I. PENDAHULUAN. jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi

dokumen-dokumen yang mirip
II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

I. PENDAHULUAN. sebutan Hindia Belanda (Tri Andrisman, 2009: 18). Sejarah masa lalu Indonesia

I. PENDAHULUAN. asasi manusia dipertaruhkan. Bagaimana akibatnya jika seorang yang didakwa. yang ada disertai keyakinan Hakim, padahal tidak benar.

BAB I LATAR BELAKANG. yang diajukan oleh warga masyarakat. Penyelesaian perkara melalui

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), tidak

II. TINJAUAN PUSTAKA. nampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam berperkara dimuka

I. PENDAHULUAN. pidana, dan pidana (sanksi). Di Indonesia, pengaturan hukum pidana materiil

I. PENDAHULUAN. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (Selanjutnya disebut KUHP), dan secara

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

BAB I PENDAHULUAN. tabu untuk dilakukan bahkan tidak ada lagi rasa malu untuk

PEMBUKTIAN DAN PUTUSAN PENGADILAN DALAM ACARA PIDANA 1 Oleh: Susanti Ante 2

selalu berulang seperti halnya dengan musim yang berganti-ganti dari tahun ke

I. PENDAHULUAN. kali di dalam peraturan penguasa militer nomor Prt/PM-06/1957, sehingga korupsi

PERAN DAN KEDUDUKAN AHLI PSIKIATRI FORENSIK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA

BAB I PENDAHULUAN. suatu perkara disandarkan pada intelektual, moral dan integritas hakim terhadap

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan penting dalam proses

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan

TRANSKRIP WAWANCARA. Baris ke Mohon dijelaskan secara ringkas proses mengadili perkara tindak pidana korupsi?

BAB I PENDAHULUAN. penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi. pidana atau tidak yang dilakukan terdakwa.

BAB I PENDAHULUAN. dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang untuk

I. PENDAHULUAN. kemajuan dalam kehidupan masyarakat, selain itu dapat mengakibatkan perubahan kondisi sosial

I. PENDAHULUAN. disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk menentukan

Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana tidak memberikan. penjelasan mengenai pengertian pembuktian, KUHAP hanya memuat jenis-jenis

I. PENDAHULUAN. Hakim memiliki peranan penting dalam suatu proses persidangan yaitu. mengambil suatu keputusan hukum dalam suatu perkara dengan

BADAN PEMERIKSA KEUANGAN SEBAGAI PEMBERI KETERANGAN AHLI DAN SAKSI DALAM KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI

BAB I PENDAHULUAN. melibatkan pemeriksaan investigatif oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan

BAB I PENDAHULUAN. atau tanpa memasang alat atau perangkat tambahan pada jaringan

I. PENDAHULUAN. terpuruknya sistem kesejahteraan material yang mengabaikan nilai-nilai

TINJAUAN PUSTAKA. sumber utama dalam pembuktian. Mengatur macam-macam alat bukti yang sah

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum.

RANCANGAN PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI

I. PENDAHULUAN. Tindak pidana korupsi merupakan salah satu kejahatan yang merusak moral

BAB I PENDAHULUAN. mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Indonesia merupakan salah satu Negara Hukum. Hal ini

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. dirasakan tidak enak oleh yang dikenai oleh karena itu orang tidak henti hentinya

BAB IV. A. Proses Pembuktian Pada Kasus Cybercrime Berdasarkan Pasal 184 KUHAP Juncto

PERANAN SAKSI YANG MENGUNTUNGKAN TERDAKWA DALAM PROSES PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA (STUDI PN PALU NOMOR 10/PID.SUS-TIPIKOR/2013/PN.

METODE PENELITIAN. sistematika, dan pemikiran tertentu dengan jalan menganalisisnya. Metode

NASKAH PUBLIKASI KEKUTAN PEMBUKTIAN BUKTI ELEKTRONIK DALAM PERSIDANGAN PIDANA UMUM

BAB I PENDAHULUAN. Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak

PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. tampak lebih nyata. Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk kejahatan juga

Presiden, DPR, dan BPK.

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA

BAB I PENDAHULUAN. kepada pemeriksaan keterangan saksi sekurang-kurangnya disamping. pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi.

