BAB 1 PENDAHULUAN. yang besar dan semakin meningkat. Hal tersebut mengakibatkan kota-kota besar

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. angka pertumbuhan penduduk kota yang sangat tinggi, utamanya terjadi pada

Implementasi Kebijakan Penataan Pedagang Kaki Lima di Sentra PKL Jalan Dharmawangsa Kota Surabaya

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENATAAN PEDAGANG KAKI LIMA (Studi Kasus Di Sentra PKL Viaduk Gubeng Kota Surabaya). SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. perhatian perencanaan pembangunan, terutama di negara sedang berkembang, dan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Sebagai Kota yang telah berusia 379 tahun, Tanjungbalai memiliki struktur

BAB I PENDAHULUAN. berkembang adalah adanya kegiatan ekonomi subsistence, yakni sebagian besar

BAB I PENDAHULUAN. Sektor informal memiliki peran yang besar di negara-negara sedang

IDENTIFIKASI KARAKTERISTIK AKTIVITAS PEDAGANG KAKI LIMA DI PASAR YAIK SEMARANG (Studi Kasus : Persepsi Pengunjung Dan Pedagang) TUGAS AKHIR

BAB 1 PENDAHULUAN. Badan Pusat Statistik ( BPS ). Data Indikator Ketenagakerjaan. November

BAB I PENDAHULUAN. besar-besaran dari perusahaan-perusahaan swasta nasional. Hal ini berujung pada

BAB I PENDAHULUAN. Proses perkembangan dan pertumbuhan kota-kota besar di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. otoriter juga dipicu oleh masalah ekonomi dan adanya perubahan sosial dalam

KAJIAN KARAKTERISTIK BERLOKASI PEDAGANG KAKI LIMA DI KAWASAN PENDIDIKAN TEMBALANG KOTA SEMARANG TUGAS AKHIR

BAB VII KESIMPULAN DAN IMPLIKASI PENELITIAN. Bab ini menyajikan uraian kesimpulan, kebaharuan (novelty) dan implikasi

FENOMENA PASAR KREMPYENG MALAM HARI PETERONGAN KOTA SEMARANG TUGAS AKHIR TKP 481. Oleh: VERA P.D. BARINGBING L2D

BAB I PENDAHULUAN. yang berhubungan dengan warga negaranya. Terlebih pada negara-negara yang

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANYUMAS NOMOR 4 TAHUN 2011 TENTANG PENATAAN DAN PEMBERDAYAAN PEDAGANG KAKI LIMA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah. Sehingga kebijakan tidak bersifat satu arah. Kebijakan bisa dibilang

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu tujuan nasional yang hendak dicapai negara Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. informal, yang pertumbuhannya sudah melebihi sektor formal (Manning, yang tidak terserapdi sektor formal (Effendi, 2005).

BAB I PENDAHULUAN. fungsional dalam proses produksi yang bertindak sebagai faktor produksi. Sisi

BAB I PENDAHULUAN. sadar, terencana dan berkelanjutan dengan sasaran utamanya adalah untuk meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Sejalan dengan semakin banyak negara Asia Tenggara menjadikan

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sejak terjadinya krisis ekonomi di Indonesia, menurut data yang

BAB I PENDAHULUAN. kebijakan pemerintah. Titik sentral pada faktor ekonomi didukung oleh

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Ketenagakerjaan merupakan masalah yang selalu menjadi perhatian utama

BAB 1 PENDAHULUAN. lima jalan Kapten Muslim Kota Medan. Kajian penelitian ini dilatar belakangi

PERATURAN DAERAH KOTA SEMARANG

I. PENDAHULUAN. Pasar sebagai arena atau suatu tempat pertukaran baik dalam bentuk fisik

APA ITU URBANISASI???? Urbanisasi adalah perpindahan penduduk dari desa ke kota. Urbanisasi adalah masalah yang cukup serius bagi kita semua

BAB I PENDAHULUAN. Tata ruang dalam perkotaan lebih kompleks dari tata ruang pedesaan,

BAB I PENDAHULUAN. Barat, sekaligus menjadi Ibu Kota Provinsi tersebut. Kota ini terletak 140 km

A. Latar Belakang. Pembangunan tidak lain merupakan suatu proses perubahan yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. mengenai faktor-faktor yang tidak hanya berasal dari faktor demografi saja

