Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia Simposium Nasional IATMI 2009 Bandung, 2-5 Desember 2009 Makalah Profesional IATMI 09 010 Depletion Premium : Tinjauan Teori, Hukum, dan Penerapan Pada Kontrak Kerja Sama Pengusahaan Migas di Indonesia Arsegianto Program Studi Teknik Perminyakan ITB Abstrak Pengusahaan migas di Indonesia mengacu kepada UUD 1945 pasal 33 yaitu memberikan keuntungan sebesar-besar bagi kemakmuran rakyat. Sistem Bagi Hasil yang medudukkan posisi Pemerintah sebagai pemilik dan investor sebagai kontraktor, serta pembagian keuntungan untuk Pemerintah yang jauh lebih besar dari pada yang diterima Kontraktor adalah sesuai dengan amanat UUD 1945 tersebut. Penerimaan Pemerintah baik berupa pajak maupun bukan pajak (bagian keuntungan, bonus, dan sebagainya) dari migas dan dari sektor lain dikelola dalam APBN untuk pembiayaan rutin dan investasi nasional. Sektor migas merupakan profit center dalam pembangunan nasional. Rakyat yang dimaksud oleh UUD 1945 tersebut mestinya bukan hanya rakyat di jaman sekarang, tetapi juga mencakup mereka yang akan hidup di masa akan datang. Adalah tidak adil apabila keuntungan dari eksploitasi migas, yang merupakan sumberdaya alam tidak terbarukan, hanya dinikmati oleh masyarakat sekarang. Perkiraan angka 5% dari yang dihasilkan dikembalikan menjadi anggaran Departemen ESDM, dan hanya 1% yang dikembalikan untuk pembiayaan sektor migas (4% untuk listrik) menunjukkan bahwa tidak ada pertimbangan untuk berbagi keuntungan dengan generasi yang akan datang. Hipotesis bahwa ketergantungan sektor migas terhadap sumberdaya dari luar (asing) adalah disebabkan oleh terbatasnya kemampuan sumberdaya nasional sebagai akibat kecilnya dana pengembangan ke sektor energi ini, menjadi sangat nyata. Depletion premium merupakan instrumen pengelolaan sumberdaya tak terbarukan, yang memindahkan keuntungan sekarang ke masa yang akan datang. Makalah ini membahas suatu usulan penerapan depletion premium dalam KKS sebagai strategi pengelolaan sumberdaya energi yang berkelanjutan. Pendahuluan Sebagaimana tersurat dalam UU No.22 Tahun 2001 tentang minyak dan gas bumi, BP MIGAS memegang hak monopoli dalam melakukan kegiatan usaha hulu (eksplorasi dan eksploitasi) minyak dan gas bumi yang dalam pelaksanaannya bekerjasama dengan pihak lain (BUMN, BUMD, Badan Usaha, Koperasi, atau Bentuk Usaha Tetap) atas dasar kontrak kerjasama (KKS). Pemerintah memperoleh hasil pengusahaan migas berupa pendapatan bukan pajak (PNBP) dan pendapatan pajak (PNP). Nampaknya hal tersebut sesuai dengan amanat UU 1945 karena pendapatan tersebut langsung masuk ke rekening Departemen Keuangan sebagai bagian dari APBN untuk membiayai penyelenggaraan Negara. Sektor migas hulu memberikan sumbangan lebih dari 30% APBN, tetapi hanya 5% yang kembali ke sektor ini dalam bentuk anggaran Departemen ESDM, dimana 1% 1
