BAB IV DATA DAN HASIL PENELITIAN

dokumen-dokumen yang mirip
BAB V ANALISIS DAN DISKUSI

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

ANALISIS MORFOTEKTONIK SESAR LEMBANG, JAWA BARAT

ANALISIS MORFOTEKTONIK SESAR LEMBANG TESIS

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

3.2.3 Satuan lava basalt Gambar 3-2 Singkapan Lava Basalt di RCH-9

BAB III TEORI DASAR. 3.1 Neotektonik

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

GEOLOGI DAERAH KLABANG

Geologi Daerah Perbukitan Rumu, Buton Selatan 19 Tugas Akhir A - Yashinto Sindhu P /

BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATA GUNA LAHAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB II Geomorfologi. 1. Zona Dataran Pantai Jakarta,

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN


BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

III.1 Morfologi Daerah Penelitian

BAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

DAFTAR ISI COVER HALAMAN PENGESAHAN HALAMAN PERNYATAAN KATA PENGANTAR DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL BAB I PENDAHULUAN 1. I.1.

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB III GEOLOGI DAERAH NGAMPEL DAN SEKITARNYA

BAB II TATANAN GEOLOGI

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ibukota Jawa Barat berada disekitar gunung Tangkuban Perahu (Gambar 1).

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB V DISKUSI. 5.1 Keaktifan Patahan Lembang

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

berukuran antara 0,05-0,2 mm, tekstur granoblastik dan lepidoblastik, dengan struktur slaty oleh kuarsa dan biotit.

Gambar 2. Lokasi Penelitian Bekas TPA Pasir Impun Secara Administratif (

BAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB II DESKRIPSI DAERAH STUDI

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI

BAB II DESKRIPSI KONDISI LOKASI

Ringkasan Materi Pelajaran

BAB IV PENGOLAHAN DAN ANALISA ANOMALI BOUGUER

BAB BENTUK MUKA BUMI. Gambar 8.1 Salah satu contoh peta topografi untuk penggambaran relief permukaan bumi.

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

5.1 PETA TOPOGRAFI. 5.2 GARIS KONTUR & KARAKTERISTIKNYA

5.1 Peta Topografi. 5.2 Garis kontur & karakteristiknya

II. TINJAUAN PUSTAKA. 1. Wilayah Administratif Kabupaten Tanggamus

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

Raden Ario Wicaksono/

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

Foto 3.5 Singkapan BR-8 pada Satuan Batupasir Kuarsa Foto diambil kearah N E. Eko Mujiono

KONTROL STRUKTUR GEOLOGI TERHADAP SEBARAN ENDAPAN KIPAS BAWAH LAUT DI DAERAH GOMBONG, KEBUMEN, JAWA TENGAH

3.2.3 Satuan Batulempung. A. Penyebaran dan Ketebalan

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

PETA (Dasar Teori dan Geologi Regional Kuliah Lapangan)

V. INTERPRETASI DAN ANALISIS

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB II GEOMORFOLOGI 2. 1 Fisiografi Regional Jawa Tengah

BAB II GEOLOGI REGIONAL

Geologi dan Analisis Struktur Daerah Cikatomas dan Sekitarnya, Kabupaten Lebak, Banten. BAB I PENDAHULUAN

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

DAFTAR ISI. Halaman. viii

BAB II KERANGKA GEOLOGI

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB IV GEOLOGI PANTAI SERUNI DAERAH TAPPANJENG. pedataran menempati sekitar wilayah Tappanjeng dan Pantai Seruni. Berdasarkan

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB 2 METODOLOGI DAN KAJIAN PUSTAKA...

ACARA IV POLA PENGALIRAN

BAB II TINJAUAN UMUM

Bab III Geologi Daerah Penelitian

BAB III GEOLOGI DAERAH CILEUNGSI DAN SEKITARNYA

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

Pengertian Garis Kontur, Peraturan, & Cara PembuatanDEFINISI, GEOGRAFI, IPS ON FEBRUARY 23, 2016 NO COMMENTS

GERAKAN TANAH DAN BANJIR BANDANG DI WILAYAH KECAMATAN TAHUNA DAN SEKITARNYA, KABUPATEN SANGIHE, SULAWESI UTARA

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik Wilayah Administrasi

Tabel hasil pengukuran geometri bidang sesar, ketebalan cekungan dan strain pada Sub-cekungan Kiri.

BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN. Secara Geografis Kota Depok terletak di antara Lintang

BAB 3 GEOLOGI SEMARANG

DAFTAR ISI. Halaman ABSTRAK... ABSTRACT... KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR TABEL... BAB I PENDAHULUAN... 1

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

ANALISIS KUANTITATIF AKTIVITAS TEKTONIK RELATIF DI PEGUNUNGAN BATURAGUNG JAWA TENGAH

BAB III STRATIGRAFI 3. 1 Stratigrafi Regional Pegunungan Selatan

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

PEDOMAN PRAKTIKUM GEOLOGI UNTUK PENGAMATAN BATUAN

BAB VI NIKEL LATERIT DI DAERAH PENELITIAN

Transkripsi:

BAB IV DATA DAN HASIL PENELITIAN 4. Morfometri Sesar Lembang Dalam melakukan pengolahan data penulis membagi daerah penelitian menjadi 2 (dua), yaitu blok utara (hangingwall) dan blok selatan (footwall) yang dibatasi oleh gawir sesar (fault scrap) dari Sesar Lembang. Hal ini dilakukan untuk mempermudah dalam menganalisis tingkat aktivitas tektonik yang akan tercermin dari morfologi maupun bentuk DAS dari kedua blok tersebut (Gambar 4.). Hanya ada beberapa pengolahan data dilakukan dengan menggabungkan blok utara dan blok selatan. T Gawir Sesar Lembang (Timur) Gawir Sesar Lembang (Barat) B Blok Selatan Lembang Blok Utara G. Tangkubanparahu G. Burangrang Gambar 4.. Kenampakan Sesar Lembang dari Peta SRTM, memperlihatkan morfologi yang sangat jelas yaitu perbedaan tinggi gawir sesar antara bagian timur dan bagian barat. 4

