Lex et Societatis, Vol. III/No. 5/Juni/2015

dokumen-dokumen yang mirip
Lex Administratum, Vol. III/No.3/Mei/2015

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan dunia usaha dalam perkembangan dunia yang semakin. pesat membutuhkan suatu hukum guna menjamin kepastian dan memberi

UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

BAB I PENDAHULUAN. Penyelesaian Sengketa (APS) atau Alternative Dispute Resolution (ADR). 3 Salah satu

PENYELESAIAN SENGKETA PERDATA DI LUAR PENGADILAN MELALUI ARBITRASE 1 Oleh : Hartarto Mokoginta 2

BAB I PENDAHULUAN. sengketa yang terjadi diantara para pihak yang terlibat pun tidak dapat dihindari.

Lex et Societatis, Vol. IV/No. 1/Jan/2016

I. PENDAHULUAN. menimbulkan pengaruh terhadap berkembangnya transaksi-transaksi bisnis yang

UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

BAHAN KULIAH ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DAGANG 14 METODE PENYELESAIAN SENGKETA PERDAGANGAN INTERNASIONAL A.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lex et Societatis, Vol. IV/No. 2/Feb/2016. TAHAPAN DAN PROSES MEDIASI DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PERDATA DI PENGADILAN 1 Oleh: Agung Akbar Lamsu 2

Lex Crimen Vol. VI/No. 8/Okt/2017

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Bentuk sengketa beraneka ragam dan memiliki sekian banyak liku-liku yang

UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap orang dalam melakukan kehidupan sehari-hari, seringkali tidak pernah lepas dalam melakukan

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

Gubernur Jawa Barat PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR : 93 TAHUN 2014 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA BARAT,

3 Lihat UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa. Keuangan (Bab VI). 4 Lihat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No.

ARBITRASE SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA Firda Zulfa Fahriani

FUNGSI PERJANJIAN ARBITRASE

PENYELESAIAN SENGKETA PERDAGANGAN. Karakteristik Pengadilan Negeri. Penyelesaian Sengketa Melalui Litigasi 11/8/2014

Christian Daniel Hermes Dosen Fakultas Hukum USI

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan bermasyarakat manusia sebagai makhluk sosial tidak

BAB I PENDAHULUAN. sebenarnya bukanlah hal yang baru dan telah lama dikenal. Salah satu ketentuan yang

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DAFTAR PUSTAKA., 2011, Kebatalan dan Pembatalan Akta Notaris, Refika Aditama, Bandung.

BAB I PENDAHULUAN. setiap negara modern. Hukum memiliki peran yang dominan dalam. ekonomi dan budaya pada masa pembangunan suatu negara.

BAB I PENDAHULUAN. mengadakan kerjasama, tolong menolong, bantu-membantu untuk

BAB III METODE PENELITIAN. Menurut Soerjono Soekanto bahwa : 103. asas sesuatu (inquiry) secara sistematis dengan adanya penekanan bahwa

Lex et Societatis, Vol. V/No. 6/Ags/2017

NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB III PENYELESAIAN SENGKETA DENGAN SYSTEM COURT CONNECTED MEDIATION DI INDONESIA. memfasilitasi, berusaha dengan sungguh-sungguh membantu para pihak

BAB I PENDAHULUAN. serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya. Kegiatan usaha

Lex Administratum, Vol. V/No. 3/Mei/2017

MEDIASI ATAU KONSILIASI DALAM REALITA DUNIA BISNIS

Lex Administratum, Vol. III/No.3/Mei/2015

BAB I PENDAHULUAN. Pada masa sekarang ini banyak terjadi sengketa baik dalam kegiatan di

BAHAN KULIAH HUKUM PERNIAGAAN/PERDAGANGAN INTERNASIONAL MATCH DAY 12 METODE PENYELESAIAN SENGKETA PERDAGANGAN INTERNASIONAL

BAB IV. A. Analisa terhadap Prosedur Mediasi di Pengadilan Agama Bangkalan. cepat dan murah dibandingkan dengan proses litigasi, bila didasarkan pada

BAB II KEBERADAAN BADAN ARBITRASE NASIONAL INDONESIA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA HUTANG PIUTANG

BAB I PENDAHULUAN. berinteraksi dengan sesamanya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, hal ini

