KAJIAN PENYUSUNAN DATA BASE PENATAAN DAERAH DI KABUPATEN BANDUNG

dokumen-dokumen yang mirip
KAJIAN PENYUSUNAN DATA BASE PENATAAN KECAMATAN DI KABUPATEN BANDUNG

BUPATI BANDUNG RANCANGAN PERATURAN BUPATI BANDUNG NOMOR TAHUN 2013 TENTANG

BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG

BUPATI BANDUNG PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 12 TAHUN 2016 TENTANG PEMBENTUKAN DAN SUSUNAN PERANGKAT DAERAH

BAB I P E N D A H U L U A N

BUPATI BANDUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 23 TAHUN 2012 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2008 TENTANG KECAMATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 16 TAHUN 2011 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG

Jumlah penduduk Kabupatent Bandung berdasarkan hasil SP2010 sebanyak 3,17 juta orang dengan laju pertumbuhan sebesar 2,56 persen per tahun

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 16 TAHUN 2011 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2008 TENTANG KECAMATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

STRATEGI PENGEMBANGAN DAN ANALISIS PENENTUAN LOKASI KAWASAN INDUSTRI TEMBAKAU

INTISARI PP NOMOR 19 TAHUN 2008 TENTANG KECAMATAN OLEH : SADU WASISTIONO

PEMERINTAHAN DAERAH. Harsanto Nursadi

UU No.23 Tahun Indikator. 6 Dimensi 28 Aspek. Pelimpahan Kewenangan

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2007 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, DAN PENGGABUNGAN DAERAH

LEMBARAN DAERAH KOTA SEMARANG PERATURAN DAERAH KOTA SEMARANG

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan di Indonesia, kecamatan mempunyai kedudukan cukup strategis dan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2007 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, DAN PENGGABUNGAN DAERAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2008 TENTANG KECAMATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULELENG NOMOR 7 TAHUN 2006 TENTANG PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN DAN PERUBAHAN STATUS DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, DAN PENGGABUNGAN DAERAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2007 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, DAN PENGGABUNGAN DAERAH

I. PENDAHULUAN. terselenggaranya tata pemerintahan yang baik (good governance). Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang direvisi dengan Undang-Undang

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Pemerintah Kabupaten Bandung, dengan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2008 TENTANG KECAMATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2009 NOMOR 6 SERI D

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUNINGAN NOMOR 7 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, PENGGABUNGAN DESA DAN PERUBAHAN STATUS DESA MENJADI KELURAHAN

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MAJALENGKA NOMOR : 2 TAHUN 2008 PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAJALENGKA NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG URUSAN PEMERINTAHAN DAERAH

PEMERINTAH KABUPATEN LAMONGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMONGAN NOMOR 08 TAHUN 2008 TENTANG

I. PENDAHULUAN. Pelaksanaan pembangunan daerah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 4 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, PENGGABUNGAN DESA DAN PERUBAHAN STATUS DESA MENJADI KELURAHAN

PEMERINTAH KABUPATEN PAMEKASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PAMEKASAN,

PEMERINTAH KABUPATEN JEMBER

II. TINJAUAN PUSTAKA. daerah memiliki perangkat masing-masing baik di tingkat provinsi maupu di

PEMERINTAH KABUPATEN WONOSOBO PERATURAN DAERAH KABUPATEN WONOSOBO NOMOR 6 TAHUN 2008 TENTANG PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN DAN ATAU PENGGABUNGAN DESA

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia menganut asas desentralisasi dalam penyelenggaraan

BAB I PENDAHULUAN. Pasal 18 ayat (2) menegaskan bahwa Pemerintah daerah mengatur dan mengurus

BAB I PENDAHULUAN. kualitas pelayanan menjadi bahasan yang penting dalam penyelenggaraan

BADAN PERENCANAAN, PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASER NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG KECAMATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PASER,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUANTAN SINGINGI NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN DAN PENGGABUNGAN KECAMATAN

BAB 14 REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN DAERAH K A B U P A T E N B A N D U N G NOMOR 9 TAHUN 2007 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 9 TAHUN 2007 TENTANG

LEMBARAN DAERAH K A B U P A T E N B A N D U N G NOMOR 21 TAHUN 2007 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. diserahkan kepadanya. Dengan demikian, pemerintah daerah tidak sekedar

ANALISIS KELAYAKAN PEMEKARAN KECAMATAN PANGALENGAN KABUPATEN BANDUNG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 2005 TENTANG KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

- 1 - PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 73 TAHUN 2005 TENTANG KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PEMERINTAH KABUPATEN LUMAJANG

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 73 TAHUN 2005 TENTANG KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN DAERAH KOTA BALIKPAPAN NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG PEMBENTUKAN KECAMATAN BALIKPAPAN KOTA DALAM WILAYAH KOTA BALIKPAPAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. pengembangan subsektor peternakan sehingga menjadi sumber pertumbuhan baru

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARO NOMOR 07 TAHUN 2008 TENTANG PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, PENGGABUNGAN DESA DAN PERUBAHAN STATUS DESA MENJADI KELURAHAN

METODE ANALISIS YANG DIGUNAKAN DALAM PENENTUAN PUSAT PELAYANAN

PEMERINTAH KABUPATEN CILACAP PERATURAN DAERAH KABUPATEN CILACAP NOMOR 9 TAHUN 2006

I. PENDAHULUAN. Perubahan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok. kemudian disempurnakan menjadi Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 84 TAHUN 2000 TENTANG PEDOMAN ORGANISASI PERANGKAT DAERAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2007 TENTANG ORGANISASI PERANGKAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BERITA DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 60 TAHUN 2011 PERATURAN BUPATI BANDUNG NOMOR 60 TAHUN 2011 TENTANG

PEMERINTAH KABUPATEN ALOR

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LEBAK NOMOR : 2 TAHUN 2008 PERATURAN DAERAH KABUPATEN LEBAK NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG KELURAHAN

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 23 TAHUN 2007

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2007 TENTANG ORGANISASI PERANGKAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI FLORES TIMUR PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN FLORES TIMUR NOMOR 10 TAHUN 2015 TENTANG PENATAAN DESA

BUPATI BANYUWANGI SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANYUWANGI NOMOR 20 TAHUN 2011 TENTANG

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 44 TAHUN 2008 TENTANG KEBIJAKAN PENGAWASAN ATAS PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH TAHUN 2009

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA NOMOR 9 TAHUN 2006 TENTANG PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN DAN PENGGABUNGAN KELURAHAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2003 TENTANG PEDOMAN ORGANISASI PERANGKAT DAERAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PEMERINTAH KABUPATEN KOTABARU

PEMERINTAH KABUPATEN MURUNG RAYA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 7 TAHUN 2008 TENTANG

PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN PEKALONGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PEKALONGAN NOMOR 5 TAHUN 2009 TENTANG

PEMERINTAH KABUPATEN KULON PROGO

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

- 1 - BUPATI BOYOLALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOYOLALI NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG

PEMERINTAH KABUPATEN KULON PROGO

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 2008 TENTANG PEMBENTUKAN KABUPATEN DEIYAI DI PROVINSI PAPUA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. yang paling berperan dalam menentukan proses demokratisasi di berbagai daerah.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Anisa Lestari, 2013

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PASURUAN,

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2007 TENTANG ORGANISASI PERANGKAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Seiring dengan dimulainya era reformasi pada tahun 1998, telah memberikan harapan bagi perubahan menuju perbaikan di

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 2008 TENTANG PEMBENTUKAN KABUPATEN DEIYAI DI PROVINSI PAPUA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2003 TENTANG PEDOMAN ORGANISASI PERANGKAT DAERAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Membanguan Keterpaduan Program Legislasi Nasional dan Daerah. Oleh : Ketua Asosiasi DPRD Provinsi Seluruh Indonesia

PEMERINTAH KABUPATEN POLEWALI MANDAR

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Transkripsi:

