DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

dokumen-dokumen yang mirip
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 101 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 101 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN

2014, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Bahan Berbahaya dan Beracun yang selanjutnya disin

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 101 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANJAR,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 1999 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BUPATI TORAJA UTARA PROVINSI SULAWESI SELATAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 1999 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN

BUPATI SEMARANG PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN SEMARANG NOMOR 26 TAHUN 2016 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN

BUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 21 TAHUN 2014 TENTANG

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : 10 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI BANGKA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA BARAT NOMOR 14 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 85 TAHUN 1999 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1994 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENGELOLAAN LIMBAH B3. Disampaikan oleh: Deputi MENLH Bidang Pengeloaan B3, Limbah B3, dan Sampah Kementerian Lingkungan Hidup

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 74 TAHUN 2001 TENTANG PENGELOLAAN BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

AUDIT LIMBAH B3 Bahan Berbahaya dan Beracun

BAB II LANDASAN TEORI. Pemerintah No 18 tahun 1999).

MENTERI TENAGA KERJA REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA R.I. NOMOR : KEP. 187 / MEN /1999 T E N T A N G

KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA R.I. NOMOR : KEP. 187 / MEN /1999 T E N T A N G PENGENDALIAN BAHAN KIMIA BERBAHAYA DI TEMPAT KERJA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 85 TAHUN 1999 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PURWAKARTA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

DAFTAR LAMPIRAN SISTEM HARMONISASI GLOBAL KLASIFIKASI DAN LABEL PADA BAHAN KIMIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN PERINDUSTRIAN. Harmonisasi. Klasifikasi. Label.

BUPATI JOMBANG PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN

BUPATI CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN BUPATI CIAMIS NOMOR 63 TAHUN 2015 TENTANG TATA CARA PENGELOLAAN LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN

WALIKOTA JAMBI PROVINSI JAMBI PERATURAN DAERAH KOTA JAMBI NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PENGELOLAAN DAN PENGENDALIAN LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 1999 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA R.I. NO.KEP. 187/MEN/1999 TENTANG PENGENDALIAN BAHAN KIMIA BERBAHAYA DI TEMPAT KERJA MENTERI TENAGA KERJA R.I.

PERATURAN GUBERNUR PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 76 TAHUN 2009 TENTANG PELAKSANAAN PENGELOLAAN LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN

PEDOMAN PENANGGULANGAN KEDARURATAN AKIBAT KECELAKAAN B3 DAN LIMBAH B3

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERDANG BEDAGAI NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 1999 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Limbah Berbahaya dan Beracun

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 23 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN DI JAWA BARAT

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 1999 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 06 TAHUN 2009 TENTANG PENGENDALIAN PENGELOLAAN LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN

LEMBARAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR : 106 TAHUN : 2010 SERI : E PERATURAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR 2 TAHUN 2010 TENTANG

BERITA DAEARAH KOTA DEPOK NOMOR 123 TAHUN 2016 WALIKOTA DEPOK PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN WALIKOTA DEPOK

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERAM BAGIAN TIMUR NOMOR 05 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 6 TAHUN 2010 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG

BUPATI PENAJAM PASER UTARA

PENGELOLAAN LIMBAH B3 [PP 101 TAHUN 2014]

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 1999 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA,

BUPATI BANGKA PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG PENGENDALIAN PENGELOLAAN LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN

H. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG LINGKUNGAN HIDUP

MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

WALIKOTA PEKALONGAN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 12 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN

H. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG LINGKUNGAN HIDUP

H. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG LINGKUNGAN HIDUP

BUPATI KARO PROVINSI SUMATERA UTARA PERATURAN BUPATI KARO NOMOR 23 TAHUN 2015 TENTANG IZIN PENYIMPANAN SEMENTARA LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN

Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 1999 Tentang : Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya Dan Beracun

BERITA NEGARA. KEMENTERIAN NEGARA LINGKUNGAN HIDUP Sampah rumah tangga. Raperda. Pedoman. PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 1995 TENTANG PERUBAHAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 19 TAHUN 1994 TENTANG

2016, No Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan L

BUPATI BADUNG PERATURAN BUPATI BADUNG NOMOR 55 TAHUN 2010 TENTANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP REPUBLIK INDONESIA,

BERITA DAERAH KABUPATEN MAGELANG TAHUN 2015 NOMOR 13 PERATURAN BUPATI MAGELANG NOMOR 13 TAHUN 2015 TENTANG

2016, No Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbaha

Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 1999 Tentang : Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya Dan Beracun

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

- 1 - PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN GUNUNG MAS NOMOR 8 TAHUN 2015 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARAWANG NOMOR : 10 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LEMBARAN DAERAH KOTA DEPOK NO. 09 TH. 2010

BAB III TINJAUAN UMUM TERHADAP PENCEMARAN LINGKUNGAN OLEH LIMBAH B3

PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 18 TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA PERIZINAN PENGELOLAAN LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN

BERITA DAERAH KOTA CIREBON

BUPATI BADUNG PERATURAN BUPATI BADUNG NOMOR 31 TAHUN 2011 TENTANG

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2016 TENTANG PENDAFTARAN PANGAN OLAHAN

PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN BUPATI KARAWANG NOMOR : 40 TAHUN 2015

Disampaikan Pada Kegiatan Bimbingan Teknis Pengelolaan Limbah B3 dan Limbah Non B September 2016

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR HK TAHUN 2011 TENTANG PENDAFTARAN PANGAN OLAHAN

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 70/PERMENTAN/SR.140/10/2011 TENTANG PUPUK ORGANIK, PUPUK HAYATI DAN PEMBENAH TANAH

MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANYUASIN TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1

BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG PENGENDALIAN PENGELOLAAN LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN

BUPATI CILACAP PERATURAN BUPATI CILACAP NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG IZIN LINGKUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI CILACAP,

WALIKOTA TANGERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN WALIKOTA TANGERANG

PEMERINTAH KABUPATEN MALANG

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF

BUPATI BLITAR PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN BLITAR NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG IZIN LINGKUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TIMUR

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1799/MENKES/PER/XII/2010 TENTANG INDUSTRI FARMASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASER NOMOR 12 TAHUN 2009

2016, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization (Persetujuan Pe

PERATURAN BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN NOMOR 27 TAHUN 2017 TENTANG PENDAFTARAN PANGAN OLAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

WALIKOTA YOGYAKARTA PERATURAN WALIKOTA KOTA YOGYAKARTA NOMOR 57 TAHUN 2010

Transkripsi:

