BAB I PENDAHULUAN. mempersiapkan individu menghadapi persaingan global yang menuntut adanya

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN hingga (Unicef Indonesia, 2012). Menurut Departemen Sosial

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. artinya ia akan tergantung pada orang tua dan orang-orang yang berada di

BAB I PENDAHULUAN. menyebabkan perbedaan persepsi dan sikap terhadap pengalaman, sehingga

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. usia 18 hingga 25 tahun (Santrock, 2010). Pada tahap perkembangan ini, individu

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan atau sekolah dapat tercapai dengan lebih efektif dan efisien (Zamroni,

BAB I PENDAHULUAN. diandalkan. Remaja merupakan generasi penerus yang diharapkan dapat. memiliki kemandirian yang tinggi di dalam hidupnya.

BAB I PENDAHULUAN. Ketika zaman berubah dengan cepat, salah satu kelompok yang rentan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. masa peralihan perkembangan dari masa anak-anak menuju masa dewasa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Setiap manusia dilahirkan dalam kondisi yang tidak berdaya, ia akan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Self Efficacy adalah keyakinan seseorang dalam mengkoordinasikan keterampilan dan kemampuan untuk mencapai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Mahasiswa merupakan sebutan untuk seseorang yang sedang

BAB I PENDAHULUAN. lain. Sebagai makhluk sosial manusia dituntut untuk dapat menyesuaikan diri,

BAB I PENDAHULUAN. Belajar merupakan istilah kunci yang penting dalam kehidupan manusia,

BAB I PENDAHULUAN. memiliki tugas perkembangan yang sangat penting yaitu mencapai status

BAB I PENDAHULUAN. setiap tahap perkembangannya, seperti pada tahap remaja.

BAB I PENDAHULUAN. Skripsi merupakan istilah yang digunakan di Indonesia untuk mengilustrasikan

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan perkembangan zaman, semakin banyak wanita yang

BAB I PENDAHULUAN. berhubungan dengan orang lain, atau dengan kata lain manusia mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. makhluk sosial, individu di dalam menjalin hubungan dengan individu lain perlu

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Dengan adanya perkembangan dunia yang semakin maju dan persaingan

BAB I PENDAHULUAN. bentuk percakapan yang baik, tingkah laku yang baik, sopan santun yang baik

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkembangan zaman saat ini telah banyak mempengaruhi seseorang dalam

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi. Terjadi pada usia kurang lebih lima

BAB I PENDAHULUAN. bahasa aslinya disebut adolescene, berasal dari bahasa Latin adolescene

BAB I PENDAHULUAN. Di zaman modern ini perubahan terjadi terus menerus, tidak hanya perubahan

PENDAHULUAN. mengajar yang berkaitan dengan program studi yang diikutinya serta hasil

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja berhubungan dengan perubahan intelektual. Dimana cara

BAB I PENDAHULUAN. diasuh oleh orangtua dan orang-orang yang berada di lingkungannya hingga

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa Remaja merupakan suatu fase transisi dari anak-anak menjadi dewasa

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kemajuan teknologi dan internet di Indonesia dari tahun ke tahun

BAB I PENDAHULUAN. mahasiswa lulus dari mata kuliah tersebut. selalu menilai negatif, tidak mengikuti ujian, belum mengambil mata kuliah

BAB I PENDAHULUAN. Mahasiswa adalah status yang disandang oleh seseorang karena

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan hal yang paling mutlak dimiliki oleh semua orang.

BAB I PENDAHULUAN. Pondok Pesantren Daar el-qolam merupakan salah satu pondok pesantren

PENDAHULUAN. Mahasiswa yang menjalani kuliah di kampus ada yang merasa kurang

BAB I PENDAHULUAN. dari hidup manusia dalam menghadapi berbagai masalah untuk pemenuhan

BAB 1 PENDAHULUAN. Ekonomi Asean (MEA) untuk meningkatkan stabilitas perekonomian di. bidang ekonomi antar negara ASEAN (

BAB I PENDAHULUAN. No. Skripsi : 091/S/PPB/2013 pertengahan dan akhir masa anak-anak.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB II KAJIAN TEORI. Menurut Havighurst (1972) kemandirian atau autonomy merupakan sikap

BAB 1 PENDAHULUAN. perkembangan pembangunan di sektor ekonomi, sosial budaya, ilmu dan teknologi.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. orang dengan orang lain, yang berfungsi dalam interaksi dengan cara-cara yang

BAB I PENDAHULUAN. membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk sosial; mereka tidak dapat hidup sendiri dan

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dimana pada masa tersebut merupakan periode peralihan dan perubahan. Hurlock

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. tersebut terjadi akibat dari kehidupan seksual remaja yang saat ini semakin bebas

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tita Andriani, 2013

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Dalam masa perkembangan negara Indonesia, pendidikan penting untuk

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. hingga masa awal dewasa, dimulai pada saat terjadinya kematangan seksual.