LAPORAN PENELITIAN KAJIAN PENYUSUNAN DATA BASE PENATAAN DAERAH DI KABUPATEN BANDUNG Oleh: Dr. A. Widanarto., Drs. M.Si UNIVERSITAS PADJADJARAN FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK PROGRAM STUDI ILMU PEMERINTAHAN 2014

TAHUN 2014

ABSTRAK Penelitian ini berjudul Kajian Penyusunan Data Base Penataan Daerah di Kabupaten Bandung, dilatarbelakangi oleh pengkajian potensi daerah dalam rangka mengukur dan mengevaluasi variabel atau kriteria potensi daerah yang dipersyaratkan untuk mengetahui kemungkinan penataan wilayah di Kabupaten Bandung. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai bahan untuk menentukan pilihan terbaik bagi Pengembangan dan Penataan Kewilayahan di Kabupaten Bandung. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran tingkat kemampuan daerah dalam mengimplementasikan otonomi daerah, dan untuk mengetahui kemungkinan pengembangan dan penataan seluruh wilayah di Kabupaten Bandung untuk dilakukan pengembangan dan penataan di tingkat kecamatan. Penelitian ini merupakan aplikasi model pengukuran dan evaluasi terhadap kemampuan potensi yang akan mendiskripsikan dan mengeksplanasikan tingkat kekuatan atau pengaruh variabel yang diamati terhadap keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan, untuk meningkatkan penyelenggaraan pelayanan umum, pembangunan dan demokratisasi. Melalui pendekatan ini dapat diketahui secara obyektif dan mendalam tingkat kemampuan potensi yang dimiliki kecamatan dalam penyelanggaraan pemerintahan melalui pengukuran terhadap indikator dan sub indikator dari berbagai variabel yaitu: demografi, orbitasi, pendidikan kesehatan, prasarana ibadah, sarana olah raga, transportasi, komunikasi, penerangan umum, kesadaran politik, keamanan dan ketertiban masyarakat, pertanian, perikanan, peternakan, ketenagakerjaan, sosial budaya, ekonomi masyarakat, sosial masyarakat, dan aspek pemerintahan. Data primer dan sekunder diambil dari 31 (tigapuluh satu) kecamatan di Kabupaten Bandung, berupa data kualitatif dan data kuantitatif. Suatu kecamatan dapat dimekarkan jika kecamatan memiliki potensi dalam interval tinggi (1.008 TS < 1.680). Dapat dimekarkan dengan syarat jika potensinya dalam interval (644 TS < 1.008), dan dinyatakan tidak lulus atau ditolak untuk dimekarkan jika masing-masing kecamatan hanya mencapai total skor kurang dari 644. Hasil penilaian dan pengukuran terhadap potensi kecamatan di Kabupaten Bandung dapat dijelaskan sebagai berikut : Skoring data sekunder monografi desa terhadap 31 kecamatan yang akan dimekarkan diperoleh hasil bahwa terdapat 14 (empat belas) kecamatan dalam kategori layak dimekarkan yaitu, kecamatan: Rancabali, Pangalengan, Pacet, Cicalengka, Nagreg, Rancaekek, Majalaya, Ciparay, Baleendah, Margaasih, Margahayu, Dayeuhkolot, Bojongsoang, dan Cileunyi. i

ABSTRACT The title of this research was A Study of the Creation of a Database for an Arrangement of Localities in Bandung District. Its background was a study of local potentials in attempt to measure and evaluate the variables or criteria of the local potentials required to know a possible arrangement of localities in Bandung District. The research results were expectedly useful as a material in determining the best choice for the Regional Development and Arrangement in Bandung District. The objective of the research was to obtain a description on the capacity of localities in implementing regional autonomy, and to know the possibility of development and arranging the whole localities in Bandung District to perform development and arrangement in kecamatan (sub district) level. The research was an application of measurement and evaluation models to the capacity of the potentials that describe and explain the strength level or effect of the observed variables on the success of governmental implementation, in order to enhance the implementation of public services, development, and democratization. By the approach, it could be found out objectively and deeply the capacity of the potensials that the sub-distric possess in implementing governance by measuring the indicators and sub-indicators of some variables, namely: demography,orbitation, health education, religious facility, sport facility, transportation, communication, public lighting, political awareness, security and social order, agriculture, fishoing, husbandry, labor, social-cultural, community economy, social community, and administrative aspects. Both primary and secondary data were obtained from 31 (thirty one) subdistrics in Bandung District, in form of qualitative and quantitative data. A subdistrict might be split if it owns potentials at a high interval (1.008< TS<1.680). It might be split on condition that its potentials were at an interval of (644< TS< 1.008), and decided as fail or rejected to be split if a sub-district achieved a total score of less than 644. The evaluation and measurement results of the potentials of sub-district in Bandung District could be explained as follows: The scoring of village monographic secondary data on the 31 sub-districs to be split produced a result that there were 14 (fourteen) sub-districts falling into a category of being feasible to split, namely: Rancabali, Pangalengan, Pacet, Cicalengka, Nagreg, Rancaekek, Majalaya, Ciparay, Baleendah, Margaasih, Margahayu, Dayeuhkolot, Bojongsoang, and Cilaunyi. ii

KATA PENGANTAR Menurut Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 sebagaimana telah diganti oleh Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, bahwa Otonomi Daerah merupakan kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Tujuan otonomi daerah sebagaimana dimuat dalam undang-undang tersebut antara lain adalah untuk peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan dan pemerataan serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Salah satu cara mendekatkan pelayanan pemerintah kepada masyarakat adalah dengan membuat pusat-pusat pelayanan di tingkat kecamatan yang di dahului dengan pemecahan beberapa kecamatan, agar daya jangkau pelayanannya menjadi optimal. Di Kabupaten Bandung ada keinginan untuk melakukan pemekaran kecamatan dengan maksud meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Adapun Kajian Penyusunan Database Penataan Daerah yang dilakukan di Kabupaten Bandung meliputi 31 (tiga puluh satu) kecamatan. Penyusunan Database Penataan Daerah yang dilakukan dalam bentuk pemekaran kecamatan dengan harapan rentang kendali pemerintahan akan menjadi lebih optimal dan institusi pelayanan menjadi lebih dekat dengan masyarakat, terjaminnya rasa ketenteraman dan ketertiban, dan mampu mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pemekaran kecamatan diharapkan akan berdampak positif bagi peningkatan dan pemerataan pembangunan serta pelayanan umum. Hasil laporan akhir ini pada dasarnya masih sangat jauh dari harapan dan kami mengharapkan masukan dari kawan-kawan. Oleh karena itu pada tempatnyalah apabila kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang iii

telah membantu kajian ini dari awal sampai akhir. Ucapan terima kasih dan penghargaan saya sampaikan kepada : 1. Bupati Bandung beserta jajarannya yang telah memberikan kepercayaan untuk menyelenggarakan penelitian ini; 2. Para Camat dan Perangkat Kecamatan se-kabupatenbandung. 3. Para surveyor. Disadari bawah laporan akhir penelitian ini masih jauh dari kesempurnaan dan banyak kekurangan. Saran dan masukan yang bersifat membangun saya terima untuk perbaikan. Semoga rekomendasi hasil penelitian ini nantinya dapat bermanfaat bagi Pemerintah Kabupaten Bandung dalam upaya peningkatan dan pemerataan pembangunan dan pelayanan umum kepada masyarakat Bandung, April 2014. Peneliti, Dr. Drs. A. Widanarto.,M.Si. iv

DAFTAR ISI ABSTRAK... ABSTRACT... i ii KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... iii v viii BAB I PENDAHULUAN... 1 1.1 Latar Belakang Penelitian... 1 1.2 Perumusan Masalah... 7 1.3 Manfaat dantujuan Penelitian... 8 1.4 Kerangka Pemikiran... 8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA... 14 2.1. Perubahan Paradigma tentang Kecamatan Menurut UU No. 22/1999 dan UU No. 32/2004... 14 2.1.1. Perubahan Paradigma tentang Kecamatan Menurut UU No. 22/1999... 14 2.1.2. Perubahan Paradigma tentang Kecamatan Menurut UU No. 32/2004... 16 2.2. Teori tentang Rentang Kendali Dalam Organisasi... 19 2.2.1. Definisi Azas Rentang Kendali Dalam Organisasi... 19 2.2.2. Penerapan Rentang Kendali Dalam Manajemen... 22 2.2.3. Memahami Hubungan Antara Rentang Kendali Dengan Efektivitas Manajemen Pemerintahan Kecamatan Melalui Pendekatan Sistem... 23 2.3. Teori Tentang Pemberian Pelayanan Umum... 26 2.4. Kebijakan Tentang Pemekaran Kecamatan... 29 v

