I. PENDAHULUAN. dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Pemidanaan

dokumen-dokumen yang mirip
PENDAHULUAN. penyalahgunaan, tetapi juga berdampak sosial, ekonomi dan keamanan nasional,

TINJAUAN PUSTAKA. Upaya penanggulangan tindak pidana dikenal dengan istilah kebijakan kriminal

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang,

ANALISIS YURIDIS TERHADAP PIDANA REHABILITASI SEBAGAI IMPLEMENTASI PEMBAHARUAN PIDANA BAGI PENGGUNA NARKOTIKA

I. PENDAHULUAN. peredaran gelap narkoba menyebabkan penyalahgunaan yang makin meluas dan. merupakan ancaman bagi kehidupan bangsa dan negara.

I. TINJAUAN PUSTAKA. suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis

I. PENDAHULUAN. Perdagangan orang (human traficking) terutama terhadap perempuan dan anak

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian Penahanan dapat dilihat dalam Pasal 1 butir 21 KUHAP yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan

I. PENDAHULUAN. masing-masing wilayah negara, contohnya di Indonesia. Indonesia memiliki Hukum

I. PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan nasional dapat diwujudkan dengan upaya secara terus

I. PENDAHULUAN. Fenomena penyalahgunaan dan peredaran narkotika merupakan persoalan

I. PENDAHULUAN. Pidana penjara termasuk salah satu jenis pidana yang kurang disukai, karena

BAB I PENDAHULUAN. A. Alasan Pemilihan Judul. Pidana Penjara Seumur Hidup (selanjutnya disebut pidana seumur hidup)

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah negara hukum ( rechtstaats), maka setiap orang yang

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. yaitu masalah pidana yang diancamkan terhadap pelanggaran tertentu 2. Topik

I. PENDAHULUAN. Tindak pidana pemalsuan uang mengandung nilai ketidak benaran atau palsu atas

BAB I PENDAHULUAN. nasional, tetapi sekarang sudah menjadi masalah global (dunia). Pada era

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menurut Barda Nawawi Arief, pembaharuan hukum pidana tidak

BAB I PENDAHULUAN. Setiap tahun kenakalan anak selalu terjadi. Apabila dicermati

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara hukum yang memiliki konstitusi tertinggi dalam

TINJAUAN PUSTAKA. Penegakan hukum pidana dapat menjamin kepastian hukum, ketertiban dan

I. PENDAHULUAN. penyalahgunaan, tetapi juga berdampak sosial, ekonomi dan keamanan nasional,

I. PENDAHULUAN. didasarkan pada Pasal 1 Ayat (1), Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI PENGADAAN BARANG DAN JASA. Nisa Yulianingsih 1, R.B. Sularto 2. Abstrak

I. PENDAHULUAN. Narkotika selain berpengaruh pada fisik dan psikis pengguna, juga berdampak

I. PENDAHULUAN. Pemberantasan penyalahgunaan narkotika merupakan masalah yang sangat penting,

I. PENDAHULUAN. dan lembaga penegak hukum. Dalam hal ini pengembangan pendekatan terhadap

I. PENDAHULUAN. Hukum merupakan seperangkat aturan yang diterapkan dalam rangka menjamin

I. PENDAHULUAN. karna hukum sudah ada dalam urusan manusia sebelum lahir dan masih ada

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, dan

BAB I PENDAHULUAN. Penegakan hukum pidana merupakan sebagian dari penegakan hukum di

I. PENDAHULUAN. Penyalahgunaan, perdagangan gelap narkotika merupakan permasalahan nasional,

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang siciptakan

I. PENDAHULUAN. pengobatan dan pelayanan kesehatan. Namun, dengan semakin berkembangnya zaman, narkotika

BAB II. kejahatan adalah mencakup kegiatan mencegah sebelum. Perbuatannya yang anak-anak itu lakukan sering tidak disertai pertimbangan akan

BAB I PENDAHULUAN. berinteraksi dengan masyarakat secara wajar. Istilah narkoba muncul sekitar

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Negara Indonesia sebagai negara yang berdasarkan Pancasila dan

BAB I PENDAHULUAN. langsung merugikan keuangan Negara dan mengganggu terciptanya. awalnya muncul Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang

Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, melawan

I. PENDAHULUAN. prinsip hukum acara pidana yang mengatakan peradilan dilakukan secara

I. PENDAHULUAN. harus dilindungi. Anak tidak dapat melindungi diri sendiri hak-haknya, berkepentingan untuk mengusahakan perlindungan hak-hak anak.

