Seminar Nasional Mewujudkan Kemandirian Kesehatan Masyarakat Berbasis Preventif dan Promotif ISBN:

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Bupati dalam melaksanakan kewenangan otonomi. Dengan itu DKK. Sukoharjo menetapkan visi Masyarakat Sukoharjo Sehat Mandiri dan

BAB 1 PENDAHULUAN. kesehatan masyarakat di Indonesia dan bahkan di Asia Tenggara. World Health

HUBUNGAN FAKTOR PERILAKU DENGAN KEJADIAN DEMAM BERDARAH DENGUE DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS BOYOLALI I

SKRIPSI. Skripsi Ini Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Ijazah S1 Kesehatan Masyarakat. Disusun Oleh AGUS SAMSUDRAJAT J

BAB 1 PENDAHULUAN. Di era reformasi, paradigma sehat digunakan sebagai paradigma

BAB I PENDAHULUAN. umum dari kalimat tersebut jelas bahwa seluruh bangsa Indonesia berhak untuk

BAB I PENDAHULUAN. tropis. Pandangan ini berubah sejak timbulnya wabah demam dengue di

SARANG NYAMUK DALAM UPAYA PENCEGAHAN PENYAKIT DEMAM BERDARAH DI DESA KLIWONAN MASARAN SRAGEN

JURNAL KESEHATAN MASYARAKAT, Volume 1, Nomor 2, Tahun 2012, Halaman Online di

PENYELIDIKAN KEJADIAN LUAR BIASA DI GIANYAR. Oleh I MADE SUTARGA PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA 2015

BAB I PENDAHULUAN. setiap tahunnya. Salah satunya Negara Indonesia yang jumlah kasus Demam

BAB I PENDAHULUAN. dewasa (Widoyono, 2005). Berdasarkan catatan World Health Organization. diperkirakan meninggal dunia (Mufidah, 2012).

BAB 1 PENDAHULUAN. mengalami kemajuan yang cukup bermakna ditunjukan dengan adanya penurunan

BAB I PENDAHULUAN. lancarnya transportasi (darat, laut dan udara), perilaku masyarakat yang kurang sadar

BAB I PENDAHULUAN. virus dari golongan Arbovirosis group A dan B. Di Indonesia penyakit akibat

BAB. I Pendahuluan A. Latar Belakang

BUPATI PAKPAK BHARAT PROVINSI SUMATERA UTARA

KERANGKA ACUAN PROGRAM P2 DBD

BAB 1 PENDAHULUAN. Demam Berdarah Dengue (DBD) masih merupakan salah satu masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. Gambaran epidemiologi..., Lila Kesuma Hairani, FKM UI, 2009 Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. gigitan nyamuk dari genus aedes misalnya Aedes aegypti atau Aedes albovictus.

BAB I PENDAHULUAN. yang masuk ke peredaran darah manusia melalui gigitan snyamuk dari genus Aedes,

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) dalam beberapa tahun terakhir

BAB 1 : PENDAHULUAN. Berdarah Dengue (DBD). Jumlah penderita dan luas daerah penyebarannya

BAB I PENDAHULUAN. dan tantangan yang muncul sebagai akibat terjadinya perubahan sosial ekonomi dan

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Haemorhagic Fever

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. anak-anak.penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) sampai saat ini masih

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai risiko tinggi tertular Demam Dengue (DD). Setiap tahunnya

INFORMASI UMUM DEMAM BERDARAH DENGUE

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG PENGENDALIAN PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE

ANALISIS IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENGENDALIAN DEMAM BERDARAH DENGUE DI KELURAHAN SENDANGMULYO KECAMATAN TEMBALANG KOTA SEMARANG FKM UNDIP

BAB 1 PENDAHULUAN. Menurut Kementerian Kesehatan RI (2010), program pencegahan dan

BAB I PENDAHULUAN. dengue dan ditularkan melalui gigitan nyamuk demam berdarah (Aedes

BAB I : PENDAHULUAN. menular yang disebabkan oleh virus dengue, virus ini ditularkan melalui

WALI KOTA PALU PROVINSI SULAWESI TENGAH

BAB I LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. manusia melalui perantara vektor penyakit. Vektor penyakit merupakan artropoda

BAB I PENDAHULUAN. 2009, World Health Organization (WHO) mencatat negara Indonesia sebagai