I. PENDAHULUAN. dan sejahtera tersebut, perlu secara terus-menerus ditingkatkan usaha-usaha pencegahan dan

I. PENDAHULUAN. mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna

BAB II. A. Pembuktian. 1. Pengertian Pembuktian. Pembuktian merupakan titik sentral pemeriksaan perkara

I. PENDAHULUAN. Tindak pidana pemalsuan uang mengandung nilai ketidak benaran atau palsu atas

Pembuktian penuntut umum dalam perkara tindak pidana korupsi oleh kejaksaan Sukoharjo. Oleh : Surya Abimanyu NIM: E BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3)

BAB I PENDAHULUAN. Pencucian uang (disebut dengan istilah Money Laundering). Mahmoeddin

BAB I PENDAHULUAN. Hukum materiil seperti yang terjelma dalam undang undang atau yang

BAB I PENDAHULUAN. kepada Bishop Mabadell Creighton menulis sebuah ungkapan yang. menghubungkan antara korupsi dengan kekuasaan, yakni: power tends

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban pidana ( criminal liability) atau ( straafbaarheid),

BAB I PENDAHULUAN. hukum, tidak ada suatu tindak pidana tanpa sifat melanggar hukum. 1

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Didalam proses perkara pidana terdakwa atau terpidana

KEDUDUKAN DAN KEKUATAN HUKUM INFORMASI ELEKTRONIK DALAM PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA TERORISME ANDRE TANJUNG ORISA/ D PEMBIMBING

I. PENDAHULUAN. Disparitas pidana tidak hanya terjadi di Indonesia. Hampir seluruh Negara di

BAB I PENDAHULUAN. diperiksa oleh hakim mengenai kasus yang dialami oleh terdakwa. Apabila

pihak. Lebih lanjut, sebagaimana tercantum dalam Pasal 184 KUHAP, alat-alat bukti

Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis)

I. PENDAHULUAN. hukum sebagai sarana dalam mencari kebenaran, keadilan dan kepastian hukum. Kesalahan,

I. PENDAHULUAN. perundang-undangan yang berlaku. Kemandirian dan kemerdekaan dalam

BAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA. diatur secara eksplisit atau implisit dalam Undang-undang Dasar 1945, yang pasti

peradilan dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa, mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Dalam hal ini, untuk

I. PENDAHULUAN. manapun (Pasal 3 Undang -Undang Nomor 30 Tahun 2002). Sebagai lembaga independen,

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 117/PUU-XII/2014 Bukti Permulaan untuk Menetapkan Sebagai Tersangka dan Melakukan Penahanan

BAB I PENDAHULUAN. maraknya penggunaan media elektronik mulai dari penggunaan handphone

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

SKRIPSI PERANAN SAKSI DAN KETERANGAN AHLI DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA

I. PENDAHULUAN. Tindak pidana korupsi merupakan permasalahan yang muncul sejak berdirinya

Kekuatan Keterangan Saksi Anak Dibawah Umur dalam Pembuktian Perkara Pidana

II. TINJAUAN PUSTAKA. Setiap penegak hukum mempunyai kedudukan (status) dan peranan

yang tersendiri yang terpisah dari Peradilan umum. 1

I. PENDAHULUAN. dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (rechtstaat) seperti

INDONESIA CORRUPTION WATCH 1 Oktober 2013

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan

BAB I PENDAHULUAN. (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Indonesia

I. PENDAHULUAN. Asas legalitas dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP memiliki tujuan dalam menegakkan

BAB I PENDAHULUAN. pidana adalah kebenaran materil, yang menjadi tujuan dari hukum acara pidana itu

MENJAWAB GUGATAN TERHADAP KEWENANGAN KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI OLEH: Rudy Satriyo Mukantardjo (staf pengajar hukum pidana FHUI) 1

SURAT TUNTUTAN (REQUISITOIR) DALAM PROSES PERKARA PIDANA

BAB I PENDAHULUAN. positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa/

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Korupsi merupakan tindakan yang dapat menimbulkan kerugian bagi keuangan

BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak

PENULISAN HUKUM. Disusun dan Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Kesarjanaan Dalam Bidang Ilmu Hukum

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik pelaksanaan hukum

BAB I PENDAHULUAN. melakukan penyidikan tindak pidana tertentu berdasarkan undang- undang sesuai

BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PENGGUNAAN ALAT PENDETEKSI KEBOHONGAN (LIE DETECTOR) PADA PROSES PERADILAN PIDANA

