PROGRAM PHBM DI SEKITAR KAWASAN KONSERVASI. LAYAKKAH DIPERTAHANKAN???

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Bagi manusia, lahan sangat dibutuhkan dalam menjamin kelangsungan hidup

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR

BAB I PENDAHULUAN. sumberdaya alam juga semakin besar, salah satunya kekayaan alam yang ada

BAB I PENDAHULUAN. ekosistemnya. Pada Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi

Potensi Kota Cirebon Tahun 2010 Bidang Pertanian SKPD : DINAS KELAUTAN PERIKANAN PETERNAKAN DAN PERTANIAN KOTA CIREBON

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. sekelilingnya, baik dari aspek ekologi, sosial dan ekonomi. Wiersum (1990)

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Pembangunan di bidang kehutanan diarahkan untuk memberikan manfaat sebesarbesarnya

Lampiran 3. Interpretasi dari Korelasi Peraturan Perundangan dengan Nilai Konservasi Tinggi

RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI TAHUN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.14/Menhut-II/2007 TENTANG TATACARA EVALUASI FUNGSI KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU

PP 62/1998, PENYERAHAN SEBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN DI BIDANG KEHUTANAN KEPADA DAERAH *35837 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP)

BAB I PENDAHULUAN. Kawasan suaka alam sesuai Undang Undang Nomor 5 Tahun 1990 adalah sebuah

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

2. Dinamika ekosistem kawasan terus berubah (cenderung semakin terdegradasi),

Pembangunan KSDAE di Eko-Region Papua Jakarta, 2 Desember 2015

BAB I PENDAHULUAN. rapat dan menutup areal yang cukup luas. Sesuai dengan UU No. 41 Tahun

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang

BAB VII KAWASAN LINDUNG DAN KAWASAN BUDIDAYA

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

GUBERNUR JAWA TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 1998 TENTANG PENYERAHAN SEBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN DI BIDANG KEHUTANAN KEPADA DAERAH

Suhartini Jurusan Pendidikan Biologi FMIPA UNY

BAB I PENDAHULUAN. Hutan bagi masyarakat bukanlah hal yang baru, terutama bagi masyarakat

I. PENDAHULUAN. margasatwa, kawasan pelestarian alam seperti taman nasional, taman wisata alam,

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 1998 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. Perum Perhutani adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang diberi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. berbagai kegiatan yang mengancam eksistensi kawasan konservasi (khususnya

ARAHAN PENGEMBANGAN KAWASAN TAMAN HUTAN RAYA NGARGOYOSO SEBAGAI OBYEK WISATA ALAM BERDASARKAN POTENSI DAN PRIORITAS PENGEMBANGANNYA TUGAS AKHIR

BERITA NEGARA. KEMEN-LHK. Konservasi. Macan Tutul Jawa. Strategi dan Rencana Aksi. Tahun PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN

BAB I PENDAHULUAN. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia tentang. sumber daya alam. Pasal 2 TAP MPR No.IX Tahun 2001 menjelaskan

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. maka penduduk setempat dapat menggagalkan upaya pelestarian. Sebaliknya bila

BAB I PENDAHULUAN. sumber mata pencahariannya. Mereka memanfaatkan hasil hutan baik hasil hutan

PERATURAN DAERAH KOTA TARAKAN NOMOR 21 TAHUN 1999 TENTANG HUTAN KOTA TARAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TARAKAN,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

I. PENDAHULUAN. tinggi adalah Taman Hutan Raya Wan Abdurahman. (Tahura WAR), merupakan

BAB I PENDAHULUAN. penting dalam kehidupan kita. Dalam hutan terdapat banyak kekayaan alam yang

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA

BAB I PENDAHULUAN. Alam Hayati dan Ekosistemnya pengertian Taman Nasional adalah kawasan pelestarian

I. PENDAHULUAN. Tingginya laju kerusakan hutan tropis yang memicu persoalan-persoalan

BAB I. PENDAHULUAN. hutan harus dilakukan dengan tetap memelihara kelestarian, keharmonisan, dan

PERATURAN PEMERINTAH Nomor 68 Tahun 1998, Tentang KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

PENGEMBANGAN KAWASAN HUTAN WISATA PENGGARON KABUPATEN SEMARANG SEBAGAI KAWASAN EKOWISATA TUGAS AKHIR

KAWASAN KONSERVASI UNTUK PELESTARIAN PRIMATA JURUSAN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2014 T E N T A N G SISTEM PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN GUBERNUR JAWA TIMUR,