BAB 1 PENDAHULUAN. oleh virus dengue yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes, dengan ciri

masyarakat, bangsa dan negara yang ditandai oleh penduduknya yang hidup dalam lingkungan sehat, berperilaku hidup bersih dan sehat (PHBS), mempunyai

BAB IV HASIL PENELITIAN

BAB I. dalam kurun waktu yang relatif singkat. Penyakit menular umumnya bersifat akut

LAPORAN HASIL PENYELIDIKAN EPIDEMIOLOGI KEJADIAN LUAR BIASA DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) DI KELURAHAN PENFUI PERIODE PEBRUARI 2012

BAB I PENDAHULUAN. semakin besar. Keadaan rumah yang bersih dapat mencegah penyebaran

Promotif, Vol.5 No.1, Okt 2015 Hal 09-16

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

LEMBARAN DAERAH KOTA SEMARANG PERATURAN DAERAH KOTA SEMARANG

BAB I PENDAHULUAN. misalnya akibat gigitan nyamuk dapat menyebabkan dermatitis, alergika dan

PEDOMAN WAWANCARA. Lampiran 1. Pedoman Wawancara

BAB 1 PENDAHULUAN. selalu diusahakan peningkatannya secara terus menerus. Menurut UU No.36 Tahun 2009 tentang kesehatan, dalam pasal 152

BAB I PENDAHULUAN. Demam Berdarah Dengue merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi

SKRIPSI PERBEDAAN PENGETAHUAN DAN SIKAP JUMANTIK KECIL SEBELUM DAN SESUDAH PEMBERIAN PELATIHAN PENCEGAHAN DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) DI MIN KETITANG

BAB VIII KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. Tenggara. Terdapat empat jenis virus dengue, masing-masing dapat. DBD, baik ringan maupun fatal ( Depkes, 2013).

BAB 1 : PENDAHULUAN. yang akan memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial ekonomis.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Dengue adalah salah satu penyakit infeksi yang. dalam beberapa tahun terakhir ini menjadi masalah

I. Pendahuluan Pada awal tahun 2004 kita dikejutkan kembali dengan merebaknya penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD), dengan jumlah kasus yang cukup

PERILAKU 3M, ABATISASI DAN KEBERADAAN JENTIK AEDES HUBUNGANNYA DENGAN KEJADIAN DEMAM BERDARAH DENGUE

DAFTAR PUSTAKA. Depkes RI, Ditjen PP&PL Modul Pelatihan Bagi PSN DBD Dengan. Melakukan Komunikasi Perubahan perilaku. Jakarta: Depkes RI.

BAB 1 PENDAHULUAN. Acuan Pembangunan kesehatan pada saat ini adalah konsep Paradigma

Skripsi ini Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Ijazah S1 Kesehatan Masyarakat. Disusun Oleh: DIAH NIA HERASWATI J

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit menular

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit yang disebabkan

BAB 1 PENDAHULUAN. dari genus Aedes,misalnya Aedes aegypti atau Aedes albopictus. Penyakit DBD dapat

Al Ulum Vol.54 No.4 Oktober 2012 halaman

BAB 1 PENDAHULUAN. tahun 2009, World Health Organization (WHO) mencatat negara Indonesia sebagai

BAB I PENDAHULUAN. Tenggara serta Pasifik Barat (Ginanjar, 2008). Berdasarkan catatan World

WALIKOTA KEDIRI PERATURAN WALIKOTA KEDIRI NOMOR 51 TAHUN 2011 TENTANG PENGENDALIAN PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE DI KOTA KEDIRI WALIKOTA KEDIRI,

BAB I PENDAHULUAN juta orang saat ini diseluruh dunia. Serta diperkirakan sekitar

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Tingginya Angka Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) dan

Lampiran 1. Pedoman Wawancara dan Pedoman Observasi PEDOMAN WAWANCARA (UNIT PELAKSANA)

WALIKOTA BLITAR PERATURAN WALIKOTA BLITAR NOMOR 35 TAHUN 2011 TENTANG PENGENDALIAN PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE DI KOTA BLITAR

BAB I PENDAHULUAN. dengue, yang ditularkan oleh nyamuk. Penyakit ini ditemukan di daerah

KOMPONEN SISTEM SURVEILANS DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) DI DINAS KESEHATAN KOTA KEDIRI

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh virus dengue. Virus dengue merupakan famili flaviviridae