yang benar-benar dimanfaatkan untuk sektor migas (sebagian besar sisanya untuk kelistrikan). Di dalam UUD 1945 kekayaan Negara harus dimanfaatkan sebesar-besar kemakmuran rakyat. Perlu diperhatikan bahwa rakyat Indonesia mencakup mereka yang hidup saat kini dan juga mereka yang akan hidup di masa mendatang. Dengan demikian perolehan migas tidak seluruhnya dapat dinikmati rakyat generasi sekarang; sebagian harus ditransfer ke generasi yang akan datang. Permasalahan Pembagian keuntungan (net operating income) dari hasil usaha migas dan pembayaran pajak perusahaan merupakan cerminan dari bargaining position antara Pemerintah dan Kontraktor. Penerimaan Pemerintah berupa pajak pendapatan Kontraktor adalah hak rakyat generasi sekarang, tetapi yang dari hasil bagi keuntungan, disamping merupakan hak rakyat generasi sekarang, juga mencakup hak rakyat generasi masa datang. Dengan demikian menjadi kewajiban Pemerintah sekarang untuk men-transfer bagian generasi mendatang kepada yang berhak. Kalau yang berhak saat ini belum ada, dan juga tidak jelas siapa yang berhak sepanjang rentang waktu ke depan yang juga tidak jelas sampai kapan, bagaimana cara melakukan transfernya? Landasan Teori Satu barel minyak yang diproduksi hari ini akan mengorbankan kesempatan untuk mendapatkan satu barel minyak di kemudian hari; demikian ketentuan untuk minyak bumi sebagai sumberdaya yang tidak terbarukan. Untuk itu siapapun yang menggunaan energi minyak hari ini harus mengganti dengan jumlah energi yang sama untuk masa depan. Menurut Harold Hotellings, biaya pemakai (user s cost) untuk mengganti minyak bumi ini seharusnya meningkat dengan eskalasi sebesar social discount rate. Aturan Hotelling tersebut dijelaskan pada Gambar 1. Harga minyak adalah biaya produksi plus user s cost. Biaya produksi per barel minyak, yang meliputi seluruh biaya untuk mencari, mengangkat minyak dari dalam bumi sampai ke titik penjualan (termasuk keuntungan yang diperoleh), akan naik karena makin sulitnya menemukan cadangan baru dan ekstraksinya (pemboran makin dalam, lepas pantai, daerah remote), tetapi juga dapat turun karena penggunaan teknologi baru yang lebih efisien dan efektif. Pada Gambar 1 biaya produksi dianggap tetap. Tetapi user s cost akan terus naik, sehingga harga minyak akan terus meningkat, yang pada akhirnya akan bertemu dengan harga backstop, di mana pada saat itu life cycle minyak berakhir, atau dapat dikatakan bahwa minyak secara ekonomi telah habis. Harga backstop adalah harga di mana harga minyak sama dengan harga sumberdaya alternatif terbarukan yang menggantikannya. User s cost ini disebut juga depletion premium. Depletion premium dikelola oleh pemerintah atas nama generasi yang akan datang dan digunakan untuk membiayai usaha mengganti minyak yang diambil hari ini misalnya dengan melakukan eksplorasi untuk mendapat cadangan baru, atau penelitian dan pengembangan pengganti minyak seperti bio-disel, tenaga matahari dan sebagainya. Harold Hotelling dalam The Economics of Depletable Resources (1930) menulis bahwa harga optimal dari sumberdaya yang terhabiskan dikurangi oleh biaya ekstraksinya harus meningkat terhadap waktu dengan kecepatan tingkat bunga yang berlaku. Perhitungan harga minyak memerlukan data masa depan yang tentu saja harus diasumsikan, sebagaimana halnya dengan konsep tekno-ekonomi. Beberapa metoda diperkenalkan, antara lain oleh Adelman, Chapman. Konsep Hotelling tersebut bersifat normatif, karena keadaan optimal sekedar merupakan ilusi. Sebagaimana kenyataan yang dijumpai, harga minyak menari diluar aturan Hotelling. Dalam makalah ini depletion premium dihitung dengan pendekatan sebagai berikut. Perhatikan Gambar 2. Apabila biaya produksi minyak adalah X dan depletion premium ditentukan Y, maka harga minyak adalah X+Y. Harga minyak akan mengalami eskalasi sebesar inflasi. Sementara itu apabila depletion premium diinvestasikan hari ini dengan return sebesar social discount rate (bunga bank), agar pada suatu waktu di masa depan yang ditentukan terjadi penggantian dalam nilai yang sama, maka diperoleh persamaan Harga nominal minyak pada tahun T atau: = Nilai nominal investasi depletion premium hari ini di tahun T P 0 (1 + inf) T = DP (1 + dr) T 2
