Membedah Masalah Perpupukan Nasional

dokumen-dokumen yang mirip
BIRO ANALISA ANGGARAN DAN PELAKSANAAN APBN SETJEN DPR RI

Kebijakan PSO/Subsidi Pupuk dan Sistem Distribusi. I. Pendahuluan

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 93/MPP/Kep/3/2001

PERHITUNGAN SUBSIDI PUPUK 2004 BERDASARKAN ALTERNATIF PERHITUNGAN SUBSIDI ATAS BIAYA DISTRIBUSI

Pupuk dan Subsidi : Kebijakan yang Tidak Tepat Sasaran

Analisis Kebijakan Pertanian Volume 1 No. 1, Mei 2003 : 90-95

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 505/Kpts/SR.130/12/2005 TENTANG

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 06/Permentan/SR.130/2/2011 TENTANG

GUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 14 TAHUN 2011

BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR

PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 17/M-DAG/PER/6/2011 TENTANG PENGADAAN DAN PENYALURAN PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN

BUPATI SUKAMARA PERATURAN BUPATI SUKAMARA NOMOR 12 TAHUN 2012 T E N T A N G KEBUTUHAN PUPUK BERSUBSIDI DI KABUPATEN SUKAMARA BUPATI SUKAMARA,

PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 17/M-DAG/PER/6/2011 TENTANG PENGADAAN DAN PENYALURAN PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN

GUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG

GUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BUPATI KAYONG UTARA PERATURAN BUPATI KAYONG UTARA NOMOR 26 TAHUN 2012 TENTANG

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 14 TAHUN 2011

RANCANGAN KEBIJAKAN SUBSIDI PUPUK LANGSUNG KEPADA PETANI

ANALISIS ATAS HASIL AUDIT BPK SUBSIDI PUPUK DAN BENIH : BUKAN SEKADAR MASALAH ADMINISTRASI TAPI KELEMAHAN DALAM KEBIJAKAN

SUBSIDI PUPUK DALAM RAPBN-P 2014

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA

BUPATI KAYONG UTARA PERATURAN BUPATI KAYONG UTARA NOMOR 17 TAHUN 2013 TENTANG

KEMBALIKAN SUBSIDI PUPUK KEPADA PETANI

I. PENDAHULUAN. produktivitas dan kualitas hasil pertanian antara lain adalah pupuk.

EVALUASI PELAKSANAAN KEBIJAKAN SUBSIDI PUPUK TAHUN 2004 DAN PROSPEK TAHUN 2005

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI PROVINSI BALI

I. PENDAHULUAN. PT Pupuk Sriwidjaja (PT. Pusri) Unit Usaha sebagai produsen pupuk Urea, juga

BUPATI TAPIN PERATURAN BUPATI TAPIN NOMOR 03 TAHUN 2012 TENTANG

USULAN TINGKAT SUBSIDI DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) YANG RELEVAN SERTA PERBAIKAN POLA PENDISTRIBUSIAN PUPUK DI INDONESIA

BUPATI SEMARANG PROPINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI SEMARANG NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG

BAB 1 PENDAHULUAN. bersubsidi. Pupuk yang ditetapkan sebagai pupuk bersubsidi adalah pupuk

BUPATI BIMA PERATURAN BUPATI BIMA NOMOR 10 TAHUN 2014 TENTANG

GAMBARAN UMUM DISTRIBUSI PUPUK DAN PENGADAAN BERAS

WALIKOTA PROBOLINGGO

BERITA DAERAH KOTA BOGOR

6. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 84, Tambahan

KEPUTUSAN MENTERI PERTANIAN NOMOR: 64/Kpts/SR.130/3/2005 TENTANG

WALIKOTA BANJAR PERATURAN WALIKOTA BANJAR NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG

BUPATI BANYUWANGI PERATURAN BUPATI BANYUWANGI NOMOR 19 TAHUN 2011 TENTANG

PERATURAN BUPATI SRAGEN NOMOR : 8 TAHUN 2012 T E N T A N G

BUPATI SERUYAN PERATURAN BUPATI SERUYAN NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG

BUPATI KAPUAS PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN BUPATI KAPUAS NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. Produktivitas (Qu/Ha)