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM DAN EKOSISTEM

I. PENDAHULUAN. melimpah, baik kekayaan mineral maupun kekayaan alam yang berupa flora

BAB VI PROSPEK DAN TANTANGAN KEHUTANAN SULAWESI UTARA ( KEDEPAN)

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

Penyelamatan Ekosistem Sumatera Dalam RTR Pulau Sumatera

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Kata kunci: Fungsi hutan, opini masyarakat, DAS Kelara

VIII. PENUTUP. 8.1 Kesimpulan

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. dari penunjukan kawasan konservasi CA dan SM Pulau Bawean adalah untuk

BAB I PENDAHULUAN. keputusan (SK) perhutani No. 136/KPTS/DIR/2001. berkurangnya akses masyarakat terhadap hutan dan berdampak pula pada

TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA UNIT PELAKSANA TEKNIS KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM MENTERI KEHUTANAN,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung

I. PENDAHULUAN. Kawasan Gunung Merapi adalah sebuah kawasan yang sangat unik karena

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2016 NOMOR 2

BAB I PENDAHULUAN. melampaui dua tahapan, yaitu ekstraksi kayu dan pengelolaan hutan tanaman. mengikuti paradigma baru, yaitu kehutanan sosial.

PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN IV

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM

PROGRAM/KEGIATAN DINAS KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN DIY KHUSUS URUSAN KEHUTANAN TAHUN 2016

Konservasi Lingkungan. Lely Riawati

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Ekologi Hidupan Liar HUTAN. Mengapa Mempelajari Hidupan Liar? PENGERTIAN 3/25/2014. Hidupan liar?

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan Negara kepulauan dengan garis pantai sepanjang

19 Oktober Ema Umilia

KRITERIA KAWASAN KONSERVASI. Fredinan Yulianda, 2010

C. BIDANG KEHUTANAN SUB SUB BIDANG SUB BIDANG URAIAN

C. BIDANG KEHUTANAN SUB SUB BIDANG SUB BIDANG URAIAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM

SMP NEGERI 3 MENGGALA

BAB VI PERSEPSI MASYARAKAT SEKITAR HUTAN TERHADAP PHBM

Berikut beberapa penyebab kepunahan hewan dan tumbuhan: 1. Bencana Alam

PERLINDUNGAN KEANEKARAGAMAN HAYATI

KEANEKARAGAMAN HAYATI (BIODIVERSITY) SEBAGAI ELEMEN KUNCI EKOSISTEM KOTA HIJAU

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

ALAM. Kawasan Suaka Alam: Kawasan Pelestarian Alam : 1. Cagar Alam. 2. Suaka Margasatwa

BAB I PENDAHULUAN. hidup Indonesia terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat. Kaedah

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Undang-Undang Kehutanan Nomor 41 tahun 1999, hutan adalah

Keputusan Menteri Kehutanan No. 31 Tahun 2001 Tentang : Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan

I PENDAHULUAN. masyarakat serta desakan otonomi daerah, menjadikan tuntutan dan akses masyarakat

BAB 2 Perencanaan Kinerja

Transkripsi:

PROGRAM PHBM DI SEKITAR KAWASAN KONSERVASI. LAYAKKAH DIPERTAHANKAN??? (Studi kasus di kawasan TN Alas Purwo) Oleh : Bagyo Kristiono, SP. /Polhut Pelaksana Lanjutan A. PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat) PHBM adalah suatu sistem pengelolaan sumberdaya hutan yang dilakukan bersama oleh Perum Perhutani dan Masyarakat Desa Hutan maupun dengan Pihak lain yang berkepentingan (stakeholder) dengan jiwa berbagi sehingga kepentingan bersama untuk mencapai keberlanjutan fungsi dan manfaat sumberdaya hutan dapat diwujudkan secara optimal dan proporsional. PHBM merupakan gagasan baru yang ditawarkan dan diyakini sebagai bagian dari transformasi perhutanan sosial yang didesain dengan pola yang berbeda dengan pola sebelumnya. Berikut ini sketsa transformasi perhutanan sosial, desain subtansi dan implementasi PHBM secara normatif-ideal sebagaimana didengung-dengungkan selama ini. Dasar implementasi PHBM pada awalnya adalah SK Dewan Pengawas Perum Perhutani No. 136/KPTS/DIR/2001 tentang Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat (PHBM). Setelah beberapa tahun berjalan SK tersebut diganti dengan surat keputusan baru untuk memperbaiki implementasi PHBM. Pertama adalah SK Direksi Perum Perhutani No. 268/KPTS/DIR/2007 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) Plus. Dan yang paling baru adalah SK Direksi Perum Perhutani No. 682/KPTS/Dir/2009 tentang Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat (PHBM). Pada mekanisme penerapan PHBM sebagai sebuah model tata pengurusan hutan ( forestry governance model) terdapat pilar-pilar penting di dalamnya yaitu : kelembagaan masyarakat, mekanisme kerjasama dalam bingkai kemitraan dan manajemen konflik. Pada pilar kelembagaan masyarakat, beradanya Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) kemudian ditempatkan sebagai keharusan dalam konteks pihak kelembagaan yang menjadi mitra utama pada implementasi PHBM. LMDH sendiri didesain mempunyai aturan main yang dituangkan dalam Anggaran Dasar (AD) dan

Anggaran Rumah Tangga (ART) sebagai mekanisme penyeleng garaan lembaga baik secara internal maupun dalam konteks keperluan eksternal dengan Perhutani atau pihak lain. Dari sini, Semestinya dapat dikatakan bahwa kedudukan LMDH adalah independen dan semata-mata merupakan representasi kepentingan MDH yang bersangkutan. Program PHBM menurut masyarakat telah memberikan manfaat berupa: 1. Penyerapan tenaga kerja di desa sekitar hutan. 2. Memberi kesempatan berusaha di sektor industri, perdagangan, pertanian, peternakan, perkebunan, perikanan dan jasa. 3. Bagi hasil dari produksi hutan berupa kayu dan non kayu. 4. Pendapatan dari produksi tanaman pangan kegiatan tumpangsari di lahan hutan seperti padi, jagung, kacang-kacangan. Dalam konteks perjalanan panjang riwayat eksploitasi tersebut, tentulah mengemuka persepsi dan penilaian yang pada umumnya berada pada rentang garis kesimpulan bahwa pengelolaan hutan bebasis negara (state based forest management) tidak memberikan dampak yang berarti terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat setempat yaitu masyarakat yang hidup di dalam atau di sekitar kawasan hutan negara yang pemenuhan kebutuhan hidupnya memang harus tergantung dari sumberdaya hutan. Gambar : Kawasan PHBM yang berbatasan dengan kawasan TN (kiri) dan lahan pertanian PHBM yang ditanami tanaman semusim (kanan/dari foto udara)

B. Kawasan Konservasi Kawasan konservasi merupakan kawasan yang dilindungi dengan fungsi pokok konservasi biodiversitas dalam lingkungan alaminya atau sebagai konservasi in situ, yaitu konservasi ekosistem dan habitat alami serta pemeliharaan dan pemulihan populasi spesies-spesies dalam lingkungan alaminya. Isu penting konservasi biodiversitas adalah mempertahankan integritas ekologis kawasan (UU No 5 / 1990). Biodiversitas disini menjelaskan tentang keanekaragaman hayati baik flora dan fauna. Perlindungan terhadap keutuhan kawasan konservasi dan biodiversitas yang terkandung di dalamnya merupakan salah satu kegiatan konservasi yang bertujuan untuk menjaga keaslian biodiversitas dalam rangka mempertahankan fungsi dan peranan taman nasional dalam rangka pencapaian tujuan pembangunan kawasan konservasi. Gambar : Hutan bambu (Kiri atas), satwa Rusa (kanan atas) dan hutan hujan dataran rendah (bawah) di kawasan Taman Nasional Alas Purwo Idealnya setelah kawasan konservasi sebelum berbatasan dengan kawasan hutan produksi harus ada kawasan penyangga-nya. kawasan penyangga adalah daerah tertentu yg menjadi penyangga daerah lain untuk pelestarian