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan berdirinya lembaga-lembaga perekonomian yang menerapkan

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 02 TAHUN 2003 TENTANG PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. membuat manusia mampu menjalani kehidupannya. Contoh kecil yaitu manusia tidak bisa

BAB I PENDAHULUAN. * Dosen Pembimbing I ** Dosen Pembimbing II *** Penulis. A. Latar Belakang

EFEKTIVITAS PELAKSANAAN MEDIASI SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA Nomor : 02 Tahun 2003 TENTANG PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA

KEKUATAN HUKUM DARI HASIL MEDIASI DI PENGADILAN

Mercatoria Vol. 9 No. 1/Juli 2016 ISSN No:

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia, Bogor, hlm M. Husseyn Umar, 1995, Hukum dan Lembaga Arbitrase di Indonesia, Proyek Pengembangan

Oleh : Komang Eky Saputra Ida Bagus Wyasa Putra I Gusti Ngurah Parikesit Widiatedja

PENEGAKAN HUKUM PENYELESAIAN SENGKETA KETENAGAKERJAAN MELALUI PERADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL. Yati Nurhayati ABSTRAK

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lex Administratum, Vol. III/No. 8/Okt/2015

Undang-Undang Merek, dan Undang-Undang Paten. Namun, pada tahun waralaba diatur dengan perangkat hukum tersendiri yaitu Peraturan

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2010

EKSISTENSI DAN KEKUATAN MEDIASI DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PERDATA DI PENGADILAN 1 Oleh : Wiska W. R Rahantoknam 2

Lex et Societatis, Vol. IV/No. 7/Juli/2016

BAB I PENDAHULUAN. saham merupakan salah satu instrumen pasar keuangan yang paling popular.

EKSEKUSI TERHADAP KEPUTUSAN HAKIM YANG MEMPUNYAI KEKUATAN HUKUM TETAP DI PENGADILAN NEGERI SURAKARTA

BAB III KEKUATAN PUTUSAN BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN DALAM PRAKTEK

UPAYA PERLAWANAN HUKUM TERHADAP EKSEKUSI PEMBAYARAN UANG DALAM PERKARA PERDATA (Studi Kasus Pengadilan Negeri Surakarta)

Lex et Societatis, Vol. III/No. 9/Okt/2015

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Lex et Societatis, Vol. V/No. 1/Jan-Feb/2017. Kata kunci: Eksekusi putusan, Arbitrase Nasional.

BAHAN KULIAH ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DAGANG 6 M E D I A S I A.

DIPONEGORO LAW JOURNAL Volume 5, Nomor 3, Tahun 2016 Website :

BAB IV PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS

Dalam melaksanakan tugasnya, Kelompok Kerja telah melakukan kegiatan-kegiatan untuk menyelesaikan proses penyusunan revisi PERMA tersebut.

Lex Privatum, Vol.I/No.1/Jan-Mrt/2013. Artikel skripsi. Dosen Pembimbing Skripsi: Soeharno,SH,MH, Constance Kalangi,SH,MH, Marthen Lambonan,SH,MH 2

BAB II PENGATURAN PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN SYARIAH

BAB I PENDAHULUAN. beli, tetapi disebutkan sebagai dialihkan. Pengertian dialihkan menunjukkan

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan dunia usaha yang diwarnai dengan semakin. pihak yang terlibat dalam lapangan usaha tersebut, sangat berpotensi

Lex Crimen Vol. V/No. 7/Sep/2016. TATA CARA PEMERIKSAAN SENGKETA ARBITRASE MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN Oleh : Gideon Hendrik Sulat 2

MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN SECARA MEDIASI TERHADAP PRODUK CACAT DALAM KAITANNYA DENGAN TANGGUNG JAWAB PRODUSEN

PROSEDUR PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

BAB V P E N U T U P. forum penyelesaian sengketa yang pada awalnya diharapkan dapat menjadi solusi

BAB IV ANALISIS DUALISME AKAD PEMBIAYAAN MUD{ARABAH MUQAYYADAH DAN AKIBAT HUKUMNYA

Alternative Dispute Resolution (Alternatif Penyelesaian Sengketa, APS)

BAB I PENDAHULUAN. dipungkiri tidak hanya berdampak pada peningkatan kondisi perekonomian

BAB 1 PENDAHULUAN. Tengker, cet. I, (Bandung: CV. Mandar Maju, 2001), hal (Jakarta: Djambatan, 2002), hal. 37.

