BAB 1 PENDAHULUAN. oleh virus dengue yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes, dengan ciri

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Haemorrhage Fever (DHF) banyak

BAB I PENDAHULUAN. Tenggara serta Pasifik Barat (Ginanjar, 2008). Berdasarkan catatan World

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh virus dengue. Virus dengue merupakan famili flaviviridae

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENGEMBANGAN BASIS DATA SURVEILANS FAKTOR RISIKO KEJADIAN DEMAM BERDARAH DENGUE DI DINAS KESEHATAN KOTA MATARAM

BAB 1 PENDAHULUAN. Di era reformasi, paradigma sehat digunakan sebagai paradigma

BAB I PENDAHULUAN. dewasa (Widoyono, 2005). Berdasarkan catatan World Health Organization. diperkirakan meninggal dunia (Mufidah, 2012).

BAB I PENDAHULUAN. Tenggara. Terdapat empat jenis virus dengue, masing-masing dapat. DBD, baik ringan maupun fatal ( Depkes, 2013).

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit demam berdarah dengue merupakan penyakit yang disebabkan oleh

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Haemorhagic Fever

BAB 1 PENDAHULUAN. Gambaran epidemiologi..., Lila Kesuma Hairani, FKM UI, 2009 Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. di Indonesia yang cenderung jumlah pasien serta semakin luas. epidemik. Data dari seluruh dunia menunjukkan Asia menempati urutan

BAB I PENDAHULUAN. tropis. Pandangan ini berubah sejak timbulnya wabah demam dengue di

HUBUNGAN FAKTOR PERILAKU DENGAN KEJADIAN DEMAM BERDARAH DENGUE DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS BOYOLALI I

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 : PENDAHULUAN. Berdarah Dengue (DBD). Jumlah penderita dan luas daerah penyebarannya

BAB 1 PENDAHULUAN. Demam Berdarah Dengue (DBD) disebabkan oleh virus dengue, ditularkan

BAB 1 PENDAHULUAN. Demam Berdarah Dengue (DBD) masih merupakan salah satu masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. masyarakat karena menyebar dengan cepat dan dapat menyebabkan kematian (Profil

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. yang masuk ke peredaran darah manusia melalui gigitan snyamuk dari genus Aedes,

BAB I LATAR BELAKANG

Sumber: Dinas Kesehatan Kabupaten Banyumas 2013

BAB 1 PENDAHULUAN. kesehatan masyarakat di Indonesia dan bahkan di Asia Tenggara. World Health

BAB I PENDAHULUAN. setiap tahunnya. Salah satunya Negara Indonesia yang jumlah kasus Demam

BAB I PENDAHULUAN. perjalanan penyakit yang cepat, dan dapat menyebabkan. kematian dalam waktu yang singkat (Depkes R.I., 2005). Selama kurun waktu

BAB I PENDAHULUAN. kejadian luar biasa dengan kematian yang besar. Di Indonesia nyamuk penular

Skripsi ini Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Ijazah S1 Kesehatan Masyarakat. Disusun Oleh: DIAH NIA HERASWATI J

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. tropis dan subtropis di seluruh dunia. Dalam beberapa tahun terakhir terjadi

BAB I PENDAHULUAN. 2009, World Health Organization (WHO) mencatat negara Indonesia sebagai

BAB 1 PENDAHULUAN. nasional karena upaya memajukan bangsa tidak akan efektif apabila tidak memiliki

Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit yang disebabkan oleh. virus Dengue yang ditularkan dari host melalui gigitan nyamuk Aedes Aegypti.

BAB I PENDAHULUAN. hingga tahun 2009, World Health Organization (WHO) mencatat Indonesia

1. BAB I PENDAHULUAN

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Hemorrhagic Fever

BAB 1 PENDAHULUAN. mengalami kemajuan yang cukup bermakna ditunjukan dengan adanya penurunan

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) dalam beberapa tahun terakhir

ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. gigitan nyamuk dari genus aedes misalnya Aedes aegypti atau Aedes albovictus.