I. PENDAHULUAN. organisasi/perusahaan swasta, baik yang berupa surat-surat, barang-barang

BAB III ANALISA HASIL PENELITIAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Jalan, Bagian Jalan, & Pengelompokan Jalan

PELAKSANAAN SISTEM PEMIDAAN MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA ABSTRAK

I. PENDAHULUAN. Penyelenggara pemerintahan mempunyai peran penting dalam tatanan (konstelasi)

I. PENDAHULUAN. keteraturan, ketentraman dan ketertiban, tetapi juga untuk menjamin adanya

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara normal, tetapi dapat juga

I.PENDAHULUAN. Pembaharuan dan pembangunan sistem hukum nasional, termasuk dibidang hukum pidana,

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah negara berdasarkan hukum (rechtstats), bukan negara yang

I. PENDAHULUAN. kesejahteraan masyarakat. Sebagai bagian dari sistem transportasi nasional, Lalu. dalam rangka mendukung pembangunan ekonomi.

BAB I PENDAHULUAN. ketidakadilan yang dilakukan oleh hakim kepada pencari keadilan. Disparitas. hakim dalam menjatuhkan suatu putusan.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

adalah penerapan pidana yang tidak sama terhadap tindak pidana yang

BAB II PENGATURAN TERHADAP PERLINDUNGAN HUKUM PECANDU NARKOTIKA. Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtstaat) dan

I. PENDAHULUAN. Perdagangan orang (traficking) terutama terhadap perempuan merupakan pengingkaran terhadap

I. PENDAHULUAN. Hukum merupakan suatu kebutuhan yang melekat pada kehidupan sosial dalam

BAB I PENDAHULUAN. bermanfaat bagi pengobatan, tetapi jika dikonsumsi secara berlebihan atau tidak. rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan.

I. PENDAHULUAN. mengisi kemerdekaan dengan berpedoman pada tujuan bangsa yakni menciptakan

I. PENDAHULUAN. merupakan peraturan-peraturan yang harus ditaati oleh setiap masyarakat agar

BAB I PENDAHULUAN. pidana yang diancamkan terhadap pelanggaran larangan 1. Masalah pertama

I. PENDAHULUAN. pemikiran bahwa perubahan pada lingkungan dapat mempengaruhi kehidupan

I. PENDAHULUAN. untuk didapat, melainkan barang yang amat mudah didapat karena kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945

I. PENDAHULUAN. berlainan tetapi tetap saja modusnya dinilai sama. Semakin lama kejahatan di ibu

I.PENDAHULUAN. Pembaharuan dan pembangunan sistem hukum nasional, termasuk dibidang hukum pidana,

I. PENDAHULUAN. kesehatan penting untuk menunjang program kesehatan lainnya. Pada saat ini

I. PENDAHULUAN. peraturan-peraturan yang harus ditaati oleh setiap masyarakat agar keseimbangan

BAB I PENDAHULUAN. faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita

REHABILITASI MEDIS DAN SOSIAL TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA. (STUDI KASUS PUTUSAN NOMOR 22/PID.B/2014/PN.

I. PENDAHULUAN. kita mengetahui yang banyak menggunakan narkoba adalah kalangan generasi muda

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Permasalahan mengenai penggunaan Narkotika semakin hari

I. PENDAHULUAN. kemakmuran bagi rakyatnya. Namun apabila pengetahuan tidak diimbangi dengan rasa

I. PENDAHULUAN. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang sekarang diberlakukan di

BAB I PENDAHULUAN. dalam kesatuan langkah menuju tercapainya tujuan pembangunan tersebut.

I. PENDAHULUAN. dilindungi oleh Undang-Undang. Hal ini terdapat pada Pasal 28 UUD 1945 yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perbuatan menurut Simons, adalah berbuat (handelen) yang mempunyai sifat gerak aktif, tiap

I. PENDAHULUAN. nyata. Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk kejahatan juga senantiasa mengikuti perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi,

BAB I PENDAHULUAN. Adanya ketidakseimbangan antara perlindungan korban kejahatan dengan pelaku

BAB I PENDAHULUAN. hukum dan pemerintahan. Hal ini ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar

II. TINJAUAN PUSTAKA. Penegakan Hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide kepastian

I. PENDAHULUAN. bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga setiap anak berhak atas

I. PENDAHULUAN. dasar pemikiran bahwa perubahan pada lingkungan dapat mempengaruhi

Lex et Societatis, Vol. III/No. 1/Jan-Mar/2015

POLITIK HUKUM PEMERINTAH DALAM PENYUSUNAN RUU KUHP. Prof. Dr. Enny Nurbaningsih, S.H.,M.Hum. Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional

II. TINJAUAN PUSTAKA. diancam dengan pidana. Pembentuk undang-undang menggunakan perkataan

UPAYA PENEGAKAN HUKUM NARKOTIKA DI INDONESIA Oleh Putri Maha Dewi, S.H., M.H Dosen Fakultas Hukum Universitas Surakarta

I. PENDAHULUAN. juga diikuti dengan berkembangnya permasalahan yang muncul di masyarakat. Perkembangan

itu asas-asas dan dasar-dasar tata hukum MEMBANGUN SISTEM HUKUM PIDANA YANG pidana dan hukum pidana colonial MENJUNJUNG TINGGI NILAI-NILAI KEADILAN

BAB I PENDAHULUAN. kurangnya kualitas sumber daya manusia staf Lembaga Pemasyarakatan, minimnya fasilitas dalam Lembaga Pemasyarakatan.