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN, PENGELOLAAN LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN, DAN DUMPING LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 58 ayat (2), Pasal 59 ayat (7), dan Pasal 61 ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun, Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun, dan Dumping Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun; : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENGELOLAAN BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN, PENGELOLAAN LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN, DAN DUMPING LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Bahan Berbahaya dan Beracun, yang selanjutnya disingkat B3, adalah zat, energi, dan/atau komponen lain yang karena sifat, konsentrasi dan/atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan, merusak lingkungan hidup, dan/atau dapat membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lainnya. 2. Limbah adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan. 3. Limbah bahan berbahaya dan beracun, yang selanjutnya disebut Limbah B3, adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan yang mengandung B3. 4. Registrasi B3 adalah pendaftaran dan pemberian nomor terhadap B3 yang dihasilkan di dalam negeri atau diimpor ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang didasarkan pada kajian atau evaluasi terhadap manfaat, risiko dan/atau dampaknya terhadap kesehatan dan lingkungan hidup. 1

5. Penyimpanan B3 adalah kegiatan penempatan B3 untuk menjaga kualitas, kuantitas, mencegah kontaminasi dan/atau bereaksi dengan bahan kimia lain, dan/atau dampak negatif B3 terhadap kesehatan manusia dan lingkungan hidup. 6. Pengemasan B3 adalah kegiatan mengemas, mengisi, atau memasukkan B3 ke dalam suatu wadah dan/atau kemasan, menutup dan/atau menyegelnya. 7. Kemasan B3 adalah bahan atau benda yang bersentuhan secara langsung maupun tidak langsung yang digunakan untuk membungkus B3. 8. Simbol B3 adalah gambar yang menunjukkan karakteristik B3. 9. Simbol limbah B3 adalah gambar yang menunjukkan karakteristik limbah B3. 10. Label B3 adalah setiap keterangan mengenai B3 yang berbentuk simbol atau piktogram, tulisan atau kombinasi keduanya, atau bentuk lain yang berisi informasi karakteristik B3 dan tata cara penanganannya bila terjadi tumpahan. 11. Label limbah B3 adalah setiap keterangan mengenai limbah B3 yang berbentuk tulisan yang berisi informasi penghasil, alamat penghasil, waktu pengemasan, jumlah, dan karakteristik limbah B3. 12. Pelabelan B3 adalah proses penandaan atau pemberian label yang dilekatkan atau dibubuhkan ke kemasan langsung dan pada kemasan luar dari suatu B3. 13. Pelabelan limbah B3 adalah proses penandaan atau pemberian label yang dilekatkan atau dibubuhkan ke kemasan langsung dari suatu limbah B3. 14. Lembaran Data Keselamatan, yang selanjutnya disingkat LDK, adalah lembaran petunjuk yang berisi informasi B3 tentang sifat fisika, kimia, jenis bahaya dan racun yang ditimbulkan, cara penanganan, tindakan khusus dalam keadaan darurat dan informasi lain yang diperlukan. 15. Ekspor B3 dan/atau limbah B3 adalah kegiatan mengeluarkan B3 dan/atau limbah B3 dari daerah pabean Indonesia. 16. Notifikasi B3 adalah pemberitahuan terlebih dahulu dari otoritas negara eksportir kepada otoritas negara penerima sebelum dilaksanakan perpindahan lintas batas B3 yang terbatas dimanfaatkan. 17. Notifikasi ekspor limbah B3 adalah pemberitahuan terlebih dahulu dari otoritas negara eksportir kepada otoritas negara penerima sebelum dilaksanakan perpindahan lintas batas limbah B3. 18. Pengelolaan limbah B3 adalah kegiatan yang meliputi pengurangan, penyimpanan, pengumpulan, pengangkutan, pemanfaatan, pengolahan, dan/atau penimbunan limbah B3. 19. Dumping (pembuangan) adalah kegiatan membuang, menempatkan, dan/atau memasukkan limbah dan/atau bahan dalam jumlah, konsentrasi, waktu, dan lokasi tertentu dengan persyaratan tertentu ke media lingkungan hidup tertentu. 20. Pengurangan limbah B3 adalah suatu kegiatan pada penghasil untuk mengurangi jumlah dan/atau mengurangi sifat bahaya dan/atau racun dari limbah B3 tersebut, sebelum dihasilkan dari suatu usaha dan/atau kegiatan. 21. Penghasil limbah B3 adalah setiap orang yang usaha dan/atau kegiatannya menghasilkan limbah B3. 22. Pengumpul limbah B3 adalah badan usaha yang melakukan kegiatan pengumpulan dengan tujuan untuk mengumpulkan limbah B3 sebelum dikirim ke tempat pengolahan dan/atau pemanfaatan dan/atau penimbunan limbah B3. 23. Pengangkut limbah B3 adalah badan usaha yang melakukan kegiatan pengangkutan limbah B3. 2

24. Pemanfaat limbah B3 adalah badan usaha yang melakukan kegiatan pemanfaatan limbah B3. 25. Pengolah limbah B3 adalah badan usaha yang melakukan kegiatan pengolahan limbah B3. 26. Penimbun limbah B3 adalah badan usaha yang melakukan kegiatan penimbunan limbah B3. 27. Penyimpanan limbah B3 adalah kegiatan menyimpan limbah B3 yang dilakukan oleh penghasil dengan maksud menyimpan sementara limbah B3 yang dihasilkannya. 28. Pengumpulan limbah B3 adalah kegiatan mengumpulkan limbah B3 dari penghasil limbah B3 dengan maksud menyimpan sementara sebelum diserahkan kepada pemanfaat, pengolah, dan/atau penimbun limbah B3. 29. Pengangkutan B3 adalah kegiatan pemindahan B3 dari suatu tempat ke tempat lain menggunakan sarana angkutan. 30. Pengangkutan limbah B3 adalah suatu kegiatan pemindahan limbah B3 dari penghasil, ke pengumpul, ke pemanfaat, ke pengolah, dan/atau ke penimbun limbah B3 atau dari pengumpul ke pemanfaat, ke pengolah, dan/atau ke penimbun limbah B3. 31. Pemanfaatan limbah B3 adalah suatu kegiatan penggunaan kembali (reuse), daur ulang (recycle), dan/atau perolehan kembali (recovery) yang bertujuan untuk mengubah limbah B3 menjadi suatu produk yang dapat digunakan, sebagai substitusi bahan baku, bahan penolong, dan/atau bahan bakar yang harus aman bagi lingkungan dan kesehatan manusia. 32. Pengolahan limbah B3 adalah proses untuk mengurangi dan/atau menghilangkan sifat bahaya dan/atau sifat racun. 33. Penimbunan limbah B3 adalah suatu kegiatan menempatkan limbah B3 pada suatu fasilitas penimbunan dengan maksud tidak membahayakan kesehatan manusia dan lingkungan hidup. 34. Kecelakaan pengelolaan B3 dan/atau limbah B3 adalah lepas atau tumpahnya B3 dan/atau limbah B3 ke lingkungan yang karena sifat dan/atau karakteristik bahayanya dapat mencemari dan/atau merusak lingkungan hidup, menimbulkan cedera, terganggunya kesehatan manusia, dan/atau rusaknya sarana dan prasarana. 35. Sistem tanggap darurat selanjut nya disebut STD adalah sistem pengendalian keadaan darurat yang meliputi pencegahan, kesiapsiagaan, dan penanggulangan kecelakaan serta pemulihan kualitas lingkungan hidup akibat kejadian kecelakaan pengelolaan B3 dan/atau limbah B3. 36. Izin lingkungan adalah izin yang diberikan kepada setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan yang wajib amdal atau UKL-UPL dalam rangka perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagai prasyarat untuk memperoleh izin usaha dan/atau kegiatan. 37. Pencemaran lingkungan hidup adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan. 38. Kerusakan lingkungan hidup adalah perubahan langsung dan/atau tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup yang melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup. 39. Perusakan lingkungan hidup adalah tindakan orang yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup sehingga melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup. 40. Penanggulangan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup adalah cara atau proses untuk mengatasi pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup. 3