WALIKOTA SURABAYA PROVINSI JAWA TIMUR

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia dan beberapa daerah perkotaan mempunyai pola. baik di daerah pedesaan dan perkotaan. Dualisme kota dan desa yang terdapat

BAB I PENDAHULUAN. sosial lainnya. Krisis global membawa dampak di berbagai sektor baik di bidang ekonomi

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam rentang kehidupan, individu berkembang dari masa kanak-kanak

I. PENDAHULUAN. lapangan kerja dan menyediakan barang/jasa murah, serta reputasinya sebagai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Salah satu tantangan pembangunan di Indonesia saat ini adalah mengatasi

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan Pancasila. Salah satu cara mencapai keadaan tersebut diprioritaskan

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi penduduk merosot hingga minus 20% mengakibatkan turunnya berbagai

QANUN KABUPATEN ACEH TIMUR NOMOR 11 TAHUN 2014 TENTANG PENATAAN DAN PEMBERDAYAAN PEDAGANG KAKI LIMA

BAB 1 PENDAHULUAN. berhasil dimasuki adalah sektor informal. Akibatnya jumlah migrasi yang

BAB I PENDAHULUAN. kota tersebut. Namun sebagian besar kota-kota di Indonesia tidak dapat memenuhi

PEMERINTAH KABUPATEN BARITO UTARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BARITO UTARA NOMOR 1 TAHUN 2005 TENTANG

PEMERINTAH KABUPATEN PURWOREJO

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. menjamurnya Pedagang Kaki Lima (PKL), kemacetan lalu lintas, papan reklame yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. berkembang pesat dan semakin luas di berbagai kota di Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. Implementasi Peraturan Daerah Kota Magelang Nomor 13 Tahun tentang Penataan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima

BAB III OBJEK DAN METODOLOGI PENELITIAN

PEMERINTAH KOTA SURABAYA

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

KAJIAN KARAKTERISTIK PEDAGANG KAKI LIMA (PKL) DALAM BERAKTIVITAS DAN MEMILIH LOKASI BERDAGANG DI KAWASAN PERKANTORAN KOTA SEMARANG

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. adalah penanggulangan kemiskinan yang harus tetap dilaksanakan Pemerintah Pusat

KAJIAN STRATEGI PENGELOLAAN RETRIBUSI PEDAGANG KAKI LIMA (PKL) DI KAWASAN PENDIDIKAN TEMBALANG TUGAS AKHIR

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

STUDI ARAHAN PENATAAN FISIK AKTIVITAS PKL DI KORIDOR JALAN SUDIRMAN KOTA SALATIGA TUGAS AKHIR

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. arti yang sebenarnya sejak Pembangunan Lima Tahun (Pelita) I pada tahun

BAB I PENDAHULUAN. banyak perusahaan yang melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap

RANCANGAN QANUN KABUPATEN ACEH TIMUR NOMOR TAHUN 2013 TENTANG PENATAAN DAN PEMBERDAYAAN PEDAGANG KAKI LIMA BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

I. PENDAHULUAN. Proses pembangunan memerlukan Gross National Product (GNP) yang tinggi

WALIKOTA BALIKPAPAN PROVINSI KALIMANTAN TIMUR PERATURAN DAERAH KOTA BALIKPAPAN NOMOR 12 TAHUN 2014 TENTANG USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH

BAB I PENDAHULUAN. padat. Pemukiman kumuh terjadi disetiap sudut kota. Banyaknya pengamen,

BAB I PENDAHULUAN. Lima yang dilakukan oleh aparat pemerintah, seakan-akan para Pedagang

PENGARUH MODAL DAN PERILAKU KEWIRAUSAHAAN TERHADAP LABA USAHA PEDAGANG KAIN

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENGELOLAAN TEMPAT PARKIR DI KABUPATEN GRESIK (Studi tentang parkir di tepi jalan umum kawasan Alun-alun Gresik) SKRIPSI

BUPATI BATANG PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN BATANG NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG PENATAAN DAN PEMBERDAYAAN PEDAGANG KAKI LIMA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I.PENDAHULUAN. Pedagang Kaki Lima (PKL) menjadi pilihan yang termudah untuk bertahan hidup.