BAB I PENDAHULUAN. Bandung saat ini telah menjadi salah satu kota pendidikan khususnya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. tergantung pada orangtua dan orang-orang disekitarnya hingga waktu tertentu.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menentukan arah dan tujuan dalam sebuah kehidupan. Anthony (1992)

BAB I PENDAHULUAN. individual yang bisa hidup sendiri tanpa menjalin hubungan apapun dengan individu

BAB II LANDASAN TEORI. tersebut mempelajari keadaan sekelilingnya. Perubahan fisik, kognitif dan peranan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. semestinya dia sandang, yaitu motivasi berprestasi. Idealnya setiap mahasiswa harus

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. fase perkembangannya memiliki keunikan tersendiri. Papalia (2008) menyebutkan bahwa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kekayaan sumber daya alam di masa depan. Karakter positif seperti mandiri,

BAB I PENDAHULUAN. Teknologi semakin diperbaharui dan sumber daya manusia dituntut untuk

BAB I PENDAHULUAN. kondisi perekonomian yang cukup sulit bagi sebagian lapisan masyarakat mendorong mahasiswa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. karakter siswa. Pendidikan agama merupakan sarana transformasi pengetahuan

BAB I PENDAHULUAN. Sepak Bola yang berdiri pada tahun 1978 di Cengkareng-Jakarta Barat, dan

BAB I PENDAHULUAN. Fase usia remaja merupakan saat individu mengalami perkembangan yang

BAB I PENDAHULUAN. sebagai pakaian yang ketinggalan zaman, bahkan saat ini hijab sudah layak

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Konsumtif adalah pemakaian atau pengonsumsian barang-barang yang

BAB I PENDAHULUAN. semakin marak di kehidupan masyaraat. Hal ini ditandai dengan semakin

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Dalam dua dasawarsa terakhir ini, perubahan yang terjadi dalam berbagai

Dalam keluarga, semua orangtua berusaha untuk mendidik anak-anaknya. agar dapat menjadi individu yang baik, bertanggungjawab, dan dapat hidup secara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Esa Unggul merupakan salah satu perguruan tinggi swasta di Jakarta.

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pendidikan merupakan sarana untuk belajar bagi setiap individu dengan mengembangkan dan mengasah keterampilan

Transkrip Wawancara dengan Suami Broken Home

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki era globalisasi yang terjadi saat ini ditandai dengan adanya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Gaya Hidup Hedonis. Gaya hidup adalah pola tingkah laku sehari-hari segolongan manusia

BAB 1 PENDAHULUAN. tidak lagi merasa di bawah tingkat orang-orang yang lebih tua melainkan

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. kegiatan belajar mengajar di dalam kelas adalah sebuah proses dimana

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan suatu hal yang sangat penting bagi kehidupan

BAB II KAJIAN TEORI. 2010:523) menyatakan bahwa self efficacy mempengaruhi pilihan aktivitas

BAB I PENDAHULUAN. untuk mencapai tujuan pendidikan yang berlangsung dalam lingkungan. maupun karyawan (Menurut Sukmadinata, 2005).

BAB 2 LANDASAN TEORI. Teori yang akan dibahas dalam bab ini adalah teori mengenai self-efficacy dan

BAB 1 PENDAHULUAN. perlu untuk ditingkatkan dan digali sebesar-besarnya karena hal tersebut

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan. Menurut Syah (2006), belajar adalah tahapan perubahan seluruh

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi dari anak-anak menuju masa. lainnya. Masalah yang paling sering muncul pada remaja antara lain

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. belajar, membahas soal bersama-sama, atau bahkan ada yang berbuat

BAB I PENDAHULUAN. masa remaja pun kehidupan untuk berkumpul bersama teman-teman tidak lepas

BAB I PENDAHULUAN. Siswa sebagai generasi muda diharapkan berani untuk mengemukakan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Efikasi Diri Akademik

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

KONTRIBUSI KONSEP DIRI DAN PERSEPSI MENGAJAR GURU TERHADAP MOTIVASI BERPRESTASI DITINJAU DARI JENIS KELAMIN SISWA SMA GAMA YOGYAKARTA TAHUN 2009 TESIS

BAB I PENDAHULUAN. bahkan sampai jam enam sore jika ada kegiatan ekstrakulikuler di sekolah.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Hasil akhir dari pendidikan seseorang individu terletak pada sejauh mana hal