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara hukum, hal tersebut tercermin dalam UUD

II. TINJAUAN PUSTAKA. dari hukum kolonial Belanda (Wetboek van Strafrecht) yang pada prakteknya

I. PENDAHULUAN. Anak pada dasarnya merupakan amanah Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasa

Transkripsi:

1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebijakan penanggulangan kejahatan pengedar narkotika dengan pidana penjara ditinjuau dari Pemidanaan terhadap pengedar narkotika terdapat dalam pasal-pasal dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Pemidanaan pelaku pengguna narkotika mempunyai implikasi moral yang berbeda satu sama lain. pemidanaan sebagai ganjaran negatif terhadap perilaku menyimpang yang dilakukan oleh warga masyarakat sehingga pandangan ini melihat pemindanaan hanya sebagai pembalasan terhadap kesalahan yang dilakukan atas dasar tanggung jawab moralnya masing-masing. Selain itu pemidanaan dapat bermanfaat dalam untuk mencapai situasi atau keadaan yang ingindihasilkan dengan dijatuhkannya pidana itu. Pemidanaan dimaksudkan untuk memperbaiki sikap atau tingkah laku terpidana dan di pihak lain pemidanaan itu juga dimaksudkan untuk mencegah orang lain dari kemungkinan melakukan perbuatan yang serupa. Tujuan pemidanaan adalah: a) Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat; b) Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna; c) Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat; d) Membebaskan rasa bersalah pada terpidana. 1 1 Muladi. Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana. Badan Penerbit UNDIP. Semarang. 2001. hlm. 75.

2 Tujuan pemidanaan mengandung unsur perlindungan masyarakat, pandangan rehabilitasi dan resosialisasi terpidana. pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat. Pandangan ini mengerucut pada dua kepentingan, yakni perlindungan masyarakat dan pembinaan bagi pelaku. pemidanaan mengakui asas-asas atau keadaan yang meringankan Pemidanaan,mendasarkan pada keadaan obyektif dan mempertimbangkan kebutuhan adanya pembinaan individual dari pelaku tindak pidana. Dengan kata lain tujuan pemidanaan adalah untuk mencapai manfaat untuk melindungi masyarakat dan menuju kesejahteraan masyarakat. Tujuan pemidanaan bukan merupakan pembalasan kepada pelaku di mana sanksi ditekankan pada tujuannya, yakni untuk mencegah agar orang tidak melakukan kejahatan. Berdasarkan peraturan Undang-Undang Narkotika yang ada maka diketahui bahwa pelaku tindak pidana narkoba diancam dengan pidana yang tinggi dan berat dengan dimungkinkannya terdakwa divonis maksimal yakni pidana mati selain pidana penjara dan pidana denda. Mengingat tindak pidana narkotika dan psikotropika termasuk dalam jenis tindak pidana khusus maka ancaman pidana terhadapnya dapat dijatuhkan secara kumulatif dengan menjatuhkan 2 jenis pidana pokok sekaligus, misalnya pidana penjara dan pidana denda atau pidana mati dan pidana denda. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), penjatuhan dua hukuman pokok sekaligus memang tidak dimungkinkan sehingga tidak ada hukuman yang dijatuhkan berupa pidana penjara dan pidana denda karena KUHP hanya menghendaki salah satu pidana pokok saja. Namun demikian, sebagai tindak pidana yang bersifat khusus, maka untuk tindak pidana narkoba, hakim diperbolehkan untuk menghukum terdakwa dengan dua pidana pokok sekaligus

3 yang pada umumnya berupa pidana badan (berupa pidana mati, pidana seumur hidup atau pidana penjara) dengan tujuan agar pemidanaan itu memberatkan pelakunya agar tindak pidana dapat ditanggulangi di masyarakat. Sistem pemidanaan di Indonesia pidana mati menempatkan hukuman mati sebagai hukuman yang paling berat dari sekian banyak hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana, karena hukuman ini menyangkut jiwa manusia. Pemberlakuan pidana mati selalu mengundang kontroversi. Hal tersebut tidak hanya terjadi di Indonesia, namun kontroversi ini terjadi pula di sejumlah negara Eropa yang telah membatalkan pidana mati. Beberapa pendapat menyebutkan bahwa pidana mati tidak sesuai dengan Hak Asasi Manusia. Ancaman terberat yang dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana narkotika adalah dijatuhinya pelaku dengan pidana mati. Terlepas dari berbagai kontroversi mengenai pidana mati tersebut maka haruslah dilihat terlebih dahulu mengenai relevansinya dengan nilai dan norma Pancasila. Pancasila haruslah menjiwai dan menjadi dasar seluruh tertib hukum yang ada di Indonesia. Ini berarti masalah hukum di Indonesia harus diselesaikan berdasarkan Pancasila. Salah satu masalah tersebut adalah mengenai ancaman dan pelaksanaan pidana mati. 2. Formulasi pemidanaan bagi pengedar narkotika harus sesuai dengan semangat tujuan pemidanaan dalam RUU KUHP salah satunya adalah perlindungan masyarakat (social defence) dengan rumusan mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat dan menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam 2 Satjipto Rahardjo. Bunga Rampai Permasalahan Dalam Sistem Peradilan Pidana. Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Jakarta. 1998. hlm. 78.