2.5. Organisasi Kecamatan... 33 2.6. Tugas dan Wewenang Camat... 38 2.7. Pendelegasian dan Penarikan Kewenangan... 42 BAB III METODE PENELITIAN... 50 3.1 Pendekatan Penelitian... 50 3.2 Populasi dan Sampel... 50 3.3 Teknik Pengumpulan Data... 51 3.4 Operasionalisasi Variabel... 51 3.5 Teknik Pengolahan Data... 54 3.6 Waktu dan Tempat Penelitian... 59 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN... 60 4.1 Potensi Wilayah Kecamatan di Kabupaten Bandung... 60 4.1.1 Potensi Wilayah Kecamatan Ciwidey Kabupaten Bandung 60 4.1.2 Potensi Wilayah Kecamatan Rancabali Kab. Bandung... 64 4.1.3Potensi Wilayah Kecamatan Pasirjambu K. Bandung... 66 4.1.4 Potensi Wilayah Kecamatan Cimaung Kab. Bandung... 69 4.1.5 Potensi Wilayah Kecamatan Pangalengan Kb. Bandung 72 4.1.6 Potensi Wilayah Kecamatan Kertasari Kab. Bandung.. 75 4.1.7 Potensi Wilayah Kecamatan Pacet Kabupaten Bandung 78 4.1.8 Potensi Wilayah Kecamatan Ibun Kabupaten Bandung.. 81 4.1.9 Potensi Wilayah Kecamatan Paseh Kabupaten Bandung 84 4.1.10 Potensi Wilayah Kecamatan Cikancung Kab. Bandung 87 4.1.11 Potensi Wilayah Kecamatan Cicalengka Kab.Bandung 90 4.1.12 Potensi Wilayah Kecamatan Nagreg Kab. Bandung... 93 4.1.13 Potensi Wilayah Kecamatan Rancaekek K Bandung.. 96 4.1.14 Potensi Wilayah Kecamatan Majalaya Kb. Bandung... 98 4.1.15 Potensi Wilayah Kecamatan Solokanjeruk K Bandung 101 4.1.16 Potensi Wilayah Kecamatan Ciparay Kab. Bandung... 104 vi

4.1.17 Potensi Wilayah Kecamatan Baleendah Kab. Bandung... 107 4.1.18 Potensi Wilayah Kecamatan Arjasari Kab. Bandung... 110 4.1.19 Potensi Wilayah Kecamatan Banjaran Kab. Bandung... 114 4.1.20 Potensi Wilayah Kecamatan Cangkuang Kab. Bandung... 117 4.1.21 Potensi Wilayah Kecamatan Pamengpeuk Kab. Bandung... 120 4.1.22 Potensi Wilayah Kecamatan Katapang Kab. Bandung... 123 4.1.23 Potensi Wilayah Kecamatan Soreang Kab. Bandung... 126 4.1.24 Potensi Wilayah Kecamatan Kutawaringin Kab. Bandung... 128 4.1.25 Potensi Wilayah Kecamatan Margaasih Kab. Bandung... 131 4.1.26 Potensi Wilayah Kecamatan Margahayu Kab. Bandung... 135 4.1.27 Potensi Wilayah Kecamatan Dayeuhkolot Kab. Bandung... 137 4.1.28 Potensi Wilayah Kecamatan Bojongsoang Kab. Bandung... 140 4.1.29 Potensi Wilayah Kecamatan Cileunyi Kab. Bandung... 144 4.1.30 Potensi Wilayah Kecamatan Cilengkrang K Bandung... 146 4.1.31 Potensi Wilayah Kecamatan Cimenyan Kab Bandung... 149 4.2. Pemetaan Kecamatan di Kabupaten Bandung... 154 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 158 5.1. Kesimpulan... 158 5.2. Saran... 158 DAFTAR PUSTAKA... 160 LAMPIRAN... 162 vii

DAFTAR TABEL Tabel 3.1. Nilai Maksimum dan Nilai Minimum Variabel/kriteria... 56 Tabel 3.2. Variabel /Kriteria di atas rata-rata dengan skor 3,6 dengan kategori potensi cukup... 57 Tabel 3.3. Kategori dan PilihanTindakan... 58 Tabel 4.1. Potensi wilayah pemerintahan Kecamatan Ciwidey Kabupaten Bandung... 60 Tabel 4.2. Prioritas Potensi Kecamatan Ciwidey Kabupaten Bandung.. 63 Tabel 4.3. Potensi wilayah pemerintahan Kecamatan Rancabali Kabupaten Bandung... 64 Tabel 4.4. Prioritas Potensi Kecamatan Rancabali Kabupaten Bandung 66 Tabel 4.5. Potensi wilayah pemerintahan Kecamatan Pasirjambu Kabupaten Bandung... 67 Tabel 4.6. Prioritas Potensi Kecamatan Pasirjambu Kabupaten Bandung 69 Tabel 4.7. Potensi wilayah pemerintahan Kecamatan Cimaung Kabupaten Bandung... 70 Tabel 4.8. Prioritas Potensi Kecamatan Cimaung Kabupaten Bandung. 72 Tabel 4.9. Potensi wilayah pemerintahan Kecamatan Pangalengan Kabupaten Bandung... 73 Tabel 4.10. Prioritas Potensi Kecamatan Pangalengan Kabupaten Bandung... 75 Tabel 4.11. Potensi wilayah pemerintahan Kecamatan Kertasari Kabupaten Bandung... 76 Tabel 4.12. Prioritas Potensi Kecamatan Kertasari Kabupaten Bandung. 78 Tabel 4.13. Potensi wilayah pemerintahan Kecamatan Pacet Kabupaten Bandung... 79 Tabel 4.14. Prioritas Potensi Kecamatan Pacet Kabupaten Bandung... 81 Tabel 4.15. Potensi wilayah pemerintahan Kecamatan Ibun Kabupaten Bandung... 82 Tabel 4.16. Prioritas Potensi Kecamatan Ibun Kabupaten Bandung... 83 Tabel 4.17. Potensi wilayah pemerintahan Kecamatan Paseh Kabupaten Bandung... 84 Tabel 4.18. Prioritas Potensi Kecamatan Paseh Kabupaten Bandung... 86 Tabel 4.19. Potensi wilayah pemerintahan Kecamatan Cikancung Kabupaten Bandung... 87 Tabel 4.20. Prioritas Potensi Kecamatan Cikancung Kabupaten Bandung 89 viii