41. Pemulihan fungsi lingkungan hidup adalah cara atau proses mengembalikan seperti semula fungsi lingkungan hidup yang disebabkan oleh pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup. 42. Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup yang selanjutnya disingkat PPLH adalah Pegawai Negeri Sipil yang diberi tugas, wewenang, kewajiban dan tanggung jawab untuk melaksanakan kegiatan pengawasan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 43. Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup Daerah yang selanjutnya disingkat PPLHD adalah Pegawai Negeri Sipil di daerah yang diberi tugas, wewenang, kewajiban dan tanggung jawab untuk melaksanakan kegiatan pengawasan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 44. Setiap orang adalah orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum. 45. Pemerintah daerah adalah gubernur, bupati/walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintah daerah. 46. Pemerintah Pusat, yang selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 47. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Pasal 2 Peraturan Pemerintah ini mengatur mengenai: a. pengelolaan B3; b. pengelolaan limbah B3; c. dumping limbah B3; d. perizinan; e. penanggulangan pencemaran, perusakan, dan pemulihan fungsi lingkungan hidup akibat B3 dan limbah B3; f. sistem tanggap darurat dalam pengelolaan B3 dan limbah B3; g. pembinaan dan pengawasan dalam pengelolaan B3 dan limbah B3; h. ketentuan lain-lain; dan i. sanksi administratif. BAB II PENGELOLAAN B3 Bagian Kesatu Umum Pasal 3 (1) Setiap orang yang memasukkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, menghasilkan, mengangkut, mengedarkan, menyimpan, memanfaatkan, membuang, mengolah, dan/atau menimbun B3 wajib melakukan pengelolaan B3. (2) B3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi B3 dalam bentuk: a. senyawa tunggal; b. senyawa campuran; dan c. preparat. (3) B3 yang dikecualikan pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. narkotika, psikotropika, dan/atau prekursornya serta zat adiktif lainnya. b. zat radioaktif; 4

c. B3 yang digunakan untuk senjata kimia; d. B3 yang digunakan untuk bahan farmasi untuk kosmetik dan obat; e. B3 yang digunakan untuk bahan tambahan pangan; dan f. B3 yang dimasukkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam jumlah yang tidak menimbulkan bahaya terhadap kesehatan manusia dan lingkungan hidup untuk analisis di laboratorium dan penelitian. (4) Pengelolaan B3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. kategorisasi B3; b. penentuan karakteristik B3; c. pengemasan B3; d. pelabelan dan simbol B3; e. notifikasi B3; f. registrasi B3; g. pelaporan; dan h. penatalaksanaan penyimpanan B3; i. penatalaksanaan pengangkutan B3; dan j. pengelolaan kemasan B3 bekas. Bagian Kedua Kategorisasi B3 Pasal 4 (1) B3 dikategorisasikan menjadi 3 (tiga) kategori: a. B3 yang dapat dimanfaatkan; b. B3 yang terbatas untuk dimanfaatkan; dan c. B3 yang dilarang untuk dimanfaatkan. (2) B3 yang dapat dimanfaatkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini. (3) B3 yang terbatas untuk dimanfaatkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini. (4) B3 yang dilarang untuk dimanfaatkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c sebagaimana tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini. (5) Dalam hal terdapat B3 yang dilarang dimanfaatkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, B3 tersebut harus diolah sesuai dengan ketentuan pengelolaan limbah B3. Pasal 5 (1) Dalam hal penghasil akan menghasilkan B3 dan/atau importir B3 akan memasukkan B3 ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk pertama kali dan B3 tersebut tidak tercantum dalam Lampiran I, Lampiran II, dan Lampiran III Peraturan Pemerintah ini, wajib mengajukan permohonan penetapan kategori B3 kepada Menteri. (2) Pengajuan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Menteri untuk selanjutnya dievaluasi oleh tim teknis B3 yang dibentuk oleh Menteri. (3) Pengajuan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan LDK. (4) LDK sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dibuat oleh: a. penghasil B3, sebelum B3 dihasilkan untuk pertama kali; atau b. penghasil B3 di luar negeri, pada saat B3 dimasukkan pertama kali ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. 5

(5) LDK sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dibuat berdasarkan hasil uji karakteristik dan: a. dokumen sistem global terharmonisasi mengenai klasifikasi dan pelabelan bahan kimia (Globally Harmonized System of Classification and Labelling of Chemicals); dan/atau b. dokumen lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang terkait dengan klasifikasi dan pelabelan B3 serta risiko yang akan terjadi terhadap kesehatan manusia dan lingkungan hidup. Pasal 6 (1) LDK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (4) paling sedikit memuat informasi mengenai: a. identitas B3; b. identitas penghasil B3; c. komposisi B3; d. identifikasi bahaya sesuai dengan karakteristik B3; e. tindakan pertolongan pertama pada kecelakaan; f. tindakan penanggulangan kebakaran; g. tindakan mengatasi kebocoran dan tumpahan; h. penyimpanan dan penanganan B3; i. pengendalian pemajanan dan alat pelindung diri; j. sifat fisika dan kimia B3; k. stabilitas dan reaktivitas B3; l. informasi toksikologi; m. informasi ekologi; n. pembuangan limbah; o. pengangkutan B3; dan p. informasi lain yang diperlukan. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai LDK diatur dalam Peraturan Menteri. Pasal 7 (1) Tim teknis B3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) melakukan evaluasi terhadap LDK yang disampaikan oleh pemohon yang mengajukan penetapan kategori B3. (2) Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lama 45 (empat puluh lima) hari kerja sejak permohonan dinyatakan lengkap secara administrasi dan teknis oleh Menteri. (3) Tim teknis B3 menyampaikan hasil evaluasi berupa rekomendasi kepada Menteri. (4) Rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling sedikit memuat: a. identitas B3; b. kategori B3; c. karakteristik B3; dan d. dampak atau risikonya terhadap kesehatan dan lingkungan hidup. (5) Menteri, berdasarkan rekomendasi tim teknis B3 menetapkan kategori B3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4. Bagian Ketiga Penentuan Karakteristik B3 Pasal 8 (1) Uji karakteristik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (5) dilaksanakan untuk menentukan klasifikasi B3. (2) Klasifikasi B3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. berbahaya secara fisik; 6