4 masyarakat. Penerapan tentang bagaimana kebutuhan perlindungan masyarakat ini, RUU KUHP mengatur tentang adanya penentuanpidana minimum dan maksimum dalam delik-delik tertentu. Ketentuan mengenai perumusan pidana maksimum dan minimum dalam penjelasan RUU KUHP dikenal dengan pola pemidanaan baru, yaitu minimum khusus dengan tujuan untuk menghindari adanya disparitas pidana yang sangat mencolok untuk tindak pidana yang secara hakiki tidak berbeda kualitasnya, lebih mengefektifkan pengaruh prevensi umum, khususnya bagi tindak pidana yang dipandang membahayakan dan meresahkan masyarakat. Ketentuan mengenai pidana penjara menganut asas maksimum khusus dan minimum khusus. Pada prinsipnya, pidana minimum khusus merupakan suatu pengecualian, yaitu hanya untuk tindak pidana tertentu yang dipandang sangat merugikan, membahayakan, atau meresahkan masyarakat dan untuk tindak pidana yang dikualifikasi atau diperberat oleh akibatnya. Ketentuan mengenai pidana minimum (khusus) dan maksimum menegaskan bahwa terhadap kejahatan-kejahatan yang meresahkan masyarakat diberlakukan ancaman secara khusus. Ketentuan mengenai pemidanaan dalam RUU KUHP memberikan kesempatan untuk melakukan perubahan atau penyesuaian pidana kepada narapidana. Pelaku yang dijatuhi pidana atau tindakan yang telah berkekuatan hukum tetap dapat dilakukan perubahan atau penyesuaian dengan mengingat perkembangan narapidana dan tujuan pemidanaan. Perubahan atau penyesuaian tidak boleh lebih berat dari putusan semula dan harus dengan persetujuan narapidana dan perubahan atau penyesuaian dapat berupa pencabutan atau penghentian sisa pidana atau tindakan; dan penggantian jenis pidana atau tindakan lainnya. Penjelasan ketentuan ini memberikan ketegasan bahwa tujuan

5 pemidanaan adalah berorientasi untuk pembinaan terpidana, yakni dengan menyatakan bahwa terpidana yang memenuhi syarat-syarat selalu harus dimungkinkan dilakukan perubahan atau penyesuaian atas pidananya, yang disesuaikan dengan kemajuan yang diperoleh selama terpidana dalam pembinaan. Dalam pengertian seperti ini maka yang diperhitungkan dalam perubahan atau pengurangan atas pidana hanyalah untuk kemajuan positif yang dicapai oleh terpidana dan perubahan yang akan menunjang kemajuan positif yang lebih besar lagi. Ketentuan lain yang menunjukkan bahwa pemidanaan kepada pelaku bertujuan untuk mencapai perbaikan kepada pelaku sebagai tujuan pemidanaan adalah ketentuan Pasal 60 yang menyatakan bahwa jika suatu tindak pidana diancam dengan pidana pokok secara alternatif, maka penjatuhan pidana pokok yang lebih ringan harus lebih diutamakan apabila hal itu dipandang telah sesuai dan dapat menunjang tercapainya tujuan pemidanaan. Ketentuan ini sejalan dengan ketentuan mengenai pengurangan hukuman pada masa penangkapan dan penahanan yang dalam penjelasannya dinyatakan bahwa pengurangan masa pidana bertujuan untuk menimbulkan pengaruh psikologis yang baik terhadap terpidana dalam menjalani pembinaan selanjutnya. Jenis pidana yang diatur dalam RUU KUHP terdiri dari pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana pokok terdiri atas sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 65 adalah : 1) Pidana penjara 2) Pidana tutupan 3) Pidana pengawasan; 4) Pidana denda 5) Pidana kerja sosial.