PREVALENSI DEMAM BERDARAH DENGUE DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS TUMINTING TAHUN Ronald Imanuel Ottay

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai risiko tinggi tertular Demam Dengue (DD). Setiap tahunnya

BAB 1 PENDAHULUAN. oleh virus dengue dengan gambaran klinis demam, nyeri otot dan nyeri sendi yang

BAB I PENDAHULUAN. Bupati dalam melaksanakan kewenangan otonomi. Dengan itu DKK. Sukoharjo menetapkan visi Masyarakat Sukoharjo Sehat Mandiri dan

masyarakat, bangsa dan negara yang ditandai oleh penduduknya yang hidup dalam lingkungan sehat, berperilaku hidup bersih dan sehat (PHBS), mempunyai

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu

I. PENDAHULUAN. Diantara kota di Indonesia, Kota Bandar Lampung merupakan salah satu daerah

BAB I PENDAHULUAN. dengue dan ditularkan melalui gigitan nyamuk demam berdarah (Aedes

PENYELIDIKAN KEJADIAN LUAR BIASA DI GIANYAR. Oleh I MADE SUTARGA PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA 2015

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 : PENDAHULUAN. kesehatan masyarakat yang utama di Indonesia, salah satunya penyakit Demam

BAB I PENDAHULUAN. harus dipenuhi oleh setiap bangsa dan negara. Termasuk kewajiban negara untuk

BAB I PENDAHULUAN. manusia melalui perantara vektor penyakit. Vektor penyakit merupakan artropoda

BAB I PENDAHULUAN. yaitu dengue shock syndrome (DSS). Kewaspadaan dini terhadap. tanda-tanda syok pada penderita demam berdarah dengue (DBD)

BAB I : PENDAHULUAN. menular yang disebabkan oleh virus dengue, virus ini ditularkan melalui

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 : PENDAHULUAN. yang akan memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial ekonomis.

BAB 1 PENDAHULUAN. selalu diusahakan peningkatannya secara terus menerus. Menurut UU No.36 Tahun 2009 tentang kesehatan, dalam pasal 152

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN A.

BAB. I Pendahuluan A. Latar Belakang

INFORMASI UMUM DEMAM BERDARAH DENGUE

BAB 1 PENDAHULUAN. Asia Tenggara termasuk di Indonesia terutama pada penduduk yang

BAB 1 PENDAHULUAN. tinggi dan dalam waktu yang relatif singkat. Penyakit jenis ini masih

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit yang disebabkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Dengue adalah salah satu penyakit infeksi yang. dalam beberapa tahun terakhir ini menjadi masalah

BAB I PENDAHULUAN. umum dari kalimat tersebut jelas bahwa seluruh bangsa Indonesia berhak untuk

BAB I PENDAHULUAN. yang disebabkan oleh virus dengue yang tergolong Arthropod Borne Virus, genus

KERANGKA ACUAN PROGRAM P2 DBD

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes spp.

BAB 1 PENDAHULUAN. dengue (DEN) dari kelompok Arbovirus B, yaitu termasuk arthtropod-borne virus

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Haemorrhagic Fever

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan. salah satu masalah kesehatan lingkungan yang cenderung

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Al Ulum Vol.54 No.4 Oktober 2012 halaman

BAB I PENDAHULUAN. dan tantangan yang muncul sebagai akibat terjadinya perubahan sosial ekonomi dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Hemorrhagic Fever

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. yaitu Den-1, Den-2, Den-3, Den-4 dan yang terbaru adalah Den-5.

BAB I PENDAHULUAN. World Health Organization (WHO), juta orang di seluruh dunia terinfeksi

BAB I PENDAHULUAN. serotype virus dengue adalah penyebab dari penyakit dengue. Penyakit ini

BAB I PENDAHULUAN. Demam Berdarah Dengue merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

SARANG NYAMUK DALAM UPAYA PENCEGAHAN PENYAKIT DEMAM BERDARAH DI DESA KLIWONAN MASARAN SRAGEN

BAB 1 PENDAHULUAN. Hubungan faktor..., Amah Majidah Vidyah Dini, FKM UI, 2009

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. telah menjadi masalah kesehatan internasional yang terjadi pada daerah tropis dan

Penyakit DBD merupakan masalah serius di Provinsi Jawa Tengah, daerah yang sudah pernah terjangkit penyakit DBD yaitu 35 Kabupaten/Kota.

