commit to user I.1 Latar Belakang Masalah Titik awal terpenting dari sejarah desentralisasi di Indonesia yaitu pada tahun

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Terjadinya krisis pada tahun 1996 merupakan faktor perubahan

BAB 1 PENDAHULUAN. transparansi publik. Kedua aspek tersebut menjadi hal yang sangat penting dalam

BAB I PENDAHULUAN. telah membawa perubahan bagi politik dan sistem pemerintahan maupun

BAB I PENDAHULUAN. sistem desentralisasi yang telah diatur dalam undang-undang tentang pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. No.12 Tahun Menurut Undang-Undang Nomer 23 Tahun 2014 yang

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat terhadap hak dan kewajibannya sebagai warga negara. Kesadaran tersebut

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. adalah teori agensi. Jensen dan Meckling (1976) menjelaskan adanya

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan yang baik adalah adanya akuntabilitas publik, disamping

BAB I PENDAHULUAN. Pada era keterbukaan sekarang ini maka reformasi sektor publik yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada awal tahun 2001 mulai diberlakukannya kebijakan otonomi daerah,

BAB I PENDAHULUAN. pengalokasian sumber daya dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Otonomi

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Awal diterapkannya otonomi daerah di Indonesia ditandai dengan

BAB I PENDAHULUAN. dari amanah yang diemban pemerintah dan menjadi faktor utama dalam

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. bagi bangsa ini. Tuntutan demokratisasi yang diinginkan oleh bangsa ini yaitu

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan rakyat, termasuk kewenangan untuk melakukan pengelolaan

BAB I PENDAHULUAN. Keuangan pada tahun Pelaksanaan reformasi tersebut diperkuat dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Krisis ekonomi di Indonesia memiliki pengaruh yang sangat besar

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah telah ditetapkan di Indonesia sebagaimana yang telah

BAB I PENDAHULUAN. melalui penyerahan pengelolaan wilayahnya sendiri. Undang-Undang Nomor

BAB I PENDAHULUAN. ini menimbulkan peningkatan tanggung jawab penyelenggara pemerintah di

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Otonomi daerah adalah suatu pemberian hak dan kewajiban kepada daerah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. Dalam teori agensi, Jensen dan Meckling (1976) dalam Nugroho (2014)

BAB I PENDAHULUAN. baik pusat maupun daerah, untuk menciptakan sistem pengelolaan keuangan yang

TINJAUAN PUSTAKA. A. Landasan Teori 1. Akuntansi Pemerintahan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN EVALUASI PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 73 TAHUN 2009 TENTANG TATACARA PELAKSANAAN EVALUASI KINERJA PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pengelolaan keuangan daerah sejak tahun 2000 telah mengalami era baru,

BAB I PENDAHULUAN. menyebabkan aspek transparansi dan akuntabilitas. Kedua aspek tersebut menjadi

BAB I PENDAHULUAN. ketimpangan ekonomi. Adanya ketimpangan ekonomi tersebut membawa. pemerintahan merupakan salah satu aspek reformasi yang dominan.

BAB I PENDAHULUAN. sebagai organisasi nirlaba. Tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan

Daftar pertanyaan wawancara

BAB I PENDAHULUAN. pengelolaan keuangan negara maupun daerah. sumber daya alamnya sendiri. Sumber dana bagi daerah antara lain terdiri dari

BAB I PENDAHULUAN. daerah, maka semakin besar pula diskreasi daerah untuk menggunakan

BAB I PENDAHULUAN. mencatat desentralisasi di Indonesia mengalami pasang naik dan surut seiring

BAB I PENDAHULUAN. sentralisasi menjadi sistem desentralisasi merupakan konsekuensi logis dari

BAB 1 PENDAHULUAN. pengaruhnya terhadap nasib suatu daerah karena daerah dapat menjadi daerah

BAB I PENDAHULUAN. keuangan pemerintah daerah di Indonesia bertumpu pada Anggaran Pendapatan