6 Sementara pidana mati merupakan pidana pokok yang bersifat khusus dan selalu diancamkan secara alternatif (Pasal 66) Jenis-jenis pidana tambahan dalam RUU KUHP adalah: a) Pencabutan hak tertentu b) Perampasan barang tertentu dan/atau tagihan; c) Pengumuman putusan hakim; d) Pembayaran ganti kerugian; e) Pemenuhan kewajiban adat setempat dan/atau kewajiban menurut hukum. 3 Jenis-jenis sanksi dan urutan jenis pidana pokok dalam RUU KUHP sangat berbeda dengan KUHP sekarang di mana dalam KUHP mengenal 5 pidana pokok dan tambahan yang mempunyai tata urutan yang juga berbeda. Tata urutan pidana pokok yang berbeda antara KUHP dengan RUU KUHP ini mengindikasikan bahwa terjadi perubahan dalam penentuan jenis-jenis sanksi pidana. Pidana mati bukan lagi menjadi pidana pokok yang pertama namun menjadi pidana yang sifatnya khusus. Demikian pula dengan pidana tutupan menjadi pidana pokok kedua setelah pidana penjara di mana dalam KUHP, pidana tutupan ini adalah pidana yang berada pada urutan kelima. Salah satu pidana pokok yang tidak lagi dicantumkan adalah pidana kurungan yang pada prinsipnya adalah sanksi pidana yang merupakan pembatasan kebebasan bergerak, sebagaimana pidana penjara, namun dijatuhkan bagi orang-orang yang telah melakukan pelanggaran. RUU KUHP yang tidak lagi mengatur tentang pelanggaran-pelanggaran sebagaimana pembedaan dalam KUHP sehingga konsekuensinya adalah tidak perlu lagi adanya pidana kurungan. 3 Barda Nawawi Arief. RUU KUHP Baru Sebuah Restrukturisasi/ Rekonstruksi Sistem Hukum Pidana Indonesia. Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Semarang. 2009. hlm.23-24

7 Pidana tambahan yang dicantumkan dalam RUU KUHP juga merumuskan pidana tambahan baru yang dinyatakan secara tegas, misalnya tentang pembayaran ganti kerugian dan pemenuhan kewajiban adat setempat dan/atau kewajiban menurut hukum yang hidup. Jika dibandingkan dengan KUHP saat ini, dua jenis pidana tambahan tersebut di atas belum dinyatakan sebagai pidana tambahan karena dalam KUHP hanya mengenal 3 jenis pidana tambahan. Berdasarkan ketentuan dalam bagian pidana RUU KUHP, sanksi pidana yang diancamkan mempunyai pembatasan yang bertujuan untuk melindungi dan memberikan upaya rehabilitasi kepada pelaku yang dijatuhi pidana. Indikator utama yang sering digunakan untuk menunjukkan bahwa terpidana dimaksudkan untuk mendapatkan pembinaan adalah dengan adanya perbaikan dari diri terpidana atau terpidana dinyatakan berkelakuan baik. Pengaturan tentang pemidanaan dalam RUU KUHP telah mengalami kemajuan di mana tujuan pemidanaan dan pedoman pemidanaan sudah dirumuskan secara jelas dan rinci sebagai bagian untuk menentukan batas pemidanaan (the limit of sentencing) dan penentuan bobot pemidanaan (the level of sentencing). Ketentuan dalam pemidanaan ini kemudian dipertegas dengan penentuan jenis-jenis sanksi yang memberikan alternatif bagi pengadilan untuk menentukan sanksi yang patut bagi pelaku berdasarkan tingkat kejahatan, kondisi pelaku dan keadaaan-keadaaan lainnya sehingga tidak ada penyamarataan (indiscriminately) atas penjatuhan pidana. 4 Tujuan pemidanaan itu baik, tetapi pada pelaksanaannya di dalam lembaga pemasyarakatan tidak sesuai dengan yang diharapkan, bahkan menimbulkan dampak negatif bagi pelaku tindak pidana, antara lain tindakan kekerasan di dalam lembaga pemasyarakatan, alasan 4 Barda Nawawi Arief. RUU KUHP Baru Sebuah Restrukturisasi/ Rekonstruksi Sistem Hukum Pidana Indonesia. Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Semarang. 2009. hlm. 24

8 hilangnya hak keperdataan seseorang (seperti hak waris), setelah keluar dari lembaga pemasyarakatan susah mencari pekerjaan, karena timbulnya stigma atau label negatif terhadap mantan narapidana. Mengingat dampak negatif yang sedemikian luas maka dicarikan upaya-upaya lain untuk menghindari pidana penjara, antara lain berupa mengefektifkan pidana denda, pidana kerja sosial dan secara khusus berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, yang kemudian dalam pelaksanaan undang-undang tersebut diatur dengan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2011 Tentang Pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu Narkotika. MPasal 103 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika mengatur bahwa hakim yang memeriksa perkara Pecandu Narkotika dapat: (a) Memutus untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika Pecandu Narkotika tersebut terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika; atau (b) Menetapkan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika Pecandu Narkotika tersebut tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika. Pidana penjara atau pencabutan kemerdekaan, meskipun masih sulit dihapuskan, juga mulai menjadi jenis sanksi yang dalam penerapannya lebih selektif. Namun masih diaturnya hukuman mati, yang banyak tersebar dalam beberapa delik, menjadi bagian yang lebih mengancam tujuan pemidanaan yang telah dirumuskan meskipun dinyatakan sebagai salah satu sanksi pidana yang khusus. Sementara itu sanksi berupa tindakan, diatur lebih maju atau lebih baik dari pengaturan tentang berbagai sanksi tindakan yang saat ini diatur dalam hukum positif Indonesia, baik dalam KUHP maupun undang-undang lainnya. Tujuan pemidanaan yang menekankan pada