BAB I PENDAHULUAN. Apalagi untuk kehidupan di kota-kota besar, seperti: Jakarta, Bandung, Semarang,

BAB I PENDAHULUAN. cara untuk mencapai keadaan tersebut. Adanya pembangunan selain

PERTATURAN DAERAH KOTA SEMARANG NOMOR 11 TAHUN 2000 TENTANG PENGATURAN DAN PEMBINAAN PEDAGANG KAKI LIMA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

I. PENDAHULUAN. dalam proses pembangunan, khususnya di negara-negara berkembang. Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pembangunan adalah upaya memajukan, memperbaiki tatanan, meningkatkan

VII KETERKAITAN EKONOMI SEKTORAL DAN SPASIAL DI DKI JAKARTA DAN BODETABEK

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan nasional yang diatur secara sistematis. Pendidikan nasional berfungsi

BAB I PENDAHULUAN. dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen anggaran

BAB I PENDAHULUAN. Kemiskinan masih menjadi persoalan mendasar di Indonesia. Oleh karena

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Perkembangan kota-kota besar di Indonesia memacu pertumbuhan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Perhatian terhadap perlindungan sosial bagi para pekerja di negara-negara

PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN MAGELANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG NOMOR 7 TAHUN 2009 TENTANG PENATAAN DAN PEMBERDAYAAN PEDAGANG KAKI LIMA

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 5 TAHUN 2014 SERI E.3 PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG

STRATEGI PENINGKATAN RETRIBUSI (JASA) PELAYANAN PASAR KLITIKAN NOTOHARJO DI KOTA SURAKARTA BERDASARKAN PERATURAN DAERAH NO.

BAB I PENDAHULUAN. dengan topik Sektor Informal Yogyakarta, pada hari Selasa 7 Maret 2005, diakses pada tanggal 9 Oktober 2009

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. penting yang dilakukan yaitu penggantian sistem sentralisasi menjadi

ANALISIS KESEMPATAN KERJA DAN PEMANFAATAN TENAGA KERJA DI PROPINSI JAWA TIMUR TAHUN 2000 DAN 2004

PENGARUH PERSEBARAN LOKASI UMKM BERBASIS RUMAH (HOME BASED ENTERPRISES) TERHADAP PENDAPATAN RUMAH TANGGA DI KEL. BUGANGAN DAN JL.

BAB I. Beranjak dari Pasal 33 ayat (3) UUD Negara RI Tahun 1945 menyatakan. oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

BAB I PENDAHULUAN. nasional telah menunjukkan bahwa kegiatan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah

BAB I PENDAHULUAN. rakyat dalam rangka mewujudkan tujuan dari pembangunan nasional.

Transkripsi:

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Menurut Todaro dan Stilkind (2000) bahwa terdapat beberapa gejala yang dihadapi oleh negara berkembang, gejala tersebut adalah jumlah pengangguran yang besar dan semakin meningkat. Hal tersebut mengakibatkan kota-kota besar menghadapi berbagai macam problema sosial yang sangat pelik. Hal ini menjadi ciri umum kebanyakan perkotaan di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Berdasarkan sensus penduduk 2010, jumlah penduduk Indonesia sudah mencapai 237,6 juta jiwa atau bertambah 32,5 juta jiwa sejak tahun 2000. Artinya, setiap tahun selama periode 2000-2010, jumlah penduduk bertambah 3,25 juta jiwa (Wahyu Pramono, 2000). Jumlah penduduk Indonesia dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan dengan laju pertumbuhan yang tinggi pula. Tingginya jumlah penduduk diperkotaan mempunyai konsekuensi logis tidak tertampungnya angkatan kerja ke dalam ruang kerja yang formal (Badan Statistik, 2011). Rusman Heriawan, Kepala Badan Pusat Statistik (2011) menyampaikan, jumlah angkatan kerja di Indonesia pada Februari 2010 mencapai 116 juta orang. Kehadiran Pedagang Kaki Lima (PKL) di kota-kota besar merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari perkembangan kota. Berdasarkan data Asosiasi Pedagang Kaki Lima Indonesia (APKLI) menyebutkan, jumlah PKL yang ada di Indonesia sebanyak 22,9 juta orang. Padahal saat ini jumlah 1