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Transkripsi:

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Pengembangan diri individu dalam pendidikan menjadi suatu alternatif mempersiapkan individu menghadapi persaingan global yang menuntut adanya penguasaan terhadap kemampuan tertentu. Sejalan dengan itu, pendidikan selalu menyesuaikan dengan kemajuan peradaban dan kemajuan ilmu pengetahuan serta teknologi, sehingga lulusannya mampu bersaing di era globalisasi. Hal ini secara tidak langsung mensyaratkan individu terutama seorang remaja untuk lebih mengembangkan kemampuannya, agar pencapaian dalam berprestasi dapat optimal (Dwitantianov, 2011). Banyak kemampuan yang harus dikembangkan oleh seorang remaja agar pencapaian prestasinya optimal. Salah satunya adalah dengan mengembangkan keyakinan dirinya (self-efficacy). Self-efficacy dapat menumbuhkan keyakinan atas kemampuan dalam diri dan juga self-efficacy membantu remaja dalam proses menuju kemandirian. Kemampuan untuk meyakinan diri yang tinggi akan membuat remaja menjadi lebih percaya diri dengan kemampuan yang dimiliki. Self-efficacy meliputi kepercayaan diri, kemampuan menyesuaikan diri, kapasitas kognitif, kecerdasan dan kapasitas bertindak pada situasi yang penuh tekanan. 1

2 Menurut Bandura (1997) Self-efficacy dapat dipengaruhi dari lingkungan tempat tinggal, seperti keluarga, teman sebaya dan sekolah. Keluarga sebagai sumber pembelajaran awal bagi remaja. Keluarga merupakan tempat terbaik dimana nilainilai diri ditanamkan. Orangtua sebagai orang dewasa yang memberikan pengarahan kepada anaknya yang berusia remaja mengenai hal-hal yang harus dilakukan untuk dapat bertahan hidup di luar keluarga. Di dalam keluarga, orangtua biasanya memberikan tugas-tugas yang harus dikerjakan oleh seorang remaja sebagai seorang anak. Remaja yang berhasil menyelesaikan atau mengerjakan tugas yang diberatkan kepada mereka akan percaya dengan kemampuan yang ia miliki, dengan begitu seorang remaja akan yakin pada dirinya bahwa mereka bisa menyelesaikan tugas yang diberikan dengan baik. Orangtua berperan penting dalam memberikan arahan dan masukan kepada remaja dalam menyelesaikan permasalahan yang sedang dihadapi dan juga menjadi motivator bagi sang remaja. Dukungan dari lingkungan, terutama kelompok teman sebaya akan membentuk self-efficacy yang baik dimana anak dapat mendorong peningkatan kemampuan diri untuk dapat melaksanakan tugas-tugasnya sendiri. Self-efficacy anak berkembang sesuai dengan berkembangnya anak di komunitasnya, dengan beranjaknya anak menuju komunitas yang lebih besar dari keluarganya, anak dapat lebih dapat mempelajari sejauh mana kemampuan yang dimilikinya. Aktivitas yang dijalani sesuai dengan usia perkembangan anak. Dari kelompok sebaya, para remaja menerima umpan balik mengenai kemampuan mereka. Para remaja belajar mengenal

3 apakah sesuatu yang mereka perbuat lebih baik, sama saja atau bahkan lebih buruk dari apa yang diperbuat oleh para remaja lainnya (Santrock, 2003). Remaja biasanya memiliki persamaan dalam tingkah laku dengan teman kelompoknya. Biasanya pandangan mereka akan suatu hal akan sama dengan pandangan kelompoknya. Misalnya terhadap aktivitas di sekolah, para remaja dan teman-teman mereka akan terlihat sama dalam tingkah laku mereka terhadap tugas sekolah, dalam prestasi dibidang akademik dan dalam merencanakan studi mereka (Steinberg, 2002). Sekolah merupakan faktor pembentuk kemampuan yang sangat penting dalam masa perkembangan. Sekolah juga merupakan tempat untuk mengembangkan kompetensi diri, baik kognitif, afektif dan psikomotorik. Di sekolah self-efficacy dibentuk melalui banyak cara yaitu melalui penanaman kompetensi intelektual, melalui modeling terhadap guru, melalui interaksi dengan teman-teman sebayanya, mempelajari bagaimana teman-teman sebayanya mendapatkan kesuksesan dan kegagalan. Seorang remaja perlahan-lahan mempelajari kemampuan untuk menilai dirinya sendiri. Pengetahuan diri mereka didapatkan dengan penilaian diri dan dapat digunakan untuk menentukan self-efficacy mereka sebagai penuntun akan aksi yang akan mereka lakukan di setiap situasi. Menuju masa remaja, mereka mempelajari banyak masalah yang datang untuk mencapai tujuan hidup yang diinginkan. Remaja mendapatkan peningkatan dan penguatan self-efficacy melalui pengalaman, mereka menggunakan pengalaman dan pengetahuan mereka untuk mengontrol diri mereka ketika berada dalam situasi yang penuh resiko.