Tabel 4.21. Potensi wilayah pemerintahan Kecamatan Cicalengka Kabupaten Bandung... 90 Tabel 4.22. Prioritas Potensi Kecamatan Cicalengka Kabupaten Bandung 92 Tabel 4.23. Potensi wilayah pemerintahan Kecamatan Nagreg Kabupaten Bandung... 93 Tabel 4.24. Prioritas Potensi Kecamatan Nagreg Kabupaten Bandung... 95 Tabel 4.25. Potensi wilayah pemerintahan Kecamatan Rancaekek Kabupaten Bandung... 96 Tabel 4.26. Prioritas Potensi Kecamatan Rancaekek Kabupaten Bandung 98 Tabel 4.27. Potensi wilayah pemerintahan Kecamatan Majalaya Kabupaten Bandung... 99 Tabel 4.28. Prioritas Potensi Kecamatan Majalaya Kabupaten Bandung. 101 Tabel 4.29. Potensi wilayah pemerintahan Kecamatan Solokanjeruk Kabupaten Bandung... 102 Tabel 4.30. Prioritas Potensi Kecamatan Solokanjeruk Kabupaten Bandung... 104 Tabel 4.31. Potensi wilayah pemerintahan Kecamatan Ciparay Kabupaten Bandung... 105 Tabel 4.32. Prioritas Potensi Kecamatan Ciparay Kabupaten Bandung... 107 Tabel 4.33. Potensi wilayah pemerintahan Kecamatan Baleendah Kabupaten Bandung... 108 Tabel 4.34. Prioritas Potensi Kecamatan Baleendah Kabupaten Bandung 109 Tabel 4.35. Potensi wilayah pemerintahan Kecamatan Arjasari Kabupaten Bandung... 111 Tabel 4.36. Prioritas Potensi Kecamatan Arjasari Kabupaten Bandung... 113 Tabel 4.37. Potensi wilayah pemerintahan Kecamatan Banjaran Kabupaten Bandung... 114 Tabel 4.38. Prioritas Potensi Kecamatan Banjaran Kabupaten Bandung. 116 Tabel 4.39. Potensi wilayah pemerintahan Kecamatan Cangkuang Kabupaten Bandung... 117 Tabel 4.40. Prioritas Potensi Kecamatan Cangkuang Kabupaten Bandung 119 Tabel 4.41. Potensi wilayah pemerintahan Kecamatan Pamengpeuk Kabupaten Bandung... 120 Tabel 4.42. Prioritas Potensi Kecamatan Pamengpeuk Kabupaten Bandung... 122 Tabel 4.43. Potensi wilayah pemerintahan Kecamatan Katapang Kabupaten Bandung... 123 Tabel 4.44. Prioritas Potensi Kecamatan Katapang Kabupaten Bandung 125 ix

Tabel 4.45. Potensi wilayah pemerintahan Kecamatan Soreang Kabupaten Bandung... 126 Tabel 4.46. Prioritas Potensi Kecamatan Soreang Kabupaten Bandung... 128 Tabel 4.47. Potensi wilayah pemerintahan Kecamatan Kutawaringin Kabupaten Bandung... 129 Tabel 4.48. Prioritas Potensi Kecamatan Kutawaringin Kabupaten Bandung... 131 Tabel 4.49. Potensi wilayah pemerintahan Kecamatan Margaasih Kabupaten Bandung... 132 Tabel 4.50. Prioritas Potensi Kecamatan Margaasih Kabupaten Bandung 134 Tabel 4.51. Potensi wilayah pemerintahan Kecamatan Margahayu Kabupaten Bandung... 135 Tabel 4.52. Prioritas Potensi Kecamatan Margahayu Kabupaten Bandung 137 Tabel 4.53. Potensi wilayah pemerintahan Kecamatan Dayeuhkolot Kabupaten Bandung... 138 Tabel 4.54. Prioritas Potensi Kecamatan Dayeuhkolot Kabupaten Bandung... 140 Tabel 4.55. Potensi wilayah pemerintahan Kecamatan Bojongsoang Kabupaten Bandung... 141 Tabel 4.56. Prioritas Potensi Kecamatan Bojongsoang Kabupaten Bandung... 143 Tabel 4.57. Potensi wilayah pemerintahan Kecamatan Cileunyi Kabupaten Bandung... 144 Tabel 4.58. Prioritas Potensi Kecamatan Cileunyi Kabupaten Bandung.. 146 Tabel 4.59. Potensi wilayah pemerintahan Kecamatan Cilengkrang Kabupaten Bandung... 147 Tabel 4.60. Prioritas Potensi Kecamatan Cilengkrang Kabupaten Bandung... 149 Tabel 4.61. Potensi wilayah pemerintahan Kecamatan Cimenyan Kabupaten Bandung... 150 Tabel 4.62. Prioritas Potensi Kecamatan Cimenyan Kabupaten Bandung 152 Tabel 4.63. Rangkuman Potensi Wilayah Kecamatan di Kabupaten Bandung... 153 Tabel 4.64. Pemetaan Wilayah Kecamatan di Kabupaten Bandung... 154 Tabel 4.65. Perbandingan Potensi Wilayah Kecamatan di Kabupaten Bandung... 156 x

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Masyarakat memerlukan pemerintah karena banyak bagian penting dari kebutuhannya yang tidak dapat dipenuhi oleh organisasi lain seperti organisasi swasta profit maupun organisasi non profit. Organisasi swasta profit akan gagal memenuhi kebutuhan masyarakat menyangkut eksternalitas dan barang publik. Begitu pula halnya dengan organisasi swasta non profit hanya mampu memberikan pelayanan dalam skala kecil dan sederhana, serta terbatas pada lapisan masyarakat tertentu. Organisasi pemerintah selain memiliki misi menyelenggarakan pelayanan publik, juga memiliki misi lainnya, seperti fungsi pengaturan kehidupan masyarakat, baik menyangkut pengaturan persaingan maupun pengaturan terhadap perlindungan masyarakat. Hal ini sejalan dengan pendapat Rasyid (dalam Widodo, 2001:269) yang menyatakan bahwa : Pemerintah tidaklah diadakan untuk melayani dirinya sendiri, tetapi untuk melayani masyarakat serta menciptakan kondisi yang memungkinkan setiap anggota masyarakat mengembangkan kemampuan dan kreatifitasnya demi mencapai tujuan bersama. Karenanya birokrasi publik berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan layanan publik yang baik dan profesional. Pandangan umum mengakui bahwa pemerintahan yang sentralistik semakin kurang populer, karena ketidakmampuannya untuk memahami secara tepat nilai-nilai daerah atau sentimen aspirasi lokal. Alasannya, warga masyarakat akan lebih aman dan tentram dengan pemerintah daerah yang lebih dekat dengan rakyat, baik secara fisik maupun psikologis. Dewasa ini dampak dari globalisasi telah merubah lingkungan kehidupan manusia dari berbagai aspek, masyarakat semakin cerdas dan kritis terhadap segala perubahan yang terjadi. Kondisi ini pada gilirannya menuntut pemerintah dapat menjalankan fungsinya sebagai pelayan masyarakat (Public Service) dapat dilaksanakan secara responsif dan aspiratif. Pemerintah dimaksud adalah pemerintah daerah (local government) yang menurut Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 menyatakan bahwa Pemerintah 1

2 daerah adalah kepala daerah beserta perangkat daerah otonom yang lain sebagai badan eksekutif daerah. Pemerintah daerah inilah yang diberi kewenangan untuk melaksanakan otonomi daerah. Hal ini sejalan dengan pendapat Common, Flynn and Melon (1992:139) yang menyatakan Bahwa one of It s main recommendations was to give much greater autonomy to managers at the local level. Namun kedekatan posisi saja belumlah menjamin terpenuhinya kebutuhan masyarakat, karena yang lebih penting adanya hal dan kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus kebutuhan masyarakatnya. Menurut Rasyid (1997), salah satu cara untuk mendekatkan pemerintah kepada masyarakat adalah dengan menerapkan kebijakan desentralisasi, sedangkan Riwu Kaho (1988) menyatakan bahwa sebagai akibat dari pelaksanaan desentralisasi timbullah daerah otonom Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, bahwa daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu, yang berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ndraha (2001) menyebutkan bahwa ada lima posisi daerah yaitu : (1) sebagai masyarakat hukum, (2) sebagai unit usaha ekonomi, (3) sebagai suatu lingkungan budaya, (4) sebagai satuan lingkungan, dan (5) sebagai subsistem politik. Dengan demikian akan semakin tepat bila desentralisasi tersebut diselenggarakan oleh daerah sehingga masyarakat akan lebih dekat dengan pemerintah yang akan sering terjadi kontak baik secara fisik maupun psikologis. Daerah yang wilayahnya terlalu luas akan menyulitkan jangkauan pemerintah untuk melayani masyarakatnya, daerah yang demikianlah yang perlu ditata (pemekaran) menjadi beberapa daerah sehingga rentang kendali menjadi semakin dekat dan pelayanan kepada masyarakat menjadi terjangkau, karena rentang kendali dan proporsi perlakuan dan tindakan pelayanan yang tidak seimbang adalah embrio awal untuk pembentukan suatu daerah otonom baru bukanlah karena nuansa politis.