BAB I PENDAHULUAN. Dengue ditularkan kepada manusia melalui gigitan nyamuk Aedes

I. PENDAHULUAN. Diantara kota di Indonesia, Kota Bandar Lampung merupakan salah satu daerah

BAB I PENDAHULUAN. perjalanan penyakit yang cepat, dan dapat menyebabkan. kematian dalam waktu yang singkat (Depkes R.I., 2005). Selama kurun waktu

BAB I PENDAHULUAN. telah menjadi masalah kesehatan internasional yang terjadi pada daerah tropis dan

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Haemorrhagic Fever

BAB I PENDAHULUAN Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN UKDW. DBD (Nurjanah, 2013). DBD banyak ditemukan didaerah tropis dan subtropis karena

WALIKOTA BATU PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN WALIKOTA BATU NOMOR 20 TAHUN 2016 TENTANG PENGENDALIAN PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE

BAB I PENDAHULUAN. kejadian luar biasa dengan kematian yang besar. Di Indonesia nyamuk penular

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Fajarina Lathu INTISARI

BUPATI BANYUWANGI SALINAN PERATURAN BUPATI BANYUWANGI NOMOR 15 TAHUN 2012 TENTANG PENGENDALIAN PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE DI KABUPATEN BANYUWANGI

Sumber: Dinas Kesehatan Kabupaten Banyumas 2013

Transkripsi:

SURVEILANS PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) DAN PERMASAHANNYA DI KOTA SEMARANG TAHUN 2008 M.Arie Wuryanto, SKM, MKes.(Epid) Abstrak Latar Belakang: Surveilans epidemiologi merupakan suatu kegiatan yang sangat penting dalam mendukung pengendalian dan penanggulangan penyakit menular, tidak terkecuali pada kegiatan pengendalian dan penanggulangan penyakit DBD. Hasil pelaksanaan surveilans epidemiologi penyakit DBD yang telah dilakukan oleh Dinkes Kota Semarang belum berjalan sesuai harapan. Hal ini dapat dilihat bahwa pelaksanaan PE yang dilakukan oleh Dinkes dan jajarannya hanya mencapai 30% sampai 0 % saja dari kasus yang dilaporkan. Hal ini menggambarkan bahwa pelaksanaan surveilans epidemiologi yang dilakukan belum baik, dan akan berdampak pada proses penularan yang terus berlangsung di masyarakat. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran pelaksanan surveilans penyakit DBD serta permasalahannya di tingkat Puskesmas di wilayah Dinas Kota Semarang. Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberi masukan bagi pihak puskesmas dan Dinas Kesehatan Kota Semarang tentang permasalahan pelaksanaan surveilans DBD di Wilayahnya. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan desain cross sectional. Subyek penelitian adalah petugas surveilan puskesmas dengan jumlah sampel 20 puskesmas (%) dari 36 puskesmas yang ada di Dinas Kesehatan Kota Semarang. Hasil : Masih dijumpai adanya jumlah kasus DBD yang tidak sama antara Dinas Kesehatan dan Puskesmas, sebagian besar kecepatan PE sejak diterimanya laporan kasus sudah baik (78%), prosentase pelaksanaan PE dari kasus yang ada hanya 62%. Beberapa hambatan yang dapat diidentifikasi antara lain; kerjasama lintas sektoral dalam pelaporan kasus DBD (Rumah sakit dan pelayanan kesehatan lain), partisipasi masyarakat masih rendah dalam hal PSN dan pelaporan kasus, sarana dan kemampuan petugas laboratorium dam mendeteksi DBD secara serologis belum merata, dan keterbatasan sumber daya manusia serta beban tugas dari tenaga surveilans. Kata kunci : Surveilans, Demam Berdarah Degue (DBD). PENDAHULUAN Situasi penyakit DBD di Kota Semarang pada tahun 2007 merupakan fenomena terbesar kejadiannya selama 3 tahun terakhir, dengan jumlah penderita mencapai 2924 kasus. Tahun 2008 situasinya bahkan semakin buruk dimana kasus DBD yang terjadi sebanyak 3868 kasus. Surveilans epidemiologi merupakan suatu kegiatan yang sangat penting dalam mendukung pengendalian dan penanggulangan penyakit menular, tidak terkecuali pada kegiatan pengendalian dan penanggulangan penyakit DBD. Surveilans adalah kegiatan yang bersifat terus menerus dan sistematik dalam pengumpulan data, pengolahan, analisis, interpretasi dan diseminasi kepada pihak terkait, untuk melakukan tindakan yang tepat dalam mengatasi masalah kesehatan yang ada. Oleh karena itu hasil kegiatan surveilans sangat dibutuhkan dalam menunjang aspek manajerial program penyakit DBD, dimana berperan dalam proses perencanaan, monitoring dan evaluasi dari program kesehatan yang ada. Hasil pelaksanaan surveilans epidemiologi penyakit DBD yang telah dilakukan oleh Dinkes Kota Semarang belum berjalan sesuai harapan. Hal ini dapat dilihat bahwa pelaksanaan PE yang dilakukan oleh Dinkes dan jajarannya hanya mencapai 30% sampai 0 % saja dari kasus yang dilaporkan. Kondisi diatas akan sangat mempengaruhi keberhasilan tindakan penanggulangan dan pengendalian DBD di Kota Semarang. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian tentang pelaksanaan surveilans DBD di Kota Semarang