Sementara itu harga minyak adalah biaya produksi ditambah depletion premium, atau: (DP + C 0 ) (1 + inf) T = DP (1 + dr) T sehingga diperoleh persamaan untuk menghitung depletion premium sebagai fraksi harga minyak sekarang, yaitu: DP ---- P 0 = (1 + inf) T ---------- (1 + dr) T di mana P 0 = harga minyak hari ini C 0 = biaya produksi minyak hari ini DP = depletion premium inf = inflasi per tahun dr = discount rate T = perkiraan waktu breakthrough penggantian minyak baru Metoda pendekatan yang dipakai di sini ditunjukkan oleh Gambar 2. Harga riel minyak adalah tetap, sehingga penggunaan eskalasi harga nominal sebesar inflasi merupakan purchasing power. Investasi dana depletion premium menggunakan earning power sebesar discount rate yang secara teoritis selalu lebih besar dari pada inflasi. Sebagai ilustrasi, dengan inflasi 3% dan MARR 20% dan perioda penggantian 10 tahun, maka depletion premium adalah (1 + 0,03) 10 DP = ----------------- = 21,7% (1 + 0,20) 10 Apabila digunakan discount rate 25%, maka diperoleh DP menjadi 14,43%. Dan untuk perioda penggantian 20 tahun, diperoleh DP sebesar 4,7%. Kesimpulannya adalah, (a) makin besar perbedaan MARR dan inflasi, depletion premium makin kecil, dan (b) makin panjang waktu penggantian, depletion premium juga semakin kecil. Landasan Hukum Mestinya pada saat founding fathers kita mendirikan NKRI dengan konstitusi UUD 1945, yang dimaksud dengan rakyat Indonesia adalah rakyat pada semua generasi selama NKRI masih ada. Tetapi masalah bagaimana membagi kekayaan tanah air kepada antar generasi belum terpikirkan. Walaupun demikian telah tersirat keinginan untuk menjaga kelesatrian kekayaan bumi Indonesia agar dapat dinikmati oleh anak cucu. Bahkan generasi sekarang dituntut berinvestasi agar kekayaan semakin bertambah untuk dapat dinikmati oleh generasi yang akan datang. Secara matematis, interpretasi yang dapat dimunculkan terhadap hal tersebut adalah sebagai berikut. Harga migas sama dengan nilai tambah yang terkandung di dalamnya. Yang membedakan dengan komoditi lain, migas yang bersifat tidak terbarukan telah memiliki nilai di dalam bumi pada waktu ditemukan, yang bukan diciptakan oleh mereka yang mengekstraksi migas tersebut, sehigga harus di pass through kepada generasi berikutnya. Artinya setiap pengguna migas harus membayar nilai tersebut, atau yang disebut user s cost. User s cost ini merupakan kompensasi atas pemakaian sumberdaya tidak terbarukan atau depletion premium. Penerapan Depletion Premium Penerapan depletion premium dalam sistem Kontrak Kerjasama adalah menyisihkan DP langsung dari pendapatan lifting migas. Gambar 3 memperlihatkan penerapan depletion premium pada skema Production Sharing Contract standar. Ilustrasi berikut memperlihatkan penerapan model KKS dengan depletion premium. Lapangan X memiliki cadangan minyak sebesar 15,791,942 bbl. Cadangan minyak tersebut diperkirakan akan habis dalam jangka waktu 14 tahun sejak mulai diproduksi. Laju produksi lapangan X pada tahun pertama sebesar 2,550,000 bbl dan terus mengalami penurunan pada tahun-tahun berikutnya. Penurunan laju produksi mengikuti pola exponential decline curve dengan laju decline (D) sebesar 14,28 per tahun. Profil laju produksi minyak bumi lapangan X diberikan sebagai berikut: Tahun Produksi, bbl Tahun Produksi, bbl 0 0 8 867,192 1 2,550,000 9 743,357 2 2,185,860 10 637,206 3 1,873,719 11 546,213 4 1,606,152 12 468,214 5 1,376,794 13 401,353 6 1,180,187 14 344,039 7 1,011,657 3
