I. PENDAHULUAN Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
INDEKS TENDENSI BISNIS DAN INDEKS TENDENSI KONSUMEN TRIWULAN I-2013

4 GAMBARAN UMUM. No Jenis Penerimaan

5. PROFIL KINERJA FISKAL, PEREKONOMIAN, DAN KEMISKINAN SEKTORAL DAERAH DI INDONESIA

PEMETAAN DAN KAJIAN CEPAT

INDEKS TENDENSI KONSUMEN

WORKSHOP (MOBILITAS PESERTA DIDIK)

INDONESIA Percentage below / above median

BAB I PENDAHULUAN. suatu negara. Hubungan keduanya dijelaskan dalam Hukum Okun yang menunjukkan

POTRET PENDIDIKAN PROVINSI JAWA TENGAH (Indikator Makro)

INDEKS TENDENSI KONSUMEN PROVINSI LAMPUNG TRIWULAN I-2016 DAN PERKIRAAN TRIWULAN II-2016

HASIL Ujian Nasional SMP - Sederajat. Tahun Ajaran 2013/2014

INDEKS TENDENSI KONSUMEN PROVINSI LAMPUNG TRIWULAN III-2015 DAN PERKIRAAN TRIWULAN IV-2015

INDEKS TENDENSI BISNIS DAN INDEKS TENDENSI KONSUMEN TRIWULAN I-2015

IPM KABUPATEN BANGKA: CAPAIAN DAN TANTANGAN PAN BUDI MARWOTO BAPPEDA BANGKA 2014

Assalamu alaikum Wr. Wb.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pembangunan ekonomi dapat diartikan sebagai suatu proses yang

BAB I PENDAHULUAN. Sejak tahun 1970-an telah terjadi perubahan menuju desentralisasi di antara negaranegara,

Analisis Hasil Ujian Nasional Madrasah Tsanawiyah Tahun 2008

NAMA, LOKASI, ESELONISASI, KEDUDUKAN, DAN WILAYAH KERJA

Besarnya Penduduk yang Tidak Bekerja Sama-sekali: Hasil Survey Terkini

BAB 1 PENDAHULUAN. sumber daya alam tidak diragukan lagi Indonesia memiliki kekayaan alam yang

INDEKS TENDENSI KONSUMEN (ITK) PROVINSI PAPUA TRIWULAN IV-2016

POTRET PENDIDIKAN PROVINSI SULAWESI BARAT (Indikator Makro)

NAMA, LOKASI, ESELONISASI, KEDUDUKAN, DAN WILAYAH KERJA. No Nama UPT Lokasi Eselon Kedudukan Wilayah Kerja. Bandung II.b DITJEN BINA LATTAS

VIII. PROSPEK PERMINTAAN PRODUK IKAN

Memahami Arti Penting Mempelajari Studi Implementasi Kebijakan Publik

POTRET KEMISKINAN DAN PENGANGGURAN DI PROVINSI KALIMANTAN TENGAH

INDEKS TENDENSI KONSUMEN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA TRIWULAN II TAHUN 2014 SEBESAR 114,56

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang Masalah. Pembangunan adalah kenyataan fisik sekaligus keadaan mental (state

INDEKS TENDENSI KONSUMEN (ITK) PROVINSI PAPUA TRIWULAN I-2017

POTRET PENDIDIKAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU (Indikator Makro)

BAB I PENDAHULUAN. Masalah kemiskinan menjadi persoalan serius yang di hadapi oleh banyak

INDEKS KEBAHAGIAAN KALIMANTAN SELATAN TAHUN 2017

MENTERI PEKERJAAN UMUM REPUBLIK INDONESIA

Info Singkat Kemiskinan dan Penanggulangan Kemiskinan

INDEKS TENDENSI KONSUMEN PROVINSI LAMPUNG TRIWULAN II-2017 DAN PERKIRAAN TRIWULAN III-2017

Evaluasi Kegiatan TA 2016 dan Rancangan Kegiatan TA 2017 Ditjen Prasarana dan Sarana Pertanian *)

INDEK KOMPETENSI SEKOLAH SMA/MA (Daya Serap UN Murni 2014)