I. PENDAHULUAN. hukum serta Undang-Undang Pidana. Sebagai suatu kenyataan sosial, masalah

KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA JAKARTA

I. PENDAHULUAN. Sebagaimana telah diketahui bahwa penegakkan hukum merupakan salah satu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan

I. PENDAHULUAN. Hukum acara pidana merupakan perangkat hukum pidana yang mengatur tata cara

Transkripsi:

1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tindak pidana korupsi yang telah menimbulkan kerusakan dalam berbagai sendi kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara memerlukan penanganan yang luar biasa. Perkembangannya yang terus meningkat dari tahun ke tahun baik dari jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi kualitas tindak pidana yang dilakukan semakin sistematis serta lingkupnya yang memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat dan karena itu semua maka tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu kejahatan luar biasa (extraordinary crime) sehingga upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan secara biasa, tetapi dituntut caracara yang luar biasa. Upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan melalui Komisi Pemberantasan Korupsi dengan diberikannya kewenangan untuk melakukan penyadapan sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 12 Ayat (1) huruf a ternyata dalam penerapannya menimbulkan masalah, diantaranya adalah ketika penyidik dari KPK yang melakukan tindakan penyadapan dihadirkan dalam persidangan sebagai saksi dan memberikan keterangannya berdasarkan tindakan penyadapan dan kekuatan pembuktian terhadap hasil rekaman yang diajukan di pengadilan tindak pidana korupsi.

2 Status keterangan yang diberikan penyidik tersebut apakah masuk dalam apa yang dirumuskan dalam Pasal 1 angka 27 KUHAP sehingga apa yang dikemukakan penyidik sebagai saksi dapat bernilai sebagai alat bukti setelah ia mengatakannya dalam persidangan dengan menyebut alasannya dan hasil rekaman penyadapan yang dihadirkan pada sidang pengadilan juga dapat bernilai sebagai alat bukti yang dijadikan pertimbangan bagi hakim dalam memutus perkara. Hal ini sangat penting mengingat dimana pembuktian tentang benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan, sehingga keterangan saksi diluar apa yang dirumuskan dalam Pasal 1 angka 27 KUHAP tidak dapat dijadikan dan dinilai sebagai alat bukti. 1 Oleh karena hal tersebut maka apabila terjadi bagaimana akibatnya jika seseorang yang didakwa dinyatakan terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan berdasarkan alat bukti yang ada disertai keyakinan hakim, padahal tidak benar. 2 Pertimbangan hukum oleh hakim dalam menilai berdasarkan undang-undang tentang keterangan saksi sebagai alat bukti yang sah menjadi sangat penting dikarenakan, keterangan saksi pada umumnya merupakan alat bukti yang paling utama dalam perkara pidana. 3 Contoh mengenai penilaian keterangan saksi dan rekaman penyadapan sebagai alat bukti dapat dilihat dalam putusan Mahkamah Agung No.164 PK/Pid.Sus/2009 tanggal 6 April 2010 dalam putusan tersebut majelis hakim tingkat peninjauan kembali Mahkamah Agung tidak menilai / mengesampingkan kebenaran terhadap keterangan penyidik KPK yang keterangannya didasarkan 1 M.Yahya Harahap. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP; Pemeriksaan Sidang Pengadilan, banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, edisi kedua.sinar Grafika. Jakarta. 2008 hlm 287 2 Andi Hamzah. Hukum Acara Pidana Indonesia, edisi kedua. Sinar Grafika. Jakarta. 2008. hlm.249 3 M.Yahya Harahap. Ibid. hlm 286