3 Konsekuensi dari penataan (pemekaran) daerah secara praktis akan terjadi perubahan struktur organisasi pemerintahan, perubahan luas wilayah yang diikuti dengan perubahan batas-batas wilayah dan perubahan jumlah penduduk. Perubahan ini akan berimplikasi terhadap perubahan-perubahan lain yang lebih esensial, khususnya dalam upaya pemberian pelayanan kepada masyarakat. Penataan (Pemekaran dan Penggabungan) daerah dalam hal ini dapat dipandang sebagai upaya pengembangan organisasi untuk menghadapi berbagai tantangan perkembangan jaman dan tuntutan pelayanan dari masyarakat minimal optimal terhadap pelayanan kebutuhan dasar manusia (basic Need) seperti pendidikan dan kesehatan. Organisasinya diharapkan dapat menyesuaikan diri dengan melakukan perubahan-perubahan berencana yang selanjutnya dapat menjamin optimalisasi dan efektifitas pelaksanaan fungsi pemerintahan. Sebagaimana dijelaskan oleh Sadu Wasistiono (2001) bahwa tujuan organisasi pemerintahan daerah dibentuk adalah (1) untuk melayani kepentingan masyarakat sebagai warga yang berposisi sebagai konsumen (Customer) dan pemegang saham (stakeholders) dan (2) adanya misi tertentu yang harus dijalankan dalam rangka pencapaian tujuan, bukan hanya sekedar menjalankan perundang-undangan. Perubahan struktur organisasi dan rentang wilayah provinsi yang diikuti dengan pengurangan jumlah kabupaten/kota, kecamatan, dan kelurahan akan berimplikasi terhadap perubahan rentang kendali pimpinan organisasi. Rentang pengawasan yang dilaksanakan aparat akan lebih sempit dibanding sebelum penataan (pemekaran), sehingga aparat mempunyai kesempatan yang lebih banyak untuk memberikan perhatian dan pengendalian terhadap sumber daya manusia dan sumber daya alam diwilayahnya. Pada hakekatnya pelayanan kepada masyarakat tidaklah semata-mata aktivitas pemerintah. Keberhasilan jalannya pemerintahan dan pembangunan justru memerlukan keterlibatan masyarakat. Begitu pula keberhasilan penataan (pemekaran) daerah juga perlu didukung oleh masyarakat termasuk pengawasan yang dijalankan masyarakat yang disebut pengawasan sosial. Ramses (2003) mengatakan bahwa pemekaran wilayah atau tepatnya membagi suatu daerah otonom menjadi beberapa daerah, bertujuan untuk

4 mendekatkan dan mengoptimalkan pelayanan pemerintah kepada masyarakat, mempercepat pertumbuhan pembangunan guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah tersebut. Partisipasi masyarakat akan meningkat karena akses yang lebih terbuka serta pengawasan yang lebih efektif karena wilayah pengawasan relatif lebih sempit. Perubahan luas wilayah atau batas-batas daerah membawa konsekuensi terhadap jangkauan komunikasi antara pemerintah dengan masyarakat karena peluang terjadinya gangguan pada saluran komunikasi dapat diperkecil. Dengan semakin dekatnya jarak antara wilayah provinsi dengan kabupaten maupun provinsi dengan kecamatan dan provinsi dengan kelurahan maka informasi dari provinsi akan cepat sampai kepada masyarakat baik di kabupaten, kecamatan maupun desa/kelurahan. Struktur dan luas wilayah yang lebih sempit berimplikasi juga pada aktifitas koordinasi struktur dengan unit organisasi yang ramping sesuai dengan prinsip ramping struktur kaya fungsi dengan demikian koordinasi yang dilakukan akan lebih mudah. Menurut Kristiadi (dalam Lotulung, 1994) bahwa keuntungan organisasi ramping antara lain : (1) pelayanan kepada masyarakat akan menjadi lebih baik karena prosedur lebih pendek dan pengambilan keputusan lebih cepat, (2) komunikasi antar tingkatan manajemen menjadi lebih lancar, dan (3) koordinasi akan menjadi lebih lancar. Berdasarkan pendapat tersebut di atas, maka dimensi utama yang menjelaskan efektif tidaknya penataan (pemekaran) daerah adalah pengawasan, komunikasi, dan koordinasi yang kesemuanya turut menentukan terhadap tingkat pelayanan masyarakat. Semakin jauh penduduk dari pusat pemerintahan, semakin kecil memperoleh sentuhan pelayanan. Permintaan terhadap pelayanan semakin meningkat menuntut pusat-pusat pemerintahan memperluas daerah layanannya. Akan tetapi pusat-pusat pelayanan memiliki keterbatasan (radius) jangkauan, sehingga diperlukan pusat-pusat pelayanan lain yang dapat memenuhi kebutuhan pelayanan masyarakat. Dengan demikian dengan adanya penataan (pemekaran) daerah berarti menambah pusat-pusat pemerintahan sehingga pelayanan dapat

5 menjangkau wilayah-wilayah pemukiman yang sebelumnya terpencil dan pelayanan pemerintah dapat tersentuh secara merata ke seluruh masyarakat yang pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pemerintah telah menetapkan kebijakan otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggung jawab. Menurut Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pada Bab I Pasal 1 huruf 5 dikemukakan bahwa Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Implementasi kebijakan desentralisasi berdasarkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 telah berlangsung sejak Januari 2001, hingga saat ini hampir 6 (enam) tahun (setelah dikeluarkannya Undang-undang nomor 32 Tahun 2004), telah banyak ditetapkan berbagai undang-undang tentang penataan daerah (baik pemekaran/pembentukan provinsi, kabupaten dan kota). Dalam perjalanan implementasi kebijakan otonomi daerah sejak dikelurakannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 hingga digantinya Undang-undang Nomor 22 tahun 1999, telah banyak dilakukan pembentukan daerah otonom baru. Hal ini dapat dimaklumi karena pemekaran/pembentukan daerah dimaksudkan untuk mendekatkan pelayanan organisasi pemerintah kepada masyarakat. Melalui pemekaran/pembentukan daerah diharapkan tujuan kebijakan otonomi daerah seperti peningkatan pelayanan, demokratisasi dan pemberdayaan masyarakat dapat terwujud. Adanya aspirasi yang berkembang yang menghendaki dilakukannya pengembangan dan penataan daerah di Kabupaten Bandung perlu mendapat respon dari berbagai pihak terutama dari jajaran DPRD Kabupaten sebagai wakil rakyat dan pemerintah daerah. Hal ini seiring dengan penjelasan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 bahwa penyelenggaraan otonomi daerah harus selalu berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan selalu memperhatikan kepentingan dan aspirasi yang tumbuh dalam masyarakat khususnya membuka isolasi wilayah adminsitrasi Kabupaten Bandung sebagai