9 rehabilitasi atau pembinaan terhadap terdakwa terdapat dalam beberapa ketentuan mengenai pengurangan pemidanaannya. Terhadap terpidana yang mendapatkan hukuman penjara seumur hidup, dapat memperoleh keringanan hukuman menjadi 15 tahun apabila terpidana telah menjalani hukumannya selama 10 tahun dan dengan berkelakuan baik. Pelaksanaan sanksi pidana dengan beberapa rumusan tentang diakuinya kondisi, perbuatan atau kelakuan terpidana sebetulnya menegaskan kembali bahwa tujuan pemidanaan yang hendak dianut adalah pola pemidanaan yang menghindarkan dari tujuan pemidanaan yang bersifat retributif di mana terdapat ketentuan yang menyatakan bahwa tujuan pemidanaan bukan sebagai pembalasan. Penetapan dan pelaksanaan sanksi pidana dapat dirubah jika ada perubahan perilaku terpidana ke arah yang lebih baik menjadi salah satu karakteristik bahwa tujuan pemidanaan dari segi manfaat atau kegunaannya di mana yang dilihat adalah situasi atau keadaan yang ingin dihasilkan dengan dijatuhkannya pidana itu. Berdasarkan uraian di atas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul: Analisis Yuridis Terhadap Pidana Rehabilitasi Sebagai Implementasi Pembaharuan Pidana Bagi Pengguna Narkotika (Studi Kasus pada Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang). B. Permasalahan dan Ruang Lingkup 1. Permasalahan Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Bagaimanakah pelaksanaan pidana rehabilitasi sebagai implementasi pembaharuan pidana bagi pengguna narkotika?

10 b. Apakah faktor-faktor penghambat pelaksanaan pidana rehabilitasi sebagai implementasi pembaharuan pidana bagi pengguna narkotika? 2. Ruang Lingkup Ruang lingkup ilmu penelitian adalah hukum pidana, dengan kajian mengenai pelaksanaan pidana rehabilitasi sebagai implementasi pembaharuan pidana bagi pengguna narkotika dan faktor-faktor penghambat pelaksanaan pidana rehabilitasi sebagai implementasi pembaharuan pidana bagi pengguna narkotika. Ruang lingkup wilayah penelitian ini adalah pada Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjungkarang dengan waktu penelitian yaitu tahun 2013. C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang masalah di atas, tujuan penelitian ini adalah: a. Untuk mengetahui pelaksanaan pidana rehabilitasi sebagai implementasi pembaharuan pidana bagi pengguna narkotika b. Untuk mengetahui faktor-faktor penghambat pelaksanaan pidana rehabilitasi sebagai implementasi pembaharuan pidana bagi pengguna narkotika 2. Kegunaan Penelitian Kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Kegunaan Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk memperkaya kajian ilmu hukum pidana, khususnya yang berkaitan dengan pelaksanaan pidana rehabilitasi sebagai implementasi pembaharuan pidana bagi pengguna narkotika dan faktor-faktor penghambat pelaksanaan pidana rehabilitasi

11 tersebut. Selain itu sebagai masukan bagi pembuat undang-undang dalam pengaturan mengenai rehabilitasi bagi pengguna narkotika. b. Kegunaan Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai sumbangan pemikiran bagi aparat penegak hukum dalam pelaksanaan pidana rehabilitasi sebagai implementasi pembaharuan pidana bagi pengguna narkotika yang dipandang sebagai korban kejahatan narkotika. Selain itu sebagai informasi bagi peneliti lain dan masyarakat yang membutuhkan informasi mengenai pelaksanaan pidana rehabilitasi bagi pengguna narkotika D. Kerangka Teoritis dan Konseptual 1. Kerangka Teoritis Kerangka teoritis merupakan abstraksi hasil pemikiran atau kerangka acuan atau dasar yang relevan untuk pelaksanaan suatu penelitian ilmiah, khususnya penelitian hukum 5. Berdasarkan pengertian tersebut maka kerangka teoritis yang digunakan dalam penelitian ini adalah: a. Pidana Rehabilitasi Sebagai Pembaharuan Hukum Pidana Teori pembaharuan hukum pidana dikemukakan oleh Friedrich Karl von Savigny dalam Sudarto yang menyatakabn bahwa: Law is and expression of the common consciousness or spirit of people (Hukum tidak dibuat, tetapi ia tumbuh dan berkembang bersama masyarakat). Pada semua hukum dibentuk dengan cara seperti yang dikatakan orang, hukum adat, dengan bahasa yang biasa tetapi tidak terlalu tepat, dibentuk yakni bahwa hukum itu mulai-mula dikembangkan oleh 5 Soerjono Soekanto. Pengantar Penelitian Hukum. Rineka Cipta. Jakarta. 1986. hlm.72