dan identifikasi penyebab masalah dalam pelaksanaan surveilans DBD. Berdasarkan informasi di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut : " Bagaimana gambaran pelaksanaan Surveilans DBD dan Implementasinya Dalam Proses Pengambilan Keputusan dan Kebijakan Program Pengendalian Penyakit DBD di Kota Semarang? " Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran pelaksanan surveilans penyakit DBD serta permasalahannya di tingkat Puskesmas di wilayah Dinas Kota Semarang. Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberi masukan bagi pihak puskesmas dan Dinas Kesehatan Kota Semarang tentang permasalahan pelaksanaan surveilans DBD di Wilayahnya. METODE Untuk mengetahui gambaran pelaksanaan kegiatan surveilans epidemiologi DBD dengan cara observasi data dan wawancara, populasinya adalah semua Puskesmas di wilayah kerja Dinas Kesehatan Kota Semarang yaitu sebanyak 36 Puskesmas dan Dinkes Kota Semarang. Sampel penelitiannya adalah 20 Puskesmas (%) dengan jumlah kasus tertinggi DBD. Untuk mengetahui hambatan-hambatan dalam pelaksanaan surveilans dilakukan dengan cara indepth interviewe (wawancara mendalam). HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum dan Situasi DBD di Kota Semarang Kota Semarang merupakan daerah endemis penyakit DBD. Pencapaian jumlah kasus tertinggi selama 3 terakhir terjadi pada tahun 2007, dimana terjadi 2924 kasus dengan IR = 9,6 dan CFR =,%. Pada tahun 2008 kasus DBD di kota Semarang mengalami peningkatan yaitu sebanyak 249 kasus. Data terakhir (per Maret 2009) jumlah kasus DBD sebanyak 277 kasus dengan CFR = %. Peningkatan jumlah kasus seiring dengan peningkatan jumlah kelurahan endemis DBD di Kota Semarang dari tahun ke tahun. Gambaran karakteristik tenaga surveilans yang menjadi subyek dalam penelitian ini adalah sebagai berikut ; Tabel. Karakteristik Responden Karakteristik Jml (%) Jenis Kelamin a. Laki-laki b. Perempuan Pendidikan a. SMA b. D3 c. S d. Pekarya Pernah Ikut Pelatihan 8 0 2 7 40 0 7 3 8 Umur max = min =27 ratarata=40th Lama Kerja max = 0 thn min = bln sebagian besar = 2 - tahun Berdasarkan tabel 3.. diatas menunjukkan bahwa sebagian besar (7%) petugas surveilans (DBD) adalah perempuan. Tingkat pendidikan tenaga surveilan di Puskesmas sudah baik, dimana sebagian besar (90%) mempunyai tingkat pendidikan sarjana dan sarjana muda (S dan D3). Kondisi di atas menunjukkan bahwa tingkat pendidikan tenaga surveilans sudah memadai dan kompeten untuk menjalankan tugasnya. Demikian juga dengan 8% petugas surveilans sudah perna mengikut pelatihan, maka harapannya hasil pelaksanaan surveilansnya tidak banyak mengalami hambatan. Namun dengan 7% merupakan wanita, maka bisa jadi merupakan kendala dalam hal mobilitas. Tentunya alasan ini masih sangat dangkal, karena tidak semua wanita merupakan seorang yang lemah dalam hal mobilitas. Umur paling muda 27 tahun dan umur rata-rata tenaga surveilans 40 tahun. Dilihat dari rata-rata umur, maka merupakan umur yang masih mempunyai produktifitas yang tinggi dan berpengalaman. Sebagian besar petugas surveilans mempunyai pengalaman kerja 2 tahun. B. Gambaran Kegiatan Surveilans DBD b.. Karakteristik Petugas Surveilans (DBD)