PUBLIC POLICY SEBAGAI ALASAN PEMBATALAN PELAKSANAAN PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL DI INDONESIA

Lex Crimen Vol. V/No. 5/Jul/2016

Oleh Helios Tri Buana

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

PANDUAN WAWANCARA. proses mediasi terhadap perkara perceraian? b. Apa ada kesulitan dalam menerapkan model-model pendekatan agama?

BAB III TINJAUAN TEORITIS. Undang-Undang No 9 Tahun 1999 berjudul Undang-Undang tentang Perlindungan

Strategi Kesetaraan Kontrak PILIHAN MEDIASI & ARBITRASE

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Pengertian Mediasi. Latar Belakang Mediasi. Dasar hukum pelaksanaan Mediasi di Pengadilan adalah Peraturan Mahkamah Agung RI No.

Ditulis oleh Administrator Jumat, 05 Oktober :47 - Terakhir Diperbaharui Jumat, 05 Oktober :47

EFEKTIFITAS MEDIASI DALAM PERKARA PERDATA BERDASARKAN PERATURAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 01 TAHUN 2008 (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Boyolali) SKRIPSI

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Peranan hukum di dalam pergaulan hidup adalah sebagai sesuatu yang

Lex et Societatis, Vol. III/No. 10/Nov/2015

Dinamika Pembangunan dan Pengembangan Hukum di Indonesia sejak masa kolonial hingga era kemerdekaan

Transkripsi:

KLAUSUL ARBITRASE DAN PENERAPANNYA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS 1 Oleh : Daru Tyas Wibawa 2 ABSTRAK Dari segi tipe penelitian, maka penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yang menurut Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji dikemukakan bahwa pada penelitian hukum normatif, bahan pustaka merupakan data dasar yang dalam ilmu penelitian digolongkan sebagai data sekunder. Perjanjian arbitrase atau klausul arbitrase mempunyai fungsi penting dalam penyelesaian sengketa bisnis yang pada hakikatnya merupakan bagian pengamanan dari kegiatan bisnis itu sendiri. Melalui pencantuman perjanjian arbitrase, ada suatu landasan hukum atau dasar hukum yang memberikan perlindungan hukum dalam kegiatan bisnis serta memberikan rasa aman dari kemungkinan timbulnya pelanggaran terhadap isi perjanjian (kontrak) tersebut. Perjanjian dan perjanjian arbitrase adalah perbuatan hukum mengikatkan diri di antara para pihak yang menimbulkan konsekuensi hukum, sehingga dipenuhinya persyaratan yang ditentukan, maka keabsahan dan kekuatan mengikatnya menjadi bagian penting dari keabsahan perbuatan hukum mengikatkan diri tersebut. Pengaturan perjanjian arbitrase pada perjanjian induk atau pokok memberikan keabsahan dan kekuatan mengikat untuk digunakan lebih lanjut perjanjian arbitrase tersebut di kemudian hari. Akan tetapi manakala hubungan bisnis berlangsung lancar dan memuaskan para pihak, tentunya perjanjian arbitrase (klausul arbitrase) tidak perlu digunakan lebih lanjut Kata kunci: Arbitrase, sengketa bisnis. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyelesaian sengketa merupakan cara atau bentuk yang dianjurkan dan diatur oleh hukum. Frans Hendra Winarta mengemukakan bahwa: Perlu ada sistem penyelesaian sengketa yang efisien, efektif, dan cepat, sehingga dalam 1 Artikel Tesis. Dosen Pembimbing : Dr. Ronny A. Maramis, SH, MH; Dr. Abdurachman Konoras, SH, MH 2 Mahasiswa pada Pascasarjana Universitas Sam Ratulangi. NIM. 0723208108 menghadapi liberalisasi perdagangan terdapat lembaga yang dapat diterima dunia bisnis dan memiliki kemampuan sistem untuk menyelesaikan sengketa dengan cepat dan biaya murah. Di samping penyelesaian sengketa secara litigasi, dalam praktik terdapat alternatif penyelesaian sengketa (alternative disputes resolution), yaitu arbitrase. 3 M. Khoidin menjelaskan, secara garis besar terdapat dua macam bentuk penyelesaian sengketa. Pertama, model litigasi, yaitu penyelesaian sengketa dagang yang dilakukan oleh dan melalui lembaga peradilan (in court dispute settlement), dan Kedua, model nonlitigasi, yaitu penyelesaian sengketa dagang di luar lembaga peradilan (out of court dispute settlement). 4 Penyelesaian sengketa dagang atau bisnis, baik melalui lembaga peradilan maupun di luar lembaga peradilan adalah sama-sama bertujuan untuk mencapai hasil yang adil dan menjamin kepentingan hukum dan perlindungan hukum bagi pihak yang merasa dirugikan dari suatu interaksi bisnis. Arbitrase sebagai cara penyelesaian sengketa bisnis di luar peradilan, sebenarnya bukan hal baru dalam sistem hukum di Indonesia oleh karena telah diatur dalam sistem hukum kolonial. Munir Fuady mengemukakan pengaturannya sebagai berikut: Dahulunya, ketentuan yang mengatur tentang arbitrase ini adalah yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata (Reglement op de Burgerlijk Rechtsvordering = RV) yang terdapat dalam Stb. 1847-52 juncto Stb. 1849-63). RV ini sebenarnya merupakan Kitab Undang- Undang Hukum Acara Perdata yang berlaku untuk golongan Eropa. Sedangkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara perdata yang berlaku bagi golongan bumiputera adalah HIR (untuk Jawa dan Madura) dan RBg (untuk luar Jawa dan Madura). 5 3 Frans Hendra Winarta, Hukum Penyelesaian Sengketa. Arbitrase Nasional Indonesia dan Internasional, Sinar Grafika, Cetakan Ke-2, Jakarta, 2013, hal. 2 4 M. Khoidin, Hukum Arbitrase Bidang Perdata, Aswaja Pressindo, Cetakan Ke-3, Yogyakarta, 2013, hal. 2. 5 Munir Fuady, Arbitrase Nasional (Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis) Citra Aditya Bakti, Cetakan Ke-2, Bandung, 2003, hal. 27. 27