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Haemorraghic Fever

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. virus dari golongan Arbovirosis group A dan B. Di Indonesia penyakit akibat

BAB 1 PENDAHULUAN. jenis penyakit menular yang disebabkan oleh virus Chikungunya (CHIK)

BAB 1 PENDAHULUAN. tahun 2009, World Health Organization (WHO) mencatat negara Indonesia sebagai

Transkripsi:

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit menular infeksi yang disebabkan oleh virus dan ditularkan melalui nyamuk. Penyakit ini merupakan penyakit yang timbul di negara-negara tropis, termasuk di Indonesia (CDC, 2007). Menurut Ditjen P2PL Depkes RI (2011), DBD adalah penyakit infeksi oleh virus dengue yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes, dengan ciri demam tinggi mendadak disertai manifestasi perdarahan dan bertendensi menimbulkan renjatan (shock) dan kematian. Sampai saat ini belum ada vaksin maupun pengobatan yang efektif untuk virus demam berdarah kalaupun ada mungkin penggunaanya masih 5-10 tahun lagi dan itupun harganya sangat mahal untuk rakyat miskin di negara berkembang. Untuk dapat dipergunakan dan menjangkau daerah-daerah mungkin memerlukan waktu yang lama sementara DBD masih menjadi masalah (Sutaryo, 2004). World Health Organization (WHO) mengestimasi 50 juta orang di dunia, terinfeksi DBD setiap tahunnya. Data dari seluruh dunia menunjukkan Asia menempati urutan pertama dalam jumlah penderita DBD setiap tahunnya. Sementara itu, terhitung sejak tahun 1968 hingga tahun 2009, WHO mencatat Negara Indonesia sebagai negara dengan kasus DBD tertinggi di Asia Tenggara. 1

Di Indonesia DBD pertama kali ditemukan di Kota Surabaya pada Tahun 1968, dimana sebanyak 58 orang terinfeksi dan 24 orang diantaranya meninggal dunia (Case Fatality Rate/CFR 41,3%). Semenjak pertama kali ditemukan angka kesakitan DBD cenderung meningkat dari tahun ke tahun dan daerah terjangkit semakin meluas hingga sampai pada Tahun 2012 mencapai 417 kabupaten/kota dari 474 kabupaten/kota yang ada di Indonesia, serta sering menimbulkan kejadian luar biasa (KLB) setiap tahunnya di beberapa daerah endemis tinggi dan kejadiannya sulit diduga. Angka kesakitan (Incident Rate/IR) DBD pada tahun 2012 sebesar 65,70 per 100.000 penduduk dan angka ini lebih tinggi dari target nasional yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dan Rencana Strategis (Renstra) Kementerian Kesehatan tahun 2012-2014 yang ditetapkan sebesar 53 per 100.000 penduduk untuk tahun 2012, (Kemenkes RI, 2013). Tingginya angka kesakitan DBD di Indonesia dikarenakan kelancaran transportasi dan perpindahan penduduk dari satu daerah kedaerah lainnya cukup tinggi (Depkes RI, 2005) serta kondisi alam Indonesia yang berada pada daerah tropis yang sangat cocok untuk perkembangbiakan nyamuk vektor DBD (Suroso, 2005). Selain faktor risiko tersebut diatas, faktor lingkungan, faktor agen dan faktor penjamu juga sangat penting diperhatikan karena keseimbangan ketiga faktor tersebut dapat mempengaruhi penurunan maupun peningkatan kejadian kasus DBD (Murti, 2003). Kerentanan penjamu terhadap DBD juga dipengaruhi oleh umur dan jenis kelamin, seperti dikemukakan oleh Wibisono 2