INDEKS TENDENSI KONSUMEN PROVINSI LAMPUNG TRIWULAN I-2017 DAN PERKIRAAN TRIWULAN II-2017

BAB I PENDAHULUAN. Selama awal perkembangan literatur pembagunan, kesuksesan

BAB I PENDAHULUAN. Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Luas keseluruhan dari pulau-pulau di

BERITA RESMI STATISTIK

Tingkat Kemakmuran dan Keadilan Masyarakat: Perbandingan Antar Propinsi

Pemanfaatan Hasil Ujian Nasional MTs untuk Perbaikan Akses dan Mutu Pendidikan

C UN MURNI Tahun

BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT

INDEKS TENDENSI KONSUMEN (ITK) PROVINSI PAPUA TRIWULAN I-2016

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK MALUKU UTARA SEPTEMBER 2016

INDEKS TENDENSI KONSUMEN PROVINSI LAMPUNG TRIWULAN IV-2016 DAN PERKIRAAN TRIWULAN I-2017

DISTRIBUSI PROVINSI DI INDONESIA MENURUT DERAJAT KETAHANAN PANGAN RUMAH TANGGA

PENDATAAN RUMAH TANGGA MISKIN DI WILAYAH PESISIR/NELAYAN

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Penanaman modal atau investasi merupakan langkah awal kegiatan

BAB IV GAMBARAN UMUM PENELITIAN

VI. ARAH PENGEMBANGAN PERTANIAN BEDASARKAN KESESUAIAN LAHAN

Pertumbuhan Tak-Berkualitas

Analisis Hasil Ujian Nasional Madrasah Aliyah Negeri Tahun 2008

INDEKS TENDENSI KONSUMEN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA TRIWULAN I TAHUN 2014 SEBESAR 118,18

INDEKS TENDENSI KONSUMEN (ITK) PROVINSI BENGKULU TRIWULAN I TAHUN 2016 SEBESAR 100,57

INDEKS TENDENSI KONSUMEN PROVINSI LAMPUNG TRIWULAN II-2016 DAN PERKIRAAN TRIWULAN III-2016

KESEHATAN ANAK. Website:

DAFTAR ISI BUKU III RPJMN TAHUN PEMBANGUNAN BERDIMENSI KEWILAYAHAN : MEMPERKUAT SINERGI ANTARA PUSAT-DAERAH DAN ANTARDAERAH

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Laksono Trisnantoro Ketua Departemen Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada

PANDUAN PENGGUNAAN Aplikasi SIM Persampahan

BERITA RESMI STATISTIK

BAB 4 ANALISIS DAN PEMBAHASAN

PENGUATAN KEBIJAKAN SOSIAL DALAM RENCANA KERJA PEMERINTAH (RKP) 2011

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK SUMATERA UTARA SEPTEMBER 2016 MENURUN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Ketenagakerjaan merupakan masalah yang selalu menjadi perhatian utama

POTRET PENDIDIKAN PROVINSI JAWA TIMUR (Indikator Makro)

PERKEMBANGAN KETENAGAKERJAAN & KESEJAHTERAAN MASYARAKAT

BADAN PUSAT STATISTIK

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK MALUKU SEPTEMBER 2016 MENURUN

KINERJA TATA KELOLA PROVINSI SULTENG

DESKRIPTIF STATISTIK RA/BA/TA DAN MADRASAH

TABEL 1 LAJU PERTUMBUHAN PDRB MENURUT LAPANGAN USAHA (Persentase) Triw I 2011 Triw II Semester I 2011 LAPANGAN USAHA

BPS PROVINSI SUMATERA SELATAN

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) PROVINSI PAPUA 2015

PAGU SATUAN KERJA DITJEN BINA MARGA 2012

KINERJA TATA KELOLA PROVINSI SULAWESI SELATAN

KINERJA TATA KELOLA PROVINSI SUMATERA SELATAN

Propinsi Kelas 1 Kelas 2 Jumlah Sumut Sumbar Jambi Bengkulu Lampung

INDEKS TENDENSI KONSUMEN PROVINSI LAMPUNG TRIWULAN III-2016 DAN PERKIRAAN TRIWULAN IV-2016

DINAMIKA PDB SEKTOR PERTANIAN DAN PENDAPATAN PETANI

LAPORAN QUICK COUNT PEMILU LEGISLATIF

BAB I PENDAHULUAN. dihadapi oleh negara-negara berkembang adalah disparitas (ketimpangan)