Ketentuan arbitrase warisan hukum kolonial tersebut ketika Indonesia telah mencapai kemerdekaannya, baru diganti dengan Undang- Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, yang mencabut ketentuan warisan kolonial tentang arbitrase berdasarkan ketentuan Pasal 81. Berdasarkan judul Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, maka konsep penyelesaian sengketa yang dimaksudkan dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 ialah Pertama, penyelesaian sengketa secara Arbitrase, dan Kedua, penyelesaian sengketa berdasarkan Alternatif Penyelesaian Sengketa (Alternative Dispute Settlement) atau juga dinamakan sebagai Alternative Dispute Resolution (ADR), yang meliputi cara-cara atau metode-metode konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penyelesaian ahli. Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah cara-cara penyelesaian sengketa di luar peradilan, sedangkan yang lain ialah cara penyelesaian sengketa melalui lembaga peradilan. Menurut Takdir Rahmadi, dijelaskannya bahwa: Ada pandangan lain yang menyatakan bahwa Alternative dispute resolution merupakan konsep yang mencakup semua bentuk atau cara-cara penyelesaian sengketa, sedangkan penyelesaian sengketa yang bersifat memutus (ajudication0 tidak termasuk ke dalam alternative dispute resolution. Dengan demikian, arbitrase tidak termasuk ke dalam alternative dispute resolution karena arbitrase merupakan proses penyelesaian sengketa dengan cara memutus (ajucative). 6 Pendapat Takdir Rahmadi berkaitan erat dengan praktik penyelesaian sengketa secara arbitrase dalam lingkup hukum publik/hukum Internasional, yang terkait erat dengan sengketa Island of Palmas (Las Palmas) tahun 1928, sekarang dikenal sebagai Pulau Miangas yang menurut Huala Adolf, Hakimnya ialah Max 6 Takdir Rahmadi, Mediasi : Penyelesaian Sengketa Melalui Pendekatan Mufakat, RajaGrafindo Persada, Cetakan Ke- 2, Jakarta, 2011, hal. 11-12 Huber, 7 sedangkan J.G. Starke, menyebut Max Huber sebagai seorang arbitrator. 8 Masalah yang mengemuka, ialah apakah lembaga arbitrase sama halnya dengan lembaga peradilan, oleh karena isunya berpangkal dari penyebutan Max Huber selaku Hakim yang dapat menimbulkan persepsi bahwa lembaga arbitrase adalah sama dengan lembaga peradilan yang memiliki salah satu aparatnya yakni Hakim. Isu berikutnya, ialah Kasus Las Palmas tahun 1928 menunjukkan bahwa lembaga arbitrase tidak hanya dikenal dalam bidang Hukum Privat seperti Hukum Bisnis, melainkan juga dikenal dalam Hukum Publik seperti Hukum Internasional. Kasus Las Palmas tahun 1928 merupakan fakta dan bukti bahwa lembaga arbitrase sudah lam dikenal dan juga memiliki lingkup internasional sebagai arbitrase internasional. Berlakunya Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 pada dasarnya merupakan pilihan terhadap adanya penyelesaian sengketa lain di luar peradilan yang ternyata menjadi pilihan pada pelaku bisnis di dalam menyelesaikan sengketa-sengketa bisnisnya. Pilihan penyelesaian di luar lembaga peradilan akan menimbulkan isu hukum mengenai faktorfaktor penyebab mengapa para pelaku bisnis lebih condong memilih penyelesaian sengketa di luar peradilan, baik secara arbitrase maupun secara alternatif penyelesaian sengketa. Hubungan bisnis di antara pelaku bisnis yang tertuang dalam bentuk kontrak atau perjanjian, lazimnya mencantumkan dalam kontrak tersebut pilihan hukum (choice of law) manakala di kemudian hari timbul persengketaan di antara para pihak. Menurut Suyud Margono apabila para pihak tidak menentukan, akan berlaku hukum pilihan hakim. 9 Pencantuman pilihan hukum apakah penyelesaian sengketa diselesaikan melalui peradilan atau di luar peradilan, terkait erat 7 Adolf Huala, Aspek-Aspek Negara Dalam Hukum Internasional, RajaGrafindo Persada, Cetakan Ke-3, Jakarta, 2002, hal. 8 8 J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional, Terjemahan Sumitro L.S. Danuredjo, Jilid 1, Aksara Persada Indonesia, Cetakan Ke-2, Jakarta, 1989, hal. 143 9 Suyud Margono, Aspek Hukum Komersialisasi Aset Intelektual, Nuansa Aulia, Cetakan Pertama, Bandung, 2010, hal. 125 28