Data lainnya, yaitu harga minya diskenariokan $50 per barel, sedangkan inflasi dan MARR masing-masing ditetapkan 6%, dan 20% per tahun. Hasil perhitungan memberikan hasil sebagai berikut: DP = 17,61% atau $8,8 barel Apabila waktu ekstraksinya diperpanjang menjadi 20 tahun (produksi lebih rendah) maka diperoleh DP = 8,37% atau $4,18 per barel. Diskusi dan Analisis a. Harga minyak tidak mengikuti optimal path-nya Hotelling, sehingga sulit menetapkan nilai depletion premium yang secara normative meningkat dengan laju social discount rate. Untuk itu pendekatan dilakukan dengan menetapkan depletion premium sebagai fraksi harga migas yang tetap, sehingga nilainya naik-turun mengikuti harga migas. b. Adanya depletion premium tidak mempengaruhi keekonomian Kontraktor karena dikompensasi dengan bagian Kontraktor dari NOI yang lebih besar. Jadi pada dasarnya, pendapatan Pemerintah dari ekstraksi migas sebagian harus dikembalikan ke sektor energi alternatif untuk mendapatkan penggantian migas yang diproduksi. Energi alternatif disini sebaiknya energi terbarukan karena pada dasarnya pembangunan yang berkelanjutan harus ditopang oleh energi yang terbarukan. c. Depletion premium dipengaruhi oleh perbedaan inflasi dan MAAR, serta penetapan waktu ekstraksi yang mana parameter-parameter tersebut sekedar merupakan perkiraan. Sebagaimana halnya dengan metoda tekno-ekonomi untuk menentukan kelaikan proyek, depletion premium disadari harus diperhitungkan dan dipakai sebagai pemandu dalam pengelolaan sumberdaya energy. Pustaka Acuan 1. Adelman, M.A; Economic Theory of Mineral Depletion with Special Reference to Oil and Gas. Proceedings 9 th International Association of Energy Ecnomists, Calgary, 1987 2. Arsegianto; Concept and Implementation of Depletion Premium in Oil and Gas Extraction,31 st Annual IPA Convention & Exhibition, Jakarta, 2006 3. Chapman,D.; Computational Techniques for Intertemporal Allocation of Natural Resources. American Journal of Agricultural Economics, Feb.1987. 4. Hotelling,Harold; The Economics of Exhaustible Resources, Journal of Political Economy, Vol.39, 1930, pp.137-175.. Catatan Penutup Agar Pemerintah konsisten menganggarkan investasi bagi penelitian dan pengembangan energi alternatif, diperlukan undang-undang energi yang mencantumkan alokasi dana bagi pengembangan energi terbarukan yang bersumber dari depletion premium energi tidak terbarukan seperti migas dan batubara. Hal ini belum tersentuh dalam Undang-Undang No.30 Tahun 2007 tentang Energi. 4
Oil Price User s cost Biaya produksi 0 Produksi Kumulatif Gambar 1. User s cost meningkat dengan kecepatan social discount rate. P 0 (1+inf) t P 0 DP DP(1+dr) T 0 Tahun T Gambar 2. Perubahan nilai uang terhadap waktu Revenue Depletion Premium Cost Recovery NOI Bagian Pemerintah Bagian Kontraktor Pajak Cost Penerimaan Pemerintah Penerimaan Kontraktor Gambar 3. Skema penerapan depletion premium dalam PSC 5