12 adat kebiasaan dan kepercayaan yang umum. Setiap masyararakat mengembangkan hukum kebiasaanya sendiri, karena mempunyai bahasa, adat istiadat (termasuk kepercayaan) dan konstitusi yang khas. 6 Sesuai dengan dasar teori di atas maka produk hukum dapat diketahui melalui pembuatan hukum dan fungsi utama hukum, yaitu: a) Pembuatan Hukum Hukum bukan merupakan konsep dalam masyarakat karena hukum tumbuh secara alamiah dalam pergaulan masyarakat yang mana hukum selalu berubah seiring perubahan sosial. Dengan pernyataan ini maka hukum di satu negara tidak dapat diterapkan/ dipakai oleh negara lain karena masyarakatnya berbeda-beda begitu juga dengan kebudayaan yang ada di suatu daerah sudah pasti berbeda pula, dalam hal tempat dan waktu juga berbeda. Pokok-pokok ajaran mazhab historis yang diuraikan Savigny sebagaimana dikutip Sudarto dapat disimpulkan sebagai berikut: 1) Hukum yang ditemukan tidak dibuat. Pertumbuhan hukum pada dasarnya adalah proses yang tidak disadari dan organis; oleh karena itu perundang-undangan adalah kurang penting dibandingkan dengan adat kebiasaan 2) Karena hukum berkembang dari hubungan-hubungan hukum yang mudah dipahami dalam masyarakat primitif ke hukum yang lebih kompleks dalam peradaban modern kesadaran umum tidak dapat lebih lama lagi menonjolkan dirinya secara langsung, tetapi disajikan oleh para ahli hukum yang merumuskan prinsip-prinsip hukum secara teknis. Tetapi ahli hukum tetap merupakan suatu organ dari kesadaran umum terikat pada tugas untuk memberi bentuk pada apa yang ia temukan sebagai bahan mentah. Perundang-undangan menyusul pada tingkat akhir; oleh karena ahli hukum sebagai pembuat undang-undang relatif lebih penting daripada pembuat undang-undang; 3) Undang-undang tidak dapat berlaku atau diterapkan secara universal. Setiap masyarakat mengembangkan kebiasaannya sendiri karena 6 Sudarto. Kapita Selekta Hukum Pidana. Alumni.Bandung. 1986. hlm. 7

13 mempunyai bahasa adat-istiadat dan konstitusi yang khas. Savigny menekankan bahwa bahasa dan hukum adalah sejajar juga tidak dapat diterapkan pada masyarakat lain dan daerah-daerah lain.volkgeist dapat dilihat dalam hukumnya oleh karena itu sangat penting untuk mengikuti evolusi volkgeist melalui penelitian sepanjang sejarah. 7 b) Fungsi Utama Hukum Konsep jiwa masyarakat dalam teori Savigny tentang hukum ini tidak dapat menunjukkan secara jelas bagaimana isi dan ruang lingkupnya. Sehingga amat sulit melihat fungsi dan perkembangannya sebagai sumber utama hukum menurut teori ini. Sesuai dengan teori ini maka hukum yang berlaku pada suatu masyarakat adalah hukum yang berkembang seiring dengan perkembangan yang terjadi dalam konteks kehidupan masyarakat itu sendiri. b. Teori Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum Pidana Penegakan hukum bukan semata-mata pelaksanaan perundang-undangan saja, namun terdapat juga faktor-faktor yang mempengaruhinya, yaitu sebagai berikut: 1) Faktor Perundang-undangan (Substansi hukum) Praktek menyelenggaraan penegakan hukum di lapangan seringkali terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan. Hal ini dikarenakan konsepsi keadilan merupakan suatu rumusan yang bersifat abstrak sedangkan kepastian hukum merupakan prosedur yang telah ditentukan secara normatif. Oleh karena itu suatu tindakan atau kebijakan yang tidak sepenuhnya berdasarkan hukum merupakan suatu yang dapat dibenarkan sepanjang kebijakan atau tindakan itu tidak bertentangan dengan hukum. 2) Faktor penegak hukum Salah satu kunci dari keberhasilan dalam penegakan hukum adalah mentalitas atau kepribadian dari penegak hukumnya sendiri. Dalam kerangka penegakan hukum dan implementasi penegakan hukum bahwa penegakan keadilan tanpa kebenaran adalah suatu kebejatan. Dalam rangka penegakan hukum oleh setiap lembaga penegak hukum, keadilan dan kebenaran harus dinyatakan, terasa, terlihat dan diaktualisasikan. 3) Faktor sarana dan fasilitas Sarana dan fasilitas yang mendukung mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang 7 Ibid. hlm. 9