4 Self-efficacy pada remaja bisa terbentuk karena adanya interaksi yang terjadi di dalam kelompok. Misalnya saat menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan oleh guru di sekolah, pelajar yang mempunyai kelompok seperti kelompok bergaul atau kelompok belajar, akan meningkatkan keyakinan diri untuk mampu menyelesaikan tugas yang diberikan dengan target hasil dan waktu yang telah ditentukan. Self-efficacy merupakan salah satu kemampuan pengaturan diri seseorang. Konsep self-efficacy pertama kali dikemukakan oleh Bandura. Menurut Bandura (1997) self-efficacy adalah belief atau keyakinan seseorang bahwa ia dapat menguasai situasi dan menghasilkan hasil (outcomes) yang positif. Baron dan Byrne (2003) mengemukakan bahwa self-efficacy merupakan penilaian seseorang terhadap kemampuan atau kompetensinya untuk melakukan suatu tugas, mencapai suatu tujuan, dan menghasilkan sesuatu. Baron & Byrne (2003) juga menyatakan bahwa self-efficacy adalah suatu kenyataan seseorang mengenai kemampuannya untuk melakukan tugas-tugas tertentu yang spesifik dan merupakan konsep diri yang berkaitan dengan persepsi seseorang terhadap kemampuan dan keahlian dalam menghadapi suatu tugas tertentu. Keyakinan terhadap kemampuan mereka (self-efficacy) akan mempengaruhi cara seseorang dalam berekasi terhadap situasi yang menekan (Bandura, 1997). Menurut Prakosa (1996) keyakinan ini akan mengarahkan kepada pemilihan tindakan, pergerakan usaha, serta keuletan seseorang. Self-efficacy menunjukkan pada keyakinan seseorang bahwa dirinya dapat melakukan tindakan yang dikehendaki oleh situasi tertentu dengan berhasil. Hal ini sejalan dengan pendapat Bandura sendiri

5 yang menyatakan bahwa self-efficacy merupakan keyakinan atau kepercayaan mengenai kemampuan dirinya untuk mengorganisasi, melakukan suatu tugas, mencapai suatu tujuan, menghasilkan sesuatu dan mengimplementasi tindakan untuk menampilkan kecakapan tertentu (Bandura, 1997). Self-efficacy berhubungan dengan cara berpikir seseorang dalam menghadapi masalah dan arah berpikir seseorang dalam memandang masalah, secara optimis atau pesimis, karena nantinya menentukan cara menghadapi hambatan. Self-efficacy juga mempengaruhi seseorang dalam memilih suatu kegiatan. Remaja yang memiliki selfefficacy yang rendah akan mudah menyerah saat menghadapi kesulitan-kesulitan menghadapi tugas. Sebaliknya remaja dengan self-efficacy yang tinggi akan bertahan dalam menghadapi kesulitan, dan mencoba mengatasinya hingga tuntas (Schunk dalam Steinberg, 2002). Self-efficacy akan memberi landasan bagi remaja untuk bertingkah laku secara tekun, ulet, dan berani menghadapi permasalahan (Bandura, 1997). Remaja dituntut untuk bisa bersosialisasi dan berinteraksi dengan baik di lingkungan luar, karena dengan bersosialisasi dan berinteraksi dengan orang-orang di lingkungan sekitar dapat menumbuhkan rasa keyakinan diri dalam mengatasi masalah atau kebutuhan yang ada. Dengan bersosialisasi seorang remaja mendapatkan masukan-masukan yang bermanfaat bagi sang remaja. Salah satu contoh bersosialisasi yang dilakukan remaja adalah dengan berkelompok. Dengan lebih banyaknya remaja berada di luar rumah bersama dengan teman-teman sebaya sebagai kelompok, maka pengaruh pergaulan yang didapat dari teman lebih besar