BAB I PENDAHULUAN. merupakan salah satu bidang dalam akuntansi sektor publik yang menjadi

BAB 1 PENDAHULUAN. mengelola daerahnya sendiri. Namun dalam pelaksanaannya, desentralisasi

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi sektor publik yang disertai adanya demokratisasi menjadi

BAB I PENDAHULUAN. berubah menjadi sistem desentralisasi atau yang sering dikenal sebagai era

BAB 1 PENDAHULUAN. menjadi suatu fenomena global termasuk di Indonesia. Tuntutan demokratisasi ini

BAB I PENDAHULUAN. daerahnya sendiri, pada tahun ini juga tonggak sejarah reformasi manajemen

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia sedang berada di tengah masa transformasi dalam hubungan antara

BAB I PENDAHULUAN. tersebut mengatur pelimpahan kewenangan yang semakin luas kepada

BAB 1 PENDAHULUAN. Kebijakan desentralisasi fiskal yang diberikan pemerintah pusat kepada

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pusat dan pemerintah daerah, yang mana otonomi daerah merupakan isu strategis

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Negara Indonesia ini adalah suatu negara yang menganut daerah otonom.

BAB I PENDAHULUAN. menumbangkan kekuasaan rezim Orde Baru yang sentralistik digantikan. arti yang sebenarnya didukung dan dipasung sekian lama mulai

BAB I PEDAHULUAN. Pemerintahan Daerah, desentralisasi diartikan sebagai penyerahan kewenangan

BAB I PENDAHULUAN. dan aspirasi masyarakat yang sejalan dengan semangat demokrasi.

BAB I PENDAHULUAN. Sejak big bang decentralization yang menandai era baru pemerintahan

BAB I PENDAHULUAN. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis adanya flypaper effect pada

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Kebijakan pemerintah pusat yang memberikan kewenangan dalam kebebasan

BAB I PENDAHULUAN. desentralisasi tersebut yaitu dengan diselenggarakannya otonomi daerah.

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi. masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan yang sentralisasi menjadi struktur yang terdesentralisasi dengan

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah dan desentralisasi fiskal bukan konsep baru di Indonesia.

BAB I. Kebijakan tentang otonomi daerah di Indonesia, yang dikukuhkan dengan

BAB I PENDAHULUAN. diterapkan otonomi daerah pada tahun Undang-Undang Nomor 32 Tahun

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Perubahan di bidang ekonomi, sosial dan politik dalam era reformasi ini,

BAB 1 PENDAHULUAN. antarsusunan pemerintahan. Otonomi daerah pada hakekatnya adalah untuk

BAB I PENDAHULUAN. dengan ditetapkannya UU No. 22 Tahun 1999 (revisi menjadi UU No. 32 Tahun

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Lahirnya otonomi daerah memberikan kewenangan kepada

OLEH : PROF. DR. SADU WASISTIONO, MS. Sadu Wasistiono adalah Dosen Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. sebagian masyarakat Indonesia mendukung dengan adanya berbagai tuntutan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No.

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah telah. memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengatur

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN EVALUASI PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. Melalui Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang) yang telah

BAB I PENDAHULUAN. tetapi untuk menyediakan layanan dan kemampuan meningkatkan pelayanan

BAB I PENDAHULUAN. Tuntutan dan kebutuhan masyarakat Indonesia pada umumnya terhadap

BAB I PENDAHULUAN. setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yaitu Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Tujuan ekonomi

BAB I PENDAHULUAN. Tap MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang

BAB I PENDAHULUAN. krisis ekonomi yang melanda Indonesia. Krisis ekonomi yang terjadi pada awal

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia pada awal tahun 1996 dan

BAB 1 PENDAHULUAN. Reformasi tahun 1998 telah membuat perubahan politik dan administrasi, bentuk

BAB 1 PENDAHULUAN. dalam bidang pengelolaan keuangan negara maupun daerah. Akuntabilitas

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk mengelola keuangannya sendiri. Adanya otonomi daerah menjadi jalan bagi