diselesaikan melalui peradilan atau di luar peradilan, terkait erat dengan pilihan forum (choice of forum) yang lebih tertuju pada forum apa yang ditentukan manakala timbul persengketaan bisnis. Dalam kontrak bisnis, pencantuman pilihan hukum maupun pilihan forum adalah bagian dari klausula arbitrase yang tercantum di dalam kontrak, yang lazimnya ditempatkan pada ketentuan atau item penyelesaian sengketa serta merupakan kesepakatan bersama di antara para pihak, sehingga dasar hukum utamanya ialah ketentuan Pasal 1338 KUH. Perdata. Ahmadi Miru menjelaskan, asas kebebasan berkontrak merupakan suatu dasar yang menjamin kebebasan orang dalam melakukan kontrak. 10 Klausula arbitrase dalam suatu kontrak bisnis menurut Huala Adolf, dijelaskannya sebagai berikut: Penyerahan suatu sengketa kepada arbitrase dapat dilakukan dengan pembuatan suatu submission clause, yaitu penyerahan kepada arbitrase suatu sengketa yang lahir. Alternatif lainnya, atau melalui pembuatan suatu klausul arbitrase dalam suatu perjanjian sebelum sengketanya lahir (klausul arbitrase atau arbitration clause). 11 Berdasarkan pendapat Huala Adolf, maka klausul arbitrase dimaksud ialah suatu ketentuan yang tercantum dalam kontrak yang berisikan ketentuan tentang cara bagaimana penyelesaian suatu persengketaan atau perselisihan jika di kemudian hari timbul persengketaan di antara para pihak yang membuat kontrak bisnis tersebut. Dari aspek implementasi suatu klausul arbitrase masih dihadapkan pada masalah kompetensinya dan kekuatan mengikatnya. Padahal Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 secara tegas menyatakan kompetensi atau yurisdiksi lembaga arbitrase apabila terikat dengan suatu perjanjian arbitrase, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 3 bahwa Pengadilan 10 Ahmadi Miru, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, RajaGrafindo Persada, Cetakan Ke-6, Jakarta, 2014, hal. 4 11 Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional, RajaGrafindo Persada, Cetakan Ke-5, Jakarta, 2013, hal. 208 Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase. Dalam contoh kasus, justru lembaga peradilan hingga Mahkamah Agung telah melanggar klausul arbitrase yang dibuat dalam bentuk Kontrak Investasi (Investment Agreement) antara Hari Tanusoedibjo dan Siti Hardijanti Rukmana pada sengketa kepemilikan saham PT. Televisi Pendidikan Indonesia (disingkat PT. TPI). Sedangkan Investment Agreement, telah menunjuk Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) sebagai tempat untuk menyelesaikan sengketa sesuai dengan klausul arbitrase tertanggal 23 Agustus 2002. B. Perumusan Masalah 1. Bagaimana pengaturan penyelesaian sengketa bisnis melalui arbitrase? 2. Bagaimana kekuatan mengikat klausul arbitrase? 3. Sejauhmana akibat hukum pelanggaran klausul arbitrase? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan pada rumusan masalah, maka yang menjadi tujuan penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui, memahami, dan menjelaskan pengaturan penyelesaian sengketa bisnis melalui arbitrase. 2. Untuk mengetahui, memahami, dan menjelaskan kekuatan mengikat suatu klausul arbitrase. 3. Untuk mengetahui, memahami, dan menjelaskan akibat hukum pelanggaran klausul arbitrase. D. Metode Penelitian Dari segi tipe penelitian, maka penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yang menurut Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji dikemukakan bahwa pada penelitian hukum normatif, bahan pustaka merupakan data dasar yang dalam ilmu penelitian digolongkan sebagai data sekunder. 12 Sebagai tipe penelitian hukum normatif, maka sumber data penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari berbagai bahan hukum, yakni bahan hukum 12 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normastif. Suatu Tinjauan Singkat, RajaGrafindo Persada, Cetakan Ke-15, Jakarta, 2013, hal. 24 29

primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Data yang diperoleh melalui pengumpulan data kemudian diolah berdasarkan sistematisasi, harmonisasi, dan sinkronisasi data. Sistematika hukum adalah penelitian terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. 13 Harmonisasi sumber hukum digunakan untuk mengolah data dalam peraturan perundangan yang satu dengan lainnya apakah harmonis atau tidak, sedangkan sinkronisasi dilakukan pada taraf sinkronisasi secara vertikal untuk mengungkapkan kenyataan peraturan perundangan tertentu serasi secara vertikal, atau mempunyai keserasian secara horizontal apabila menyangkut perundang-undangan yang sederajat. 14 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, menentukan kompetensi mutlak penyelesaian sengketa secara arbitrase apabila terikat dengan perjanjian arbitrase (Pasal 3), namun dalam beberapa kasus, lembaga peradilan juga menyelesaikan sengketa yang telah terikat dengan Perjanjian Arbitrase, seperti perkara kepemilikan saham PT. Cipta TPI. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Pengaturan Penyelesaian Sengketa Bisnis Melalui Arbitrase Sumber hukum positif tentang penyelesaian sengketa bisnis melalui arbitrase ialah Undang- Undang No. 30 Tahun 1999, tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Undang- Undang ini adalah peraturan perundangan pertama dibentuk dan diberlakukan pasca kemerdekaan Negara Republik Indonesia. Sebelum berlakunya Undang-Undang No. 30 Tahun 1999, di Indonesia telah berlaku ketentuan hukum warisan kolonial yang mengatur perihal arbitrase dalam Pasal 615 sampai dengan Pasal 651 Reglement Acara Perdata (Reglement op de Rechtsvordering, Staatsblad 1847:52) dan Pasal 377 Reglemen Indonesia yang Diperbaharui (Het Herziene Indonesisch Reglement, Staatsblad 1941 No. 44) dan Pasal 705 Reglemen Acara Untuk Daerah Luar Jawa dan Madura 13 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Op Cit, hal. 70 14 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Ibid, hal. 74 (Rechtsreglement Buitengewesten, Staatsblad 1927:227). Berbagai peraturan perundang-undangan warisan kolonial tersebut dengan berlakunya Undang-Undang No. 30 Tahun 1999, dinyatakan tidak berlaku sesuai ketentuan Pasal 81, sehingga Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 merupakan ketentuan hukum positif yang mengatur tentang penyelesaian sengketa bisnis melalui arbitrase di Indonesia. Sebelumnya dalam berbagai peraturan perundang-undangan ditentukan cara atau metode penyelesaian sengketa yang menunjukkan beberapa langkah penyelesaiannya. Pertama, penyelesaian sengketa bisnis ditempuh cara musyawarah dan mufakat. Kedua, penyelesaian sengketa bisnis melalui lembaga peradilan (litigasi), dan Ketiga, ialah penyelesaian sengketa bisnis di luar peradilan (non-litigasi) baik berdasarkan Arbitrase maupun Alternatif Penyelesaian Sengketa. Sejumlah peraturan perundang-undangan yang menentukan cara penyelesaian sengketa tersebut, tidak mengatur bagaimana proses, prosedur atau mekanisme penyelesaian sengketa, putusan dan pelaksanaan putusannya, melainkan hanya menyatakan dan/atau mengatur bahwa penyelesaian sengketa bisnis ditempuh melalui musyawarah dan mufakat, melalui peradilan dan di luar peradilan. Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 yang menjadi dasar hukum pengaturan tentang proses, prosedur atau mekanisme, putusan maupun pelaksanaan putusannya. Pembahasan ini perlu mengingatkan kembali uraian sebelumnya yang menentukan cara-cara penyelesaian sengketa dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, misalnya dalam Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, yang pada Pasal 32 ayat (1) disebutkan pada frasa para pihak terlebih dahulu menyelesaikan sengketa melalui musyawarah dan mufakat. Pada Pasal 32 ayat (2) disebutkan pada frasa dalam hal penyelesaian sengketa dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai, penyelesaian sengketa tersebut dapat dilakukan melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa atau pengadilan. 30