6 pengaruhnya daripada orangtua. Remaja cenderung conformist atau sesuai dengan norma-norma pada masyarakat. Norma-norma tersebut merupakan hasil kesepakatan bersama antara sesama anggota kelompok (Santrock, 2003). Remaja berasal dari istilah adolesence yang berarti tumbuh menjadi dewasa. Istilah ini seperti yang digunakan saat ini, mempunyai arti yang lebih luas, mencakup kematangan mental, emosional, sosial, dan fisik. Masa remaja adalah masa transisi dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa. Menurut Hurlock (1997), remaja lebih banyak berada di luar rumah bersama dengan teman-teman sebaya sebagai kelompok, maka dapatlah dimengerti bahwa pengaruh teman-teman sebaya pada sikap, pembicaraan, minat, penampilan dan perilaku terkadang lebih besar daripada pengaruh keluarga. Dukungan dari anggota kelompok bermain akan memudahkan seorang remaja dalam bergaul dan membantu seorang remaja menumbuhkan keyakinan dalam diri yang mereka miliki. Kelompok sebaya biasanya memiliki ciri-ciri yang tegas pada tingkah laku yang ditampilkan oleh anggotanya. Ciri-ciri ini antara lain adalah mode pakaian, cara bertingkah laku, gaya rambut, minat tehadap musik, sikap terhadap sekolah, orangtua dan terhadap kelompok lainnya (Monks dkk, 2004). Zebua dan Nurdjayadi (2001) menyatakan pada dasarnya tidak mudah bagi remaja untuk mengikatkan dirinya pada suatu kelompok karena setiap kelompok memiliki tuntutan yang harus dapat dipenuhi oleh setiap remaja yang ingin bergabung. Remaja menyadari dan beranggapan bahwa penerimaan sosial dipengaruhi kesan penilaian orang lain terhadap dirinya sehingga banyak remaja

7 melakukan usaha agar dapat diterima oleh lingkungannya sosialnya, salah satunya dengan melakukan konformitas. Zebua dan Nurdjayadi (2001) juga mengatakan bahwa konformitas adalah satu tuntutan yang tidak tertulis dari kelompok teman sebaya terhadap anggotanya namun memiliki pengaruh yang kuat dan dapat menyebabkan munculnya perilaku-perilaku tertentu pada remaja anggota kelompok tersebut. Conformist atau konformitas didefinisikan sebagai ciri pembawaan kepribadian yang cenderung membiarkan sikap dan pendapat orang lain untuk menguasai dirinya. Menurut Sears (1999) konformitas adalah salah satu cara individu untuk mengubah tingkah lakunya agar sesuai dengan harapan atau tekanan kelompok yang dilandasi oleh keinginan untuk benar dan keinginan untuk sesuai, yang didalamnya terdapat ciri-ciri kekompakan, kesepakatan, dan ketaatan individu terhadap kelompok. Demi mencapai keinginan tersebut makan remaja akan berusaha untuk conform dalam segala hal agar dapat diterima oleh kelompoknya (Hurlock dalam Sari, 2011). Konformitas terjadi pada remaja karena pada perkembangan sosialnya, remaja melakukan dua macam gerak yaitu remaja mulai memisahkan diri dari orangtua dan menuju ke arah teman-teman sebaya. Seseorang berbuat konformis karena ingin memperoleh penerimaan dan menghindari penolakan orang lain. Konformitas juga merupakan bentuk penyesuaian diri. Pada dasarnya orang menyesuaikan diri karena dua alasan utama yaitu perilaku orang lain memberikan informasi yang bermanfaat dan menyesuaikan diri karena ingin diterima secara sosial dan menghindari celaan (O Sears, 1999).

8 Penelitian yang dilakukan oleh Anilaswary (2008) tentang hubungan antara tingkat konformitas dengan tingkat self-efficacy pada remaja, didapatkan hasil korelasi yang diperoleh adalah sebesar -0,440. Hasil korelasi yang negatif menunjukkan semakin tinggi konformitas remaja terhadap teman sebayanya maka semakin rendah self-efficacy remaja,dan sebaliknya. Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa self-efficacy adalah keyakinan diri. Salah satu contoh umum dari selfefficacy adalah fenomena mencontek. Biasanya perilaku mencontek ini dilakukan oleh beberapa siswa remaja di sekolah. Siswa yang melakukan kegiatan mencontek berarti memiliki rasa percaya diri dan keyakinan diri yang rendah dengan kemampuan yang ia miliki. Siswa yang mencontek merasa dirinya kurang mampu untuk menyelesaikan soal yang diberikan saat ujian, merasa takut salah dengan jawaban yang dibuat sendiri dan merasa yakin dengan jawaban yang dibuat oleh temannya yang memiliki kemampuan di atasnya. Berbeda halnya dengan fenomena di SMAN 57 yang peneliti dapat. Untuk hasil wawancara pertama, peneliti mendapatkan subjek yang berinisial S (perempuan, 16 tahun) pada 22 Maret 2013 sebagai berikut : Aku kalau di sekolah senengnya mainnya sama temen satu geng aku kak. Soalnya kalau aku enggak main sama temen-temen geng aku, kadang aku suka minder kak dan suka ketinggalan informasi-informasi baru yang aku enggak ngerti. Abis kalau aku main sendiri aku suka enggak yakin kak, terus suka enggak enak sama mereka. Aku juga kadang suka ngikutin temen-temen aku pake gadget kak. Misalnya sekarang kan ya jamannya bb kak, temen aku pada pake bb semua, yang pake android juga dia punya bb. Info-info tentang tugas atau tentang sekolah dan tementemen aku semuanya pada ngasih taunya lewat bb grup kak. Awal aku pake bb kan disuruh sama temen aku kak, biar mereka gampang ngehubungin aku nya kalau enggak ada pulsa kak. Ribet sih emang harus ngisi paket segala macem, tapi ya mau