BAB I PENDAHULUAN. dasar dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen dokumen

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pembangunan atau berkembangnya suatu daerah adalah tidak terlepas dari

BAB I PENDAHULUAN. daerah diharapkan mampu menciptakan kemandirian daerah dalam mengatur dan

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi yang terjadi pada bidang politik mulai merambah pada bidang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kebijakan tentang otonomi daerah di wilayah Negara Kesatuan Republik

BAB I PENDAHULUAN. pelaksanaan desentraliasasi fiskal, Indonesia menganut sistem pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah dalam menciptakan good governance sebagai prasyarat dengan

BAB I PENDAHULUAN. bagian yang tidak dapat dipisahkan dari keberhasilan kebijakan yang. daerahnya masing-masing atau yang lebih dikenal dengan sebutan

BAB I PENDAHULUAN. perimbangan keuangan pusat dan daerah (Suprapto, 2006). organisasi dan manajemennya (Christy dan Adi, 2009).

BAB 1 PENDAHULUAN. menguatnya tuntutan akuntabilitas atas lembaga-lembaga publik, baik di pusat

BAB I PENDAHULUAN. ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Perwakilan Rakyat sebagai lembaga legislatif terlebih dahulu menentukan

BAB 1 PENDAHULUAN. Otonomi daerah adalah suatu konsekuensi reformasi yang harus. dihadapi oleh setiap daerah di Indonesia, terutama kabupaten dan kota

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah Titik awal terpenting dari sejarah desentralisasi di Indonesia yaitu pada tahun 1999. Munculnya reformasi akibat ambruknya ekonomi Indonesia dengan tuntutan demokratisasi telah membawa perubahan pada kehidupan masyarakat, termasuk didalamnya pola hubungan pusat daerah. Desentralisasi mengalihkan berbagai kewenangan dan tanggung jawab pemerintah pusat kepada pemerintah daerah (Mustikarini dan Fitriasari, 2012). Pada tahun 1999 ditetapkannya Undang- Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang- Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Kedua Undang-Undang tersebut merupakan skema otonomi daerah yang diterapkan mulai tahun 2001. Pada tahun 2004 diterbitkan Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dikarenakan sudah tidak sesuai dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan dan tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah tersebut menegaskan kewenangan Pemerintah Daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi (Mustikarini dan Fitriasari, 2012). Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2008 bahwa otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan 1

masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pelaksanaan otonomi daerah selain berdasarkan pada aturan hukum, juga sebagai penerapan tuntutan globalisasi yang wajib diberdayakan dengan cara memberikan daerah kewenangan yang lebih luas, lebih nyata dan bertanggung jawab, utamanya dalam menggali, mengatur, dan memanfaatkan potensi besar yang ada di masing-masing daerah. Transformasi struktur pemerintahan dari sentralisasi menjadi desentraliasi tersebut akan mengubah hubungan antara rakyat Indonesia dan negara dengan memberikan otonomi yang besar kepada Pemerintah Daerah. Secara teori, desentralisasi ke tingkat kabupaten/kota akan mengurangi tuntutan separatisme di provinsi sekaligus memperkuat akuntabilitas pemerintah daerah kepada konstituen mereka (Bennet, 2010). Pada proses pendelegasian wewenang terdapat hubungan antara masyarakat/principal dengan pemerintah daerah/agent, legislatif/principal dengan pemerintah daerah/agent, dan juga antara masyarakat/principal dengan legislatif/agent. Adanya perbedaan kepentingan dari masing-masing peran, mengakibatkan adanya konflik yang disebut sebagai agency conflict (Arifianti, Payamta dan Sutaryo, 2013). Agency conflict lebih cenderung timbul antara prinsipal yaitu masyarakat dengan pemerintah sebagai agen. Pemerintah memiliki kesempatan untuk melakukan tindakan-tindakan opportunistic sebab mereka memiliki peluang untuk menggunakan discretionary power nya (Prakosa, 2013) dan masyarakat memiliki tuntutan atas transparansi dan akuntabilitas publik atas pengelolaan keuangan oleh Pemerintah (Rahmanurrasjid, 2008). 2