4.. Kurva Hipsometrik (hypsometric curve) Perhitungan kurva hipsometrik dilakukan pada subdas yang berada di sepanjang Sesar Lembang baik blok utara maupun blok selatan. Keseluruhan subdas yang dihitung berjumlah 2 lokasi (Gambar 4.2). Hasil perhitungan dan penggambaran kurva hipsometrik dari seluruh lokasi subdas (blok selatan dan blok utara Sesar Lembang) menunjukkan bentuk kurva hipsometrik dengan stadia morfologi dan tua. Grafik stadia ditunjukkan dengan bentuk kurva menyerupai huruf S atau garis lurus mendekati garis diagonal. Persamaan untuk garis diagonal adalah x+y=, dimana nilai x dan y maksimum adalah. Stadia tua ditunjukkan dengan bentuk kurva cekung ke arah bawah dengan perubahan nilai x, y yang kecil. Semakin tua maka kurva yang terbentuk semakin cekung dengan titik pusat lengkungan kurva mendekati nol dan menjauhi garis diagonal. Kurva tersebut terbentuk karena semakin ke bawah (ke arah muara) pertambahan nilai x semakin besar. Pada lokasi dengan stadia tua memperlihatkan rata-rata nilai x yang kecil pada bagian hulu. Awal mula lengkungan kurva hipsometrik stadia tua rata-rata berada pada titik y=,5 atau di bawahnya dan nilai x<,2, sehingga kurva yang terbentuk selalu jauh di bawah garis diagonal. Hal ini terjadi jika erosi yang terjadi jauh lebih besar daripada pengangkatan sehingga bentuk morfologi DAS relatif datar (lokasi 4, 5, 6, 7, 8, 2 dan 4). Stadia menengah ditunjukkan oleh kurva yang melalui atau mendekati titik x,y pada tengah garis diagonal (x=y=,5). Pada lokasi stadia memperlihatkan perubahan nilai x dan y hampir sama besarnya sehingga kurva yang terbentuk mendekati garis diagonal. Titik lengkungan kurva menunjukkan nilai y=>,5 dan x>,2. Morfologi DAS seperti ini terbentuk oleh pengaruh tingkat erosi dan pengangkatan yang besarnya sebanding (lokasi, 2, 3, 9,,, 3, 5, 6, 7, 8, 9, 2 dan 2). 4

Hasil perhitungan kurva hipsometrik pada Sesar Lembang menunjukkan adanya perbedaan stadia morfologi pada blok utara sesar. Lokasi, 2, 3 dan 9 termasuk tingkat stadia morfologi walaupun memperlihatkan sedikit perbedaan dari kurva hipsometriknya. Artinya meskipun lokasi tersebut masuk kategori stadia yang sama tetapi ada sedikit perbedaan morfologi yang terbentuk. Lokasi dan 9 memperlihatkan kurva hipsometrik dengan nilai y yang tinggi dan nilai x kecil (<,) sehingga kurva terlihat turun sampai pada kisaran y=,5. Selanjutnya kurva berubah agak landai mengikuti pertambahan nilai x yang tinggi. Kemudian kurva melengkung ke bawah seiring dengan pertambahan nilai x yang kecil kembali. Hal ini terjadi pada daerah (DAS) dengan kemiringan pada bagian hulu yang curam kemudian berubah landai di bagian tengah dan sedikit curam pada bagian muara. Sedangkan pada lokasi 2 dan 3 memperlihatkan kurva hipsometrik dengan lengkungan mendekati garis diagonal. Dari lengkungan kurva hipsometrik, lokasi ini masuk stadia menengah mendekati tua karena lengkungan kurvanya relatif agak dalam menjauhi garis diagonal. Lokasi ini berada pada DAS dengan kemiringan (slope) yang hampir sama dan tidak terlalu curam mulai dari hulu sampai ke muara sehingga pertambahan nilai y dan x hampir seimbang. Lokasi 4, 5, 6, 7 dan 8 termasuk tingkat stadia morfologi tua. Kurva hipsometriknya memperlihatkan lengkungan di bawah garis diagonal dengan pertambahan nilai x dan y relatif kecil. Pertambahan nilai x yang kecil membuat lengkungan kurva merapat tidak lebih dari x=, sampai nilai y=>,5. Setelah itu baru kurva melengkung seiring dengan pertambahan nilai x memperlihatkan bentuk kurva hampir datar. Kurva ini merupakan refleksi dari bentuk ataupun morfologi DAS yang landai hampir mendekati datar dengan relief relatif halus. Sedangkan pada blok selatan lokasi,, 3, 5, 6, 7, 8, 9, 2 dan 2 memperlihatkan kurva hipsometrik termasuk dalam kategori morfologi stadia menegah hanya pada lokasi 2 dan 4 masuk dalam stadia tua. Meskipun lokasi,, 3, 5, 6, 7, 8, 9, 2 dan 2 masuk ke dalam kategori stadia yang 42