9 gimana lagi kalau enggak ngikutin pake bb nanti aku ketinggalan informasi dari mereka. Dari hasil wawancara tersebut, S menunjukkan perilaku yang tidak yakin akan kemampuannya bahwa S bisa menguasai situasi atau keadaan. Dengan ketidakyakinan tersebut maka S memilih untuk bergabung kedalam satu geng untuk bisa terlihat sama dan menyesuaikan dirinya terhadap geng tersebut. hal ini menunjukkan bahwa S tidak memiliki keyakinan diri sekaligus memilih untuk masuk ke dalam satu kelompok di sekolah. Hasil wawancara kedua, peneliti mendapatkan subjek yang berinisial K (lelaki, 17 tahun) pada 22 Maret 2013 sebagai berikut : gue pernah kena poin bareng sama temen-temen geng gue gara-gara kita janjian pake celana pensil ke sekolah. Gara-gara kena poin gue akhirnya kena hukuman disuruh lari lapangan sama disuruh nulis saya berjanji tidak akan mengulang perbuatan ini lagi. Lumayan nulis selembar penuh ka. Abis gue enggak yakin kak kalau harus beda sama mereka, kalau gue enggak samaan kayak temen gue ntar gue dimusuhin. Soalnya gue pernah dimusuhin gara-gara enggak mau ikutan bolos kak. Dari hasil wawancara tersebut K menunjukkan perilaku yang tidak yakin akan dirinya bahwa K bisa menguasai situasi atau keadaan. Dengan ketidakyakinan tersebut maka K memilih untuk bergabung kedalam satu geng untuk bisa terlihat sama dan menyesuaikan dirinya terhadap geng tersebut. K takut dimusuhi temannya karena K tidak mengikuti apa yang dilakukan oleh kelompoknya, hal ini menunjukkan bahwa K tidak memiliki keyakinan diri sekaligus memilih untuk masuk ke dalam satu kelompok di sekolah.

10 Untuk hasil wawancara ketiga, peneliti mendapatkan subjek yang berinisial G (lelaki, 15 tahun) pada 24 Maret 2013 sebagai berikut: Di sekolah sih temen semuanya enak mba diajak main, cuma gue enggak suka kalau ngegeng. Mending sendiri mbak biar temannya juga enggak itu-itu aja. Soalnya kalau ngegeng itu ribet mbak. Kesini lah kesitu lah barengan. Gue juga ngikut OSIS, futsal sama silat sih biar temannya makin banyak. Gue juga yakin mbak dengan apa yang gue lakuin sendiri dan emang orangtua gue nih mbak ngajarin gue biar enggak terlalu mengandalkan orang lain. Jadi kalau sewaktu-waktu enggak ada orang lain, gue bisa ngerjain sendiri mbak. Dari hasil wawancara dengan G menunjukkan bahwa G lebih memilih untuk tidak ikut bergabung kedalam teman satu geng. Dengan keyakinan diri yang dimiliki, G merasa dapat melakukan semua kegiatan yang dilakukan dengan yakin. Hal ini menunjukkan bahwa G memiliki keyakinan diri sekaligus G memilih untuk tidak masuk ke dalam satu kelompok di sekolah. Hasil wawancara keempat, peneliti mendapatkan subjek yang berinisial A (perempuan, 17 tahun) pada 25 Maret 2013 sebagai berikut: gue mah kak fleksibel dan enggak mau ribet kak orangnya, kesana dapet kesini juga dapet. Easy going gitu gue kak, dan enggak milih-milih teman haha. Soalnya lebih enakan gitu sih kak, dari pada ngegeng gitu kalo marahan ntar bingung mau temenan sama siapa. Mending main sama semuanya kak kalo ada temen yang ngambekan kan masih bisa main sama temen yang lainnya. Misalnya nih enggak ngikutin maunya dia trus ngambek gitu, ih males banget gue kak harus ngikutin maunya orang kaya gitu hahaha. Dari hasil wawancara dengan A menunjukkan bahwa A lebih memilih untuk tidak ikut bergabung kedalam teman satu geng. A memilih untuk berteman dengan siapa saja. Dengan keyakinan diri yang dimiliki dalam berteman, A merasa dapat melakukan semua kegiatan yang dilakukan tanpa harus tergantung dengan teman