3 dari tindakan penyadapan sehingga dijadikan sebagai alat bukti dalam perkara a quo, diantara pertimbangan hukumnya majelis hakim hanya menilai rekaman penyadapan yang menerangkan terjadinya tindak pidana korupsi bukan keterangan saksi penyidik yang melakukan penyadapan. Kondisi yang dihadapi oleh hakim yaitu harus menilai kedudukan saksi penyidik tersebut bahwa disatu sisi keterangan saksi penyidik memenuhi syarat formal dalam pemeriksaan saksi karena penyidik telah memberikan keterangannya dipersidangan dan keterangan tersebut mengandung informasi yang dapat menjelaskan telah terjadi peristiwa pidana namun disisi lain keterangan penyidik sebagai saksi tidak memenuhi syarat materil bahwa saksi adalah orang yang mendengar, melihat, dan mengalami sendiri tentang tindak pidana yang terjadi sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 1 angka 27 KUHAP. Selanjutnya untuk rekaman sebagai hasil penyadapan yang merupakan bagian dari kewenangan penyidik dalam proses penyidikan, rekaman penyadapan yang dihadirkan pada sidang pengadilan tindak pidana korupsi apakah termasuk dalam alat bukti yang sah sebagaimana diatur Pasal 184 KUHAP 4 sehingga dapat menjadi dasar keyakinan bagi hakim dalam memutus perkara oleh karena dalam KUHAP tidak mengenal adanya rekaman sebagai alat bukti yang sah sehingga putusan yang dikeluarkan hakim telah sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 183 KUHAP 5. 4 Alat bukti yang sah adalah ; Keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa 5 Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.

4 KUHAP sebagai pedoman dalam pelaksanaan hukum acara pidana menjadi acuan dasar dalam rangka penegakan hukum (Law enforcement) yang harus dijalankan demi kepastian hukum namun tetap memerhatikan segi penegakan hukum itu sendiri. Jaminan kepastian hukum terhadap proses pembuktian keterangan saksi dan kedudukan hasil rekaman sebagai alat bukti dalam tindak pidana korupsi harus dijamin dalam prakteknya sehingga efek negatif dalam pelaksanaan hukum acara tidak terjadi. Terpenuhinya hal tersebut mengarah pada kebijakan prosedur/mekanisme sistem peradilan pidana dalam rangka proses penegakan hukum yang menjadi kebijakan dasar dalam penegakan hukum pidana dapat berjalan dengan baik. 6 Berdasarkan uraian tersebut penting untuk mengetahui bagaimana status keterangan penyidik yang keterangannya berdasarkan penyadapan dan ketentuan mengenai alat bukti yang ada dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 sebagai hukum khusus (lex specialis) tidak bertentangan dengan KUHAP sebagai hukum yang bersifat umum (lex generalis). Kepastian hukum dari proses yang dilalui dalam keberadaan dan status keterangan yang didasarkan dari penyadapan serta kedudukan rekaman penyadapan dapat tercapai dan tujuan dari hukum acara pidana yang salah satunya menjelaskan bahwa untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materil, dapat terpenuhi. 7 6 Muladi. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana. Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Semarang. 1995. hlm.198 7 Pedoman Pelaksanaan KUHAP, Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor M.01.PW.07.03 Tahun 1982

5 B. Permasalahan dan Ruang Lingkup 1. Permasalahan Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka penulis merumuskan suatu permasalahan yaitu: a. Bagaimana kekuatan pembuktian keterangan penyidik berdasarkan penyadapan pada sidang pengadilan tindak pidana korupsi b. Bagaimana kekuatan pembuktian rekaman penyadapan dalam proses pembuktian pada sidang pengadilan tindak pidana korupsi. 2. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup bahasan penelitian meliputi bahasan dari sudut pandang doktrin ilmu hukum tentang pembuktian, peraturan perundang-undangan maupun aturan hukum lain yang berkaitan dengan pembuktian dan kewenangan penyadapan dalam tindak pidana korupsi. C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan diatas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan ini adalah untuk mengetahui: a. Kekuatan pembuktian keterangan penyidik berdasarkan penyadapan pada sidang pengadilan tindak pidana korupsi b. Kekuatan pembuktian rekaman penyadapan dalam pembuktian pada sidang pengadilan tindak pidana korupsi.

6 2. Kegunaan Penelitian a. Kegunaan Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan mampu memperluas juga memperdalam ilmu hukum pidana dan memberikan kontribusi kajian pada hukum acara pidana khususnya mengenai pembuktian yang berasal dari tindakan penyadapan dan hasil rekamannya untuk mengetahui kedudukannya dalam hukum Indonesia. b. Kegunaan Praktis 1. Mengetahui kekuatan pembuktian keterangan penyidik berdasarkan tindakan penyadapan dalam proses pembuktian pada perkara tindak pidana korupsi 2. Mengetahui kekuatan pembuktian tindakan rekaman penyadapan dalam proses pembuktian perkara tindak pidana korupsi 3. Memberikan masukan terhadap pelaksanaan dalam mengoptimalkan praktek terhadap pembuktian pada rangkaian hukum acara pidana khususnya tindak pidana korupsi. D. Kerangka Teoritis dan Konseptual 1. Kerangka Teoritis Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang sebenarnya merupakan abstraksi dari hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan identifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan oleh peneliti. 8 Pada setiap penelitian selalu disertai dengan pemikiran-pemikiran teoritis. Hal ini karena adanya hubungan timbal balik yang erat antara teori dengan kegiatan 8 Soerjono Soekanto. Pengantar Penelitian Hukum. Universitas Indonesia Press. Jakarta. 1986. hlm 124