sama (stadia ), tetapi dari lengkungan kurva memperlihatkan adanya perbedaan. Grafik hipsometrik pada lokasi,, 6, 2 dan 2 memperlihatkan bentuk kurva melengkung menyerupai huruf S. Sedangkan lokasi 3, 5, 7, 8, dan 9 memperlihatkan kurva yang hampir lurus dengan garis diagonal. Bentuk kurva seperti ini hanya diperoleh jika pertambahan nilai x dan y sama. Nilai tadi dapat dicerminkan oleh topografi DAS dengan pertambahan elevasi yang hampir sama mulai dari hulu sampai ke muara. Pada gambar 4.2 memperlihatkan adanya suatu pola yang dibentuk oleh perbedaan tingkat stadium morfologi. Pada blok utara bagian barat memperlihatkan adanya batas pola diantara lokasi 3 dan 4. Selanjutnya pada bagian timur batas pola berada pada lokasi 8 dan 9. Batas tersebut merupakan batas antara stadia dan stadia tua. Pada bagian barat, lokasi, 2 dan 3 merupakan lokasi dengan tingkat morfologi masuk ke dalam stadia, sedangkan pada bagian timur stadia menegah/remaja berada pada lokasi 9. Selanjutnya, lokasi 4, 5, 6, 7 dan 8 masuk kedalam stadia tua pada blok utara. Pada blok selatan, pola ini terlihat lebih kompleks yang dibatasi oleh empat batas. Keempat batas tersebut semuanya berada di bagian barat blok selatan. Batas pertama berada antara lokasi dan 2, batas kedua antara lokasi 2 dan 3, batas ketiga antara lokasi 3 dan 4 dan batas keempat berada diantara lokasi 4 dan 5. Batas-batas tersebut memperlihatkan pola tertentu dan merupakan batas antara stadium dan tua pada blok selatan. 43

. stadia.5.5 2. stadia.5.5.5 3. stadia.5.5 4. stadia tua.5.5 5. stadia tua.5 44.5 6. stadia tua.5.5 7. stadia tua 8. stadia tua 9. stadia.5.5.5.5 3. stadia.5.5 4. stadia tua.5.5 5. stadia.5.5 6. stadia.5.5 7. stadia.5.5 8. stadia.5.5.5 Gambar 4.2. Peta lokasi dan grafik hasil perhitungan kurva hipsometrik yang memperlihatkan tingkat stadium morfologi. Garis merah putusputus merupakan batas tingkat stadium morfologi. (hijau= stadia tua, merah= stadia menengah/ remaja). Garis merah 9. stadia 2. stadia 2. stadia.5.5.5.5. stadia.5.5 putus-putus merupakan batas stadium..5.5. stadia.5.5 2. stadia tua.5.5

Gambar 4.3 memperlihatkan lokasi perhitungan kurva hipsometrik di sebelah utara, timur dan barat dari puncak G. Tangkubanparahu. Ini dilakukan untuk mengetahui kurva hipsometrik yang dipengaruhi oleh aktivitas vulkanik. Hasilnya akan menjadi pembanding dengan kurva hipsometrik yang tidak terpengaruh oleh aktivitas vulkanisme. Kurva hipsometrik pada lokasi G. Tangkubanparahu memperlihatkan tingkat stadia tua (lokasi 26, 27, 28, 29, 3, 3, 35, 36, 37, 38) dan beberapa stadia (lokasi 23, 24, 25, 32, 33, 34). Hampir seluruh lokasi perhitungan yang menunjukkan stadia tua disusun oleh batuan vulkanik muda yang tidak resistan (Silitonga, 23). Produk vulkanik yang tidak resistan menyebabkan relief topografi di sekitar puncak G. Tangkubanparahu menjadi halus. Sedangkan lokasi perhitungan yang menunjukkan stadia disusun oleh batuan vulkanik lebih tua sisa dari G. Sunda yang lebih resistan sehingga memperlihatkan relief agak kasar. Tingkat stadia morfologi di zona Sesar Lembang sangat dipengaruhi oleh material vulkanik yang muda dari G. Tangkubanparahu yang menutupi daerah tersebut. Hal ini pula yang menyebabkan sebagian besar daerah Sesar Lembang baik blok utara maupun blok selatan bagian barat terlihat reliefnya lebih halus dibandingkan dengan bagian timur dari blok selatan (lokasi 4, 5, 6, 7, 8, 2 dan 4)(Gambar 4.2). 45

.5 23. stadia.5.5 24. stadia.5.5 25. stadia.5.5 26. stadia tua.5.5 27. stadia tua 28. stadia tua 29. stadia tua 3. stadia tua 3. stadia tua.5.5.5.5 46.5.5.5.5.5 32. stadia 33. stadia 34. stadia 35. stadia tua.5.5.5.5.5.5.5.5 36. stadia tua 37. stadia tua 38. stadia tua.5.5.5.5.5.5 Gambar 4.3. Grafik yang menggambarkan kurva hipsometrik yang terletak di sebelah utara, barat dan timur dari puncak G. Tangkubanparahu. (merah=stadia, hijau=tua).

4..2 Asimetri Cekungan Pengaliran (drainage basin asymmetry) Metode ini telah diterapkan untuk analisis tektonik aktif di pantai Pasifik Costa Rica, daerah Nicoya Peninsula dan analisis kemiringan di teluk Mississippi (Keller dan Pinter, 996). Dari nilai AF dapat diperoleh informasi yang lebih detil mengenai daerah yang dipengaruhi oleh gaya pengangkatan yang terbesar ataupun yang mengalami penurunan. Analisis itu dapat diperoleh dengan membuat penampang arah kemiringan DAS sesuai besarnnya nilai AF. Hal ini dilakukan penulis untuk mengetahui bagian mana di sepanjang Sesar Lembang yang mengalami pengangkatan terbesar ataupun penurunan. Selain itu, data ini dapat digunakan sebagai salah satu dasar dalam menentukan segmentasi dari Sesar Lembang. Hasil perhitungan AF pada 2 subdas (Tabel 4.) yang terletak di blok utara maupun blok selatan Sesar Lembang memperlihatkan adanya proses tektonik yang terjadi di daerah tersebut. Gambaran dari nilai asimetri cekungan pengaliran ini (nilai AF) sangat penting untuk menentukan mekanisme dan segmentasi sesar (Gambar 4.4). No. Tabel 4.. Perhitungan asimetri cekungan pengaliran (AF) Ar (km²) At (km²) Asymmetry Factor (AF) No. Ar (km²) At (km²) Asymmetry Factor (AF) 3.576 6.496 55.5 2 2.534 6.338 39.98 2 7.2 2.9 58. 3 2.24 7.28 3.2 3 5.47 8.4 65.3 4.85 4.284 42.37 4 3.342 5.79 65.8 5 3.988 7.688 5.87 5 4.55 7.44 6.37 6 6.633 9.38 73.39 6 5.77 8.52 7. 7 9.3 79.65 7 6 35.4 45.73 8 4.75 5.885 7.94 8 8.22 5.3 53.2 9.3 2.65 42.63 9.8 23.3 5.24 2.74 7.73 6.58.399 2.68 53.64 2 3.979 5.59 78.65.853 3.25 57. 47