11 geng nya. Hal ini menunjukkan bahwa A memiliki keyakinan diri sekaligus memilih untuk tidak masuk ke dalam satu kelompok di sekolah. Dari fenomena tersebut, dapat dilihat bahwa salah satu ciri yang menekankan self-efficacy adalah keyakinan diri siswa yang sering bermasalah, seperti mencontek hasil pekerjaan teman, tidak memiliki pendapat sendiri, sehingga lebih banyak bergantung pada orang lain dalam segala hal. Misalnya mengikuti teman untuk membeli gadget yang sama, memakai baju atau celana bermodel sama, atau mengikuti temannya untuk membolos. Sebagaimana hal ini dapat didukung oleh Bandura (1997) yang mengatakan bahwa self-efficacy dapat di pengaruhi oleh lingkungan tempat tinggal individu, seperti keluarga, teman sebaya, dan sekolah. Salah satu faktor yang lebih mempengaruhi siswa atau remaja adalah teman sebaya, dimana hal ini terkait dengan konformitas. O Sears (1999) mengungkapkan bahwa konformitas adalah suatu bentuk tingkah laku menyesuaikan diri dengan tingkah laku orang lain, sehingga menjadi kurang lebih sama atau identik guna mencapai tujuan tertentu. Dari penjabaran tersebut, peneliti tertarik untuk meneliti judul hubungan antara self-efficacy dengan konformitas teman sebaya. B. Identifikasi Masalah Dari hasil latar belakang di atas menyebutkan salah satu kemampuan yang harus dimiliki remaja adalah self-efficacy. Self-efficacy menentukan jenis perilaku individu untuk mengatasi suatu masalah, berapa lama individu mampu berhadapan

12 dengan hambatan-hambatan yang tidak diinginkan dan berapa besar usaha yang dilakukan untuk mengatasi masalah yang dihadapi. Harapannya remaja sudah mampu mengatur dirinya dan sudah memiliki keyakinan bahwa mereka mampu menguasai keadaan. Akan tetapi pada kenyataannya banyak remaja yang masih belum yakin dengan kemampuannya, dan masih banyak remaja yang tidak yakin untuk mengatur dirinya dengan kemampuan yang dimiliki. Ketidakyakinan yang dialami oleh remaja membuat mereka memilih untuk mengikuti teman-temannya karena remaja merasa dengan mengikuti apa yang dilakukan oleh teman membuat remaja menjadi lebih yakin. Pada siswa di SMAN 57 terlihat bahwa mereka yang memiliki self-efficacy yang rendah, Remaja yang memiliki self-efficacy yang rendah akan mudah menyerah saat menghadapi kesulitan-kesulitan menghadapi tugas. Sebaliknya remaja dengan self-efficacy yang tinggi akan bertahan dalam menghadapi kesulitan, dan mencoba mengatasinya hingga tuntas (Schunk dalam Steinberg, 2002). C. Tujuan Penelitian a. Mengetahui kuat atau lemahnya hubungan antara self-efficacy dengan konformitas teman sebaya pada siswa SMAN 57 Jakarta. b. Mengetahui gambaran tinggi atau rendahnya self-efficacy pada remaja di SMAN 57 Jakarta. c. Mengetahui gambaran tinggi atau rendahnya konformitas pada remaja di SMA 57 Jakarta.