pengusaha mikro yang ada dan tersebar di seluruh wilayah di Indonesia mencapai 53,1 juta orang. Ini artinya, hampir 50 persen pengusaha mikro di negeri ini merupakan pengusaha yang bergerak di sektor PKL (Tadjuddin Noer, 1993). Usaha kecil seperti Pedagang Kaki Lima (PKL) merupakan aset ekonomi bangsa Indonesia, yang memberi andil besar dalam hal ketenaga-kerjaan, pengentasan kemiskinan dan menjadi katup pengaman ekonomi kerakyatan. Pada tahun 1997-1998 sewaktu terjadi krisis ekonomi yang melanda negara kita, banyak perusahaan besar mengalami gulung tikar dan merumahkan karyawannya, akan tetapi sektor informal seperti PKL tidak begitu terkena imbasnya, malah mereka bisa menolong pekerja yang di PHK, masyarakat kecil yang sulit mendapatkan pekerjaan dan lulusan perguruan tinggi yang kurang beruntung (Chris dan Effendi, 1996). Namun, dibalik peranan dan fungsinya yang menopang perekonomian rakyat bawah tersebut, kehadiran sektor informal PKL di kota-kota besar diidentifikasikan telah memunculkan berbagai permasalahan. Firdausy (Alisjabana, 2003) mengatakan, permasalahan sosial ekonomi yang ditimbulkan dengan adanya sektor informal PKL ini antara lain meningkatnya biaya penyediaan fasilitas-fasilitas umum perkotaan, mendorong lajunya arus migrasi dari desa ke kota, menjamurnya pemukiman kumuh dan tingkat kriminalitas kota. Sedangkan lingkungan perkotaan yang ditimbulkan antara lain adalah kebersihan dan keindahan kota, kelancaran lalu lintas serta penyediaan lahan untuk lokasi usaha 2

Dari gambaran di atas, bisa dikatakan bahwa kehadiran PKL di perkotaan selain mempunyai manfaat juga menimbulkan permasalahan-permasalahan yang mengganggu ketertiban, kebersihan, dan kenyamanan kota. Maka sudah sewajarnya jika persoalan ini menjadi perhatian dan agenda pemerintah. Sebagai wujud komitmen pemerintah Republik Indonesia terhadap PKL sebenarnya sudah lama memperhatikan persoalan ini. Dalam perspektif Bung Hatta (Wakil Presiden RI Pertama), pemerintah sebenarnya aktor yang tak henti mengkreasikan tumbuhnya kelembagaan ekonomi serta merestorasi kelembagaan ekonomi untuk tujuan aktualisasi peran dan aspirasi ekonomi kaum periferal (Anwari, 2012). Bahkan secara tersurat dan lebih definitif tertuang dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2012 Tentang Pedoman Penataan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima (PKL). Juga diberbagai kota besar juga telah menuangkan dengan berbagai bentuk Peraturan Daerah (perda), seperti, Perda Kota Sukabumi Nomor 8 Tahun 2007 tentang Penataan dan Pembinaan Pedagang Kaki Lima (PKL); Perda No. 11 Tahun 2000 Tentang Pedagang Kaki. Lima (PKL) di Kota Semarang; Peraturan Bupati (Perbup) Purbalingga No 25 Tahun 2005 tentang penunjukkan lokasi berjualan pedagang kaki lima (PKL); Perda Kota Balikpapan Nomor 12 Tahun 2000, Tentang Larangan Pedagang Kaki Lima; Perda Kabupaten Sukoharjo Nomor 1 Tahun 2007 tentang Pengaturan dan Pembinaan Pedagang Kaki Lima (Dewi Puspita dan Yanuardi, 2013). Juga diberbagai daerah lainnya (Ginting, 2004), tidak terkecuali di Kota Surakarta, antara lain, dengan adanya Perda No. 8 Tahun 1995 Tentang 3