55,5 65,8 6,37 58, 65,3 7, 45,73 A 53,2 5,24 C Lembang B 53,64 D 57, 39,98 3,2 42,37 5,87 73,39 79,65 7,94 42,63 6,58 78,65 2 55,5 58, 65,3 65,8 6,37 7, 53,2 5,24 45,73 2 3 4 5 6 7 8 9 53,64 57, 5,87 73,39 79,65 7,4 6,58 78,65 39,98 3,2 42,37 42,63 2 3 4 5 6 7 8 9 2 2 Gambar 4.4. ) Peta perhitungan asimetri cekungan dengan nilai Asymmetry Factor (AF), 2) Ilustrasi penampang proses tektonik yang terjadi pada blok utara dan selatan Sesar Lembang. 75 5 5 25 Nilai AF dan arah kemiringan DAS 48

Pada blok utara nilai AF pada lokasi, 2, 8 dan 9 (Gambar 4.4) menunjukkan nilai di atas 5 dan tidak lebih dari 6. Lokasi 8 dan 9 nilainya justru mendekati 5. Nilai AF lebih besar 5 pada lokasi di atas menunjukkan bahwa daerah sebelah kanan sungai utama pada subdas tersebut lebih luas daripada bagian kiri walaupun tidak terlalu besar dan DAS ini memiliki kemiringan ke arah kiri. Sedangkan pada lokasi 3, 4, 5 dan 6 mempunyai nilai AF di atas 5 dan lebih besar dari 6 artinya pada DAS ini mempunyai luas daerah bagian kanan sungai utama lebih besar dibandingkan dengan bagian kiri dan mempunyai kemiringan ke arah kiri dengan slope yang lebih besar dibandingkan dengan lokasi, 2, 8 dan 9. Pada blok utara hanya satu lokasi yang mempunyai nilai lebih kecil dari 5, artinya subdas tersebut mempunyai kemiringan berbeda dengan lokasi lainnya yaitu ke arah kanan dengan luas daerah bagian kanan sungai utama lebih kecil daripada bagian kiri (lokasi 7). Pada blok selatan Sesar Lembang nilai yang berada jauh di atas 5 (>6) berada pada lokasi 6, 7, 8, 2 dan 2, artinya subdas tersebut mempunyai kemiringan tektonik yang cukup besar ke arah kiri dengan luas daerah bagian kanan sungai utama lebih besar dibandingkan bagian kiri. Sedangkan lokasi 2 dan 3 mempunyai nilai jauh di bawah 5 (<4) sehingga memperlihatkan adanya kemiringan subdas yang cukup besar ke arah kanan dengan luas daerah bagian kanan sungai utama jauh lebih kecil dibandingkan dengan bagian kiri. Pada lokasi dan 5 mempunyai nilai AF kurang dari 5 dan justru mendekati 5, artinya kemiringan subdas yang terbentuk relatif kecil dan mendekati datar dengan sungai utama hampir berada di tegah subdas (cekungan simetri). Berdasarkan nilai AF dan arah kemiringan DAS di sepanjang Sesar Lembang memperlihatkan adanya pola tertentu (Gambar 4.4). Batas pola merupakan batas nilai AF > 5 dengan nilai AF < 5 dan juga arah kemiringan DAS. Pada blok utara ada dua batas, dimana batas yang pertama berada diantara lokasi 6 dan 7, sedangkan batas kedua diantara lokasi 7 dan 8. 49

Pada blok selatan, pola ini dibatasi oleh empat batas. Batas pertama antara lokasi -2, kedua antara lokasi 4-5, ketiga antara lokasi 8-9, dan batas keempat antara lokasi 9-2. Pola-pola tadi akan lebih nampak jelas terlihat pada ilustrasi penampang berdasarkan nilai AF. Penampang dengan arah kemiringan DAS pada blok selatan memperlihatkan adanya pusat pengangkatan sebagai daerah yang dapat diinterpretasikan paling aktif secara tektonik. Sedangkan pada blok utara pengangkatan ini bisa juga dipengaruhi oleh aktivitas vulkanisme. Pada blok utara bagian barat terlihat adanya suatu pengangkatan dengan pusatnya berada di sekitar lokasi. Sedangkan bagian yang mengalami penururnan pusatnya terlihat ada pada bagian tengah (lokasi 6 dan 7). Pada bagian timur dari blok utara terlihat nilai AF relatif mendekati 5 sehingga terlihat kemiringan DAS yang hampir datar. Pada blok selatan pengangkatan terbesar terlihat di bagian barat dengan pusatnya berada disekitar lokasi 4 dan 5. Sedangkan bagian yang mengalami penurunan pusatnya terlihat pada bagian tengah (lokasi 8 dan 9). Pola inilah yang akan menjadi salah satu dasar pembagian tingkat keaktifan dan segmen sesar pada Sesar Lembang. 4..3 Perbandingan lebar dasar lembah dan tinggi lembah (ratio of valley floor width to valley height) Lokasi perhitungan perbandingan lebar dasar lembah dan tinggi lembah (nilai V f ) pada Sesar Lembang dilakukan pada lembah sungai mulai dari hulu sampai ke muara dan menyebar dari barat ke timur (Gambar 4.5). Peta SRTM memperlihatkan lembah-lembah curam dan sempit yang terbentuk di sepanjang zona Sesar Lembang dan bentuk ini akan tercermin dari nilai V f. Seluruh perhitungan menunjukkan nilai V f sangat kecil berkisar dari, sampai.5 artinya sungai-sungai yang terbentuk di sepanjang Sesar Lembang rata-rata memiliki topografi lembah yang curam dangan lebar lembah yang sempit. Di beberapa lokasi menunjukkan nilai di atas 3, artinya sungai yang terbentuk memiliki lebar lembah lebih besar dibandingkan dengan ketinggian lembah. 5