b.. Keberadaan Data Kasus DBD di Puskesmas Tabel 6.2. Keberadaan Data Kasus DBD di Puskesmas Data Kasus Jml (%) Data bulanan Kasus DBD Data kasus DBD bln terakhir Kelengkapan Data Kasus DBD a. Lengkap 20 0 9 00 9 2 7 Semua Puskesmas mempunyai data kasus DBD bulanan. Namun data untuk kasus DBD satu bulan terakhir ada Puskesmas yang tidak mempunyai data. Dilihat dari keberadaan data kasus DBD hampir semua puskesmas ada, tetapi jika dilihat dari kelengkapan datanya, maka sebagian besar (7%) mempunyai data yang tidak lengkap. Ketidaklengkapan data kasus DBD di Puskesmas diakibatkan antara lain karena jumlah kasus yang tercatat di Puskesmas tidak sama dengan jumlah kasus yang tercatat di Dinkes Kota semarang. Ada sebagian jumlah kasus yang tercatat di Puskesmas lebih banyak dari catatan di Dinkes, namun sebagian besar data yang tercatat di Puskesmas lebih sedikit dari catatan Dinkes Kota Semarang. Berdasarkan hasil wawancara mendalam, keadaan tersebut disebabkan bahwa data kasus DBD di Dinkes Kota Semarang berasal langsung dari Rumah sakit, sementara pemberitahuan kasus tersebut ke Puskesmas mengalami keterlambatan. Bahkan beberapa kejadian bahwa Puskesmas menerima data kasus DBD dari pasien yang kontrol setelah rawat inap di rumah sakit. Kondisi ini merupakan salah satu peyebab tidak semua kasus DBD yang ada di masyarakat ditindaklanjuti dengan pelaksanaan penyelidikan epidemiologi. Adanya kasus yang tidak ditindaklanjuti dengan PE, maka penularan DBD di tingkat masyarakat menjadi sulit untuk dicegah, disamping faktor faktor yang lain. Faktor lain yang dimaksud yaitu lingkungan dan perilaku masyarakat sendiri / partisipasinya dalam pencegahan DBD. b.3 Pelaksanaan PE Kasus DBD di Puskesmas Tabel 6.3. Data Pelaksanaan PE Puskesmas Pelaksanaan PE Jml (%) Apakah setiap kasus di lakukan PE? 7 3 3 6 Pesentase Kegiatan PE terhadap kasus DBD yg ada? Tidak melakukan = 20% 00% = 3% Rata rata = 62 % Kecepatan pelaksanaan PE sejak laporan diterima. 2 hari 4 78% Kecepatan pelaksanaan PE sejak mulai dirawat di RS. 2 hari Maksimal = 33 hari Rata rata = 4 hari 4 23% Hasil penelusuran jumlah kasus DBD yang tercatat di Puskesmas dan jumlah kegiatan PE yang sudah dilakukan menunjukkan jumlah yang tidak sama, dimana jumlah kegiatan PE lebih sedikit dibanding dengan jumlah yang ada. Fenomena ini juga dikaji lebih dalam apakah ada kasus DBD yang terjadi serumah atau satu lingkungan, sehingga pelaksanaan PE dilakukan sekali. Namun hasil pengkajian tidak terdapat kondisi yang demikian, sehingga memang cakupan pelaksanaa PE tidak sesuai dengan jumlah kasus DBD yang tercatat di Puskesmas. Puskesmas yang melakukan PE pada setiap kasus hanya 7 Puskesmas atau 3%, sedangkan sisanya 6% tidak melaksanakan kegiatan PE pada setiap kasus yang ada. Persentase cakupan kegiatan PE terhadap kasus DBD yang ada masih rendah, berdasarkan data kasus satu bulan terakhir, maka puskesmas yang tidak melakukan kegiatan PE dari kasus yang ada sebanyak 20% dan yang melakukan kegiatan PE terhadap kasus yang ada sebanyak 3%, dengan rata rata cakupan pelaksanaan PE sebesar 62%. Kondisi ini semakin memperbesar rendahnya cakupan kegiatan PE terhadap jumlah kasus DBD yang terjadi di masyarakat. Berdasarkan hasil wawancara mendalam dapat dijelaskan bahwa faktor yang menjadi penyebab adalah informasi kasus sampai ke Puskesmas datangnya sangat terlambat bisa sampai bulan dan bahkan lebih, sehingga puskesmas tidak melakukan PE. Kecepatan pelaksanaa PE setelah laporan adanya kasus diterima oleh puskesmas sebagian besar (78%) sudah baik, yaitu maksimal 2 x 24. Seringnya