SALINAN NOMOR 5/E, 2010

PERATURAN WALIKOTA MOJOKERTO NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN I-1

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 130/Permentan/SR.130/11/2014 TENTANG

PROVINSI RIAU PERATURAN BUPATI SIAK NOM OR 7 TAHUN

BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 32 TAHUN 2011 TENTANG

CUPLIKAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 06/Permentan/SR.130/2/2011 TENTANG

PERATURAN BUPATI BENGKAYANG NOMOR 1<? TAHUN 2013 KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN BUPATI BENGKAYANG,

GUBERNUR NUSA TENGGARA BARAT

BUPATI MALANG BUPATI MALANG,

BERITA DAERAH KABUPATEN TANAH DATAR TAHUN 2012 PERATURAN BUPATI TANAH DATAR NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 130/Permentan/SR.130/11/2014 TENTANG

BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 5 TAHUN 2009 TENTANG

GAMBARAN UMUM. antara/sampingan amonia, oksigen, dan nitrogen. Badan hukum pabrik ini

BUPATI SERUYAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH

I. PENDAHULUAN. manusia, sehingga kecukupan pangan bagi tiap orang setiap keputusan tentang

Jakarta, Januari 2010 Direktur Jenderal Tanaman Pangan IR. SUTARTO ALIMOESO, MM NIP

PERATURAN BUPATI PAKPAK BHARAT NOMOR TAHUN 2016 TENTANG

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONES!A. PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 505/Kpts/SR.130/12/2005 TENTANG

I. PENDAHULUAN A. Latar belakang

WALIKOTA SURABAYA WALIKOTA SURABAYA,

WALIKOTA PROBOLINGGO

BUPATI TANJUNG JABUNG BARAT

CUPLIKAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 66/Permentan/OT.140/12/2006 TENTANG

GUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 6 TAHUN 2008

BUPATI TANAH BUMBU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURANBUPATI TANAH BUMBU NOMOR 4 TAHUN 2016

BUPATI TANAH DATAR PROVINSI SUMATERA BARAT PERATURAN BUPATI TANAH DATAR NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG

KEPUTUSAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 106/Kpts/SR.130/2/2004 TENTANG KEBUTUHAN PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN TAHUN ANGGARAN 2004

BUPATI KUANTAN SINGINGI PROVINSI RIAU PERATURAN BUPATI KUANTAN SINGINGI NOMOR 5 TAHUN 2014

BUPATI KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN BUPATI KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG

2011, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tamba

BUPATI BELITUNG PERATURAN BUPATI BELITUNG NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG

BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI PATI NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG

DIALOG PRESIDEN RI DENGAN WARTAWAN DI PT. PUPUK KUJANG, CIKAMPEK, JAWA BARAT, Selasa, 10 Pebruari 2009

BUPATI BADUNG PERATURAN BUPATI BADUNG NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG

GUBERNUR SUMATERA BARAT PERATURAN GUBERNUR SUMATERA BARAT NOMOR 90 TAHUN 2014 TENTANG

BUPATI BELITUNG PERATURAN BUPATI BELITUNG NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG

ANALISIS SISTEM SUBSIDI PUPUK ; KESIAPAN BUMN PUPUK. Biro Riset BUMN Lembaga Management Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LM FEB UI)

II. TINJAUAN PUSTAKA. dan konsumen bahkan masyarakat dalam bidang tertentu. Misalnya untuk

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PERDAGANGAN DALAM NEGERI NO. 40/DJPDN/Kep/XII/2003

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 122/Permentan/SR.130/11/2013 TENTANG

BUPATI CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN BUPATI CIAMIS NOMOR 57 TAHUN 2015 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. anggaran belanja pemerintah pusat berupa anggaran subsidi sebagai salah satu

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 93 TAHUN 2008 TENTANG

WALIKOTA PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN WALIKOTA PASURUAN NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG

MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 21/M-DAG/PER/6/2008 T E N T A N G