Sesar Lembang Gambar 4.5. Peta yang menunjukkan lokasi perhitungan perbandingan lebar dan tinggi lembah pada Sesar Lembang yang dioverlap dengan Peta Geologi Daerah Bandung dan sekitarnya (Silitonga, 23). 5

5. Utara Selatan 4.5 Sesar Lembang Sungai 4. Sungai 2 3.5 Sungai 3 3. Sungai 4 2.5 Sungai 5 2. Sungai 6.5 Sungai 7 Sungai 8. Sungai 9.5 - -2 - -8-6 -4-2 2 4 6 8 Jarak (m) Gambar 4.6. Grafik hasil perhitungan perbandingan lebar dasar lembah dengan tinggi lembah pada sungai yang berhulu di utara Sesar Lembang 52 Nilai Vf

5. Utara Selatan 4.5 Sesar Lembang Sungai 4. Sungai 3.5 Sungai 2 3. Sungai 3 2.5 Sungai 4 2. Sungai 5.5 Sungai 6 Sungai 7. Sungai 8.5-2 3 4 5 6 7 8 9 Jarak (m) Gambar 4.7. Grafik hasil perhitungan perbandingan lebar dasar lembah dengan tinggi lembah pada sungai yang berhulu di selatan Sesar Lembang. 53 Nilai Vf

Grafik perhitungan perbandingan lebar dasar lembah dan tinggi lembah memperlihatkan adanya suatu pola berupa perubahan nilai yang semakin kecil ketika sungai memotong gawir Sesar Lembang (Lokasi 3, 4, 5, 6, 7, 8 dan 9). Nilai tersebut merefleksikan adanya lembah yang curam dan dalam akibat sungai mengerosi bagian dasar pada blok selatan. Selanjutnya nilai V f bertambah besar setelah melewati gawir sesar menuju muara. Hal ini tentunya berhubungan dengan aktivitas tektonik yang terjadi pada Sesar Lembang. Pada lokasi 4, 5, 6, 7 menunjukkan nilai yang besar pada bagian hulu mendekat puncak G. Tangkubanparahu. Ini terjadi akibat material vulkanik yang cukup tebal sehingga menjadikan daerah tersebut relatif landai dengan relief yang halus. Pada sungai dengan hulu berada di gawir sesar blok selatan menunjukkan nilai V f yang kecil. Pada bagian barat blok selatan nilai tersebut merupakan respon dari lembah yang curam dan dalam dengan lebar lembah yang sempit akibat erosi vertikal yang jauh lebih besar daripada erosi horizontal. Proses ini akan terjadi pada daerah yang mengalami pengangkatan yang besar, dan hal ini terjadi di bagian barat blok selatan. Sedangkan di bagian timur terutama lokasi 7 dan 8, nilai V f yang kecil lebih dipengaruhi oleh faktor litologi pada daerah tersebut yang lebih keras dan lebih resistan (breksi dan lava). Faktor litologi menjadikan bagian lembah sungai pada daerah ini terlihat curam dengan lebar lembah yang sempit. 4..4 Indeks gradien panjang sungai (stream length gradient index) Perhitungan indeks gradien panjang sungai (SL) dilakukan sebanyak 8 lokasi subdas tersebar di sepanjang Sesar Lembang (Gambar 4.8). Perhitungan dilakukan pada sungai utama. Nilai SL setiap sungai memperlihatkan adanya perbedaan nilai tergantung dari kemiringan (slope) sungai dan batuan penyusun dasar sungai tersebut. 54

Sesar Lembang Gambar 4.8. Peta yang menunjukkan lokasi perhitungan indeks gradien panjang sungai (SL) yang dioverlap dengan Peta Geologi Daerah Bandung dan sekitarnya (Silitonga, 23). 55

Pada blok utara bagian barat Sesar Lembang memperlihatkan nilai SL yang bervariasi dari rendah dan langsung tinggi kemudian turun lagi, hal ini sangat dipengaruhi oleh kemiringan (slope) dari sungai tersebut (Tabel 4.2 dan Gambar 4.9). Penampang gradien sungai pada lokasi, 3, 4, 7 dan 8 memperlihatkan kemiringan yang curam namum tidak terlihat adanya suatu anomali. Ini terjadi karena litologi penyusun di lokasi tersebut sama dan tidak ada struktur yang mempengaruhinya. Penampang sungai lokasi 5 dan 6 memperlihatkan adanya kemiringan sungai yang curam kemudian landai (elevasi 6 m - 7 m). Perbedaan kemiringan ini akan tercermin pula dari nilai SL yang tinggi kemudian turun secara drastis (Gambar 4.9). Perbedaan kemiringan dan nilai SL yang tegas merupakan suatu anomali kemungkinan akibat adanya suatu struktur yang mempengaruhi alur sungai tersebut. Selain itu, anomali pada penampang sungai terdapat pula pada lokasi 2 dan 9 (elevasi 9 m m) dengan perubahan nilai SL yang mencolok, ini diakibatkan adanya struktur berupa Sesar Lembang yang mempengaruhi pola aliran sungai tersebut (Gambar 4.2). Tabel 4.2. Perhitungan indeks gradien panjang sungai (SL) di lokasi 5 NO. L (m) SL 5 993.4.5 2322.2 68 2257.44 2322.2 546 243.4 2322.2 57 659.6 2322.2 743 82..23 2322.2,57 498.2 2322.2 2,474 266.4.375 2322.2 4,625 32.77 2322.2 946 545.4.83 2322.2 2,259 326.8.36 2322.2 3,77 232..43 2322.2 5,39 56