14 memadai, keuangan yang cukup. Tanpa sarana dan fasilitas yang memadai, penegakan hukum tidak dapat berjalan dengan lancar dan penegak hukum tidak mungkin menjalankan peranan semestinya. 4) Faktor masyarakat Masyarakat mempunyai pengaruh yang kuat terhadap pelaksanaan penegakan hukum, sebab penegakan hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai dalam masyarakat. Bagian yang terpenting dalam menentukan penegak hukum adalah kesadaran hukum masyarakat. Semakin tinggi kesadaran hukum masyarakat maka akan semakin memungkinkan penegakan hukum yang baik. Semakin rendah tingkat kesadaran hukum masyarakat, maka akan semakin sukar untuk melaksanakan penegakan hukum yang baik. 5) Faktor Kebudayaan Kebudayaan Indonesia merupakan dasar dari berlakunya hukum adat. Berlakunya hukum tertulis (perundang-undangan) harus mencerminkan nilai-nilai yang menjadi dasar hukum adat. Dalam penegakan hukum, semakin banyak penyesuaian antara peraturan perundang-undangan dengan kebudayaan masyarakat, maka akan semakin mudahlah dalam menegakannya. Apabila peraturan-peraturan perundang-undangan tidak sesuai atau bertentangan dengan kebudayaan masyarakat, maka akan semakin sukar untuk melaksanakan dan menegakkan peraturan hukum. 8 2. Konseptual Konseptual adalah susunan berbagai konsep yang menjadi fokus pengamatan dalam melaksanakan penelitian 9. Batasan pengertian dari istilah yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Pembaharuan hukum pidana adalah suatu upaya untuk memperbaiki atau memperbaiki berbagai aturan hukum positif, yang secara khusus mengatur masalah pidana dan pemidanaan, dengan melakukan pembenahan dan perbaikan seperangkat aturan hukum berdasarkan tuntutan dan perkembangan kehidupan masyarakat dalam rangka mencapau tujuan pemidanaan yang 8 Soerjono Soekanto. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Rineka Cipta. Jakarta. 1986. hlm.8-11 9 Soerjono Soekanto. Pengantar Penelitian Hukum. Rineka Cipta. Jakarta. 1986. hlm.103

15 berorientasi pada upaya menciptakan menciptakan hukum pidana yang manusiawi (humanitarian criminal law) 10 b. Sistem peradilan pidana merupakan suatu jaringan (network) peradilan yang menggunakan hukum pidana sebagai sarana utamanya, baik hukum pidana materil, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana. Namun demikian kelembagaan substansial ini harus dilihat dalam kerangka atau konteks sosial. Sifatnya yang terlalu formal apabila dilandasi hanya untuk kepentingan kepastian hukum akan membawa bencana ketidakadilan. Dengan demikian demi precise justice, maka ukuran-ukuran yang bersifat materiil, yang nyata-nyata dilandasi oleh asas-asas keadilan yang bersifat umum benarbenar harus diperhatikan dalam penegakan hukum. 11 c. Pelaku tindak pidana adalah setiap orang yang melakukan perbuatan melanggar atau melawan hukum sebagaimana dirumuskan dalam undangundang. Pelaku tindak pidana harus diberi sanksi demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum 12. d. Penyalahguna narkotika adalah setiap orang yang menggunakan narkotika tanpa hak atau melawan hukum [Pasal 1 Ayat (5) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009]. e. Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa 10 Barda Nawawi Arief. Op Cit. hlm.55 11 Romli Atmasasmita. Sistem Peradilan Pidana. Binacipta. Bandung. 1996. hlm. 2 12 Satjipto Rahardjo. Bunga Rampai Permasalahan Dalam Sistem Peradilan Pidana. Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Jakarta. 1998. hlm. 82.

16 nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan (Pasal 1 Ayat 1 Undang- Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika). f. Rehabilitasi medis adalah suatu proses kegiatan pengobatan secara terpadu untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan Narkotika. (Pasal 1 Ayat 16 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika). E. Sistematika Penulisan Skripsi ini disajikan ke dalam lima bab dengan sistematika penulisan skripsi yaitu sebagai berikut: I PENDAHULUAN Bab ini berisi pendahuluan penyusunan skripsi yang terdiri dari Latar Belakang, Permasalahan dan Ruang Lingkup, Tujuan dan Kegunaan Penelitian, Kerangka Teori dan Konseptual serta Sistematika Penulisan. II TINJAUAN PUSTAKA Bab ini berisi tinjauan pustaka yang meliputi pengertian tentang pembaharuan hukum pidana, teori tujuan pemidanaan, penegakan hukum pidana, tindak pidana narkotika dan rehabilitasi. III METODE PENELITIAN Bab ini berisi metode yang digunakan dalam penelitian, terdiri dari Pendekatan Masalah, Sumber Data, Penentuan Populasi dan Sampel, Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data serta Analisis Data. IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

17 Bab ini berisi penyajian dan pembahasan data yang telah didapat dari hasil penelitian, yang terdiri dari pelaksanaan pidana rehabilitasi sebagai implementasi pembaharuan pidana bagi pengguna narkotika dan faktorfaktor yang menghmabat pelaksanaan pidana rehabilitasi sebagai implementasi pembaharuan pidana bagi pengguna narkotika. V PENUTUP Berisi kesimpulan umum yang didasarkan pada hasil analisis dan pembahasan penelitian serta berbagai saran sesuai dengan permasalahan yang ditujukan kepada pihak-pihak yang terkait dengan penelitian.