(1997) bahwa kelompok umur yang banyak terinfeksi DBD adalah kelompok umur 15-19 tahun, dan jenis kelamin yang terbanyak menderita DBD adalah perempuan, bulan dengan penderita yang mencolok terkena DBD pada bulan Oktober dan bulan Mei, serta curah hujan yang paling tinggi pada bulan Januari sampai Februari dengan kasus yang sangat mencolok pada curah hujan <100 mm/bulan, jenis pekerjaan yang paling banyak terkena DBD adalah pelajar/mahasiswa diikuti oleh buruh. Sedangkan menurut Djelantik (1999) prevalensi DBD tertinggi pada kelompok umur 10-14 tahun, dan faktor jumlah anggota keluarga meningkatkan peluang untuk meningkatnya prevalensi DBD. Kebiasaan penjamu juga dapat mempengaruhi kejadian DBD seperti yang dikemukakan oleh Sitio (2008) bahwa faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian DBD adalah kebiasaan tidur siang, menggunakan anti nyamuk di siang hari (p=0,026; OR=4,343) dan kebiasaan menggantung pakaian bekas pakai (p=0,018; OR=5,500). Di Nusa Tenggara Barat (NTB), kasus DBD pada tahun 2012 sebesar 827 kasus (IR 17,84), dengan kematian 3 orang (CFR 0,36). Kasus DBD pada sepuluh kabupaten/kota yang ada di NTB seperti yang terlihat pada gambar 1.1. 3

Sumber : Dinkes Propinsi NTB, 2013. Gambar 1.1. Grafik Jumlah Kasus dan Kematian DBD di Provinsi NTB Tahun 2012. Pada Gambar 1.1 diatas, terlihat bahwa Kota Mataram mempunyai kasus DBD tertinggi di NTB. Hal ini disebabkan karena Kota Mataram merupakan ibukota provinsi NTB yang mempunyai kepadatan penduduk yang sangat tinggi, menjadikan penularan DBD menjadi lebih cepat, dipengaruhi juga oleh faktor geografis Kota Mataram yang menunjang perkembangbiakan nyamuk Ae. aegypti. Di Kota Mataram pada Tahun 2008 sampai dengan Tahun 2010, selama tiga tahun trend kasus DBD menningkat dan tiap tahunnya terjadi KLB. Pada Tahun 2008 terjadi 527 kasus (IR 184,82/100.000 penduduk) dengan 2 orang meninggal (CFR 0,38%.), Tahun 2009 terjadi 660 kasus (IR 208/100.000 penduduk) dengan 3 orang meninggal (CFR 0,45%) dan Tahun 2010 terjadi 1.014 kasus (IR 251/100.000 penduduk) dengan 3 orang meninggal (CFR 0,30%). Sedangkan pada Tahun 2011 kasus DBD menurun, dimana terjadi 170 kasus (IR 42,1/100.000 penduduk) dengan tidak ada 4

kematian (CFR 0), namun meningkat kembali pada Tahun 2012 dimana terjadi 464 kasus (IR 115,18/100.000 penduduk) dengan 1 orang penderita meninggal (CFR 0,22%) dan kembali terjadi KLB (Dinkes Kota Mataram, 2013). Berikut grafik kejadian DBD di Kota Mataram Tahun 2008 sampai dengan Tahun 2012 seperti pada Gambar 1.2. Sumber : Seksi P2B Dinkes Kota Mataram, 2013. Gambar 1.2. Grafik Jumlah Kasus dan Kematian DBD Tahun 2008 s/d tahun 2012 di Kota Mataram. Berdasarkan kenyataan diatas maka timbul pertanyaan, faktor apakah yang berkaitan dan mendukung kejadian DBD di Kota Mataram. Faktor risiko merupakan faktor yang dapat mendorong atau memperparah terjadinya penularan DBD yang dapat berasal dari manusia sebagai host, virus sebagai agent dan faktor lingkungan (Kandun I N., 2006). Faktor lingkungan merupakan faktor utama yang menentukan dalam penularan DBD. Penelitian yang dilakukan oleh Fathi, dkk (2005), tentang peran faktor lingkungan dan perilaku terhadap kejadian DBD di Kota Mataram menyatakan bahwa, terdapat hubungan yang bermakna antara keberadaan kontainer dengan KLB 5