WALIKOTA BLITAR WALIKOTA BLITAR,

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG

GUBERNUR BALI, TENTANG

WALIKOTA SOLOK PROVINSI SUMATERA BARAT PERATURAN WALIKOTA SOLOK NOMOR 2 TAHUN 2016

BUPATI TANAH BUMBU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURANBUPATI TANAH BUMBU NOMOR 10 TAHUN 2015 TENTANG

BUPATI TANJUNG JABUNG TIMUR,

BERITA DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 6 TAHUN 2015 SERI E.4 PERATURAN BUPATI CIREBON NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG

KONSTRUKSI KEBIJAKAN SUBSIDI PUPUK TAHUN 2006

I. PENDAHULUAN. cukup luas sangat menunjang untuk kegiatan pertanian. Sebagai negara agraris yang

GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG

Transkripsi:

Membedah Masalah Perpupukan Nasional Oleh Sunarsip Belakangan ini kita sering membaca berita tentang kelangkaan pupuk, terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kelangkaan pupuk ini disebabkan karena adanya kerusakan di salah satu unit urea PT. Petrokimia Gresik (Petro) dan di saat bersamaan, kedua daerah tersebut sedang menghadapi masa tanam yang tentu membutuhkan pupuk dalam jumlah besar. Berbagai langkah pun telah diambil, baik oleh Pemerintah maupun produsen pupuk. Pemerintah telah meminta kepada produsen pupuk lainnya seperti PT. Kalimantan Timur (PKT) untuk memasok pupuk di kedua daerah tersebut. Petro pun telah mengambil sejumlah langkah agar harga pupuk di pasaran tidak melambung tinggi, misalnya dengan mengurangi harga tebus pupuk dari pabrik oleh distributor. Kedua langkah ini diharapkan dapat mengatasi kelangkaan serta meredam gejolak kenaikan harga pupuk di pasar. Masalah kelangkaan pupuk hanyalah satu dari sekian banyak potret masalah yang menimpa industri pupuk nasional. Produsen pupuk (yang semuanya BUMN), memang selalu dibuat pusing oleh kasus kelangkaan, karena mereka yang selalu menjadi obyek kesalahan. Padahal, produsen pupuk hanyalah salah satu dalam mata rantai perpupukan nasional yang di dalamnya masih ada pemain lain yakni distributor, kios pengecer, dan regulator (pemerintah). Padahal, bisa jadi pemain lainnya misalnya regulator, yang justru menjadi sumber masalah dari kelangkaan pupuk tersebut. Dengan kata lain, masalah kelangkaan pupuk, memang tidak bisa dilihat dari satu aspek saja, melainkan harus dilihat secara komprehensif. Semua pihak yang terlibat dalam mata rantai perpupukan nasional harus melakukan introspeksi diri, saling koreksi, dan berbenah diri agar kasus kelangkaan pupuk ini tidak terus terulang. Tulisan ini tidak secara khusus membahas kasus kelangkaan pupuk, tetapi diarahkan pada hal-hal yang mendasar sehingga bisa menyajikan permasalahan secara utuh serta memberikan solusi komprehensif atas berbagai permasalahan yang dihadapi industri pupuk. Masalah Gas Salah satu masalah yang dihadapi oleh pabrik pupuk sekarang adalah ketersediaan gas sebagai bahan baku pupuk urea. Gas merupakan unsur terbesar dari stuktur biaya produksi urea yaitu sekitar 50%-60%. Karenanya, ketersediaan gas dengan harga yang terjangkau merupakan hal yang mutlak bagi kelangsungan hidup pabrik pupuk. Isu gas merupakan isu vital bagi industri pupuk nasional, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Akibat ketidaktersediaan gas ini, sejumlah pabrik pupuk kini sudah tidak beroperasi lagi. PT. Asean Aceh Fertilizer (AAF), misalnya, sejak tahun 2000 tidak beroperasi karena tidak ada pasokan gas yang akhirnya dilikuidasi. PT. Pupuk Iskandar Muda (PIM) juga sudah setahun ini tidak beroperasi karena hal yang sama. PIM diperkirakan baru bisa beroperasi lagi pada 15 April ini setelah ada kebijakan swap gas dari PKT. Dimuat REPUBLIKA, 12-13 April 2006. Penulis adalah Chief Economist The Indonesia Economic Intelligence. The Indonesia Economic Intelligence adalah lembaga riset yang fokus melakukan kajian terhadap masalah-masalah kebijakan dan regulasi ekonomi beralamatkan di www.iei.or.id.