PETA KEMAMPUAN KEUANGAN PROVINSI DALAM ERA OTONOMI DAERAH:

DESKRIPTIF STATISTIK PONDOK PESANTREN DAN MADRASAH DINIYAH

INDEKS TENDENSI KONSUMEN (ITK) PROVINSI BENGKULU TRIWULAN IV TAHUN 2015

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Penekanan pada kenaikan pendapatan per kapita atau Gross National

Indonesia Economy : Challenge and Opportunity

TUAN RUMAH KEJURNAS ANTAR PPLP TAHUN 2016

PERKEMBANGAN PELAKSANAAN PROGRAM DAN KEGIATAN UPSUS PENINGKATAN PRODUKSI PADI, JAGUNG, DAN KEDELAI TAHUN 2015

Tingkat Kemakmuran dan Keadilan Masyarakat Indonesia: Perbandingan Antar Propinsi

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN

PEMBIAYAAN KESEHATAN. Website:

KINERJA TATA KELOLA PROVINSI BALI

MENATA ULANG INDONESIA Menuju Negara Sejahtera

STATISTIK KETAHANAN PANGAN TAHUN 2013

PERTUMBUHAN, KEMISKINAN, DAN DISTRIBUSI PENDAPATAN

Transkripsi:

1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengangguran merupakan salah satu permasalahan yang sering terjadi di berbagai negara dan sering mendapat perhatian khusus baik dari pengambil kebijakan maupun akademisi. Pengangguran yang tidak teratasi akan menjadi beban bagi perekonomian (Amarullah 2008). Di samping itu, pengangguran juga menunjukkan masalah ketidakefisienan dalam penggunaan faktor-faktor produksi sehingga implikasinya adalah tingkat kemakmuran masyarakat tidak mencapai potensinya yang maksimal. Pengangguran dapat digunakan sebagai salah satu ukuran dalam menilai sebuah kinerja pemerintahan. Oleh karena itu, pengurangan pengangguran biasanya menjadi target utama kebijakan perekonomian. Pada umumnya, tingkat pengangguran Indonesia terus mengalami peningkatan. Rata-rata tingkat pengangguran pada periode 1984-1991 adalah sebesar 2,42 persen, periode 1992-1999 sebesar 4,83 persen, sementara periode 2000-2008 mencapai 9,08 persen. Dengan demikian terjadi perubahan rata-rata tingkat pengangguran di antara ketiga periode tersebut (Gambar 1). 12,00 10,00 8,00 6,00 4,00 2,00 0,00 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 Pengangguran Rata-Rata Pengangguran Sumber: Sakernas (1984-2008), diolah Gambar 1 Tingkat Pengangguran dan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia

2 Fenomena meningkatnya pengangguran secara nasional merupakan konsekuensi dari adanya pengangguran di tingkat provinsi. Salah satu masalah pengangguran dari dimensi regional adalah perbedaan tingkat pengangguran antarprovinsi yang cenderung semakin melebar dan divergen. Gambar 2 menunjukkan bahwa tingkat pengangguran provinsi-provinsi menunjukkan kondisi yang cukup heterogen. Pada tahun 2008 Jakarta memiliki tingkat pengangguran sebesar 12,16 persen, kemudian Sumatera Barat memiliki tingkat pengangguran yang mencapai 8,04 persen. Sementara, provinsi Papua hanya mencapai 5,18 persen. Dari 26 provinsi, tujuh provinsi di antaranya memiliki tingkat pengangguran yang melebihi tingkat pengangguran nasional. Mayoritas (lima provinsi) terletak di Kawasan Barat Indonesia (KBI), sementara provinsi lainnya terletak di Kawasan Timur Indonesia (KTI). Pada tahun tersebut, provinsi dengan tingkat pengangguran tertinggi adalah Jawa Barat (12,66 persen) sedangkan yang terendah adalah Bali (3,31 persen). Dengan demikian selisih nilai antara kedua provinsi tersebut adalah sebesar 9,35 persen. Nilai tersebut cenderung meningkat, mengingat pada tahun 1984 persen selisih nilai tersebut hanya 6,53 persen. Data ini menunjukkan bahwa jarak tingkat pengangguran antarprovinsi semakin besar. 14 12 10 Persen 8 6 4 2 0 1984 2008 Selisih Sumber: BPS (1984-2008), diolah Gambar 2 Tingkat Pengangguran Antarprovinsi Tahun 1984 dan 2008