6 satu kesatuan masyarakat hukum, unit usaha ekonomi, lingkungan budaya, satuan lingkungan, dan sebagai subsistem politik dari Provinsi Jawa Barat. Persoalannya apakah aspirasi yang muncul ini dapat menjamin peningkatan pelayanan umum dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat di Kabupaten Bandung dan sekitarnya. Untuk kepentingan tersebut perlu terlebih dahulu dilakukan pengkajian terhadap potensi dan masalah yang ada di Provinsi Jawa Barat Khususnya di Kabupaten Bandung, sekaligus menggali aspirasi masyarakat. Pengkajian kemungkinan pengembangan dan penataan kewilayahan (Daerah otonom) di Provinsi Jawa Barat khususnya pengembangan dan penataan kewilayahan Kabupaten Bandung sejalan dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 4 ayat (3) yang menyebutkan bahwa pembentukan daerah dapat berupa penggabungan beberapa daerah atau bagian daerah yang bersandingan atau pemekaran dari satu daerah menjadi dua daerah atau lebih. Salah satu prosedur pembentukan/pemekaran daerah menurut Peraturan Pemerintah Nomor 129 Tahun 2000 jo. PP Nomor 78 Tahun 2007 bahwa ada kemauan politik dari pemerintahan daerah dan masyarakat yang bersangkutan. Di samping itu pengkajian ini juga dimaksudkan untuk memenuhi syarat lainnya, seperti tersebut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 129 Tahun 2000 jo PP Nomor 78 Tahun 2007 bahwa pemekaran daerah dapat dilakukan berdasarkan kriteria kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, jumlah penduduk, luas daerah, dan pertimbangan lain yang memungkinkan terselenggaranya Otonomi Daerah. Dalam penjelasan peraturan pemerintah dimaksud disebutkan pula bahwa pembentukan, pemekaran, penghapusan dan penggabungan daerah otonom memerlukan penilaian dengan menggunakan indikator yang tersedia. Sehubungan dengan hal di atas, diperlukan pengkajian potensi daerah dalam rangka mengukur dan mengevaluasi variabel atau kriteria potensi daerah yang dipersyaratkan untuk mengetahui kemungkinan penataan wilayah di Provinsi Jawa Barat khususnya Kabupaten Bandung melalui penelitian mendalam terhadap Kajian Penyusunan Data Base Penataan Daerah Kabupaten Bandung

7 1.2. Perumusan Masalah Penataan/Pembentukan suatu daerah otonom setidaknya harus memenuhi syarat administrasi, teknis dan fisik kewilayahan. Syarat administrasi untuk provinsi meliputi adanya persetujuan DPRD kabupaten/kota dan bupati/walikota yang akan menjadi cakupan wilayah provinsi, persetujuan DPRD provinsi induk dan Gubernur, serta rekomendasi Menteri Dalam Negeri. Sedangkan syarat administrasi untuk kabupaten/kota meliputi adanya persetujuan DPRD kabupaten/ kota dan bupati/walikota yang bersangkutan, persetujuan DPRD provinsi dan Gubernur serta rekomendasi Menteri Dalam Negeri. Adapun syarat teknis meliputi faktor yang menjadi dasar pembentukan daerah yang mencakup faktor kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, kependudukan, luas daerah, pertahanan keamanan dan faktor lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah, sedangkan syarat fisik meliputi paling sedikit 5 (lima) kabupaten/kota untuk pembentukan provinsi dan paling sedikit 5 (lima) kecamatan untuk pembentukan kabupaten dan 4 (empat) kecamatan untuk pembentukan kota, lokasi calon ibukota, sarana dan prasarana pemerintahan. Selain itu, dalam penjelasan Pasal 4 ayat (4) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 disebutkan bahwa pemekaran suatu daerah menjadi 2 (dua) daerah atau lebih setelah mencapai batas minimal usia penyelenggaraan pemerintahan, untuk provinsi adalah 10 tahun, kabupaten/kota 7 tahun sedang kecamatan 5 tahun. Dalam konteks upaya pengembangan dan penataan wilayah di Provinsi Jawa Barat khususnya Kabupaten Bandung, permasalahan yang dapat dirumuskan adalah sebagai berikut : 1. Bagaimanakah potensi wilayah kecamatan di Kabupaten Bandung dalam mengimplementasikan otonomi daerah? 2. Bagaimana pemetaan kecamatan di Kabupaten Bandung, sebagai peluang untuk pemekaran kecamatan? Masalah penelitian dibatasi dengan fokus Peraturan Pemerintah Nomor 129 Tahun 2000 jo PP Nomor 78 Tahun 2007 berupa pengukuran dan penilaian

8 terhadap variabel yang merupakan persyaratan pembentukan dan kriteria pemekaran daerah, meliputi kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, jumlah penduduk/kependudukan, luas wilayah dan pertimbangan lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah seperti faktor keamanan, ketersediaan sarana pemerintahan, dan rentang kendali. 1.3. Manfaat dan Tujuan Kegiatan Hasil penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai bahan acuan bagi DPRD dan Pemerintah Daerah Kabupaten Bandung untuk menentukan pilihan terbaik bagi Pengembangan dan Penataan Kewilayahan di Kabupaten Bandung. Tujuan penelitian ini adalah : 1. Untuk Mengetahui gambaran tingkat kemampuan daerah Khususnya Kabupaten Bandung dalam mengimplementasikan otonomi daerah; 2. Untuk Mengetahui kemungkinan pengembangan dan penataan seluruh wilayah di Kabupaten Bandung untuk dilakukan pengembangan dan penataan di tingkat Kecamatan (pemekaran Kecamatan); 1.4. Kerangka Pemikiran Penelitian penataan dan pengembangan Kabupaten Bandung akan dibagi secara bertahap sesuai kerangka pemikiran sebagai berikut : 1. Pengembangan dan penataan di tingkat Desa (Pemekaran Desa) Tujuan Kebijakan otonomi daerah sebagaimana dimuat dalam Undangundang Nomor 32 Tahun 2004 adalah peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, pengembangan kehidupan demokratisasi, keadilan, dan pemerataan, serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

9 Sejalan dengan itu, maka otonomi daerah ditempatkan secara utuh pada daerah kabupaten/kota, dan pemberian kewenangan otonomi kepada daerah kabupaten/kota didasarkan kepada asas desentralisasi yang luas, nyata dan bertanggung jawab. Tercapainya tujuan kebijakan otonomi daerah, sangat ditentukan oleh tingkat kemampuan desa/kelurahan sebagai unit pemerintahan terkecil dan terdekat dengan masyarakat dalam pemberian pelayanan umum, penyelenggaraan pembangunan dan peningkatan demokratisasi. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 menyatakan bahwa desa dapat dibentuk di wilayah kecamatan dengan perda berpedoman pada Peraturan Pemerintah. PP Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa lebih lanjut menetapkan bahwa pembentukan desa baru wajib memperhatikan jumlah penduduk, luas wilayah, sosial budaya, potensi kelurahan, sarana dan prasarana pemerintahan. PP tersebut diperjelas dengan Permendagri yang mengatur tentang Pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan Desa. Ketentuan tersebut membuka peluang untuk membentuk desa baru dengan cara pemecahan desa sepanjang ada aspirasi masyarakat dan pembentukan desa dapat memenuhi tujuan berupa terciptanya efektivitas penyelenggaraan pemerintahan, pelayanan umum, pembangunan dan demokratisasi pada unit pemerintahan terkecil. Untuk memenuhi tujuan tersebut, maka diperlukan pengukuran dan penilaian terhadap potensi desa yang dimiliki dan dapat digunakan untuk menjadi dasar layak tidaknya pembentukan desa baru. Hasil pengukuran memperhatikan faktor utama yang terdiri dari akumulasi jumlah penduduk dan jumlah kepala keluarga dan faktor pendukung yang merupakan jumlah skor tertentu dari tingkat kemampuan potensi yang merupakan dasar penilaian apakah suatu desa layak atau tidak untuk dipecah. Penilaian tingkat kemampuan potensi dalam rangka pemecahan Desa adalah penilaian terhadap potensi desa induk dan rencana pembentukan desa. Hasil penilaian dapat dikategorikan ke dalam 3 (tiga) tingkatan hasil penilaian, yaitu