b. berbahaya terhadap kesehatan manusia; dan c. berbahaya terhadap lingkungan. (3) B3 diklasifikasikan berbahaya secara fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a apabila memiliki karakteristik: a. eksplosif; b. gas mudah menyala; c. aerosol mudah menyala; d. cairan mudah menyala; e. padatan mudah menyala; f. bahan atau campuran yang apabila kontak dengan air melepaskan gas mudah menyala; g. bahan atau campuran swapanas; h. gas oksidator; i. cairan oksidator; j. padatan oksidator; k. oksidator organik; l. bahan atau campuran swareaktif; m. cairan piroforik; n. padatan piroforik; o. gas bertekanan; dan/atau p. korosif pada logam. (4) B3 diklasifikasikan berbahaya terhadap kesehatan manusia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b apabila memiliki karakteristik: a. beracun akut; b. korosi atau iritasi kulit; c. kerusakan atau iritasi serius pada mata; d. sensitivitas pernafasan atau kulit; e. mutagenasi sel induk; f. karsinogenisitas; g. beracun terhadap sistem reproduksi; h. beracun secara sistemik terhadap organ sasaran secara spesifik setelah paparan tunggal; i. beracun secara sistemik pada organ sasaran spesifik setelah paparan berulang; dan/atau j. bahaya aspirasi. (5) B3 diklasifikasikan berbahaya terhadap lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c apabila memiliki karakteristik: a. bahaya terhadap ekosistem lingkungan akuatik dan lingkungan darat (teresterial); dan/atau b. bahaya terhadap lapisan atmosfer dan ozon. Pasal 9 Ketentuan mengenai tata cara dan persyaratan pelaksanaan uji karakteristik diatur dalam Peraturan Menteri. Pasal 10 (1) Tim teknis B3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) terdiri atas: a. ketua; b. sekretaris; dan c. anggota. (2) Tim teknis B3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari unsur: a. kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang lingkungan hidup; b. kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perindustrian; 7

c. kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perdagangan; d. kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanian; e. kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan; f. kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan; g. kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan; h. lembaga pemerintah nonkementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang riset dan teknologi; i. lembaga pemerintah nonkementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ilmu pengetahuan; j. perguruan tinggi; k. organisasi lingkungan hidup; dan l. unsur lain sesuai kebutuhan. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata kerja tim teknis B3 diatur dalam Peraturan Menteri. Pasal 11 (1) B3 sebagaimana tercantum dalam Lampiran I, Lampiran II, dan Lampiran III Peraturan Pemerintah ini dievaluasi paling lama setiap 5 (lima) tahun sekali untuk menetapkan perubahan kategori B3. (2) Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh tim teknis B3. (3) Dalam melakukan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tim teknis B3 harus mempertimbangkan usulan dari menteri, pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian yang bidang tugasnya terkait dengan pengelolaan B3, dan/atau pihak lain. (4) Perubahan kategori sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam Peraturan Menteri. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara evaluasi oleh tim teknis B3 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Menteri. Bagian Keempat Pengemasan B3 Pasal 12 (1) B3 yang dihasilkan, dimasukkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, diedarkan, disimpan, dan dimanfaatkan oleh setiap orang wajib dikemas sesuai dengan karakteristik B3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8. (2) Kemasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memenuhi persyaratan mampu: a. mempertahankan mutu B3 sesuai dengan karakteristiknya; dan b. mengungkung B3 untuk tetap berada di dalam kemasan. (3) Apabila kemasan B3 tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau kemasan B3 rusak, setiap orang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib: a. mengemas kembali B3 sesuai dengan karakteristiknya; dan b. melakukan penanganan untuk mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup, membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, dan/atau kelangsungan hidup manusia dan 8

makhluk hidup lain apabila berpotensi menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup. Pasal 13 (1) Setiap orang yang mengangkut B3 wajib memastikan kemasan B3 yang akan diangkut memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2). (2) Apabila kemasan B3 yang akan diangkut tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap orang yang mengangkut B3 wajib mengembalikan kemasan B3 kepada pengirim. Pasal 14 (1) Ketentuan mengenai tata cara dan persyaratan pembuatan kemasan dan pengemasan B3 diatur dalam Peraturan Menteri. (2) Dalam menyusun Peraturan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perindustrian. Bagian Kelima Pelabelan dan Simbol B3 Pasal 15 (1) Kemasan B3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) wajib dilekati dengan label dan simbol B3. (2) Label B3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat keterangan mengenai: a. penandaan produk B3; b. piktogram bahaya; c. kata sinyal; d. pernyataan bahaya; e. identitas penghasil; f. pernyataan kehati-hatian; dan g. penanganan bila terjadi tumpahan. (3) Simbol B3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat sesuai dengan karakteristik B3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8. (4) Simbol dan Label pada kemasan B3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menggunakan Bahasa Indonesia. Pasal 16 (1) Setiap orang yang mengangkut atau mengedarkan B3 wajib memastikan setiap kemasan B3 telah dilekati label dan simbol B3. (2) Apabila label dan simbol pada kemasan B3 rusak, setiap orang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mengganti label dan simbol B3. Pasal 17 (1) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembuatan dan pemasangan label dan simbol B3 diatur dalam Peraturan Menteri. (2) Dalam menyusun Peraturan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perindustrian. 9

Bagian Keenam Notifikasi B3 Pasal 18 (1) Dalam hal B3 yang masuk kategori terbatas untuk dimanfaatkan akan dimasukkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, importir B3 melalui otoritas negara eksportir B3 wajib mengajukan permohonan notifikasi kepada Pemerintah Republik Indonesia melalui Menteri. (2) Permohonan notifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dengan keterangan mengenai: a. identitas B3; b. identitas importir B3; c. identitas eksportir B3; d. asal negara B3; e. jumlah B3 yang dimasukkan; dan f. tujuan pemanfaatan B3. (3) Apabila notifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disetujui, Menteri menerbitkan persetujuan notifikasi impor B3. (4) Menteri dapat mendelegasikan kewenangan persetujuan notifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada pejabat yang bertanggungjawab di bidang pengelolaan B3. (5) Persetujuan notifikasi impor B3 sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menjadi dasar penerbitan izin impor B3 yang diberikan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perdagangan. Pasal 19 (1) Berdasarkan permohonan notifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) Menteri memberikan persetujuan atau penolakan. (2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat: a. identitas B3; b. identitas importir B3; c. identitas eksportir B3; d. asal negara B3; e. jumlah B3 yang dimasukkan; dan f. tujuan pemanfaatan. (3) Penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disertai dengan alasan penolakan. Pasal 20 (1) Setiap orang yang akan mengeluarkan B3 yang masuk kategori terbatas untuk dimanfaatkan dari Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia wajib memiliki notifikasi dari Menteri. (2) Untuk memperoleh notifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setiap orang harus: a. mengajukan permohonan notifikasi secara tertulis kepada Menteri; dan b. mengisi formulir notifikasi. (3) Berdasarkan permohonan notifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri menyampaikan notifikasi kepada otoritas negara tujuan. (4) Apabila notifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disetujui oleh otoritas negara tujuan, Menteri menerbitkan persetujuan notifikasi ekspor B3 yang terbatas untuk dimanfaatkan. (5) Berdasarkan persetujuan notifikasi ekspor B3 sebagaimana dimaksud pada ayat (3), menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang 10