2 Elevasi (m) 2 9 8 7 6 5 4 3 2 9 68 546 57 743 4625 2474 57 946 539 377 2259 68 546 57 743,57 2,474 4,625 946 2,259 3,77 5,39 2 3 4 5 6 7 8 9 2 3 Jarak (m) Gambar 4.9. Grafik perhitungan indeks gradien panjang sungai dengan nilai SL di lokasi 5 (Bagian barat Sesar Lembang). Pada lokasi 7, 8 dan 9 yang terletak di blok utara bagian timur sesar memperlihatkan nilai SL dengan kenaikan yang stabil mulai dari muara ke hulu. Pada lokasi ini kemiringan (slope) relatif kecil dan interval kontur pada sungai utama relatif renggang sehingga kenaikan nilai SL-nya kurang bervariasi. Hanya pada elevasi - m terlihat ada penurunan nilai yang drastis kemudian naik kembali secara teratur. Gejala ini diakibatkan adanya struktur Sesar Lembang yang mempengaruhi sungai-sungai di lokasi tadi. Tabel 4.3. Perhitungan indeks gradien panjang sungai (SL) di lokasi 7 NO. L (m) SL 7 28.46 42.3 647 489.2 42.3 289 29.48 42.3 676 392.72 42.3,4 2.9 42.3,27 953.8.5 42.3,48 836.8.2 42.3,687 664.7.5 42.3 2,24 57

Elevasi (m) 9 8 7 6 5 4 3 2 9 Gambar 4.. 647 289 676 4 687 48 27 224-2 2 4 6 8 2 4 Jarak (m) 647 289 676,4,27,48,687 2,24 Grafik perhitungan indeks gradien panjang sungai dengan nilai SL di di lokasi 7 (blok utara bagian timur Sesar Lembang). Sedangkan pada blok selatan Sesar Lembang memperlihatkan nilai SL dengan kenaikan yang stabil, artinya kemiringan sungai dari muara ke hulu (utaraselatan) tidak terlalu curam dan tidak adanya struktur ataupun perbedaan litologi yang mempengaruhinya (Tabel 4.4 dan Gambar 4.). Litologi penyusun blok selatan Sesar Lembang terbagi menjadi dua. Bagian barat berupa tuf pasiran dan timur terdiri dari breksi, lava dan lahar yang lebih resistan (Silitonga, 23), sehingga kemiringan sungainya juga mempelihatkan bahwa bagian timur (Lokasi 3 sampai 8) lebih curam dibanding bagian barat (Lokasi,, dan 2). Dari data ini menjadi tidak aneh kalau bagian timur pada blok selatan Sesar Lembang nilai SL-nya jauh lebih besar dibandingkan dengan bagian barat (Tabel 4.5 dan Gambar 4.2). Tabel 4.4. Perhitungan indeks gradien panjang sungai (SL) di lokasi 2 NO. L (m) SL 2 272.37 6466.6 238 596..63 6466.6 45 326.3.75 6466.6 488 832.2.2 6466.6 777 58

3 2 777 Elevasi (m) 9 238 45 488 238 45 488 777 8 7 2 3 4 5 6 7 Jarak (m) Gambar 4.. Grafik perhitungan indeks gradien panjang sungai dengan nilai SL di di lokasi 2 (blok selatan bagian barat Sesar Lembang). Penampang gradien sungai pada gambar 4. tidak memperlihatkan adanya suatu anomali dengan kemiringan sungai yang relatif landai. Hal ini nampak pula dari kenaikan nilai SL-nya yang relatif stabil. Sedangkan pada gambar 4.2, penampang gradien sungai memperlihatkan adanya anomali pada elevasi 3 m 4 m yang tercermin pula dari nilai SL yang menurun secara tajam (Tabel 4.5). Tabel 4.5. Perhitungan indeks gradien panjang sungai (SL) di lokasi 7 NO. (m) L (m) SL 7 2523.4 854.6 337 572.64 854.6 542 8.6.25 854.6 62 659.9.52 854.6 29 589.2.7 854.6 445 55.4.8 854.6 544 6.9 854.6 763 47.8.239 854.6 238 283.7.352 854.6 3 59

Elevasi (m) 7 6 5 4 3 2 9 8 7 337 542 62 544 445 29 3 238 763 2 3 4 5 6 7 8 9 Jarak (m) 337 542 62 29 445 544 763 238 3 Gambar 4.2. Grafik perhitungan indeks gradien panjang sungai dengan nilai SL di di lokasi 7 (blok selatan bagian timur Sesar Lembang). Selain lokasi 7, ada beberapa penampang sungai yang memperlihatkan adanya suatu anomali yang nampak dari perbedaan elevasi dan nilai SL-nya. Penampang 4 memperlihatkan adanya anomali pada elevasi m 2 m walaupun disusun oleh litologi yang sama. Gambar 4.3 memperlihatkan grafik gradien sungai dimana ada beberapa grafik yang memperlihatkan anomali berupa pelengkungan secara tegas yang akan berkorelasi dengan perubahan nilai SL. Perubahan tersebut diakibatkan oleh pengaruh adanya struktur geologi ataupun perbedaan litologi yang resistan dengan yang tidak resistan. Hal ini sangat nampak jelas pada gradien sungai yang terpotong oleh Sesar Lembang. Pada lokasi tersebut ditunjukkan dengan elevasi sungai yang terjal kemudian secara tiba-tiba berubah landai (lokasi 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8 dan 9). Hasil perhitungan nilai indeks gradien panjang sungai (SL) di sepanjang zona Sesar Lembang memperlihatkan adanya perbedaan karakteristik sungai yang terjadi di blok utara dan blok selatan Sesar Lembang. Pada blok utara bagian barat memperlihatkan sungai yang lebih curam dibandingkan dengan sungai yang berada di bagian timur. Sedangkan pada blok selatan, sungai yang berada di bagian timur terlihat lebih curam dibandingkan dengan bagian barat. Karakteristik ini terbentuk akibat adanya pengaruh tektonik dan juga perbedaan litologi pada daerah tersebut (Gambar 4.3). 6