10 lulus/layak, lulus bersyarat/cukup layak dan tidak lulus/tidak layak. Hasil penilaian yang merupakan rekomendasi kebijakan adalah sebagai berikut : 1) Jika calon desa induk dan calon desa pemecahan memenuhi syarat menurut faktor utama dan lulus/layak menurut faktor pendukung, maka pilihan tindakan yang diambil adalah diusulkan pemecahan desa atau pembentukan desa baru; 2) Jika calon desa induk dan calon desa pemecahan memenuhi syarat menurut faktor utama dan lulus bersyarat/cukup layak atau tidak lulus/tidak layak menurut faktor pendukung, maka pilihan tindakan yang diambil adalah diusulkan pemecahan desa atau pembentukan desa baru, diikuti dengan pengembangan potensinya menuju lulus/layak dalam jangka waktu tertentu; 3) Jika salah satu calon desa induk dan calon desa pemecahan tidak memenuhi syarat menurut faktor utama dan lulus/layak, lulus bersyarat/cukup layak atau tidak lulus/tidak layak menurut faktor pendukung, maka tidak dapat diusulkan pemecahan desa atau pembentukan desa baru. 2. Pengembangan dan penataan di tingkat Kecamatan (Pemekaran Kecamatan) Tujuan Perbaikan otonomi daerah sebagaimana dimuat dalam Undangundang Nomor 22 Tahun 1999 adalah peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat, pengembangan kehidupan demokratisasi, keadilan, dan pemerataan, serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sedangkan menurut UU No. 32 Tahun 2004, tujuannya adalah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat. Sejalan dengan itu, maka otonomi daerah ditempatkan secara utuh pada Daerah Kabupaten/Kota, dan pemberian kewenangan otonomi kepada Daerah

11 Kabupaten/Kota didasarkan kepada asas desentralisasi yang luas, nyata dan bertanggung jawab. Tercapainya tujuan otonomi daerah, sangat ditentukan oleh tingkat kemampuan wilayah kerja kecamatan sebagai salah satu unit pemerintahan terdekat dengan masyarakat dalam pemberian pelayanan umum, penyelenggaraan pembangunan dan peningkatan demokratisasi. Pemekaran kecamatan bertujuan untuk menciptakan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan, pelayanan umum, pembangunan dan demokratisasi. Untuk memenuhi tujuan tersebut, maka diperlukan pengukuran dan penilaian terhadap potensi kecamatan yang dimiliki dan dapat digunakan untuk menjadi dasar layak tidaknya pemekaran kecamatan. Adapun potensi yang dianggap reliabel dalam rangka pemekaran kecamatan dapat diukur dan dinilai pada 19 (sembilan belas) variabel penelitian antara lain demografi, orbitrasi, pendidikan, kesehatan, keagamaan, sarana olah raga, transportasi, komunikasi, penerangan umum, politik, kamtibmas, pertanian, perikanan, peternakan, kehutanan, pertambangan, ketenagakerjaan, sosial budaya, ekonomi masyarakat, kondisi sosial masyarakat dan aspek pemerintahan. Hasil pengukuran adalah jumlah skor tertentu dari tingkat kemampuan potensi yang merupakan dasar penilaian apakah suatu kecamatan layak atau tidak untuk dimekarkan. Penilaian tingkat kemampuan potensi dalam rangka pemekaran kecamatan adalah penilaian terhadap potensi kecamatan induk dan kecamatan rencana pemekaran. Hasil penilaian potensi dapat dikategorikan ke dalam 3 (tiga) tingkatan hasil penilaian, yaitu tinggi, cukup, dan rendah. Hasil penilaian yang merupakan rekomendasi kebijakan adalah sebagai berikut : 1. Jika kecamatan induk dan kecamatan yang akan dibentuk potensinya tinggi, maka pilihan tindakan yang diambil adalah mengusulkan pemekaran kecamatan; 2. Jika kecamatan induk dan kecamatan yang akan dibentuk potensinya Cukup, maka pilihan tindakan yang diambil adalah melakukan pemekaran kemudian diikuti dengan pengembangan potensi dalam jangka waktu tertentu misalnya

12 minimal 3 atau 5 tahun untuk dievaluasi. Jika tidak memenuhi persyaratan dalam waktu tersebut, maka dapat diusulkan untuk digabung kembali dengan kecamatan induk; 3. Jika kedua unit pemerintahan atau salah satu unit pemerintahan dimaksud potensinya rendah, maka pilihan tindakan yang diambil adalah menunda pemekaran kecamatan. Bagi kecamatan yang potensinya rendah disarankan untuk melakukan pembinaan potensi menuju kategori cukup, dan setelah potensinya cukup diadakan pengembangan potensi hingga layak untuk diadakan pemekaran kecamatan. Namun, bila potensi kecamatan sangat rendah maka tidak dapat dilakukan pemekaran kecamatan. Selain itu, pembentukan kecamatan juga harus memperhatikan aspirasi masyarakat yang berkembang. Jika hasil survey menunjukkan lebih dari 50% masyarakat menghendaki pembentukan kecamatan baru, maka pemekaran dapat dilakukan. Demikian juga, bila hasil survey tentang pelayanan kepada masyarakat menunjukkan lebih dari 50% menjawab bahwa pelayanan kepada masyarakat buruk atau rendah, maka pemekaran kecamatan dapat dilakukan. Jika dicermati pola pengembangan kewilayahan di atas, tampaknya untuk mendukung terwujudnya good governance (kepemerintahan yang baik) perlu dilakukan kajian yang bersifat strategis yaitu Kajian Penyusunan Data Base Penataan Daerah Kabupaten Bandung.

13 Bagan 1. Kerangka Pemikiran Tahap I Pengembangan dan Penataan wilayah di Tingkat Desa/Kelurahan Tahap II Pengembangan dan Penataan wilayah di Tingkat Kecamatan Pemekaran Desa/Kelurahan Pemekaran Kecamatan Peningkatan kesejahteraan masyarakat Aspiran Masyarakat Potensi Wilayah Tingkat pelayaanan dan ketersediaan layanan Aspiran Masyarakat Potensi Wilayah Tingkat pelayaanan dan ketersediaan layanan

14

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Perubahan Paradigma tentang Kecamatan Menurut Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang undang Nomor 32 Tahun 2004 2.1.1. Perubahan Paradigma tentang Kecamatan Menurut Undang undang Nomor 22 Tahun 1999 Kehadiran Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah sebagai pengganti Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok- Pokok Pemerintahan di Daerah menawarkan perubahan yang signifikan dalam sejarah pemerintahan daerah di Indonesia. Dikatakan demikian karena undangundang tersebut merupakan kontra-konsep terhadap undang-undang yang lama karena adanya perbedaan filosofi serta paradigma yang mendasarinya. Secara garis besar menurut Sadu Wasistiono (2005:4) perubahan tersebut dapat digambarkan sebagai berikut : a. Dari filosofi keseragaman berubah menjadi filosofi keanekaragaman dalam kesatuan. Berdasarkan filosofi ini, daerah diberi kebebasan yang luas untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat. b. Dari paradigma administratif yang mengutamakan daya guna dan hasil guna pemerintahan menjadi paradigma demokratisasi, partisipasi masyarakat serta pelayanan. c. Tugas utama pemerintah daerah yang semula sebagai promotor pembangunan berubah menjadi pelayan masyarakat. d. Dari dominasi eksekutif (executive heavy) berubah ke arah dominasi legislative (legislative heavy). e. Pola otonomi yang digunakan adalah a-simetris, menggantikan pola otonomi simetris. f. Pengaturan terhadap desa yang terbatas, menggantikan pengaturan yang luas dan seragam secara nasional. 14

15 g. Penggunaan pendekatan besaran dan isi otonomi (size and content approach) dalam pembagian daerah otonom, menggantikan pendekatan berjenjang (level approach). Berbagai perubahan mendasar dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah sebagaimana dikemukakan di atas, mencakup pula perubahan mengenai kedudukan kecamatan dan camat. Dalam Pasal 1 huruf (m) Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 dinyatakan bahwa : Kecamatan adalah wilayah kerja Camat sebagai perangkat Daerah Kabupaten dan Daerah Kota. Pasal tersebut menunjukkan adanya dua perubahan penting yaitu sebagai berikut : 1) Kecamatan bukan lagi wilayah administrasi pemerintahan seperti pada masa Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974, melainkan wilayah kerja. Sebagai wilayah kerja, kecamatan bukan lagi wilayah kekuasaan dari camat tetapi areal tempat camat bekerja. 2) Camat adalah perangkat Daerah Kabupaten dan Daerah Kota, bukan lagi kepala wilayah administrasi pemerintahan seperti masa Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974. Konsekuensi logisnya, camat bukan lagi penguasa tunggal yang berfungsi sebagai administrator pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan. Perubahan tersebut diatur lebih tegas di dalam pasal 66 Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999. Pada ayat (1) disebutkan bahwa : Kecamatan merupakan perangkat Daerah Kabupaten dan Daerah Kota yang dipimpin oleh Kepala Kecamatan. Pada ayat (2) dikemukakan pula bahwa : Kepala Kecamatan disebut Camat. Di dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagai pengganti Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, diatur pula tentang Kecamatan. Pada Pasal 120 ayat (2) dikemukakan bahwa : Perangkat Daerah Kabupaten/Kota terdiri atas sekretariat daerah, sekretariat DPRD, dinas daerah, lembaga teknis daerah, kecamatan, dan kelurahan. Perubahan kedudukan kecamatan dan kedudukan camat membawa dampak pada kewenangan yang dijalankan oleh camat. Karena bukan lagi kepala wilayah, camat tidak memiliki kewenangan atributif sebagaimana diatur pada pasal 80 dan 81 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974, kecuali diatur lebih lanjut