3 Dispersi tingkat pengangguran antarprovinsi juga ditunjukkan dengan nilai standar deviasi yang cenderung terus meningkat. Pada periode 1984-2008 nilai dari standar deviasi cenderung meningkat dari tahun ke tahun, walaupun sempat mengalami penurunan pada beberapa titik waktu. Nilai tersebut berkisar antara 1,23 (tahun 1984) dan 3,34 (Tahun 1984) dengan rata-rata tingkat deviasi sebesar 2,12. Adanya perbedaan pengangguran antarprovinsi menunjukkan beragamnya kinerja pasar tenaga kerja regional. Secara nasional kemampuan penyerapan tenaga kerja cenderung menurun, walaupun mengalami peningkatan pada periode 2006 hingga 2008. Apabila dibandingkan dengan agregat nasional, Pulau Maluku, Jawa dan Sulawesi memiliki tingkat penyerapan tenaga kerja yang lebih rendah (Gambar 3). Hal ini menunjukkan bahwa proses pembangunan antarwilayah relatif kurang merata. Persen 100 98 96 94 92 90 88 86 84 Sumber: BPS (2008), diolah 82 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 Nasional Sumatra Jawa Bali Nusa Tenggara Sumber: BPS (1992-2008), diolah Gambar 3 Tingkat Penyerapan Tenaga Kerja Antarpulau, 1992-2008 Permasalahan kedua dari dimensi regional adalah tingkat pengangguran provinsi menunjukkan kecenderungan yang meningkat. Gambar 4 menunjukkan bahwa semua provinsi mengalami peningkatan pengangguran. Sejak tahun 2006 tingkat pengangguran mengalami penurunan, namun jika dibandingkan dengan periode sebelumnya maka tingkat pengangguran provinsi pada periode 2008 belum bisa kembali pada periode 1984. Data menunjukkan bahwa pengangguran cenderung semakin meningkat dan sulit untuk mengalami penurunan. Gejala demikian disebut pengangguran yang persisten (InterCAFE 2008).

4 2008 Tingkat Pengangguran Propinsi (Persen) 14,00 Jabar 12,00 Kaltim 10,00 NAD Sulut Maluku Sumut 8,00 Sulsel Lampung Sumbar Sumsel 6,00 NTB Kalsel Sulteng KalbarJambi Papua 4,00 Kalteng NTT Bali 2,00 Jakarta 0,00 0,00 1,00 2,00 3,00 4,00 5,00 6,00 7,00 8,00 1984 Sumber: BPS (1984-2008), diolah Gambar 4 Distribusi Tingkat Pengangguran Provinsi 1984 dan 2008 Persistensi pada level regional telah menjadi fenomena di berbagai belahan dunia, tak terkecuali di Indonesia. Chuang dan Lai (2007), pada periode 1987-2004 menyatakan bahwa tingkat pengangguran diantara 23 kota di Taiwan menunjukkan heterogenitas yang tinggi dan cenderung persisten sepanjang waktu. Wu (2007) juga mengidentifikasi persistensi regional di berbagai wilayah di China. 1.2. Perumusan Masalah Masalah ketenagakerjaan yang terkait pengangguran di Indonesia merupakan salah satu masalah makroekonomi yang utama. Dilihat dari dimensi regional beberapa permasalahan pengangguran adalah pertama, tidak adanya konvergensi dan kedua, tingkat pengangguran provinsi menunjukkan kecenderungan yang meningkat pada rentang waktu tersebut. Dalam penelitian ini hanya permasalahan kedua yang akan dianalisis yaitu kondisi pengangguran provinsi yang persisten. Pengangguran memberikan dampak negatif tidak hanya terhadap perekonomian namun juga sosial. Pertama, pengangguran menunjukkan permasalahan ketidakefisienan. Apabila terdapat pengangguran yang persistensi di tingkat regional, maka tingkat