Bahkan, pasokan gas ke PT Pupuk Kujang juga belum ada kepastian. Pabrik Kujang 1B yang baru diresmikan Presiden RI, ternyata hanya memiliki kontrak gas selama tiga tahun, yakni 1 Januari 2006-31 Desember 2008. Kujang 1A lebih belum jelas lagi karena kontrak gasnya akhir April ini sudah berakhir dan hingga kini belum ada kepastian kontrak baru. Petro juga belum aman betul. Kemampuan suplai gas bumi dari EMP Kangean untuk Petro kini semakin menurun. Diperkirakan kemampuan suplainya turun 5 mmscfd per bulan. Karena harga gas untuk PKT berlaku sistem formula, dengan harga minyak sekitar $55/barrel dan harga jual ekspor urea dan amoniak yang tinggi, maka harga gas yang harus dibayar PKT kini sekitar $3/mmbtu. Harga yang cukup tinggi untuk sebuah pabrik pupuk. Masalah kekurangan gas oleh industri pupuk nasional merupakan hal yang ironis. Ini mengingat, Indonesia adalah salah satu penghasil gas bumi terbesar di dunia. Bahkan, AAF dan PIM, justru berada di ladang-ladang gas terbesar di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Makanya, ada sentilan di kalangan perpupukan atas tidak beroperasinya kedua pabrik pupuk di NAD tersebut: ayam yang mati di lumbung padi karena kekurangan makanan. Mengapa kejadian ironis ini bisa terjadi? Penyebabnya, karena desain kebijakan energi masa lalu tidak berpihak kepada industri dalam negeri, khususnya industri pupuk. Kebijakan energi kita, utamanya gas lebih banyak diarahkan untuk mengejar penerimaan APBN dalam bentuk bagi hasil antara pemerintah dengan kontraktor production sharing (KPS). Implikasinya, karena harga gas di luar negeri lebih tinggi dibandingkan harga dari industri pupuk, maka sebagian besar gas kita diekspor dalam bentuk liquid natural gas (LNG). Meskipun AAF dan PIM hanya berbatas pagar kawat dengan ExxonMobil (KPS gas di Arun, NAD), namun keduanya tidak bisa mendapatkan gas dari Arun. Gas Arun telah terikat kontrak jangka panjang dengan pembeli gas di luar negeri, yang tentunya kontrak tersebut tidak bisa begitu saja dibatalkan demi untuk men-supply gas bagi AAF dan PIM. Semestinya, kebijakan energi waktu itu tidak hanya menggunakan pertimbangan finansial (penerimaan APBN), tetapi juga perlu melihat multiplier effect atas pemanfaatan gas tersebut. Studi menunjukkan, industri pupuk memberikan dampak langsung lebih besar terhadap pendapatan tenaga kerja dibandingkan industri liquid natural gas (LNG). Selain itu, dibandingkan dengan industri lain, industri LNG memiliki backward dan forward linkage yang paling kecil. Artinya sektor LNG memiliki multiplier effect ke belakang dan ke depan yang paling kecil dibandingkan dengan sektor lainnya, termasuk dengan industri pupuk. Pola Subsidi Terkait dengan masalah gas, sesungguhnya bisa saja industri pupuk membeli harga gas sesuai dengan harga di pasar. Namun, hal ini menjadi tidak bisa diwujudkan karena harga jual pupuk telah ditetapkan pemerintah melalui harga eceran tertinggi (HET). HET Pupuk diatur dalam Surat Keputusan Menteri Pertanian (Mentan) No.107/Kepts/SR.130/2/2004 yaitu sebesar Rp1.050/kg urea (atau sekitar $100/ton). Padahal, kini harga gas dan biaya lainnya terus meningkat seiring dengan perkembangan kenaikan harga BBM dan inflasi. Industri pupuk yang hanya sanggup membeli gas sekitar $2,0 per mmbtu, jelas kalah bersaing dibandingkan dengan harga yang ditawarkan PLN, PGN, dan untuk LNG yang bisa membayar lebih dari $2 per mmbtu. Tingginya harga gas dan biaya produksi lainnya serta transportasi, sementara HET tidak berubah, telah menyebabkan produsen pupuk sebagai perusahaan yang dituntut untuk memperoleh laba mengalami opportunity loss cukup besar. Sebagai informasi, harga pupuk di luar negeri bisa mencapai US$250/ton. Disparitas harga 2