Peraturan perundangan lainnya yang telah dikemukakan sebelumnya yang memuat caracara penyelesaian sengketa, ialah Undang- Undang No. 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun, yang pada Pasal 105 ayat (1) yang menyatakan Penyelesaian sengketa di bidang rumah susun terlebih dahulu diupayakan berdasarkan musyawarah untuk mufakat. Pada Pasal 105 ayat (2),m disebutkan Dalam hal penyelesaian sengketa melalui musyawarah untuk mufakat tidak tercapai, pihak yang dirugikan dapat menggugat melalui pengadilan yang berada di lingkungan peradilan umum atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan yang disepakati para pihak yang bersengketa melalui alternatif penyelesaian sengketa. Demikian pula, Pasal 105 ayat (3) menyatakan Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan melalui arbitrase, konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, dan/atau pendapat ahli sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Berdasarkan contoh pada Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (investasi), dan Undang-Undang No. 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun, sejumlah peraturan perundang-undangan menentukan dan mengarahkan agar penyelesaian sengketa bisnis diselesaikan melalui: musyawarah untuk mufakat, penyelesaian melalui peradilan, dan penyelesaiannya di luar peradilan. Arbitrase ini adalah cara penyelesaian sengketa bisnis di luar peradilan. Pengakuan dan pengaturan arbitrase sebagai cara penyelesaian sengketa bisnis, juga ditemukan dalam Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang secara khusus Bab XII tentang Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, yang menyatakan pada Pasal 58 bahwa Upaya penyelesaian sengketa perdata dapat dilakukan di luar pengadilan negara melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa. 15 Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, selanjutnya mengatur penyelesaian sengketa secara arbitrase dalam Pasal 59, dan penyelesaian sengketa secara 15 Lihat UU. No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Pasal 58). alternatif pada Pasal 60. Menurut Pasal 59 ayatayatnya, dinyatakan sebagai berikut: 1. Arbitrase merupakan cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. 2. Putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak. 3. Dalam hal para pihak tidak melaksanakan putusan arbitrase secara sukarela, putusan dilaksanakan berdasarkan perintah ketua pengadilan negeri atau permohonan salah satu pihak yang bersengketa. Sedangkan alternatif penyelesaian sengketa menurut Pasal 60 ayat-ayatnya Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, ditentukan sebagai berikut: 1. Alternatif penyelesaian sengketa merupakan lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli. 2. Penyelesaian sengketa melalui alternatif penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hasilnya dituangkan dalam kesepakatan tertulis. 3. Kesepakatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bersifat final dan mengikat para pihak untuk dilaksanakan dengan itikad baik. Berdasarkan pembahasan tersebut, terdapat sinkronisasi yang bersifat horizontal di antara peraturan perundang-undangan yang menentukan pengaturan tentang arbitrase. Ketentuan Undang-Undang No. 30 Tahun 1999, dipertegas dan diperkuat lagi oleh berbagai pengaturan menurut peraturan perundangundangan lainnya seperti Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, Undang-Undang No. 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun, serta Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Substansi Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, menunjukkan peraturan perundangan tersebut mengatur dua aspek yang berbeda atau berlainan, yaitu aspek 31