Akuntabilitas publik adalah kewajiban pihak pemegang amanah (agent) untuk memberikan pertanggungjawaban, menyajikan, melaporkan, dan mengungkapkan segala aktivitas dan kegiatan yang menjadi tanggungjawabnya kepada pihak pemberi amanah (principal) yang memiliki hak dan kewenangan untuk meminta pertanggungjawaban tersebut (Mardiasmo, 2002). Salah satu alasan pentingnya pengukuran kinerja sektor publik adalah sebagai alat pelaporan akuntanbilitas dan transparansi (Robinson, 2002). Oleh karena itu pengukuran kinerja sektor publik perlu dilaksanakan dengan seksama. Menentukan pengukuran kinerja pemerintah daerah tidaklah mudah. Sebelum instansi menggunakan suatu sistem pengukuran kinerja, hendaknya dilakukan penilaian akan kesiapan sumberdaya organisasi dalam memanfaatkan informasi hasil pengukuran kinerja. Hal ini perlu dilakukan untuk menghindari informasi hasil pengukuran kinerja menjadi tumpukan indikator yang tidak termanfaatkan (Swindell dan Kelly, 2002 dalam Silaholo dan Halim, 2005). Menurut Robinson, 2002 : 3) bahwa terdapat sejumlah pertanyaan yang harus dipertimbangkan secara hati-hati sebagai landasan dalam membangun suatu sistem pengukuran kinerja sektor publik. Salah satunya, apakah alat ukur tersebut mencerminkan secara akurat kinerja para manajer agen sektor publik yang sedang dievaluasi?. Secara singkat laporan kinerja sektor publik merupakan alat komunikasi antara tujuan yang telah dicapai dengan manajer yang bertanggung jawab atas pencapaian tugas terebut, mendorong mereka mengambil keputusan yang konsisten dengan sasaran organisasi serta menjadi alat yang secara tepat mengukur kontribusi prestasi yang 3

dicapai manajer tertentu terhadap tujuan lembaga sektor publik secara umum (Harun, 2009 : 75). Tidak adanya sistem pengukuran kinerja pemerintah daerah yang komprehensif telah mengarah pada pembentukan prakarsa bersama antara pemerintah dan organisasi-organisasi internasional untuk mengembangkan dan menerapkan sistem pengukuran kinerja yang komprehensif untuk semua pemerintah daerah di Indonesia (The World Bank Group, 2013). Di bawah payung Fasilitas Dukungan Desentralisasi (DSF) multi donor, prakarsa tersebut dipimpin bersama-sama oleh subtim pengukuran kinerja pemerintah daerah di bawah Tim Keuangan Publik dan Pembangunan Daerah Bank Dunia dan divisi program ekonomi dari Yayasan Asia (The Asia Foundation - TAF). Suatu indeks kinerja pemerintah daerah disusun berdasarkan empat pilar tematik, yaitu : manajemen keuangan publik (PFM), kinerja fiskal, pemberian layanan dan iklim investasi. Disisi lain, Government Accounting Standard Board (GASB), dalam Concept Statements No.2, membagi pengukuran kinerja dalam tiga kategori indikator, yaitu (1) indikator pengukuran service efforts, (2) indikator pengukuran service accomplishment, dan (3) indikator yang menghubungkan antara efforts dengan accomplishment. Service efforts berarti bagaimana sumber daya digunakan untuk melaksanakan berbagai program atau pelayanan jasa yang beragam. Service accomplishment diartikan sebagai prestasi dari program tertentu. Di samping itu perlu disampaikan juga penjelasan tertentu berkaitan dengan pelaporan kinerja ini (explanatory information). Pengukuran-pengukuran ini melaporkan jasa apa saja yang disediakan oleh pemerintah, apakah jasa tersebut sudah memenuhi tujuan 4