perdagangan menerbitkan izin ekspor B3 yang terbatas untuk dimanfaatkan. Bagian Ketujuh Registrasi B3 Pasal 21 (1) Setiap orang yang memasukkan B3 ke dalam Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia wajib memiliki tanda bukti registrasi dari Menteri. (2) Untuk memperoleh registrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setiap orang harus mengajukan permohonan secara tertulis kepada Menteri. (3) Registrasi untuk kategori B3 yang dapat dimanfaatkan dan B3 yang terbatas untuk dimanfaatkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a dan huruf b dilakukan: a. 1 (satu) kali setiap 3 (tiga) tahun; dan b. 1 (satu) kali untuk B3 yang dimasukkan pertama kali ke dalam Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia oleh importir yang juga bertindak sebagai penghasil B3. (4) Registrasi untuk kategori B3 yang terbatas untuk dimanfaatkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b dilakukan setelah terbitnya persetujuan notifikasi untuk memasukkan B3 ke dalam Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19. Pasal 22 (1) Permohonan registrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dilengkapi dengan: a. identitas pemohon; b. identitas B3; c. LDK; d. angka pengenal importir; e. nomor pokok wajib pajak; dan f. perencanaan pemanfaatan dan rantai distribusi. (2) Menteri berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menerbitkan registrasi. (3) Registrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit memuat: a. identitas pemohon; b. identitas B3; c. asal negara B3; d. nomor dan tanggal registrasi; dan e. masa berlaku registrasi. (4) Registrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditembuskan kepada: a. menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perdagangan; dan b. menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang bea cukai. Pasal 23 (1) Setiap orang yang menghasilkan B3 wajib memiliki tanda bukti registrasi dari Menteri. (2) Untuk memperoleh tanda bukti registrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setiap orang harus mengajukan permohonan registrasi secara tertulis kepada Menteri. (3) Registrasi untuk kategori B3 yang dapat dimanfaatkan dan B3 yang terbatas untuk dimanfaatkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat 11

(1) huruf a dan huruf b dilakukan sebanyak 1 (satu) kali pada saat B3 pertama kali dihasilkan. (4) Registrasi untuk kategori B3 yang terbatas untuk dimanfaatkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) ayat b dilakukan setelah mendapat rekomendasi dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perindustrian. Pasal 24 (1) Permohonan registrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) dilengkapi dengan: a. identitas pemohon; b. identitas B3; c. LDK; d. nomor pokok wajib pajak; dan e. akta pendirian perusahaan. (2) Menteri, berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), menerbitkan registrasi. (3) Registrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit memuat: a. identitas pemohon; b. identitas B3; c. nomor dan tanggal registrasi; dan d. masa berlaku registrasi. (4) Registrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditembuskan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perindustrian. Pasal 25 Menteri menolak permohonan registrasi B3 apabila B3 yang dimohonkan untuk dilakukan registrasi mengandung B3 yang dilarang untuk dimanfaatkan. Bagian Kedelapan Pelaporan Pasal 26 (1) Setiap orang yang: a. menghasilkan B3 yang dapat dimanfaatkan dan/atau B3 yang terbatas untuk dimanfaatkan, paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun untuk setiap jenis B3 sejak B3 pertama kali dihasilkan; b. memasukkan B3 yang dapat dimanfaatkan dan/atau B3 yang terbatas untuk dimanfaatkan ke dalam Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun untuk setiap jenis B3 yang dimasukkan ke dalam Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan c. memasukkan B3 yang dapat dimanfaatkan dan/atau B3 yang terbatas untuk dimanfaatkan ke dalam Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang juga bertindak sebagai penghasil B3, paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun untuk setiap jenis B3 yang dimasukkan ke dalam Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, wajib menyampaikan laporan secara tertulis kepada Menteri. (2) Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan untuk pertama kali paling lama 90 (sembilan puluh) hari sejak registrasi diterbitkan oleh Menteri. (3) Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat: a. identitas penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan; 12

b. jenis dan karakteristik B3; dan c. jumlah B3 yang dihasilkan dan/atau dimasukkan ke dalam Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan format pelaporan diatur dengan Peraturan Menteri. Bagian Kesembilan Penyimpanan B3 Pasal 27 (1) Setiap orang yang menyimpan B3 wajib melakukan penyimpanan B3. (2) Penyimpanan B3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan: a. lokasi; b. fasilitas; c. pelabelan dan simbol B3; d. kemasan dan wadah; e. penempatan sesuai dengan karakteristik B3; dan f. peralatan keselamatan dan penanganan B3. (3) Lokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a harus memenuhi persyaratan paling sedikit: a. bebas banjir dan tidak rawan bencana alam; atau b. dapat direkayasa dengan teknologi untuk perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, apabila tidak bebas banjir dan rawan bencana alam. (4) Fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b harus memenuhi persyaratan paling sedikit: a. desain dan konstruksi sesuai karakteristik B3 dan mampu melindungi B3 dari hujan dan sinar matahari; b. penerangan dan ventilasi; dan c. saluran drainase dan bak penampung. (5) Pelabelan dan simbol B3 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dilaksanakan sesuai dengan ketentuan pelabelan dan simbol B3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 sampai dengan Pasal 17. (6) Kemasan dan wadah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d harus memenuhi persyaratan paling sedikit: a. sesuai dengan karakteristik B3; dan b. tidak mudah bocor. (7) Penempatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e dilakukan paling sedikit dengan cara: a. menempatkan B3 sesuai karakteristik B3 dan rencana penyimpanan B3; b. memenuhi persyaratan jarak penempatan antar B3 sesuai karakteristik B3; dan c. memenuhi persyaratan keselamatan dan penanganan B3. (8) Peralatan keselamatan dan penanganan B3 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf f paling sedikit terdiri atas: a. alat pemadam api ringan; dan b. cadangan air untuk menyiram. (9) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan penyimpanan B3 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri. 13