yang begitu tinggi antara harga jual domestik dengan harga ekspor, disamping menimbulkan opportunity loss bagi produsen pupuk juga telah merangsang penyelundupan ke luar negeri. Untuk mengurangi kerugian yang dialami produsen pupuk, pemerintah memberikan subsidi dengan pola subsidi harga gas. Perhitungan subsidi gas diatur dalam SK Menteri Keuangan No. 356/KMK.06/2003. Menurut SK No.356/2003 ini, besaran subsidi untuk urea dihitung berdasarkan harga gas, dengan rumus: harga gas sesuai kontrak US$/mmbtu dikurangi harga gas yang menjadi beban produsen pupuk US$/mmbtu) dikalikan volume pemanfaatan gas. Produsen pupuk tetap membayar gas dengan harga sesuai kontrak, sedangkan selisihnya dibiayai APBN. Perhitungan sederhana tentang mekanisme subsidi harga gas, dapat dilihat pada Boks. Mekanisme subsidi harga gas ini memiliki kelemahan mendasar yaitu mengabaikan aspek biaya lainnya di luar biaya gas. Padahal, biaya gas hanya salah satu komponen biaya yang dikeluarkan oleh produsen pupuk agar pupuk tersebut sampai ke petani. Selain gas, masih terdapat biaya transportasi dan biaya operasi lainnya (seperti transprotasi dan BBM) yang terus bergerak naik, sementara harga jual produknya tidak beranjak naik. Boks: Pola Subsidi Pupuk Berlaku Saat Ini 1. Subsidi Pupuk hanya untuk Petani, harga urea Rp1.050/kg (HET). Harga urea untuk ekspor dan industri sesuai harga pasar dan tidak disubsidi. 2. Harga gas didasarkan hasil kesepakatan dengan KPS (Kontrak). Pembayaran gas oleh produsen pupuk ke KPS sama dengan harga kontrak (full payment). Selisihnya antara harga kontrak dan harga menurut kemampuan atau beban produsen pupuk disubsidi APBN. 3. Skema pembayaran subsidi, BUMN Pupuk menerima pengembalian subsidi dengan cara: Jumlah urea yang dijual ke petani dihitung (=A, ton); Kemudian dihitung berapa jumlah gas yang diperlukan untuk menghasilkan A ton pupuk ke petani tersebut (=B, mmbtu); Berdasarkan hasil itu Pemerintah akan mengembalikan selisih harga gas, di mana jumlah gas untuk memproduksi urea yang dijual ke petani (=B) dihargai sebesar US$1/mmbtu; Jika harga gas US$2.4/mmbtu, Pemerintah mengembalikan = (2.4-1) US$/mmbtu x B mmbtu; Turunnya dana subsidi selisih harga gas tersebut ke produsen pupuk rata-rata setahun; Pembayaran dari Depkeu ke produsen pupuk dibagi dalam dua tahap. Tahap pertama dibayarkan 90% segera setelah klaim, sisanya 10% dibayar setelah adanya audit BPK tahun berjalan (1 tahun). Sumber: diolah dari berbagai sumber Tata Niaga Pupuk Permasalahan perpupukan lainnya yang perlu mendapat perhatian adalah tata niaga. Tata niaga pupuk selalu mengalami perubahan dari tahun ke tahun. Regulatornya pun berasal dari berbagai instansi, yaitu Departemen Pertanian, Departemen Perdagangan, dan Departemen Perindustrian. Departemen Pertanian menetapkan besarnya kebutuhan pupuk bersubsidi untuk setiap daerah setiap tahunnya serta menentukan HET pupuk. Mentan telah mengeluarkan Peraturan Mentan Pertanian (Permentan) No. 505/Kpts/sr.130/12/2005 tentang Kebutuhan dan HET Pupuk Bersubsidi untuk Sektor Pertanian Tahun Anggaran 2006 yang kemudian direvisi dengan Permentan No. 04/permentan/sr.130/2/2006 tanggal 20 Februari 2006. 3