penyakit DBD di Kota Mataram (Chi-square, p<0,05) RR=2,96, semakin masyarakat bersikap tidak serius dan tidak berhati-hati terhadap penularan penyakit DBD akan semakin bertambah risiko terjadinya penularan penyakit DBD (Chi-square, p<0,05) dengan RR=2,24. Tindakan 3M berperan positif terhadap pencegahan terjadinya KLB penyakit DBD di Kota Mataram (Chisquare, p<0,05) dengan RR=2,65. Demikian pula tindakan abatisasi berperan mengurangi risiko penularan DBD (Chi-square, p<0,05) dengan RR=2,51. Penelitian lain yang dilakukan oleh I.G. Budiharta (2011) menyatakan bahwa faktor risiko yang paling dominan terhadap kejadian kasus DBD di Kota Mataram adalah kebiasaan tidur siang jam 9-10 (OR 9,00 ; 95% CI 2,08-38,99, p=0,003). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Azizah dkk (2010) serta Musyarifatun (2011) menyatakan bahwa mobilitas penduduk yang tinggi menjadi salah satu faktor yang berperan dalam status endemisitas suatu wilayah. Faktor kepadatan penduduk juga dinyatakan sebagai salah satu faktor yang berperan dalam endemisitas DBD. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Setianingsih (2009), Rahayani (2010), dan Munsyir (2010). Faktor lain yang dianggap berperan dalam endemisitas DBD adalah lingkungan biologi berupa densitas larva Ae. aegypti. Penelitian Ishak dkk (2009) serta Sudibyo dkk (2012) menyatakan bahwa densitas larva mempunyai hubungan yang signifikan dengan tinggi rendahnya endemisitas DBD. Berbagai upaya telah dilakukan dalam pengendalian penyakit DBD di Kota Mataram, namun kasus DBD masih tetap saja ada dan sering 6

menimbulkan KLB. Menurut Lapau (2011), dalam program kesehatan yang bertujuan untuk mengatasi masalah kesehatan khususnya pemberantasan penyakit, maka ada lima katagori intervensi yang perlu di pertimbangkan, yaitu surveilans, penemuan, pengobatan, pencegahan dan promosi dalam rangka mengatasi masalah kesehatan atau penyakit yang bersangkutan. Surveilans merupakan prioritas intervensi utama, karena surveilans berguna untuk menjamin supaya dihasilkan informasi yang terus-menerus dan berkualitas sehingga dapat dijadikan sebagai dasar pertimbangan untuk mengambil keputusan dalam mengambil tindakan pengendalian atau penaggulangan yang efektif dan efisien. Surveilans DBD adalah proses pengumpulan, pengolahan, analisis dan interpretasi data serta penyebarluasan informasi ke penyelenggara program, instansi dan pihak terkait secara sistematis dan terus-menerus tentang situasi DBD dan kondisi yang mempengaruhi terjadinya peningkatan dan penularan penyakit tersebut agar dapat dilakukan tindakan pengendalian secara efektif dan efisien. Surveilans DBD merupakan surveilans rutin yang dilaksanakan di seluruh unit pelayanan kesehatan di Indonesia dan merupakan salah satu kegiatan pokok kegiatan program pengendalian DBD, yang meliputi surveilans kasus secara aktif maupun pasif, surveilans vektor, surveilans laboratorium dan surveilans faktor risiko penularan penyakit seperti pengaruh curah hujan, kenaikan suhu dan kelembaban, serta surveilans akibat adanya perubahan iklim (climate change) (Kemenkes RI, 2011). Dinas Kesehatan Kota (DKK) Mataram merupakan organisasi di 7