13 d. Mengetahui gambaran tinggi atau rendahnya varibel konformitas dan self-efficacy yang dihubungkan dengan data penunjang. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis : Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan yang bermanfaat bagi kemajuan dan perkembangan ilmu psikologi, khususnya Psikologi Sosial, Psikologi Perkembangan. 2. Manfaat Praktis : Penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan kepada para orangtua dan guru dalam mengarahkan anak remajanya agar tidak salah memilih teman bergaul. E. Kerangka Berpikir Masa remaja dipandang sebagai periode perkembangan yang menentukan, karena didalamnya terdapat proses transisi dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa. Masa remaja adalah masa transisi dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa. Pada masa transisi ini terjadi ketidakjelasan status dan peran pada remaja. Seorang remaja akan berusaha mencari tahu tentang jati dirinya. Remaja mulai bersosialisasi dengan lingkungannya, dan mulai mencari identitas dirinya dengan berbagai cara dan pengalaman yang mereka pilih. Teman sebaya memegang peranan penting dalam membantu remaja meng2embangkan identitas dirinya. Selain itu,

14 teman sebaya dapat pula menjadi model bagi remaja yang sedang mencoba menemukan identitas dirinya. Harapannya remaja sudah mampu mengatur dirinya dan sudah memiliki keyakinan bahwa mereka mampu menguasai keadaan. Akan tetapi pada kenyataannya banyak remaja yang masih belum yakin dengan kemampuannya, dan masih banyak remaja yang tidak yakin untuk mengatur dirinya dengan kemampuan yang dimiliki. Adapun hal ini dipengaruhi oleh teman sebaya yang dikatakan oleh Bandura (1997). Dalam menemukan identitas dirinya, remaja beranggapan bahwa bagaimana mereka dipandang oleh teman sebayanya merupakan hal yang penting dalam kehidupan mereka. Permasalahan yang terjadi pada remaja adalah keyakinan diri (self-efficacy) dimana self-efficacy juga mempengaruhi remaja dalam memilih suatu kegiatan. Remaja yang memiliki self-efficacy yang rendah akan mudah menyerah saat menghadapi kesulitan-kesulitan menghadapi tugas. Sebaliknya remaja dengan selfefficacy yang tinggi akan bertahan dalam menghadapi kesulitan, dan mencoba mengatasinya hingga tuntas (Schunk dalam Steinberg, 2002). Self-efficacy akan memberi landasan bagi seseorang untuk bertingkah laku secara tekun, ulet, dan berani menhadapi permasalahan (Bandura, 1997). Self-efficacy memiliki 3 komponen penting, yaitu (1) level, (2) strength, dan (3) generality. Level dalam self-efficacy mengacu pada tingkat kesulitan aktivitas yang dipilih remaja. Strength dalam self-efficacy mengacu pada seberapa besar motivasi, usaha, daya tahan, pola pikir, reaksi emosi remaja dalam mengerjakan

15 tugas. Generality dalam self-efficacy mengacu pada keyakinan yang dimiliki untuk mewujudkan kemampuan dalam berbagai keadaan. Remaja yang memiliki self-efficacy rendah maka akan menonjolkan perilaku konformitas. Ini berarti bahwa remaja dapat menurunkan konformitas dengan membuat seseorang merasa lebih menguasai suatu persoalan. Salah satu faktor yang mempengaruhi keyakinan seseorang terhadap kecakapannya adalah tingkat kesulitan penilaian yang dibuat. Semakin sulit penilaian tersebut, semakin rendah keyakinan yang dimiliki dan semakin besar kemungkinan bahwa dia akan mengikuti penilaian orang lain (Sears dkk, 1999). Menurut Sears (1999) konformitas adalah salah satu cara seseorang untuk mengubah tingkah lakunya agar sesuai dengan harapan atau tekanan kelompok yang dilandasi oleh keinginan untuk benar dan keinginan untuk sesuai, yang didalamnya terdapat ciri-ciri kekompakan, kesepakatan, dan ketaatan individu terhadap kelompok. Demi mencapai keinginan tersebut maka remaja akan berusaha untuk conform dalam segala hal agar dapat diterima oleh kelompoknya (Hurlock dalam Sari, 2011). Mereka yang memiliki kelompok teman sebaya akan merasa senang apabila melakukan segala suatu hal sama dengan yang lainnya. Jadi siswa yang memiliki konformitas tinggi, mereka terbiasa untuk selalu sama, bersikap konformis, sehingga selalu merasa tidak nyaman bila harus beda. Contohnya tidak memiliki pendapat sendiri, selalu ikut suara terbanyak dari kelompok, mengikuti gaya berpakaian, membolos sekolah demi persahabatan,dll.

16 Secara ringkas uraian di atas dapat digambarkan secara skematis dalam gambar 1.1 di bawah ini: Remaja Self-Efficacy: Level Strength Generality Konformitas teman sebaya : Kekompakan Ketaatan Kesepakatan Tinggi Rendah Tinggi Rendah Gambar 1.1 Skema Kerangka Logis F. Hipotesis Terdapat hubungan negatif yang signifikan antara self-efficacy dengan konformitas pada siswa SMAN 57 Jakarta.