5. Pembentukan Misi Monitoring Aceh (SELESAI) 5.1. Misi Monitoring Aceh (AMM) akan dibentuk oleh Uni Eropa dan negara- negara ASEAN yang ikut serta dengan mandat memantau pelaksanaan komitmen para pihak dalam Nota Kesepahaman ini. 5.2. Tugas AMM adalah untuk: a) memantau demobilisasi GAM dan decomissioning persenjataannya. b) memantau relokasi tentara dan polisi non-organik. c) memantau reintegrasi anggota-anggota GAM yang aktif ke dalam masyarakat. d) memantau situasi hak asasi manusia dan memberikan bantuan dalam bidang ini. e) memantau proses perubahan peraturan perundang-undangan. f) memutuskan kasus-kasus amnesti yang disengketakan. g)menyelidiki dan memutuskan pengaduan dan tuduhan pelanggaran terhadap Nota Kesepahaman ini. h)membentuk dan memelihara hubungan dan kerjasama yang baik dengan para pihak. 5.3. Status Persetujuan Misi (SoMA) antara Pemerintah RI dan Uni Eropa akan ditandatangani setelah Nota Kesepahaman ini ditandatangani. SoMA mendefinisikan status, hak-hak istimewa, dan kekebalan AMM dan anggotaanggotanya. Negara-negara ASEAN yang ikut serta yang telah diundang oleh Pemerintah RI akan menegaskan secara tertulis penerimaan dan kepatuhan mereka terhadap SoMA dimaksud. 5.4. Pemerintah RI akan memberikan semua dukungannya bagi pelaksanaan mandat AMM. Dalam kaitan ini, Pemerintah RI akan menulis surat kepada Uni Eropa dan negara-negara ASEAN yang ikut serta dan menyatakan komitmen dan dukungannya kepada AMM. 5.5. GAM akan memberikan semua dukungannya bagi pelaksanaan mandat AMM. Dalam kaitan ini, GAM akan menulis surat kepada Uni Eropa dan negara-negara ASEAN yang ikut serta menyatakan komitmen dan dukungannya kepada AMM. 5.6. Para pihak bertekad untuk menciptakan kondisi kerja yang aman, terjaga dan stabil bagi AMM dan menyatakan kerjasamanya secara penuh dengan AMM. 5.7. Tim monitoring memiliki kebebasan bergerak yang tidak terbatas di Aceh. Hanya tugas-tugas yang tercantum dalam rumusan Nota Kesepahaman ini yang akan diterima oleh AMM. Para pihak tidak memiliki veto atas tindakan atau kontrol terhadap kegiatan operasional AMM. 5.8. Pemerintah RI bertanggung jawab atas keamanan semua personil AMM di Indonesia. Personil AMM tidak membawa senjata. Bagaimanapun juga Kepala Misi Monitoring dapat memutuskan perkecualian bahwa patroli tidak akan didampingi oleh pasukan bersenjata Pemerintah RI. Dalam hal ini, Pemerintah RI akan diberitahukan dan Pemerintah RI tidak akan bertanggung jawab atas keamanan patroli tersebut. 5.9. Pemerintah RI akan menyediakan tempat-tempat pengumpulan senjata dan mendukung tim-tim pengumpul senjata bergerak (mobile team) bekerjasama dengan GAM. 5.10. Penghancuran segera akan dilaksanakan setelah pengumpulan senjata dan amunisi. Proses ini akan sepenuhnya didokumentasikan dan dipublikasikan sebagaimana mestinya. 5.11. AMM melapor kepada Kepala Misi Monitoring yang akan memberikan laporan rutin kepada para pihak dan kepada pihak lainnya sebagaimana diperlukan, maupun kepada orang atau kantor yang ditunjuk di Uni Eropa dan negara-negara ASEAN yang ikut serta. 5.12. Setelah penandatanganan Nota Kesepahaman ini setiap pihak akan menunjuk seorang wakil senior untuk menangani semua hal ihwal yang terkait dengan pelaksanaan Nota Kesepahaman ini dengan Kepala Misi Monitoring. 5.13. Para pihak bersepakat atas suatu pemberitahuan prosedur tanggungjawab kepada AMM, termasuk isu-isu militer dan rekonstruksi. 5.14. Pemerintah RI akan mengambil langkah-langkah yang diperlukan berkaitan dengan pelayanan medis darurat dan perawatan di rumah sakit bagi personil AMM. 5.15. Untuk mendukung transparansi, Pemerintah RI akan mengizinkan akses penuh bagi perwakilan media nasional dan internasional ke Aceh.

6. Penyelesaian perselisihan 6.1. Jika terjadi perselisihan berkaitan dengan pelaksanaan Nota Kesepahaman ini, maka akan segera diselesaikan dengan cara berikut: a) Sebagai suatu aturan, perselisihan yang terjadi atas pelaksanaan Nota Kesepahaman ini akan diselesaikan oleh Kepala Misi Monitoring, melalui musyawarah dengan para pihak dan semua pihak memberikan informasi yang dibutuhkan secepatnya. Kepala Misi Monitoring akan mengambil keputusan yang akan mengikat para pihak. b) Jika Kepala Misi Monitoring menyimpulkan bahwa perselisihan tidak dapat diselesaikan dengan cara sebagaimana tersebut di atas, maka perselisihan akan dibahas bersama oleh Kepala Misi Monitoring dengan wakil senior dari setiap pihak. Selanjutnya, Kepala Misi Monitoring akan mengambil keputusan yang akan mengikat para pihak. *** c) Dalam kasus-kasus di mana perselisihan tidak dapat diselesaikan melalui salah satu cara sebagaimana disebutkan di atas, Kepala Misi Monitoring akan melaporkan secara langsung kepada Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Republik Indonesia, pimpinan politik GAM dan Ketua Dewan Direktur Crisis Management Initiative, serta memberitahu Komite Politik dan Keamanan Uni Eropa. Setelah berkonsultasi dengan para pihak, Ketua Dewan Direktur Crisis Management Initiative akan mengambil keputusan yang mengikat para pihak. Pemerintah RI dan GAM tidak akan mengambil tindakan yang tidak konsisten dengan rumusan atau semangat Nota Kesepahaman ini. *** Ditandatangani dalam rangkap tiga di Helsinki, Finlandia, pada hari Senin, tanggal 15 Agustus 2005. A.n. Pemerintah Republik Indonesia, Hamid Awaluddin Menteri Hukum dan HAM Disaksikan oleh, A.n. Gerakan Aceh Merdeka, Malik Mahmud Pimpinan Martti Ahtisaari Mantan Presiden Finlandia Ketua Dewan Direktur Crisis Management Initiative Fasilitator proses negosiasi