lingkungan Pemerintahan Kota Mataram sebagai unsur pelaksana teknis pemerintah daerah yang mempunyai tugas membantu Wali Kota dalam melaksanakan kewenangan otonomi daerah di bidang kesehatan. Kegiatan surveilans epidemologi termasuk surveilans epidemiologi DBD adalah salah satu tupoksi dari DKK Mataram yang dilaksanakan oleh Seksi Pemberantasan Penyakit dan Bencana (P2B) pada Bidang Pengamatan, Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit serta Penyehatan Lingkungan (P3PPL). Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang sudah dilakukan di DKK Mataram, kegiatan surveilans epidemiologi DBD di DKK Mataram dilakukan ketika ada laporan pemberitahuan adanya kasus DBD yang di rawat pada sarana pelayanan kesehatan yaitu Rumah Sakit (RS) pemerintah/swasta, Puskesmas rawat inap/non rawat inap yang dilaporkan melalui telpon/sms, kemudian data tersebut dicatat/dientry pada komputer dengan menggunakan program aplikasi komputer microsoft excell pada form data dasar perorangan penderita suspek DBD, DD, DBD dan SSD (lampiran 1). Berdasarkan laporan tersebut selanjutnya dilakukan penyelidikan epidemiologi (PE) oleh puskesmas untuk mencari tersangka DBD atau penderita baru dan melakukan pemeriksaan jentik di sekitar tempat tinggal kasus dengan menggunakan form PE (lampiran 1). Berdasarkan hasil kegiatan PE kemudian dilakukan upaya intervensi untuk mencegah penyebaran kasus dalam bentuk kegiatan penyuluhan, penggerakan masyarakat untuk PSN, larvasida maupun pengasapan (fogging) sesuai kriteria hasil PE. Pengolahan dan analisis data dilakukan dengan membuat tabel, grafik 8

dan peta. Pembuatan tabel dilakukan untuk menyajikan data kasus berdasarkan lokasi dan minggu kejadian DBD, data kasus DBD berdasarkan kelompok umur dan jenis kelamin dan data jumlah penderita DBD per bulan. Pembuatan grafik digunakan untuk melihat trend berdasarkan minggu, bulan dan tahun kejadian DBD. Sedangkan mapping disajikan untuk menggambarkan disitribusi jumlah kasus DBD berdasarkan lokasi desa/kelurahan. Berdasarkan penjelasan tersebut kegiatan surveilans DBD di DKK Mataram terdapat beberapa permasalahan pada manajemen sistem pengelolaan data. Pada tahap pengumpulan data, laporan kasus DBD sering kali kurang lengkap seperti alamat kasus yang kurang jelas, beberapa RS melaporkan kasus DBD lebih dari 24 jam (tidak tepat waktu) karena alasan birokrasi RS. Data yang didapatkan dari kegiatan PE (form PE) yang meliputi pemeriksaan jentik terbatas hanya di sekitar kasus sehingga belum dapat menggambarkan angka bebas jentik (ABJ) yang sesungguhnya, pengolahan data dilakukan secara terpisah (tidak terintegrasi) sehingga menyulitkan dalam melakukan analisis. Keadaan ini menimbulkan permasalahan berupa adanya redudansi dan inkonsistensi serta memerlukan waktu lebih lama dalam pengolahan data. Hasil analisis belum dapat memberikan informasi yang maksimal sesuai kebutuhan program, informasi saat terjadinya musim penularan DBD belum dapat dihasilkan sehingga tidak dapat menentukan waktu yang tepat untuk melakukan upaya intervensi yang berupa tindakan pencegahan yang efektif dan efisien. Upaya intervensi yang dilakukan hanya 9