Pembinaan dan Penataan PKL Kota Surakarta; SK Walikota Surakarta No. 2 Tahun 2001 tentang Pedoman Pelaksanaan Perda No. 8 Tahun 1995; Perda No. 3 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan PKL Kota Surakarta; Perda Kota Surakarta No. 7 Tahun 2009 Tentang Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah; SOTK (Struktur Organisasi dan Tata Kerja) Kota Surakarta No. 6 Tahun 2008 Tentang Struktur Organisasi dan Tata Kerja Dinas Pengelolaan Pasar Kota Surakarta (Joko Suwandi, 2012). Jadi, dengan adanya berbagai produk hukum, baik dalam bentuk peraturan menteri maupun peraturan daerah (perda), hal ini menunjukkan bahwa pedagang kaki lima (PKL) telah lama menjadi perhatian serius pemerintah pusat maupun daerah, termasuk Kota Surakarta. Bisa disebut sebagai amanat konstitusi atau undang-undang. Persoalannya tidak tidak semata-mata dalam tataran kebijakan, tetapi terkait dengan implementasinya. Ada yang efektif dan ada yang sekedar tuntutan formalitas. Implementasinya tergantung gaya kepemimpinan dan pola komunikasi pimpinan daerah, termasuk kondisi subyektif dan kondisi obyektif masing-masing daerah, termasuk Kota Surakarta. Berbicara soal pedagang kaki lima (PKL) dan penertiban dalam tataran implementasinya bagaikan benang kusut yang tak ada ujungnya dan selalu saja ada perlawanan Peristiwa semacam ini terjadi dihampir seluruh daerah di Indonesia. Lain halnya penataan PKL di Surakarta, mereka (PKL) dengan sukarela berpindah tempat berdagang ke lokasi yang telah disiapkan oleh Pemerintah dengan menaiki angkutan yang telah disiapkan Pemerintah Kota (Pemkot) dengan arak-arakan yang panjang dan meriah. Mereka dengan sukacita 4

menuju lokasi yang baru. Program penataan dan pembinaan PKL di Surakarta dalam bentuk relokasi PKL dari Monumen Banjarsari ke Pasar Klitikan Notoharjo Semanggi, yang banyak mendapat ekspose publik karena berhasil dilakukan dengan cara damai dan tidak dilakukan dengan kekerasan (Iswanto, 2007). Maka wajar jika fenomena tersebut oleh sementara pihak dipahami sebagai suatu keberhasilan komunikasi pembangunan Pemkot Surakarta, dimana penataan dan pembinaan PKL bisa dilakukan dengan damai dan dilakukan tanpa kekerasan. Memang benar fenomena ini tidak hanya terjadi di Surakarta, tetapi juga terjadi diberbagai daerah lain dengan berbagai keunikan, misalnya, Bandung yang terkenal dengan zonasisasi PKL, Surabaya dari sisi sentra PKL dan Bangkok dari sisi kultur PKL, sedangkan keunikan di Surakarta dari segi pendekatan sosial (Sukmaningtyas, 2013). Fenomena ini tidak hanya menarik dari sisi praktis, tetapi juga menarik dari segi paradigmatik, baik dalam kajian tentang pembangunan dan perkembangan kajian komunikasi pembangunan. Dimana dalam penyelenggaraan pembangunan, diperlukan suatu sistem komunikasi agar terjalin komunikasi efektif dan memiliki makna yang mampu mengarahkan pencapaian tujuan pembangunan. Hal itu perlu sekali dilakukan karena proses pembangunan melibatkan berbagai elemen masyarakat. Komunikasi pembangunan ini harus mengedepankan sikap aspiratif, konsultatif dan relationship. Karena pembangunan tidak akan berjalan dengan optimal tanpa adanya hubungan sinergis antara pelaku dan obyek pembangunan. Apalagi proses pembangunan ke depan 5

cenderung akan semakin mengurangi peran pemerintah, seiring semakin besarnya peran masyarakat (Badri, 2008). Rogers (1989) mengatakan komunikasi tetap dianggap sebagai perpanjangan tangan para perencana pemerintah, dan fungsi utamanya adalah untuk mendapatkan dukungan masyarakat dan partisipasi mereka dalam pelaksanaan rencana-rencana pembangunan. Dari pendapat Rogers ini jelas bahwa setiap pembangunan dalam suatu bangsa memegang peranan penting. Dan karenanya pemerintah dalam melancarkan komunikasinya perlu memperhatikan strategi apa yang dapat digunakan untuk menyampaikan pesan sehingga efek yang diharapkan itu sesuai dengan harapan, sebagaimana berbagai upaya yang dilakukan oleh Pemeritah Kota (Pemkot) Surakarta. Adapun selama ini diketahui bahwa PKL dipandang sebagai aktivitas illegal dan terkadang diperlakukan seperti kriminal. Studi menunjukkan bahwa hampir di semua negara-negara Asia, PKL tidak mempunyai status legal dalam menjalankan usahanya dan mereka terus mendapatkan tindakan kekerasan oleh pemerintah kota dengan program yang mengatasnamakan penertiban atau penataan. Di sisi lain, peran yang dijalankan sektor informal termasuk PKL belum sepenuhnya diterima pemerintah kota. PKL lebih dipandang sebagai aktivitas nonprofit, karena tidak berkontribusi pada ekonomi lokal atau nasional melalui pajak. Mereka dimarginalkan dalam agenda pembangunan, dengan demikian terkena dampak buruk dari kebijakan makro sosio-ekonomi (Hilal, 2013). 6