Departemen Perdagangan (termasuk Departemen Perindustrian, karena dulu digabung) mengatur tentang Pengadaan Dan Penyaluran Pupuk Bersubsidi Untuk Sektor Pertanian atau yang kemudian dikenal dengan rayonisasi pemasaran pupuk bersubsidi. Rayonisasi ini sudah berkali-kali dirubah yaitu dimulai dari SK Menperindag No. 70/MPP/Kep/2/2003 yang direvisi dengan 306/MPP/Kep/4/2003 dan diubah lagi dengan SK Menperindag No. 356/MPP/Kep/5/2004. Terakhir, pengaturan perdagangan pupuk berada di Departemen Perdagangan dan diatur dengan Peraturan Menteri Perdagangan No. 03/M-Dag/Per/2/2006 tentang Pengadaan dan Penyaluran Pupuk Bersubsidi. Namun, intinya tidak berubah yaitu masalah wilayah pemasaran pupuk bersubsidi ditentukan oleh pemerintah. Berbagai regulasi ini diarahkan untuk menjaga kepastian, baik atas harga, kebutuhan, serta wilayah pemasaran pupuk bersubsidi. Dengan adanya regulasi ini diharapkan bisa memberikan jaminan baik kepada petani (berupa harga serta pasokan) maupun produsen pupuk (berupa kepastian wilayah pemasaran yang menjadi tanggung jawabnya). Namun, karena ditemukan adanya kurang baiknya koordinasi antarinstansi, justru regulasi-regulasi ini menghambat proses distribusi pupuk secara baik, terutama jika terjadi kelangkaan pupuk seperti saat ini. Pertama, Deptan melalui Permentan No. 505/Kpts/SR.130/12/2005 telah menetapkan jumlah kebutuhan pupuk untuk setiap wilayah (Propinsi). Tentunya, Deptan memiliki dasar perhitungan sehingga bisa menetapkan jumlah kebutuhan pupuk untuk setiap daerah setiap tahunnya. Permentan 505/2005 menyebutkan, kebutuhan pupuk bersubsidi tahun 2006 untuk urea sebanyak 4,3 juta ton. Tetapi, permintaan riil diatas dari yang telah ditentukan Deptan. Praktis ada gap antara permintaan dengan keputusan Deptan. Menurut Deptan, ketimpangan itu terjadi karena penggunaan pupuk oleh petani melebihi dosis anjuran dari Deptan. Pertanyaan, apakah pabrik pupuk terkait dapat diminta untuk menutupi kekurangan tersebut? Nanti dulu! Ini mengingat, sesuai dengan Peraturan Presiden (Perpres) No. 77/2005 tentang Penetapan Pupuk Bersubsidi Sebagai Barang Dalam Pengawasan, jika permintaan yang melebihi alokasi kuota seperti yang ditetapkan dalam Permentan No. 505/2005 tersebut dipenuhi, produsen pupuk bisa dianggap menyelewengkan pupuk yang tentunya bisa ada konsekuensi hukum tersendiri. Di samping itu, kalaupun Perpres 77/2005 ini dapat dikesampingkan, produsen pupuk, tidak bisa begitu saja diminta menutupi kekurangan ini. Ini mengingat, sebagai perusahaan yang harus laba, sementara menjual pupuk bersubsidi sesungguhnya merugikan (HET terlalu kecil dan pola subsidi tidak menguntungkan). Di samping itu, karena besarnya subsidi dihitung berdasarkan pada jumlah kebutuhan pupuk yang telah ditentukan Deptan, atas kelebihan tersebut, produsen pupuk terkait tidak mendapatkan subsidi. Nah, kalau disuruh memasok pupuk dengan harga HET, lalu siapa yang menanggung kerugian. Produsen pupuk, bisa saja memasok pupuk dengan HET yang ditentukan. Namun, diperlukan kerelaan dari pemilik (Kementerian BUMN) bahwa target laba yang ditentukan dalam Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP) akan tidak tercapai. Kedua, kalau mencermati Permendag 03/2006, sesungguhnya dapat ditemukan banyak kelemahan. Kelemahan pertama, pembagian rayonisasi bagi setiap produsen pupuk yang ditentukan Permendag 03/2006 terlihat jomplang dan terkesan tidak adil. Sebagai contoh, ada pabrik pupuk yang memiliki kapasitas produksi terbatas, tetapi diminta memasok pupuk di dalam negeri dalam jumlah yang sangat besar. Di sisi lain, ada pabrik pupuk yang memiliki kapasitas produksi sangat besar, namun kewajiban domestiknya sangat kecil. Situasi ini, jelas merugikan produsen pupuk tertentu. Sebab, bila produsen pupuk dengan kapasitas terbatas diminta komitmen memasok pupuk domestik dalam jumlah yang 4