2 2 9 8 7 6 5 4 3 2 9 8 7 6 Sungai-sungai yang mengalir di blok selatan Sesar Lembang Sungai-sungai yang mengalir di blok utara Sesar Lembang Sesar Lembang S U -9-8 -7-6 -5-4 -3-2 - 2 3 4 5 6 7 8 9 2 Jarak (m) Gambar 4.3. Grafik indeks gradien panjang sungai di sepanjang Sesar Lembang. 6 Lokasi Lokasi 2 Lokasi 3 Lokasi 4 lokasi 5 Lokasi 6 Lokasi 7 Lokasi 8 Lokasi 9 Lokasi Lokasi Lokasi 2 Lokasi 3 Lokasi 4 Lokasi 5 Lokasi 6 Lokasi 7 Lokasi 8 Elevasi (m)

4.2 Stratigrafi Sagpond Sesar Lembang Penulis melakukan pengambilan data stratigrafi sagpond dengan menggunakan bor tangan di beberapa lokasi di sepanjang Sesar Lembang, yaitu di Desa Panyandakan, Desa Panyairan, Graha Puspa dan Desa Cibodas (Gambar 4.4). Penentuan lokasi pengamatan sagpond didasarkan pada aspek morfologi dan lokasi tersebut dapat mewakili daerah sepanjang Sesar Lembang. Panyandakan Panyairan Graha Puspa Cibodas Lokasi pengamatan sagpond Gambar 4.4. Blok diagram yang memperlihatkan lokasi pengamatan stratigrafi sagpond di sepanjang Sesar Lembang dioverlap dengan Peta Geologi Daerah Bandung dan sekitarnya (Silitonga, 23). 62

Stratigrafi di daerah Desa Panyandakan, Cisarua Pengambilan data stratigrafi dilakukan di Desa Panyandakan, Cisarua. Lokasi ini berada pada lembah di belakang gawir Sesar Lembang dengan lebar lembah utara- selata sekitar 5 meter. Lokasi ini merupakan kebun palawija sehingga tanah bagian atas sudah relatif keras (Gambar 4.5). Dari hasil pengeboran diperoleh data stratigrafi yang dapat digolongkan ke dalam tiga satuan (Gambar 4.6), yaitu: Satuan tanah bagian atas (top soil) mempunyai ciri fisik berwarna coklat, lanauan, lembek sampai agak padat, tebal rata-rata 2 cm, banyak rumput. Satuan endapan rawa, berwarna abu-abu tua sampai hitam, kaya organik, lempungan sampai lanauan, lembek, mengandung sisa tumbuhan, fragmen vulkanik. Satuan tufa, halus sampai kasar (lanauan sampai pasiran), abu-abu sampai coklat muda, agak padat sampai padat, fragmen pumice, fragmen batuan beku, fragmen kayu. Dari penampang stratigrafi terlihat bahwa endapan rawa yang terbentuk cukup tipis (3 cm). Perulangan endapan rawa hanya terjadi pada log PND-, sedangkan pada log lainnya tidak terdapat perulangan. Bagian dasar endapan rawa sudah merupakan batuan dasar berupa tufa. Data lengkap penampang stratigrafi sagpond terlampir. 63

T B Gambar 4.5. Morfologi lokasi pengamatan stratigrafi sagpond di Desa Panyandakan, Cisarua. Pada bagian selatan terlihat bukit yang merupakan gawir Sesar Lembang dengan arah Barat-timur (Foto ke arah selatan). 64

Gambar 4.6. Penampang stratigrafi sagpond di daerah Panyandakan, Cisarua. 65

Stratigrafi di daerah Desa Panyairan, Parongpong Pengambilan data stratigrafi sagpond dilakukan di Desa Panyairan, Parongpong. Lokasi ini berada pada lembah dibelakang gawir Sesar Lembang dengan lebar lembah utara-selata sekitar 5 meter. Sebagian besar lokasi ini sudah dimanfaatkan menjadi kebun palawija dan sebagian masih memperlihatkan rawa yang ditutupi oleh semak (Gambar 4.8). Jarak interval setiap titik pengamatan mulai dari 2 meter sampai sekitar 6 meter. Semakin rapat interval tiap titik pengamatan akan lebih baik karena dapat menghasilkan variasi stratigrafi yang lebih banyak (Gambar 4.9). Dari hasil pengeboran diperoleh data stratigrafi yang dapat digolongkan ke dalam empat satuan (Gambar 4.9), yaitu: Satuan tanah bagian atas (top soil) mempunyai ciri fisik berwarna coklat, lanauan, lembek sampai agak padat, tebal rata-rata 2 cm, banyak rumput. Satuan endapan rawa, lempungan-lanauan, abu-abu sampai hitam, kaya sisa tumbuhan (rumput, akar halus), fragmen batuapung, fragmen batuan beku. Satuan paleosol, coklat, lanauan, sisa rumput, akar halus, banyak mengandung fragmen kayu. Satuan tufa, abu-abu sampai abu-abu kecoklatan, lempungan-lanauan, padat sedikit sisa daun, fragmen pumice berwarna krem, membundar tanggung, fragmen batuan beku. Dari penampang stratigrafi (Gambar 4.9) terlihat bahwa sekuen sagpond yang disusun oleh endapan rawa cukup tebal dengan dibatasi bagian atasnya oleh paleosol dan bagian bawahnya oleh tufa. Di daerah ini terdapat juga lapisan tufa epiklastik yang memperlihatkan butiran berupa fragmen batuan beku dan pumice dengan bentuk membundar tanggung (subrounded). Hal ini juga yang membuktikan bahwa bahwa lapisan tufa di daerah ini bukan hanya hasil letusan (piroklastik) tetapi ada sebagian tufa produk hasil erosi. 66

Perulangan sekuen di daerah ini sangat jelas terutama pada bagian lingkungan sagpond yang relatif dalam dan letaknya tidak terlalu jauh dengan gawir sesar. Semakin ke utara, menjauhi gawir sesar terlihat endapan rawa yang semakin tipis dan dangkal dengan perulangan sekuen yang semakin sedikit. Data lengkap penampang stratigrafi sagpond terlampir. Gambar 4.7. Pengamatan endapan sagpond dengan menggunakan bor tangan di lokasi Panyairan, Parongpong. 67