5 pendapatan regional aktual lebih rendah daripada tingkat pendapatan potensialnya. Keadaaan ini berarti tingkat kemakmuran yang dinikmati masyarakat lebih rendah daripada tingkat kemakmuran yang mungkin dicapainya. Kedua, mengurangi persistensi pengangguran ini berarti mengurangi dampak negatif berkaitan dengan geographical concentrations of unemployment. Daerah yang mempunyai tingkat pengangguran yang persisten cenderung memiliki demand terhadap barang dan jasa lokal yang rendah dalam jangka panjang. Ketiga, di samping akibat buruk yang bersifat ekonomi, pengangguran menimbulkan pula biaya sosial. Terhadap individu, pengalaman menganggur akan mempengaruhi prospek seseorang dalam kesempatan kerja yang akan datang (the scarring theory of unemployment). Semakin lama seseorang menganggur akan semakin berdampak pada perkembangan karirnya seperti kemampuan yang semakin berkurang serta semakin tingginya peluang untuk memperoleh pekerjaan dengan pendapatan yang cenderung kurang stabil. Di samping itu, pengangguran yang semakin sulit untuk diatasi ditengarai sebagai pemicu masalah sosial ekonomi masyarakat, sehingga dapat menghambat pembangunan dalam jangka panjang. Studi terdahulu menunjukkan bahwa semakin tinggi angka pengangguran, probabilitas meningkatnya kemiskinan, kriminalitas dan fenomena sosial-ekonomi politik lainnya semakin tinggi. Persistensi pengangguran regional akan membawa konsekuensi pada semakin tingginya beban terhadap perekonomian. Tingkat pengangguran yang tidak teratasi pada level provinsi akan membawa konsekuensi pada semakin tingginya tingkat pengangguran nasional. Dengan demikian dibutuhkan penelitian mengenai faktor-faktor penyebab pengangguran yang mengacu pada tingkat regional. Berdasarkan latar belakang di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Apakah benar terjadi persistensi pengangguran provinsi di Indonesia? 2. Faktor-faktor apa yang menjadi sumber pengangguran provinsi di Indonesia?

6 1.3. Tujuan Penelitian Sejalan dengan latar belakang dan permasalahan di atas, tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah : 1. Mengidentifikasi keberadaan persistensi di tingkat provinsi di Indonesia. 2. Mengidentifikasi sumber penyebab pengangguran pada level provinsi di Indonesia. 1.4. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan mampu menjawab permasalahan persistensi pengangguran pada level provinsi, karena pengangguran yang tidak teratasi pada level ini akan berimplikasi pada semakin tingginya tingkat pengangguran agregat. Dengan demikian secara umum penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi: 1. Pemerintah: Sebagai acuan dalam mengatasi permasalahan pengangguran pada level regional berdasarkan perumusan strategi maupun langkah kebijakan. Kebijakan yang diambil bisa berbeda antarprovinsi disesuaikan dengan karakter masing-masing daerah. 2. Akademisi: Sebagai referensi dalam menggali lebih dalam mengenai pengangguran. 3. Masyarakat: Memperluas wawasan serta cakrawala berpikir dalam memahami kondisi pengangguran. 1.5. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini mencakup 26 provinsi di Indonesia. Hal ini disebabkan karena ketersediaan data yang tidak memungkinkan untuk mencakup provinsi-provinsi baru. Keterwakilan tiap-tiap provinsi di seluruh pulau diharapkan dapat merepresentasikan persistensi pengangguran regional di Indonesia. Di samping itu, penelitian ini tidak mengidentifikasi persistensi untuk tiap-tiap provinsi di Indonesia.