Bagian Kesepuluh Pengangkutan B3 Pasal 28 (1) Setiap orang yang mengangkut B3 wajib memiliki izin dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perhubungan. (2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan berdasarkan rekomendasi dari Menteri. (3) Untuk memperoleh rekomendasi dari Menteri, setiap orang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus menyampaikan permohonan tertulis yang dilengkapi dengan: a. identitas pemohon; b. akta pendirian badan usaha; c. bukti identitas alat angkut; d. dokumen pengangkutan B3; dan e. dokumen lingkungan. (4) Menteri, setelah menerima permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) melakukan evaluasi dan penerbitan rekomendasi paling lama 45 (empat puluh lima) hari kerja sejak permohonan diterima dan dinyatakan lengkap secara administrasi dan teknis. (5) Rekomendasi dari Menteri paling sedikit memuat: a. identitas alat angkut; b. jenis B3 yang akan diangkut; dan c. kewajiban pengangkut. (6) Kewajiban pengangkut sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf c paling sedikit meliputi: a. mengangkut B3 sesuai lingkup rekomendasi yang diberikan; b. melaporkan pelaksanaan pengangkutan B3 paling sedikit 6 (enam) bulan sekali sejak izin diterbitkan; c. menggunakan alat angkut yang memiliki izin pengangkutan B3; dan d. melaksanakan pengangkutan B3 sesuai persyaratan dalam izin pengangkutan B3. (7) Rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berlaku selama usaha dan/atau kegiatan pengangkutan B3 beroperasi. (8) Tata cara dan persyaratan memperoleh izin pengangkutan B3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundangundangan. Bagian Kesebelas Pengelolaan Kemasan B3 Bekas Pasal 29 (1) Setiap orang yang menghasilkan, mengedarkan, dan/atau memanfaatkan B3 wajib melakukan pengelolaan kemasan B3 bekas. (2) Pengelolaan kemasan B3 bekas oleh setiap orang yang menghasilkan dan mengedarkan B3 paling sedikit dilakukan dengan: a. penarikan kembali kemasan B3 bekas; b. penggunaan kembali kemasan B3 bekas untuk penggunaan yang sama; dan/atau c. penyerahan kepada pihak ketiga sebagai pengelola limbah B3 yang memiliki izin. (3) Penarikan kembali kemasan B3 bekas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dapat dilakukan melalui kerja sama dengan pihak lain. (4) Pengelolaan kemasan B3 bekas oleh setiap orang yang memanfaatkan B3 paling sedikit dilakukan dengan: 14

a. penyimpanan kemasan B3 bekas di tempat penyimpanan limbah B3; atau b. penyerahan kembali kemasan B3 bekas kepada orang yang menghasilkan atau mengedarkan B3. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penarikan dan penggunaan kembali kemasan B3 bekas diatur dalam Peraturan Menteri. Pasal 30 Dalam hal kemasan B3 bekas tidak dapat digunakan kembali untuk penggunaan yang sama, setiap orang yang menghasilkan B3 wajib melakukan pengelolaan kemasan B3 bekas sesuai dengan pengelolaan limbah B3. BAB III PENGELOLAAN LIMBAH B3 Bagian Kesatu Umum Pasal 31 (1) Setiap orang yang menghasilkan limbah B3 wajib melakukan pengelolaan limbah B3 yang dihasilkannya. (2) Limbah B3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. limbah B3 dari sumber tidak spesifik; b. limbah B3 dari sumber spesifik; c. B3 kadaluwarsa; dan d. tumpahan, bekas kemasan, dan buangan produk B3 yang tidak memenuhi spesifikasi. (3) Limbah B3 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini. (4) Limbah B3 dari sumber spesifik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b meliputi: a. limbah B3 dari sumber spesifik umum; dan b. limbah B3 dari sumber spesifik khusus. (5) Limbah B3 sebagaimana dimaksud pada ayat (4) sebagaimana tercantum dalam: a. Lampiran V Tabel 1 untuk limbah B3 dari sumber spesifik umum; dan b. Lampiran V Tabel 2 untuk limbah B3 dari sumber spesifik khusus, yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini. (6) Limbah B3 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dan huruf d sebagaimana tercantum dalam Lampiran VI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini. (7) Limbah B3 sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ayat (5) dan ayat (6) tidak memerlukan uji karakteristik untuk penentuannya sebagai limbah B3. (8) Pengelolaan limbah B3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan: a. pengurangan limbah B3; b. pengangkutan limbah B3 c. penyimpanan limbah B3; d. pengumpulan limbah B3; e. pemanfaatan limbah B3; f. pengolahan limbah B3; dan/atau g. penimbunan limbah B3. 15

Bagian Kedua Identifikasi Limbah B3 Pasal 32 (1) Dalam hal terdapat limbah yang tidak termasuk dalam daftar limbah B3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (3), ayat (5), dan ayat (6), setiap orang yang menghasilkan limbah wajib melakukan uji karakteristik limbah B3 terhadap limbah tersebut. (2) Karakteristik limbah B3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. eksplosif; b. mudah menyala; c. reaktif; d. infeksius; e. beracun; dan/atau f. korosif; (3) Karakteristik beracun sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e ditentukan melalui: a. prosedur pelindian (toxicity characteristic leaching procedure); dan/atau b. uji toksikologi. (4) Uji toksikologi sebagaimana yang dimaksud pada ayat (3) huruf b ditentukan melalui: a. uji LD 50 (lethal dose fifty) dan LC 50 (lethal concentration fifty); b. uji sub-kronis; dan/atau c. uji kronis. (5) Penentuan karakteristik beracun melalui prosedur pelindian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a didasarkan pada baku mutu lindi sebagaimana tercantum dalam Lampiran VII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini. Pasal 33 (1) Uji karakteristik limbah B3 dapat dilakukan oleh: a. setiap orang yang menghasilkan limbah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1); atau b. pihak lain yang ditunjuk oleh setiap orang yang menghasilkan limbah sebagaimana dimaksud pada huruf a. (2) Dalam melakukan uji karakteristik limbah B3, setiap orang atau pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus menggunakan laboratorium lingkungan untuk setiap parameter yang akan diuji. (3) Parameter uji untuk masing-masing karakteristik limbah B3 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi parameter sebagaimana tercantum dalam Lampiran VII Peraturan Pemerintah ini. (4) Dalam hal belum terdapat laboratorium lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), uji karakteristik limbah B3 dilakukan oleh laboratorium yang menerapkan prosedur yang telah memenuhi Standar Nasional Indonesia mengenai tata cara berlaboratorium yang baik. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara uji karakteristik limbah B3 diatur dalam Peraturan Menteri. Pasal 34 (1) Limbah yang telah dilakukan uji karakteristik limbah B3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 wajib memperoleh penetapan hasil identifikasi limbah dari Menteri. (2) Untuk memperoleh penetapan hasil identifikasi limbah dari Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap orang yang menghasilkan limbah harus mengajukan permohonan tertulis kepada Menteri. 16