T B A T B B Gambar 4.8. A. Morfologi lokasi pengamatan stratigrafi sagpond berupa lembah yang yang cukup luas di Desa Panyairan, Parongpong. Pada bagian selatan terlihat bukit (footwall) dengan ketinggian sekitar meter yang merupakan gawir Sesar Lembang dengan arah Barat-timur. B. Singkapan lava pada gawir Sesar Lembang (Foto ke arah selatan). 68

Gambar 4.9. Penampang stratigrafi sagpond di daerah Panyairan, Parongpong. Data diambil dengan bor tangan sampai kedalaman 5 meter. 69

Stratigrafi di daerah Graha Puspa, Cihideung Lokasi pengamatan stratigrafi sagpond berupa lahan perumahan dan sebagian kecil lahan kosong berupa tegalan. Lokasi penyebaran endapan sagpond cukup luas mulai dari gawir sesar bagian selatan sampai titik terjauh pengamatan kurang lebih. meter (Gambar 4.2). Interval jarak titik pengamatan beragam mulai sekitar 5 meter sampai meter, hal ini dikarenakan keberadaan lokasi yang sudah dipadati dengan bangunan perumahan. Dari hasil pengeboran diperoleh data stratigrafi yang dapat digolongkan ke dalam empat satuan (Gambar 4.2), yaitu: Satuan tanah bagian atas (top soil) mempunyai ciri fisik berwarna coklat, lanauan, lembek sampai agak padat, tebal rata-rata 2 cm, banyak rumput. Satuan endapan rawa, lanauan, abu-abu sampai hitam, sisa tumbuhan (akar, ranting, daun) Satuan paleosol, coklat, lanauan, sisa rumput, akar halus, mengandung fragmen kayu. Satuan tufa, pasiran, abu-abu sampai coklat kekuningan, fragmen pumice, membundar tanggung, coklat muda, fragmen batuan beku, menyudut tanggung (,2 cm,5 cm). Dari penampang stratigrafi (Gambar 4.2) terlihat bahwa sekuen sagpond yang disusun oleh endapan rawa yang cukup tebal dan dalam dengan dibatasi bagian atasnya oleh paleosol dan bagian bawahnya oleh tufa. Setiap sekuen tidak seluruhnya disusun oleh paleosol, endapan rawa dan tufa, tetapi sebagian memperlihatkan sekuen tersebut hanya tersusun oleh rawa dan tufa atau paleosol dan endapan rawa saja. Pada lokasi ini terdapat pula tufa hasil erosi (epiklastik). Tufa ini mempunyai butiran yang kasar berupa fragmen pumice dan batuan beku dengan bentuk membundar sampai membundar tanggung, berukuran sekitar,2 cm,5 cm. 7

Perulangan sekuen ini sangat jelas terutama di bagian selatan yang letaknya tidak terlalu jauh dengan gawir sesar dan merupakan bagian terdalam dari lingkungan pengendapan sagpond di daerah Graha Puspa. Ketebalan dan kedalaman endapan rawa sangat bervariasi, hal ini kemungkinan terjadi karena adanya perbedaan topografi basement pada saat mulai terbentuknya endapan sagpond. Data lengkap penampang stratigrafi sagpond terlampir. Gambar 4.2. Morfologi lingkungan pengendapan sagpond di daerah Graha Puspa, Cihideung. Foto diambil dari gawir Sesar Lembang mengarah ke utara. 7

Gambar 4.2. Penampang stratigrafi sagpond di daerah Graha Puspa, Cihideung. 72

Stratigrafi di daerah Cibodas, Sebelah Timur Maribaya Lokasi pengamatan stratigrafi dilakukan pada daerah lembah dengan lebar sekitar 2 meter (utara-selatan). Lokasi ini dilalui oleh Sungai Cikapundung yang mengalir ke arah dan tepat berada di bawah gawir Sesar Lembang bagian timur. (Gambar 4.22). Stratigrafi yang diperoleh sangat berbeda dengan endapan sagpond yang berada di daerah Panyandakan, Panyairan dan Graha Puspa (Lembah Sesar Lembang bagian barat). Dari hasil pengeboran diperoleh data stratigrafi yang dapat digolongkan menjadi dua satuan (Gambar 4.23 dan 4.24), yaitu: Satuan tanah bagian atas (top soil) mempunyai ciri fisik berwarna coklat, lanauan, padat, tebal sekitar cm, banyak rumput. Satuan tufa, bagian atas coklat muda sampai abu-abu, agak lembek sedangkan bagian bawah abu-abu, kasar (konglomeratan). Satuan endapan rawa, pasiran, abu-abu, fragmen vulkanik, lembek, sisa tumbuhan Pada penampang stratigrafi terlihat endapan rawa hanya ada pada satu log dan tidak menerus. Pada penampang tersebut tidak terlihat adanya lapisan paleosol dan kedalaman endapan rawanya sangat dangkal yang dibatasi oleh tufa. 73

U S Pengamatan stratigrafi sagpond Gambar 4.22. Morfologi lokasi pengamatan stratigrafi di Desa Cibodas (Lembah Sesar Lembang bagian timur). Bagian selatan merupakan perbukitan yang merupakan kelurusan gawir Sesar Lembang (barat-timur) dengan ketinggian sekitar 3 meter, memperlihatkan endapan talus yang sangat tebal hasil erosi bagian atas bukit tersebut. Pada kaki bukit mengalir S. Cikapundung ke arah barat yang bermuara di Maribaya. 74

CB- CB-2 Gambar 4.23. Penampang stratigrafi di daerah Cibodas Barat. 75

CBS-3 CBS- CBS-2 Gambar 4.24. Penampang stratigrafi di daerah Cibodas Timur. 76