16 dalam peraturan perundang-undangan lainnya di luar undang-undang. Di dalam Pasal 66 ayat (4) Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 dikemukakan bahwa : Camat menerima pelimpahan sebagian kewenangan pemerintahan dari Bupati/ Walikota, artinya kewenangan yang dijalankan oleh camat merupakan kewenangan delegatif yang diberikan oleh Bupati/Walikota. Delegasi kewenangan tersebut dari pejabat (Bupati/Walikota) kepada pejabat (Camat). Luas atau terbatasnya delegasi kewenangan dari Bupati/Walikota kepada camat sangat bergantung pada keinginan politis dari Bupati/ Walikota bersangkutan. 2.1.2. Perubahan Paradigma tentang Kecamatan Menurut Undangundang Nomor 32 Tahun 2004 Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 ternyata tidak berusia panjang. Setelah dijadikan hukum positif selama lima tahun, undang-undang tersebut diganti dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004. Secara esensi menurut Sadu Wasistiono, perubahan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 antara lain : 1. Menggunakan filosofi keanekaragaman dalam kesatuan. 2. Paradigma politik yang digunakan adalah dalam rangka demokratisasi, pemerataan dan keadilan. 3. Penambahan paradigma ekonomi dengan menekankan pada daya saing daerah dalam menghadapi persaingan global melalui pemberdayaan masyarakat. 4. Penambahan paradigma administrasi dengan menekankan pada perlunya efektivitas dan efisiensi. 5. Memberi tekanan pada pelayanan masyarakat sebagai fokus utama untuk mencapai hasil berupa kesejahteraan rakyat. 6. Prinsip otonomi yang digunakan adalah otonomi yang seluas-luasnya, nyata dan bertanggung jawab dengan memperhatikan keseimbangan hubungan antar pemerintahan. Digunakan prinsip desentralisasi berkesimbangan.

17 7. Perubahan pendekatan kewenangan menjadi pendekatan urusan pemerintahan dalam pengalokasian kekuasaan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Sedangkan esensi perubahan pada kecamatan, kelurahan dan desa dapat dijelaskan sebagai berikut : 1. Pengaturan Mengenai Kecamatan Perubahan pengaturan mengenai kecamatan berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2004 secara umum dapat dijelaskan sebagai berikut : a. Kecamatan secara eksplisit dinyatakan sebagai perangkat daerah Kabupaten/Kota. b. Kecamatan dipimpin oleh Camat yang dalam pelaksanaan tugasnya memperoleh pelimpahan sebagian wewenang Bupati/Walikota untuk menangani sebagian urusan otonomi daerah. c. Camat juga menyelenggarakan tugas umum pemerintahan, meliputi : 1). mengkoordinasikan kegiatan pemberdayaan masyarakat; 2). mengkoordinasikan upaya penyelenggaraan ketentraman dan ketertiban umum; 3) mengkoordinasikan penerapan dan penegakan peraturan perundangundangan; 4) mengkoordinasikan pemeliharaan prasarana dan fasilitas pelayanan umum; 5) mengkoordinasikan penyelenggaraan kegiatan pemerintahan di tingkat kecamatan; 6) membina penyelenggaraan pemerintahan desa dan/atau kelurahan. 7) melaksanakan pelayanan masyarakat yang menjadi ruang lingkup tugasnya dan/atau yang belum dapat dilaksanakan pemerintahan desa atau kelurahan. d. Camat diangkat oleh Bupati/Walikota atas usul Sekretaris Daerah Kabupaten/Kota dari PNS yang menguasai pengetahuan teknis pemerintahan dan memenuhi persyaratan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

18 Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa kecamatan lebih banyak menjalankan fungsi mengkoordinasikan berbagai kegiatan yang ada di kecamatan, selain menjalankan fungsi - fungsi operasional yang didelegasikan oleh Bupati/Walikota kepada Camat. 2. Pengaturan Mengenai Kelurahan Perubahan pengaturan mengenai kelurahan berdasarkan Undangundang Nomor 32 Tahun 2004 secara umum dapat dijelaskan sebagai berikut : a. Lurah memperoleh pelimpahan wewenang dari Bupati/Walikota; b. Lurah mempunyai tugas lainnya, selain yang berasal dari pelimpahan wewenang Bupati/Walikota, meliputi : 1) pelaksanaan kegiatan pemerintahan kelurahan ; 2) pemberdayaan masyarakat ; 3) pelayanan masyarakat ; 4) penyelenggaraan ketentraman dan ketertiban umum ; dan 5) pemeliharaan prasarana dan fasilitas pelayanan umum. c. Lurah diangkat oleh Bupati/Walikota atas usul Camat dari PNS yang menguasai pengetahuan teknis pemerintahan dan memenuhi persyaratan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. d. Dalam melaksanakan tugasnya, Lurah bertanggung jawab kepada Bupati/ Walikota melalui Camat. Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa Kelurahan lebih banyak menjalankan fungsi pelaksanaan yang bersifat operasional, dengan kewenangan yang didelegasikan secara langsung dari Bupati/Walikota tanpa melalui Camat (seperti pada Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999). 3. Pengaturan Mengenai Desa Perubahan pengaturan mengenai desa berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 secara umum dapat dijelaskan sebagai berikut :

19 a. Desa di Kabupaten/Kota secara bertahap dapat diubah atau disesuaikan statusnya menjadi Kelurahan sesuai usul dan prakarsa pemerintah Desa bersama Badan Permusyawaratan Desa yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah. b. Sekretaris Desa diisi dari PNS yang memenuhi persyaratan Pengangkatannya dilakukan secara bertahap c. Kepala Desa dipilih secara langsung oleh dan dari penduduk Desa, dengan suara terbanyak (simple majority). d. Pemilihan Kepala Desa dapat menggunakan hukum adat setempat, sepanjang hukum adat tersebut masih berlaku. e. Masa jabatan Kepala Desa adalah 6 (enam) tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya. f. Badan Perwakilan Desa (BPD) diganti dengan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dengan fungsi menetapkan peraturan desa bersama Kepala Desa, serta menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat. g. Pendapatan Desa yang penting adalah bagi hasil pajak daerah dan retribusi daerah Kabupaten/Kota serta bagian dari dana perimbangan keuangan Pusat dan Daerah yang diterima oleh Kabupaten/Kota, bukan hanya sekedar bantuan seperti yang diatur di dalam UU Nomor 22 Tahun 1999. 2.2. Teori tentang Rentang Kendali dalam Organisasi 2.2.1. Definisi Asas Rentang Kendali dalam Organisasi Rentang kendali merupakan salah satu asas yang diperlukan untuk menjalankan organisasi. Untuk memberikan kesamaan pandangan mengenai pengertian rentang kendali, perlu terlebih dahulu dikemukakan beberapa definisi. Fred Luthhans (1981:452) mendefinisikan rentang kendali sebagai jumlah bawahan yang secara langsung melapor kepada atasan. Luthans tidak memberikan batasan mengenai berapa jumlah optimal dari bawahan yang melapor kepada pimpinan tersebut.