(3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilengkapi dengan: a. identitas pemohon; b. sumber limbah; dan c. hasil uji karakteristik limbah B3. Pasal 35 (1) Menteri setelah menerima permohonan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 menugaskan tim ahli limbah B3 untuk melakukan evaluasi terhadap permohonan tersebut. (2) Tim ahli limbah B3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk oleh Menteri. (3) Tim ahli limbah B3 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas: a. ketua; b. sekretaris; dan c. anggota. (4) Susunan tim ahli limbah B3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari unsur: a. kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang lingkungan hidup; b. kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perindustrian; c. kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang riset dan teknologi; d. kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan; e. lembaga pemerintah nonkementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ilmu pengetahuan; f. perguruan tinggi; g. organisasi lingkungan hidup; dan h. unsur lain sesuai kebutuhan. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata kerja tim ahli limbah B3 diatur dalam Peraturan Menteri. Pasal 36 (1) Evaluasi oleh tim ahli limbah B3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 meliputi identifikasi dan analisis terhadap: a. hasil uji karakteristik limbah B3 termasuk prosedur pengambilan sampel dan metode uji; b. proses produksi pada usaha dan/atau kegiatan yang menghasilkan limbah; dan c. bahan baku dan/atau bahan penolong yang digunakan dalam proses produksi sebagaimana dimaksud pada huruf b. (2) Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lama 90 (sembilan puluh) hari kerja sejak permohonan diterima dan dinyatakan lengkap secara administrasi dan teknis. (3) Tim ahli limbah B3 menyampaikan rekomendasi hasil evaluasi kepada Menteri paling lama 30 (tigapuluh) hari kerja sejak hasil evaluasi diketahui. (4) Rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling sedikit memuat: a. identitas pemohon; b. identitas limbah; c. sumber limbah; d. dasar pertimbangan rekomendasi; e. kesimpulan hasil evaluasi terhadap hasil uji karakteristik limbah B3; dan f. kewajiban untuk melakukan pengelolaan limbah. 17

(5) Apabila hasil evaluasi terhadap limbah menunjukkan adanya karakteristik limbah B3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2), rekomendasi tim ahli limbah B3 memuat pernyataan bahwa limbah yang diajukan permohonan penetapan identifikasinya merupakan limbah B3. (6) Apabila hasil evaluasi terhadap limbah tidak menunjukkan adanya karakteristik limbah B3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2), rekomendasi tim ahli limbah B3 memuat pernyataan bahwa limbah yang diajukan permohonan penetapan identifikasinya merupakan limbah nonb3. Pasal 37 (1) Menteri berdasarkan rekomendasi tim ahli limbah B3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (3) menetapkan limbah sebagai: a. limbah B3; atau b. limbah nonb3. (2) Penetapan limbah B3 atau limbah nonb3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak rekomendasi tim ahli limbah B3 disampaikan ke Menteri. Pasal 38 (1) Pada saat Menteri belum memberikan penetapan sebagai limbah B3 atau limbah nonb3, setiap orang yang menghasilkan limbah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) wajib melakukan penyimpanan sementara. (2) Penyimpanan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lama 90 (sembilanpuluh) hari. (3) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terlampaui Menteri belum memberikan penetapan sebagai limbah B3 atau limbah nonb3, penyimpanan sementara dapat diperpanjang sampai dengan jangka waktu paling lama 365 (tigaratus enampuluh lima) hari. (4) Apabila Menteri telah menetapkan sebagai limbah B3, pengelolaan limbahnya mengikuti pengelolaan limbah B3. (5) Apabila Menteri telah menetapkan sebagai limbah nonb3, pengelolaan limbahnya diatur dalam peraturan perundang-undangan tersendiri. Bagian Ketiga Pengeluaran Limbah B3 dari Daftar Limbah B3. Pasal 39 (1) Limbah B3 sebagaimana tercantum dalam Lampiran V Peraturan Pemerintah ini dapat dinyatakan sebagai limbah nonb3 dengan penetapan Menteri. (2) Untuk memperoleh penetapan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap orang yang menghasilkan limbah B3 harus mengajukan permohonan penetapan secara tertulis kepada Menteri. (3) Permohonan penetapan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2), wajib melampirkan hasil uji karakteristik limbah B3 yang terdiri atas: a. eksplosif; b. mudah menyala; c. reaktif; d. infeksius; e. beracun; dan/atau f. korosif. (4) Karakteristik beracun sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf e ditentukan melalui: a. prosedur pelindian (toxicity characteristic leaching procedure); dan/atau 18

b. uji toksikologi. (5) Uji toksikologi sebagaimana yang dimaksud pada ayat (4) huruf b ditentukan melalui : a. uji LD 50 (lethal dose fifty) dan LC 50 (lethal concentration fifty); b. uji sub-kronis; dan/atau c. uji kronis. (6) Permohonan penetapan sebagaimana dimaksud ayat (2) harus dilengkapi dengan persyaratan yang meliputi: a. identitas pemohon; b. sumber limbah c. nama limbah B3; d. hasil uji karakteritik limbah B3; e. bahan baku dan/atau bahan penolong yang digunakan dalam proses produksi yang menghasilkan limbah B3; f. proses produksi yang menghasilkan limbah B3 yang diajukan untuk ditetapkan sebagai limbah non B3; dan g. alasan pengajuan permohonan pengeluaran limbah B3 dari daftar limbah B3. Pasal 40 (1) Menteri setelah menerima permohonan penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (2) menugaskan tim ahli limbah B3 untuk melakukan evaluasi terhadap permohonan tersebut. (2) Evaluasi oleh tim ahli limbah B3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lama 45 (empatpuluh lima) hari kerja sejak permohonan diterima dan dinyatakan lengkap secara administrasi dan teknis. (3) Tim ahli limbah B3 menyampaikan hasil evaluasi berupa rekomendasi kepada Menteri. (4) Rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling sedikit memuat: a. identitas pemohon; b. sumber limbah; c. nama limbah B3; d. dasar pertimbangan rekomendasi; e. kesimpulan hasil evaluasi; dan f. kewajiban untuk melakukan pengelolaan limbah. (5) Apabila hasil evaluasi terhadap limbah B3 menunjukkan bahwa limbah B3 yang diajukan permohonan penetapannya tidak menunjukkan karakteristik limbah B3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (3), rekomendasi tim ahli limbah B3 memuat pernyataan bahwa limbah B3 tersebut merupakan limbah non B3. (6) Apabila hasil evaluasi terhadap limbah B3 yang diajukan permohonan penetapannya menunjukkan adanya karakteristik limbah B3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (3), rekomendasi tim ahli limbah B3 memuat pernyataan bahwa limbah B3 tersebut merupakan limbah B3. Pasal 41 (1) Menteri, berdasarkan rekomendasi tim ahli limbah B3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (3), menerbitkan penetapan yang memuat: a. limbah B3 yang diajukan permohonan penetapannya merupakan limbah nonb3; atau b. penolakan permohonan penetapan limbah B3 sebagai limbah nonb3. (2) Penolakan permohonan penetapan limbah B3 sebagai limbah nonb3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b disertai dengan alasan penolakan. 19