sangat besar, itu artinya pemerintah tidak memberikan peluang kepada perusahaan tersebut untuk melakukan ekspor. Padahal, ekspor pupuk sangat dibutuhkan untuk mendapatkan keuntungan yang dapat digunakan untuk mengkompensasi atas kerugian yang ditimbulkan akibat memasok pupuk di dalam negeri dengan harga HET. Kelemahan kedua, Permendag 03/2006 ini juga kurang memperhatikan alokasi subsidi yang telah ditentukan UU APBN 2006 dan juga mengabaikan RAKP perusahaan. Ini terlihat, dalam konsideran Permedag 03/2006, ternyata tidak merujuk pada UU APBN. Padahal, UU APBN 2006 telah menentukan mengenai besarnya subsidi setiap produsen pupuk. Dengan sistem rayonisasi yang ditentukan Permendag 03/2006, sangat mungkin terjadi alokasi subsidi pupuk untuk setiap produsen pupuk dalam APBN 2006 akan dilanggar. Kelemahan ketiga, dalam kondisi bila terjadi kelangkaan, sesungguhnya produsen lain dapat memasok pupuk ke wilayah yang mengalami kekurangan pasokan tersebut. Namun, Permendag 03/2006 menyebutkan, realokasi pasokan ditetapkan oleh Dirjen Perdagangan Dalam Negeri, Departemen Perdagangan setelah mendapatkan rekomendasi dari Direktur Jenderal Industri Agro dan Kimia, Departemen Perindustrian. Penulis berpendapat, klausul harus ada penetapan dari Depdag dan rekomendasi dari Depperin ini terlalu birokratis. Padahal, dalam kondisi kritis seperti saat ini dibutuhkan keputusan cepat. Mengapa misalnya, tidak ditentukan bahwa dalam kondisi kritis, masalah relokasi tersebut bisa ditentukan di tingkat holding, yaitu PT. PUSRI. Penulis berpendapat, dengan memberi kewenangan kepada holding (PT. PUSRI) untuk menetapkan relokasi bila terjadi kondisi kritis, itu akan sangat menolong daerah yang mengalami kelangkaan pupuk. Solusi Dengan berbagai analisis di atas, jelas bahwa penyelesaian masalah perpupukan nasional tidak bisa diselesaikan secara parsial, bila kita menghendaki solusi yang permanen. Ini mengingat, permasalahan yang dihadapi industri pupuk begitu kompleks. Terdapat beberapa solusi yang ditawarkan untuk menyelesaikan masalah perpupukan tersebut. Pertama, terkait dengan masalah gas, langkah yang diperlukan adalah adanya kebijakan energi yang berpihak kepada industri dalam negeri, terutama industri pupuk. Penulis setuju dengan kebijakan pemerintah yang kini melakukan reorientasi penggunaan energi seperti tertuang dalam Perpres No. 5/2006 tentang Kebijakan Energi Nasional. Dalam Perpres itu, Presiden RI telah memerintahkan kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral untuk menetapkan Blueprint Pengelolaan Energi Nasional yang harus memuat (a) adanya jaminan keamanan pasokan energi dalam negeri; (b) kewajiban pelayanan publik (public service obligation); (c) pengelolaan sumber daya energi dan pemanfaatannya. Tentunya, kebijakan ini harus dijabarkan hingga detail, termasuk menyangkut potensi gas yang ada serta indentifikasi kebutuhan industri dalam negeri (termasuk pupuk) akan pasokan gas. Penulis mengusulkan agar dalam setiap kerja sama eksplorasi gas, misalnya KPS atas Blok Cepu dan KPS Blok A di NAD perlu ada klausul agar prioritas pemanfaatan gas diarahkan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, termasuk industri pupuk. Dan terpenting lagi adalah UU No. 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi harus direvisi, terutama yang menyangkut kewajiban pemenuhan hasil produksi migas maksimal 25% untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri (Pasal 22). Kemudian, kita juga memerlukan UU Energi yang membedakan harga gas untuk feed stock dan untuk keperluan energi. Kedua, pola subsidi harga gas perlu dilihat lagi efektivitasnya. Ini mengingat, subsidi harga gas tidak bisa mencerminkan biaya produksi serta biaya-operasional lainnya. Perlu 5