pelaksanaan PE dilakukan hari berikutnya setelah laporan diterima. Kecepatan pelaksanaan PE sejak mulai sakit dirawat di rumah sakit masih sangat terlambat. Dimana hanya 23% saja puskesmas yang melakukan kegiatan PE 2 x 24 setelah penderita masuk RS. Rata rata pelaksanaan PE dilakukan setelah 4 hari sejak penderita dirawat di rumah sakit. Kondisi ini semakin memperbesar peluang terjadinya penularan DBD di tingkat masyarakat. Berdasarkan hasil wawancara mendalam, hal ini terjadi karena keterlambatan laporan dari rumah sakit dan atau keterlambatan dari Dinas kesehatan. Keterlambatan yang disebabkan karena kesibukan petugas puskesmas tercatat maksimal hanya 7 hari. Kondisi seperti ini sangat perlu untuk dketahui oleh unsur pimpinan baik Puskesmas maupun Dinas Kesehatan, untuk diambil jalan keluar dari permasalahan ini. b.4 Pelaksanaan Tindak Lanjut Hasil PE Kasus DBD di Puskesmas Kecepatan Tindak lanjut hasil kegiatan PE secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi 2 yaitu PSN, Penyuluhan, larvasidasi dan Tindak lanjut Fogging. Kecapatan tindak lanjut hasil PE dengan kegiatan penyuluhan, larvasidasi dan PSN dilakukan sekaligus pada saat pelaksanaan PE. Fenomena ini menimbulkan dugaan bag peneliti bahwa pelaksanaan PSN dan penyuluhan tidak berjalan dengan baik. Berdasarkan hasil wawancara mendalam bahwapelaksanaan PE dilakukan berkisar 2 2, jam. Padahal yang kita ketahui kegiatan PE yang harus dilakukan adalah pencarian tersangka DBD dan pemantauan jentik. Memang ini masih dalam sebatas dugaan karena peneliti tidak ikut langsung dalam setiap kegiatan pelaksanaan PE. Kecepatan tindak lanjut hasil PE dalam pelaksanaan fogging rata rata satu minggu (7 hari) seteah pelaksanaan PE. Hal ini menunggu ijin dan dukungan sumber daya dari pihak Dinkes. Kebijakan yang ada bahwa kewenanagan ijin fogging ada di Dinkes, serta sumber daya pelaksanaan fogging ada di pihak Dinkes. Pelaknaan fogging biasanya dilakukan dua kali, dimaka fogging yang kedua dilakukan satu minggu setelah fogging nag pertama. b. Pelaksanaan PWS DBD di Puskesmas Tabel 6.4. Pelaksanaan PWS DBD Pelaksanaan PE Jml (%) Adakah Data PWS DBD? 8 2 Apakah data PWS dikerjakan rutin? 7 3 8 90 0 Berdasarkan hasil observasi penelitian ternyata tidak semua ada puskesmas membuat data PWS kasus DBD, ada 2 Puskesmas (0%) yang tidak membuat PWS DBD. Hanya 7 (8%) Puskesmas yang mengerjakan data PWS secara rutin. Kondisi ini juga akan mengakibatkan penularan DBD di masyarakat sulit untuk dikendalikan, karena kasus kasus yang tidak dilakukan PE maka tidak ada tindak lanjut kegiatan untuk memutus rantai penularan penyakit DBD di masyarakat. Hal tersebut diperburuk dengan kondisi rendahnya partisipasi C. Hambatan Dalam Pelaksanaan Surveilans DBD Menurut persepsi petugas surveilans, beberapa hambatan yang dapat diidentifikasi berdasarkan hasil wawancara mendalam antara lain :. Partisipasi lintas sektor masih rendah. Rumah sakit merupakan sumber utama data kasus DBD, karena fasilitas laboratoriumnya mampu mendeteksi kasus DBD dengan lebih baik. Namun seringnya kasus DBD yang dilaporkan terlambat ke Dinas Kesehatan atau Puskesmas, sehingga kegiatan PE yang seharusnya dilakukan maksimal 2 x 24 jam menjadi terlambat. Dukungan sektor main seperti sekolah, kecamatan dan kelurahan dalam menggerakkan masyarakatnya untuk melakukan kegiatan pemberantasan sarang nyamuk belum optimal. 2. Partisipasi Masyarakat Hampir semua puskesmas pernah mengalami kesulitan untuk melakukan PE ke Masyarakat, petugas kesulitan masuk ke rumah rumah warga untuk melakukan pemantuan jentik dan pencarian tersangka kasus DBD, karena ada warga yang tidak mau untuk berpartisipasi. 3. Sumber Daya