(3) Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya berlaku terhadap limbah B3 yang diajukan oleh penghasil limbah B3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (2). Bagian Keempat Penghasil Limbah B3 Pasal 42 (1) Penghasil limbah B3 wajib melakukan pengelolaan limbah B3 yang dihasilkannya. (2) Pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. pengurangan; b. pengangkutan; c. penyimpanan; d. pengumpulan; e. pemanfaatan; f. pengolahan; dan/atau g. penimbunan. (3) Selain pengelolaan sebagaimana dimaksud ayat (2), penghasil limbah B3 dapat melakukan: a. ekspor limbah B3; dan/atau b. dumping limbah B3, terhadap limbah B3 yang dihasilkannya. (4) Penghasil limbah B3 dapat menyerahkan limbah B3 yang dihasilkannya kepada pihak lain yang memiliki izin, antara lain: a. pengumpul limbah B3; b. pemanfaat limbah B3; c. pengolah limbah B3; dan/atau d. penimbun limbah B3. (5) Penyerahan limbah B3 ke pihak lain sebagaimana dimaksud ayat (4) tidak menghilangkan tanggung jawab penghasil limbah B3. Bagian Kelima Pengurangan Limbah B3 Pasal 43 (1) Pengurangan limbah B3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (8) huruf a dilakukan melalui: a. melaksanakan tata kelola lingkungan yang baik (good house keeping); b. pemisahan limbah B3 dengan limbah nonb3; c. substitusi bahan baku dan/atau bahan penolong; d. modifikasi proses; dan/atau e. penggunaan teknologi ramah lingkungan. (2) Substitusi bahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dapat dilakukan melalui pemilihan bahan baku dan/atau bahan penolong yang semula mengandung B3 digantikan dengan bahan baku dan/atau bahan penolong yang tidak mengandung B3. (3) Modifikasi proses sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dapat dilakukan melalui pemilihan dan penerapan proses yang lebih efisien. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman pengurangan limbah B3 diatur dalam Peraturan Menteri. 20

Bagian Keenam Pengangkutan Limbah B3 Pasal 44 (1) Pengangkutan limbah B3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (8) huruf b wajib memiliki izin pengangkutan limbah B3 dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perhubungan. (2) Sebelum memperoleh izin pengangkutan limbah B3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pengangkut limbah B3 wajib mendapat rekomendasi dari Menteri. (3) Pengangkutan limbah B3 hanya diperkenankan apabila penghasil telah melaksanakan kontrak kerjasama dengan pihak pengelola limbah B3. (4) Pengangkutan limbah B3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilengkapi dengan manifes limbah B3. Pasal 45 (1) Pengangkut limbah B3 untuk mendapat rekomendasi dari Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (2) harus mengajukan permohonan secara tertulis kepada Menteri. (2) Permohonan secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dengan persyaratan yang meliputi: a. dokumen lingkungan; b. identitas pemohon; c. akta pendirian badan usaha; d. bukti kepemilikan atas dana penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan dan pemulihan lingkungan hidup; e. bukti kepemilikan alat angkut untuk moda angkutan darat; f. dokumen pengangkutan limbah B3; g. kontrak kerjasama antara penghasil limbah B3 dengan pengumpul, pemanfaat, pengolah, dan/atau penimbun limbah B3 yang telah memiliki izin; h. memiliki garasi dan tempat pencucian alat angkut limbah B3; dan i. memiliki sertifikat pelatihan pengelolaan limbah B3. (3) Dalam hal kontrak kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf g dilakukan antara penghasil limbah B3 dengan pengumpul, pengumpul wajib memiliki kontrak dengan pemanfaat, pengolah, dan/atau penimbun limbah B3 yang telah memiliki izin. (4) Dokumen pengangkutan limbah B3 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf f paling sedikit memuat: a. jenis dan jumlah alat angkut; b. sumber limbah B3, nama limbah B3, dan karakteristik limbah B3 yang diangkut; c. identitas alat angkut; d. prosedur penanganan limbah B3 pada kondisi darurat; e. peralatan untuk penanganan limbah B3; dan f. prosedur bongkar muat limbah B3. Pasal 46 (1) Menteri, setelah menerima permohonan rekomendasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45, memberikan pernyataan tertulis mengenai kelengkapan administrasi paling lama 2 (dua) hari kerja sejak permohonan diterima. (2) Setelah permohonan dinyatakan lengkap secara administrasi, Menteri melakukan verifikasi paling lama 10 (sepuluh) hari kerja. 21

(3) Apabila hasil verifikasi menunjukkan permohonan rekomendasi memenuhi persyaratan, Menteri menerbitkan rekomendasi paling lama 45 (empatpuluh lima) hari kerja sejak hasil verifikasi diketahui. (4) Rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling sedikit memuat: a. identitas, jenis dan spefikasi alat angkut; b. kode manifes pengangkutan limbah B3; c. nama dan karakteristik limbah B3 yang diangkut; dan d. masa berlaku rekomendasi. (5) Apabila hasil verifikasi menunjukkan rekomendasi tidak memenuhi persyaratan, Menteri menolak rekomendasi. (6) Penolakan permohonan rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) disertai dengan alasan penolakan. Pasal 47 Rekomendasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (3) berlaku selama usaha dan/atau kegiatan pengangkutan limbah B3 beroperasi. Pasal 48 Persyaratan, tata cara permohonan dan penerbitan izin pengangkutan limbah B3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 49 (1) Pengangkut limbah B3 setelah memperoleh izin pengangkutan limbah B3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1), wajib: a. melakukan pengangkutan sesuai dengan rekomendasi dan izin pengangkutan limbah B3; b. menyampaikan manifest pengangkutan limbah B3 kepada Menteri; dan c. melaporkan pelaksanaan pengangkutan limbah B3. (2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat: a. nama limbah B3, sumber, karakteristik, dan jumlah limbah B3 yang diangkut dan tanggal pengangkutan; b. jumlah dan jenis alat angkut limbah B3; c. tujuan akhir pengangkutan limbah B3; dan d. bukti penyerahan limbah B3. (3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada Menteri dan ditembuskan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perhubungan paling sedikit 1 (satu) kali dalam 6 (enam) bulan. Bagian Ketujuh Penyimpanan Limbah B3 Pasal 50 (1) Setiap orang yang menghasilkan limbah B3 dan melakukan penyimpanan limbah B3 wajib memiliki izin penyimpanan limbah B3 dari bupati/walikota. (2) Tempat penyimpanan limbah B3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan: a. lokasi penyimpanan limbah B3; b. fasilitas penyimpanan limbah B3 yang sesuai dengan jumlah, karakteristik limbah B3, dan dilengkapi dengan peralatan pengendalian pencemaran lingkungan; dan c. ketersediaan peralatan penanggulangan keadaan darurat. 22