yang ditentukan dan apakah efek yang ditimbulkan terhadap penerima layanan/jasa tersebut. Pembandingan service efforts dengan service accomplishment merupakan dasar penilaian efisiensi operasi pemerintah (GASB, 1994 dalam Sadjiarto, 2000). Pengukuran kinerja Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota di Indonesia didasarkan pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2008 Tentang Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Laporan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah (LPPD) adalah laporan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah selama 1 (satu) tahun anggaran yang berdasarkan Rencana Kerja Pembangunan Daerah yang disampaikan oleh kepala daerah kepada Pemerintah Pusat. LPPD inilah kemudian menjadi sumber utama yang digunakan untuk melakukan EKPPD. EKPPD (Evaluasi Kinerja Penyelenggaraan Pemerintahan) merupakan suatu proses pengumpulan dan analisis data secara sistematis terhadap kinerja penyelenggaraan pemerintahan daerah dengan menggunakan sistem pengukuran kinerja (PP 6 Tahun 2008). Tata cara pelaksanaan EKPPD sebagaimana di atur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 73 Tahun 2009. Metode EKPPD dilakukan dengan menilai total indeks komposit kinerja penyelenggaraan pemerintahan daerah dengan hasil akhir berupa Indeks Hasil Evaluasi LPPD yang selanjutnya disebut sebagai skor kinerja (Permendagri 73 Tahun 2009). Skor kinerja merupakan penjumlahan hasil penilaian yang meliputi indeks capaian kinerja dan indeks kesesuaian materi. Indeks capaian kinerja diukur dengan menilai Indikator Kinerja Kunci (IKK) pada aspek tataran pengambil kebijakan dan pelaksanaan kebijakan (Permendagri 73 5

Tahun 2009), sedangkan indeks kesesuaian materi dilakukan dengan membandingkan materi yang disajikan dalam LPPD dengan materi yang seharusnya disajikan sesuai PP Nomor 3 Tahun 2007, yang meliputi : urusan desentralisasi (urusan wajib dan urusan pilihan), tugas pembantuan, tugas umum pemerintahan, dan kelengkapan laporan (RPJMD dan gambaran umum daerah). Kriteria penilaian yang ditetapkan terhadap skor kinerja dibagi kedalam empat tingkatan prestasi sebagaimana berikut : skor 4-3, status sangat tinggi menunjukkan kinerja penyelenggaraan pemerintahan yang sangat baik ; skor 3-2, status tinggi menunjukkan kinerja penyelenggaraan pemerintahan yang baik; dan skor 2-1 status sedang menunjukkan kinerja penyelenggaraan pemerintahan yang sedang. Penetapan peringkat, skor dan status kinerja penyelenggaraan pemerintahan daerah kabupaten/kota secara nasional yang dituangkan dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia setiap tahunnya Penelitian ini mengulas mengenai beberapa faktor yang mempengaruhi kinerja penyelenggaraan pemerintahan daerah. Faktor-faktor yang mempengaruhi berupa variabel independen meliputi indikator kinerja kunci aspek keuangan pada tataran pengambil kebijakan, seperti transparansi dalam pemanfaatan alokasi, pencairan dan penyerapan DAU, DAK, dan Bagi Hasil ; intensitas, efektivitas, dan transparansi pemungutan sumber-sumber pendapatan asli daerah dan pinjaman/obligasi daerah; efektivitas perencanaan, penyusunan, pelaksanaan tata usaha, pertanggung jawaban, dan pengawasan APBD; dan pengelolaan potensi daerah. Indikator kinerja kunci perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui apakah indikator kinerja kunci tersebut relevan atau tidak untuk menilai kinerja penyelenggaraan pemerintahan daerah. 6