lingkungan. Kawasan penyangga ini berfungsi untuk menyaring segala sesuatu yang akan masuk ke dalam kawasan konservasi yang dapat merusak keutuhan kawasan konservasi. Taman nasional Alas Purwo merupakan kawasan konservasi yang berupa dulunya adalah Suaka Margasatwa Banyuwangi Selatan. Perubahan fungsi kawasan dari suaka margasatwa menjadi taman nasional didasarkan atas surat penunjukan Menteri Kehutanan nomor: 283/Kpts-II/1992 dengan luasan 43.420 ha. Keterwakilan ekosistem peralihan antara hutan hujan dataran rendah dan hutan musim merupakan alasan dalam perubahan fungsi kawasan, selain adanya flag spesies yaitu Macan Tutul (Panthera pardus) dan Banteng (Bos javanicus) serta daya tarik wisata alam yang dimilikinya. Secara administrasi TNAP berada di Desa Kalipait Kecamatan Tegaldimo, Kabupaten Banyuwangi. Landscape Taman Nasional Alas Purwo terdiri dari daerah pantai (perairan, daratan dan rawa), daerah daratan hingga daerah perbukitan dengan ketinggian mulai 0 322 meter dpl. Daerah pantai di Taman Nasional Alas Purwo melingkar mulai dari Segoro Anak hingga daerah Muncar dengan panjang garis pantai sekitar 105 km. Berbagai kondisi landscape yang ada di dalam kawasan telah menjadikan kawasan taman nasional kaya akan formasi vegetasi, mulai dari formasi hutan mangrove, formasi hutan pantai hingga hutan hujan dataran rendah. Tipe vegetasi yang ada berdasarkan proses terjadinya (khusus tipe vegetasi buatan) di Taman Nasional Alas Purwo terdapat dua tipe vegetasi buatan yaitu: Hutan Tanaman dan Padang Penggembalaan Sadengan. Dengan banyaknya tipe vegetasi yang ada telah memberikan implikasi pada tingginya keanekaragaman spesies yang ada baik flora maupun faunanya. C. Permasalahan yang mungkin timbul Dari dua gambaran tentang PHBM dan Kawasan Konservasi diatas adalah dua hal yang mempunyai kepentingan yang berbeda. Disatu sisi (PHBM) diperlukan untuk kepentingan sosial ekonomi masyarakat dan disisi lainnya (Kawasan konservasi) diperlukan untuk kepentingan ekologi. Apabila dua hal tersebut diperdebatkan yaitu antara sosial ekonomi masyarakat dan ekologi tidak akan pernah ada titik temu. Masyarakat sekitar membutuhkan

lahan untuk kebutuhan ekonomi mereka dengan ditanami tanaman pertanian sedangkan kawasan konservasi sebagai benteng bagi biodiversity yang ada di dalamnya. Sebagai contoh di kawasan Taman Nasional Alas Purwo yang berbatasan langsung dengan kawasan hutan Produksi Perum Perhutani Banyuwangi Selatan. Di kawasan hutan produksi yang dikerjasamakan dengan masyarakat dalam program PHBM ada beberapa kawasan yang berbatasan langsung dengan kawasan zona Rimba, zona Tradisional dan zona Rehabilitasi TNAP. Berikut ini adalah beberapa permasalahan yang mungkin bisa timbul akibat adanya kegiatan PHBM tersebut : 1. Konflik satwa liar. Konflik satwa liar dengan pesanggem sangat mungkin terjadi, karena PHBM melakukan sistem penanaman tumpangsari dengan tanaman pertanian berupa padi, jagung, serta kacang-kacangan. Gambar : Tanaman kacang tanah yang ditanam pesanggem Tananam tersebut adalah jenis tanaman yang sangat disukai oleh satwa. Satwa dari dalam hutan akan keluar apabila di sekitar hutan ada sumber pakan yang lebih banyak dan tersedia. Satwa yang keluar tersebut oleh para pesanggem PHBM dianggap sebagai hama sehingga perlu penanganan. Adapun jenis satwa yang sering keluar adalah kera ekor panjang, babi hutan dan rusa. Bahkan babi hutan dan kera sering masuk sampai ke persawahan desa, sehingga mengganggu aktivitas warga dan pernah ada warga yang diserang oleh satwa tersebut. Untuk menangani hal tersebut pihak taman nasional bekerjasama dengan instansi terkait berusaha menghimbau masyarakat untuk tidak melakukan tindakan yang