berdasarkan hasil PE seperti kegiatan fogging yang dilakukan hanya terbatas pada daerah sekitar kejadian DBD dan dilakukan agar kejadian DBD tidak meluas dan belum mampu mendeteksi seberapa besar kemungkinan suatu daerah akan terjadi kasus DBD, sehingga dibutuhkan informasi faktor risiko lain yang diperkirakan dapat mendukung kejadian DBD di Kota Mataram. Pengelolaan data menggunakan sistem basis data tertentu sudah banyak dilakukan dibidang kesehatan. Basis data (data base) adalah sekumpulan data yang saling berhubungan secara logis beserta deskripsinya, yang digunakan secara bersama-sama dan dirancang untuk memenuhi kebutuhan informasi di suatu tempat (Said M.P., 2013). Survailans epidemiologi DBD tidak hanya terbatas pada kegiatan surveilans kasus saja yang mengeloh dan menganalisis data kasus, namun meliputi surveilans terhadap faktor risiko kejadian DBD. Pengelolaan data faktor risiko kejadian DBD dapat menggunakan aplikasi basis data tertentu untuk mengolah, menganalisis, menginterpretasi dan menyimpan data sehingga informasi yang dihasilkan juga lebih berkulaitas, mudah diakses dan aman. Penggunaan manajemen basis data dengan menggunakan aplikasi basis data tertentu dalam mengolah dan menganalis data faktor risiko kejadian DBD di DKK Mataram belum pernah dilakukan. Berdasarkan kenyataan dan permasalahan pada pengelolaan data surveilans DBD di DKK Mataram, maka perlu dilakukan suatu penelitian pengembangan basis data yang dapat mengolah dan menganalisis data faktor risiko kejadian DBD. Basis data yang 10

dikembangkan, dapat menghasilkan informasi kejadian DBD berdasarkan faktor risiko yang disajikan dalam bentuk tabel, grafik maupun peta. Informasi yang dihasilkan dapat djadikan sebagai dasar atau bahan pertimbangan dalam mengambil keputusan untuk melaksanakan tindakan pengendalian DBD, sehingga dengan demikian upaya yang dilakukan lebih efektif dan efisien. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan gambaran dan masalah-masalah yang terdapat pada sistem surveilans DBD di DKK Mataram yang sedang berjalan saat ini, maka dapat disusun rumusan masalah pada penelitian ini adalah bagaimanakah model pengembangan basis data surveilans faktor risiko kejadian DBD di DKK Mataram, yang dapat menghasilkan informasi kejadian DBD berdasarkan faktor risiko keretanan manusia (kelompok umur, jenis kelamin, jenis pekerjaan), tingkat kepadatan penduduk, tingkat ABJ dan kondisi iklim (suhu udara, kelembaban, curah hujan). 1.3 Tujuan 1.3.1 Tujuan Umum Mengembangkan basis data surveilans faktor risiko kejadian DBD pada kegiatan surveilans epidemiologi DBD Program Pengendalian DBD di DKK Mataram Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). 1.3.2 Tujuan Khusus 1) Mengidentifikasi basis data surveilans epidemiologi DBD yang sedang berjalan di DKK Mataram saat ini. 11

2) Mengidentifikasi kebutuhan pengembangan basis data surveilans faktor risiko kejadian DBD di DKK Mataram. 3) Merancang pengembangan basis data surveilans faktor risiko kejadian DBD di DKK Mataram. 4) Melakukan uji coba basis data surveilans faktor risiko kejadian DBD di DKK Mataram yang telah dikembangkan. 5) Mengevaluasi basis data surveilans faktor risiko kejadian DBD di DKK Mataram. 1.4 Manfaat Penelitian ini di harapkan untuk dapat dimanfaatkan bagi : 1) Dinas Kesehatan Kota (DKK) Mataram a. Dapat memilki dan memanfaatkan aplikasi basis data surveilans faktor risiko kejadian DBD dengan menggunakan sofware Epi Info for windos version 3.5.1 yang dapat menghasilkan informasi kejadian DBD berdasarkan faktor risiko. b. Memudahkan dalam pengelolaan (memasukkan/entry, analisis, penyimpanan, pengambilan kembali, dan penyajian ) data dan informasi c. Dapat menjamin kualitas data dan informasi yang dihasilkan oleh sistem surveilans DBD dengan menggunakan aplikasi basis data yang telah dikembangkan. 2) Akademik Dapat dijadikan sebagai tambahan referensi tentang pengembangan basis data surveilans faktor risiko kejadian DBD. 12

3) Peneliti Sebagai sarana untuk menerapkan ilmu pengetahuan yang diperoleh selama perkuliahan dan merupakan bekal pengetahuan dan keterampilan yang dapat digunakan apabila mendapatkan permasalahan tentang basis data. 13