Penelitian terkait kinerja Pemda telah dilakukan oleh beberapa peneliti, dengan indikator kinerja yang dilihat dari kinerja ekonomi atau keuangan. Lin et al (2010) melakukan penelitian terkait kinerja ekonomi Pemda di Cina pada tahun 2005 dan hasil penelitian menemukan bahwa pendapatan Pemda, ekspor, impor, GDP dan income of family mempunyai pengaruh positif terhadap kinerja ekonomi. Coll et al (2006) juga melakukan penelitian terkait kinerja Pemda (rasio efisiensi) di Spanyol pada tahun 1995 yang meliputi pengaruh tax, self-generate, revenue, grant, leverage dan belanja daerah dan hasil penelitian menunjukkan hanya grant dan leverage yang berpengaruh terhadap kinerja Pemda di Spanyol. Penelitian terkait kinerja penyelenggaraan pemerintahan daerah belum banyak dilakukan di Indonesia. Penelitian yang pernah dilakukan oleh Mustikarini dan Fitriasari (2012), dan Sudarsana dan Rahardjo (2013) dan yang mengaitkan karakteristik pemerintah daerah dan temuan BPK terhadap kinerja penyelenggaraan pemerintah daerah kabupaten/kota di Indonesia, Pranataningrum (2012) yang mengkaitkan pengaruh aspek keuangan terhadap kinerja penyelenggaraan pemerintahan daerah sedangkan Arifianti, Payamta, Sutaryo (2013) mengkaitkan pengaruh pemeriksaan dan pengawasan keuangan daerah terhadap kinerja penyelengaraan pemerintahan daerah Kabupaten/Kota di Indonesia. Ketiga penelitian tersebut menggunakan variabel dependen kinerja penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai PP Nomor 6 Tahun 2008. Objek dalam penelitian ini adalah Pulau Jawa. Pulau Jawa merupakan pulau terpadat di Indonesia. Pulau Jawa sebagai pusat pemerintahan dan aktifitas di 7

Indonesia, memiliki sumber daya alam dan sumber daya manusia yang memadai seharusnya ditargetkan dalam kategori status sangat tinggi menunjukkan kinerja penyelenggaraan pemerintahan yang sangat baik (Kemendagri, 2012). Target Kemendagri untuk kinerja sangat baik bagi pemerintah daerah Kabupaten/Kota di Pulau Jawa tersebut belum sepenuhnya terpenuhi. Hal ini dibuktikan dengan hasil EKPPD yang dirilis Kemendagri selama kurun waktu 2010 s/d 2012. Berdasarkan pada hasil EKPPD tahun 2012 dari 119 pemerintah daerah Kabupaten/Kota di Pulau Jawa yang memperoleh status sangat tinggi yang menunjukkan kinerja penyelenggaraan pemerintahan yang sangat baik sebanyak 51 kab/kota, status tinggi menunjukkan kinerja penyelenggaraan pemerintahan yang baik sebanyak 57 kab/kota dan status sedang menunjukkan kinerja penyelenggaraan pemerintahan yang sedang sebanyak 3 kab/kota, sedangkan 8 kab/kota belum dilakukan penilaian kinerja penyelenggaraan pemerintahan daerah. Secara lengkap dapat dilihat pada grafik 1.1 sebagaimana dibawah ini. Grafik 1.1 Distribusi Status Kinerja Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota Se-Pulau Jawa Tahun 2012 Status Kinerja Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah 3% 46% 51% 1 Sedang 2 Tinggi 3 Sangat Tinggi Sumber : Olah Data Penulis, 2015 8