membahayakan bagi satwa liar dan melakukan penggiringan satwa kembali ke dalam hutan. 2. Perburuan Liar. Karena banyaknya satwa yang keluar dari kawasan hutan, menarik minat bagi para pemburu liar untuk melakukan aktivitasnya, karena dianggap sudah diluar kawasan hutan konservasi. Dari beberapa pengalaman yang terjadi ada beberapa modus perburuan antara lain pemasangan jerat satwa dan menggunakan senjata api. 3. Perambahan kawasan Perambahan kawasan adalah hal yang paling rawan dilakukan oleh pesanggem PHBM. Motivasi mereka adalah untuk mendapatkan lahan yang lebih luas sehingga akan memperoleh hasil yang lebih banyak. Apalagi biasanya kawasan taman nasional belum melakukan pemasangan pal batas kawasan. Para pesanggem biasanya berdalih bahwa mereka masih belum tahu batas-batas kawasan taman nasional alas purwo. oleh karena itu kegiatan pemeliharaan pal batas dan lorong batas kawasan sangat perlu dilakukan secara rutin untuk mengantisipasi hal tersebut. 4. Pemindahan/perusakan patok batas kawasan. Untuk melancarkan aksi perluasan lahan, salah satu cara bagi para pesanggem adalah memindahkan pal batas kawasan konservasi atau merusak dan menghilangkan pal tersebut. Dengan demikian mereka bisa berdalih bahwa kawasan tersebut belum masuk ke dalam kawasan taman nasional sehingga mereka bisa bebas mengerjakannya. Upaya yang dilakukan taman nasional untuk mengantisipasi hal tersebut adalah pembuatan pal batas yang lebih kuat dan sering dilakukan pengecekan pal batas tersebut. 5. Penebangan liar. Karena para pesanggem biasanya membuat gubuk di lokasi lahan garapan mereka di hutan produksi yang dikerjasamakan dengan masyarakat, mereka lebih mudah mengamati gerakan dan kebiasaan petugas taman nasional. Pada saat-saat tertentu mereka memanfaatkan kelengahan petugas taman nasional untuk melakukan kegiatan penebangan liar. Ada juga mereka hanya memberikan informasi pelanggar agar memudahkan

pelanggar melakukan tindak pidana kehutanan baik penebangan liar maupun perburuan liar. Gambar : Tunggak bekas penebangan liar di kawasan taman nasional. 6. Kebakaran Hutan. Kebakaran hutan adalah hal yang paling sering terjadi terutama pada saat menjelang musim penghujan. Biasanya kebakaran hutan terjadi pada saat pesanggem membuka lahan mereka. Mereka membersihkan lahan dengan cara membakar karena dianggap lebih cepat dan murah. Mereka membakar dengan cara mereka sendiri tanpa mengikuti aturan yang ada sehingga lahan yang mereka bakar kadang tidak terkendali sehingga merembet ke dalam kawasan hutan taman nasional. Untuk itu upaya penyuluhan dan penyadaran masyarakat harus terus-menerus dilakukan selain dengan pemeliharaan sekat bakar guna mengantisipasi kebakaran hutan ke dalam kawasan Taman Nasional Alas Purwo. Gambar : Kebakaran hutan di zona Rimba akibat rembetan dari hutan produksi

D. Penutup Dari gambaran di atas dapat disimpulkan bahwa penerapan program PHBM hutan produksi oleh masyarakat pesanggem yang berbatasan dengan kawasan konservasi dalam hal ini Taman Nasional Alas Purwo terdapat dua dampak yang bisa ditimbulkan. Dampak baiknya adalah bisa mendatangkan manfaat ekonomi bagi masyarakat sekitar hutan yang mengelola lahan hutan produksi yang ditumpangsarikan dengan tanaman pertanian. Sedangkan dampak negatifnya juga tidak kalah banyak mulai dari adanya konflik satwa dengan masyarakat, perambahan kawasan, perburuan liar, penebangan liar sampai kebakaran hutan. Dampak ekonomi dibandingkan dengan dampak ekologi memang tidak bisa dibandingkan. Dan keduanya tidak bisa diperdebatkan, apabila hal tersebut terjadi maka akan sulit dicarikan titik temunya. Akan tetapi menurut pandangan penulis alangkah lebih bijaksananya apabila kegiatan PHBM tidak dilakukan di lahan yang berbatasan langsung dengan kawasan konservasi, sehingga keutuhan ekologi kawasan konservasi bisa dijaga untuk diwariskan kepada anak cucu kita.