Hambatan yang paling menonjol dari hasil penelitian ini adalah sumber daya manusia. Hambatan yang berhasil di identifikasi berdasarkan persepsi renponden adlah sebagai berikut ; - Jumlah tenaga yang kurang untuk mengcover kegiatan PE - Banyaknya tugas rangkap. - Sarana Komputer, biasanya komputer bergantian untuk menyelesaikan tugas lain. 4. Kemampuan Laboratorium Belum semua Puskesmas mampu untuk melakukan diagnosa kasus DBD secara berdasarkan hasil Laboratorium. Sarana Laboratorium dan tenaga laboran masih terbatas. Kondisi ini akan menyebabkan kemampuan deteksi dini kasus DBD menjadi rendah, yang pada akhirnya penanganan kasus DBD secara intensif terlambat. Mengingat Kota Semarang merupakan daerah endemis tinggi penyakit DBD, maka sebaiknya seluruh Puskesmas laboratorium yang mempunyai kemampuan mendeteksi penyakit DBD secara serologis. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat disimpulkan sebagai berikut : Saran. Perlu ditingkatkan kedisiplinan pelaporan kasus DBD, dan peningkatan validasi data kasus, khususnya pelaporan pihak rumah sakit ke Dinkes atau Puskesmas. 2. Perlu kajian yang lebih mendalam tentang beban kerja petugas Surveilans DBD. 3. Peningkatan partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan PE dan PSN. 4. Peningkatan sarana dan kemampuan laboratorium di seluruh puskesmas. DAFTAR PUSTAKA Dinkes Kota Semarang, Profil Kesehatan Kota Semarang, tahun 2007 Dinkes Kota Semarang, Data Kasus DBD tahun 2007 dan 2008. Dirjen P2PL Depkes RI, Panduan Praktis Surveilans Epidemiologi Penyakit, 2003. Hadinegoro, Sri Rezeki dan Satari, Hindra Irawan. 2002. Demam Berdarah Dengue. Balai Penerbit FK UI. Jakarta Nadesul, Handrawan. 2007. Cara Mudah Mengalahkan Demam Berdarah. Penerbit Buku Kompas. Jakarta Judarwanto, Widodo. 2007. Profil nyamuk Aedes dan pembasmiannya. (online) (www.medicastore.com 30--07) Depkes RI, Riskesdas, tahun 2007.. Masih dijumpai adanya jumlah kasus DBD yang tidak sama antara Dinas Kesehatan dan Puskesmas. 2. Kecepatan pelaksanaan Penyelidikan Epidemiologi (PE) sejak laporan diterima sudah baik, maksimal 2 x 24 jam, namun prosentase pelaksanaan PE dengan jumlah kasus yang ada rata-rata hanya 62%. 3. Kecepatan pelaksanaan PE sejak penderita masuk rumah sakit rata-rata 4 hari. 4. Kecapatan tindak lanjut hasil PE, untuk kegiatan Penyuluhan, PSN dan larvasidasi sudah baik, karena dilakukan saat PE dilakukan. Untuk tindak lanjut fogging rata-rata 7 hari setelah dilakukan PE.. Hambatan hambatan yang dapat di identifikasi dalam pelaksanaan surveilans DBD adalah sebagai berikut : Partisipasi lintas sektor Partisipasi Masyarakat Sumber Daya Kemampuan Laboratorium