7 pengumpulan, pengolahan, analisis, dan konstruksi data. Kerangka teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah Kekuatan pembuktian bebas, lex specialis derogat lex generalis, dan negatief wettelijk bewijstheorie. Kekuatan pembuktian bebas, merupakan cara penilaian terhadap alat bukti apakah alat bukti tersbut dapat diketegorikan sebagai alat bukti yang sah. Kekuatan atas penilaian alat bukti saksi sebagai alat bukti yang sah yang pada alat bukti tersebut tidak melekat sifat pembuktian yang sempurna (volledig bewijskracht) dan juga tidak melekat didalamnya sifat kekuatan pembuktian yang mengikat dan menentukan (beslissende bewijskracht). 9 Alat bukti keterangan saksi sebagai alat bukti yang bebas yang tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang sempurna dan tidak menentukan sama sekali tidak mengikat hakim. 10 Oleh karena tidak mengikat hakim maka hakim bebas untuk menilai kesempurnaan dan kebenarannya, tidak ada keharusan hakim untuk menerima kebenaran keterangan saksi. Hakim bebas menilai kekuatan atau kebenaran yang melekat pada keterangan itu dan dapat menerima atau menyingkirkannya. 11 Namun demikian, hakim dalam mempergunakan kebebasannya harus benar-benar bertanggungjawab, oleh karena batasan tersebut merupakan batasan kekuasaan kehakiman agar independensinya tidak melanggar hukum dan bertindak sewenang-wenang. Kebebasan hakim menilai kebenaran dan keterangan saksi dalam satu kasus harus berpedoman pada 9 M.Yahya Harahap. Op.Cit. hlm 294 10 Ibid. hlm 295 11 Ibid

8 kebenaran sejati dan pada perwujudan kebenaran sejati itulah tanggungjawab moral kebebasan penilaian diletakkan hakim. 12 Lex specialis derogat lex generalis merupakan asas hukum yang bermakna bahwa ketentuan hukum yang bersifat khusus dapat mengesampingkan ketentuan hukum yang bersifat umum. Ditambahkannya alat bukti rekaman yang terdapat Undangundang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sehingga menjadi salah satu alat bukti yang sah yang masuk dalam alat bukti petunjuk merupakan penerapan atas pengaturan mengenai alat-alat bukti yang sah sebagaimana yang ditentukan KUHAP. Berdasarkan Pasal 184 Ayat (1) KUHAP bahwa dijelaskan mengenai alat bukti yang sah yaitu : 1. Keterangan Saksi 2. Keterangan Ahli 3. Surat 4. Petunjuk 5. Keterangan Terdakwa Berdasarkan ketentuan Pasal 184 Ayat (1) KUHAP, undang-undang menentukan lima jenis alat bukti yang sah, diluar ini tidak dapat dipergunakan sebagai alat bukti yang sah. Bahwa berdasarkan asas Lex specialis derogat lex generalis maka ketentuan mengenai rekaman dalam tindak pidana korupsi sebagaimana yang terdapat pada Pasal 26A Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 mengatur khusus rekaman dalam tindak pidana korupsi dimasukkan sebagai alat bukti petunjuk. 12 M.Yahya Harahap. Op.Cit. hlm 295