dipertimbangkan untuk mengganti pola subsidi harga gas dengan subsidi harga produk. Dengan pola ini, subsidi memang betul-betul mencerminkan biaya yang dikeluarkan untuk men-deliver pupuk sampai ke petani. Namun sebelumnya, audit atas struktur biaya produksi dan operasional produsen pupuk harus dilakukan. Ini mengingat, dalam beberapa kasus dapat dijumpai adanya biaya-biaya yang tidak relevan dengan operasional produsen pupuk dan jumlahnya cukup besar, tetapi dimasukkan dalam biaya operasional perusahaan. Ketiga, terkait dengan tata niaga, koordinasi antarinstansi menjadi sangat penting. Sesungguhnya, kalau fungsi holding BUMN pupuk berjalan baik, regulasi yang rumit di atas tidak diperlukan lagi. Kebijakan pengaturan pemasaran pupuk, semestinya cukup ditangani holding, tanpa harus diatur Deperindag. Pemerintah cukup mewajibkan kepada holding agar kebutuhan dalam negeri jangan sampai tidak tercukupi. Dengan diserahkannya ke holding, integrasi antara kebutuhan korporasi serta kewajiban pemasaran domestik (PSO oriented) dapat diatur secara fleksibel, sehingga fairness diantara produsen pupuk dapat dijaga. Dengan melihat fungsi holding saat ini yang tidak berjalan, ide pembentukan holding baru yaitu PT. Pupuk Indonesia yang digulirkan Kementerian BUMN mutlak diperlukan. Dengan dibentuknya holding baru ini, kebijakan pemasaran dapat dipusatkan di tingkat holding sehingga pemasaran lebih terfokus dan terarah. Keempat, di atas disebutkan bahwa terjadinya kelebihan permintaan pupuk oleh petani dari jumlah kebutuhan yang ditentukan Deptan disebabkan karena petani tidak mengindahkan anjuran Deptan mengenai dosis penggunaan pupuk. Faknya ini memperlihatkan bahwa persepsi petani bahwa semakin banyak urea disebar akan bisa meningkatkan produktivitas adalah keliru. Padahal, urea itu hanya untuk batang dan daun, yang berarti masih dibutuhkan TSP/SP-36 untuk akar dan KCL untuk bunga dan buah. Melihat kondisi ini, pengembangan pupuk majemuk (NPK) mutlak diperlukan. Data menunjukkan, negara yang petaninya menggunakan NPK, produktivitasnya jauh melebihi petani Indonesia. Untuk dapat menjalankan semua ini, jelas dibutuhkan kemauan politik yang kuat dari berbagai pihak. Penulis melihat, kinilah saat yang tepat untuk menata kembali kebijakan perpupukan nasional dalam rangka mendukung ketahanan pangan. Terlebih lagi, Presiden RI saat ini terlihat memiliki komitmen kuat untuk menata kembali kebijakan di sektor pangan dan energi. Ini merupakan momentum yang baik bagi kita untuk fokus membenahi hal-hal yang selama ini keliru yang menimpa industri pupuk nasional. Kalau tidak dari sekarang, rasanya sulit untuk menemukan momentum yang lebih baik dari saat ini. Wallahu Alam.*** 6