Grafik tersebut diatas mengindikasikan bahwa 54% pemerintah daerah Kabupaten/Kota di Pulau Jawa belum mampu menyelenggarakan pemerintahan daerah dengan predikat sangat baik. Hal ini merupakan permasalahan yang penting untuk dikaji faktor penyebabnya, sehingga dapat diidentifikasi alternatif solusi untuk memperbaiki kinerja pemerintah daerah sebagaimana di targetkan oleh Kemendagri tersebut. Berdasarkan hal tersebut diatas peneliti tertarik untuk melakukan penelitian terkait beberapa faktor yang mempengaruhi kinerja penyelenggaraan pemerintahan daerah kabupaten/kota di Pulau Jawa. I.2 Rumusan Masalah Penelitian ini melatarbelakangi keinginan untuk menggali lebih jauh tentang kinerja penyelenggaraan pemerintaan daerah yang didasarkan pada EKPPD. Kinerja penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang didasarkan PP Nomor 6 Tahun 2008 dinilai dengan menggunakan indikator kinerja kunci yang relatif banyak. Menurut Swindell dan Kelly (2002) dalam Silaholo dan Halim (2005) bahwa sebelum instansi menggunakan suatu sistem pengukuran kinerja, hendaknya dilakukan penilaian akan kesiapan sumberdaya organisasi dalam memanfaatkan informasi hasil pengukuran kinerja. Hal ini perlu dilakukan untuk menghindari informasi hasil pengukuran kinerja menjadi tumpukan indikator yang tidak termanfaatkan. Oleh karena itu sebagian indikator kinerja kunci khususnya pada aspek keuangan perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui relevannya. Indikator yang tidak relevan bisa dilakukan pengkajian ulang dalam 9

menentukan skor/hasil pemeringkatan EKPPD sedangkan indikator kunci yang relevan tetap dijadikan dasar pengukuran kinerja penyelenggaraan pemerintahan daerah. Atas dasar paparan di atas, masalah dalam penelitian ini dapat dinyatakan dengan pertanyaan seperti berikut : 1. Apakah serapan dana perimbangan berpengaruh positif terhadap kinerja penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia? 2. Apakah alokasi belanja langsung pada APBD berpengaruh positif terhadap kinerja penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia? 3. Apakah derajat desentralisasi fiskal berpengaruh positif terhadap kinerja penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia? 4. Apakah besaran silpa berpengaruh negatif terhadap kinerja penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia? 5. Apakah efisiensi belanja berpengaruh negatif terhadap kinerja penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia? 6. Apakah efektifitas PAD berpengaruh positif terhadap kinerja penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia? 7. Apakah pertumbuhan PAD berpengaruh positif terhadap kinerja penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia? I.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat mencapai tujuan yang dapat dinyatakan sebagai berikut ini. 1. Memperoleh bukti empiris terkait pengaruh serapan dana perimbangan terhadap kinerja penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia. 10

2. Memperoleh bukti empiris terkait pengaruh alokasi belanja langsung pada APBD terhadap kinerja penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia. 3. Memperoleh bukti empiris terkait pengaruh derajat desentralisasi fiskal terhadap kinerja penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia. 4. Memperoleh bukti empiris terkait pengaruh besaran silpa terhadap kinerja penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia. 5. Memperoleh bukti empiris terkait pengaruh efisiensi belanja terhadap kinerja penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia. 6. Memperoleh bukti empiris terkait efektifitas PAD terhadap kinerja penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia. 7. Memperoleh bukti empiris terkait pertumbuhan PAD terhadap kinerja penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia. I.4 Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah dapat memberikan masukan yang berguna antara lain sebagai berikut : 1. Bagi Pemerintah Pusat selaku tim penilai penyelenggaraan pemerintahan daerah, hasil penelitian ini dapat menjadi masukan dalam menentukan indikator dalam menilai kinerja penyelenggaraan pemerintahan daerah. 2. Bagi Pemerintah Daerah selaku penyelenggara pemerintahan, hasil penelitian ini dapat dijadikan pertimbangan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah dan diharapkan mampu memberikan dorongan untuk lebih meningkatkan kinerja penyelenggaraan pemerintahan daerah. 11

3. Bagi profesi di bidang akademik, hasil penelitian ini dapat memberikan bahan referensi bagi peneliti-peneliti lain pada bidang kajian sejenis. 4. Bagi masyarakat, hasil penelitian ini dapat menjadi informasi terkait kinerja penyelenggaraan pemerintahan daerah sehingga dapat digunakan sebagai alat pengawasan terhadap Pemerintah Daerah. 12