1.2 Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, penelitian ini mencoba untuk mengeksplorasi dan menganalisis fenomena keberhasilan penataan dan pembinaan pedagang kaki lima (PKL) di Surakarta. Sedangkan rinciannya, penelitian ini akan melihat lebih mendalam: 1. Mengapa proses penataan dan pembinaan pedagang kaki lima (PKL) yang dilakukan oleh Pemerintahan Kota Surakarta bisa dilakukan secara damai, siapa saja pihak-pihak yang terlibat dan berkontribusi dalam program tersebut, apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan program tersebut dan bagaimana upaya pemerintahan kota membangun kerjasama dengan stakeholder dalam program tersebut? 2. Bagaimanakah respons pedagang kaki lima (PKL) terhadap proses penataan dan pembinaan pedagang kaki lima (PKL) di Surakarta tersebut, terutama terkait dengan efektivitas komunikasi yang dilakukan oleh Pemkot Surakarta? 3. Apakah faktor komunikasi interpersonal dan faktor gaya kepemimpinan demokratis Pemkot Surakarta mempunyai pengaruh yang nyata terhadap efektivitas komunikasi dalam konteks penataan dan pembinaan PKL di Surakarta dan diantara faktor-faktor tersebut mana yang paling dominan? 4. Adakah korelasi antara efektivitas komunikasi Pemkot Surakarta dengan produktivitas pembangunan di Kota Surakarta? 7

1.3 Tujuan Penelitian Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui lebih mendalam proses penataan dan pembinaan Pedagang Kaki Lima (PKL) yang dilakukan oleh Pemerintahan Kota yang bisa dilakukan secara damai. Untuk mengetahui siapa saja pihak-pihak yang terlibat dan berkontribusi dalam program tersebut. Juga ingin menggali lebih mendalam faktor-faktor yang mempengaruhinya keberhasilan tersebut dan ingin mengetahui bagaimana pemerintahan Kota membangun kerjasama (sinergisitas) dengan stakeholder dalam program tersebut. 2. Ingin mengetahui respons Pedagang Kaki Lima (PKL) terhadap proses penataan dan pembinaan Pedagang Kaki Lima (PKL) di Surakarta tersebut, terutama terkait dengan efektivitas komunikasi yang dilakukan oleh Pemkot Surakarta dalam konteks penataan dan pembinaan PKL di Surakarta. 3. Menganalisis pengaruh faktor komunikasi interpersonal dan faktor gaya kepemimpinan demokratis Pemkot Surakarta terhadap efektivitas komunikasi tersebut dan ingin menganalisis faktor yang paling dominan dari faktor-faktor tersebut. 4. Menganalisa korelasi antara faktor fektivitas komunikasi dan faktor produktivitas pembangunan di Surakarta. 8

1.4 Kegunaan Penelitian Berdasarkan dari tujuan penelitian di atas, yang diharapan kegunaan dari penelitian ini: 1. Bagi pengembangan dunia keilmuan, khususnya Studi Penyuluhan dan Komunikasi Pembangunan di Indonesia adalah ingin mengetahui lebih jauh aspek-aspek kajian komunikasi pembangunan, terutama dalam teori komunikasi interpersonal dan teori gaya kepemimpinan demokratis dalam kasus pembinaan dan penataan Pedagang Kaki Lima (PKL) di Surakarta. 2. Bagi pemerintahan daerah (Kota/ Kabupaten) di Indonesia, yang diharapkan dari hasil penelitian ini bisa sebagai model atau inspirasi komunikasi pembangunan dalam berbagai bidang, terutama dalam penataan dan pembinaan Pedagang Kaki Lima (PKL). Sedangkan khusus untuk Pemerintahan Kota Surakarta sebagai input atau bahan evaluasi untuk lebih menyempurnakan program penataan dan pembinaan PKL ke depan. 9