9 Menurut Yahya Harahap, Negatief wettelijk bewijstheorie merupakan teori antara sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif dengan sistem pembuktian menurut keyakinan atau conviction in time. 13 Negatief wettelijk bewijstheorie mengajarkan bahwa, pemidanaan didasarkan kepada pembuktian yang berganda yaitu pada peraturan undang-undang dan pada keyakinan hakim, dan menurut undang-undang dasar keyakinan itu bersumber pada peraturan undang-undang. Berdasarkan rumusan diatas maka menyatakan salah atau tidaknya seorang terdakwa, tidak cukup berdasarkan keyakinan hakim semata-mata atau hanya didasarkan atas keterbuktian menurut ketentuan dan cara pembuktian dengan alatalat bukti yang ditentukan undang-undang. Seorang terdakwa baru dapat dinyatakan bersalah apabila kesalahan yang didakwakan kepadanya dapat dibuktikan dengan cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undangundang serta sekaligus keterbuktian kesalahan itu dibarengi dengan keyakinan hakim atau dengan kata lain tidak terjadi kesalahan yang tidak dapat dibenarkan yaitu menghukum seorang terdakwa yang kesalahannya tidak terbukti secara sah menurut undang-undang. Kecermatan hakim dalam menilai alat-alat bukti yang diajukan pada persidangan sangat berkaitan dengan kekuatan pembuktian atas alat bukti yang diajukan karena akan berimplikasi pada penilaian hakim mengenai bobot alat-alat bukti, apakah diterima sebagai alat bukti sah, menguatkan keyakinan hakim atau bukan alat bukti yang sah. 14 Kecermatan pada hakim yang memeriksa dan memutus 13 M.Yahya Harahap. Ibid hlm 278 14 Hari Sasangka dan Lily Rosita. Hukum Pembuktian Perkara Pidana. Mandar Maju. Bandung. 2003. hlm. 12

10 perkara akan mengantarkan kepada putusan yang memenuhi rasa keadilan dan kepastian hukum sebagaimana yang diharapkan oleh setiap orang. 2. Konseptual Konseptual adalah kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsepkonsep khusus yang merupakan kumpulan dari arti-arti yang berkaitan dengan istilah yang akan diteliti. 15 Untuk memberikan kesatuan pemahaman terhadap judul skripsi ini, maka di bawah ini akan dibahas mengenai konsep atau arti dari beberapa istilah yang digunakan dalam penulisan skripsi. a. Kekuatan pembuktian (bewijskracht) yaitu bobot alat-alat bukti, apakah diterima sebagai alat bukti sah, menguatkan keyakinan hakim atau bukan alat bukti yang sah. 16 b. Keterangan saksi, berdasarkan Pasal 1 angka 27 adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu. c. Penyidik adalah penyidik pada Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 45 Ayat (1) Undang-undang No.30 Tahun 2002 d. Tindakan penyadapan adalah salah satu kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam menjalankan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 12 Ayat (1) huruf a Undang-undang No.30 Tahun 2002. 15 Soerjono Soekanto. Op.Cit, hlm. 132 16 J. Pajar Widodo. Menjadi Hakim Progresif, Indepth Publishing. Bandar Lampung. 2013. hlm 35

11 e. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi merupakan pengadilan khusus yang berada di lingkungan peradilan umum sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 2 Undang-undang No. 46 Tahun 2009 E. Sistematika Penelitian Sistematika penelitian ini disusun dalam 5 (lima) bab yaitu sebagai berikut : I. PENDAHULUAN Bab ini menguraikan latar belakang masalah, permasalahan penelitian dan ruang lingkup penelitian, tujuan dan kegunaan penelitian, kerangka teoritis dan konseptual serta sistematika penulisan. II. TINJAUAN PUSTAKA Dalam bab ini akan dikemukakan tinjauan umum perihal saksi, dasar hukum kewenangan penyadapan oleh KPK, macam-macam alat bukti, dan sistem atau teori pembuktian. III. METODE PENELITIAN Pada bab ini akan dibahas metode penelitian yang digunakan penulis dimulai dari jenis penelitian, pendekatan masalah, data, metode pengumpulan dan pengolahan data dan analaisis data. IV. PEMBAHASAN Memuat pembahasan dari pokok permasalahan yaitu mengenai kekuatan pembuktian atas keterangan penyidik pada sidang pengadilan tindak pidana korupsi yang didasarkan dari tindakan penyadapan dan rekaman, serta kedudukan

12 hukum tindakan penyadapan dan rekaman penyadapan dalam pembuktian di sidang pengadilan tindak pidana korupsi. V. PENUTUP Merupakan bab yang berisikan hasil akhir dari pokok permasalahan yang diteliti berupa simpulan dan saran dari penulis terhadap permasalahan yang telah dibahas.