tentang Arbitrase dan aspek tentang Alternatif Penyelesaian Sengketa. Kedua aspek yang berbeda tersebut, memiliki persamaannya, yakni Arbitrase maupun Alternatif Penyelesaian Sengketa merupakan cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Aturan Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, menurut penulis, substansinya lebih banyak mengatur berbagai aspek tentang Arbitrase dibandingkan yang mengatur tentang Alternatif Penyelesaian Sengketa. Sesuai dengan kajian penulis secara mendalam tentang Undang-Undang No. 30 Tahun 1999, hanya ada satu ketentuan yang ditempatkan sebagai rumusannya tentang Alternatif Penyelesaian Sengketa pada Pasal 1 Angka 10. Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 yang terdiri atas 82 Pasal dan XI Bab, selain rumusan pada Pasal 1 Angka 10, dan Pasal 6, semuanya mengatur tentang Arbitrase, yang dimulai pada Bab III tentang Syarat Arbitrase, Pengangkatan Arbiter, dan Hak Ingkar, pada Bab IV tentang Acara Yang Berlaku di Hadapan Majelis Arbitrase, Bab V tentang Pendapat dan Putusan Arbitrase, Bab VI tentang Pelaksanaan Putusan Arbitrase, Bab VII tentang Pembatalan Putusan Arbitrase, Bab VIII tentang Berakhirnya Tugas Arbiter, kemudian tentang Ketentuan Peralihan dan Ketentuan Penutup pada Bab-bab berikutnya. Berdasarkan pembahasan ini, sepatutnya dan seyogianya Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 hanya diberi judul Tentang Arbitrase, oleh karena sebagian besar substansinya mengatur arbitrase dalam berbagai aspeknya. Undang- Undang No. 30 Tahun 1999 juga secara tegas menyatakan tidak berwenangnya Pengadilan Negeri memeriksa dan mengadili sengketa yang terikat dengan perjanjian arbitrase. Menurut Pasal 3 disebutkan Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase. Arbitrase sebagai bentuk penyelesaian sengketa bisnis (perdata) di luar peradilan, tentunya berdasarkan pengaturannya merupakan lembaga penyelesaian tersendiri yang berbeda karakteristiknya dari lembaga peradilan. Salah satu bagian pentingnya ialah adanya kesepakatan bersama di antara para pihak dalam membuat perjanjian untuk menentukan cara penyelesaian persengketaan sesuai pilihan bersama yakni penyelesaiannya melalui lembaga arbitrase, bukan ke lembaga peradilan.. 2. Kekuatan Mengikat Klausul Arbitrase Salah satu bagian penting mengikatnya para pihak pada suatu Perjanjian Arbitrase, harus didasarkan atas kesepakatan bersama (mutual consent). Faktor kesukarelaan dan kesadaran bersama, merupakan landasan keabsahan ikatan perjanjian arbitrase. 16 Pendapat Frans Hendra Winarta ini bertolak dari adanya kesepakatan bersama dari para pihak, dan wujud kesepakatan bersama tersebut pertamatama ialah pada Perjanjian (Kontrak) bisnis tertentu, sedangkan Perjanjian Arbitrase (Klausul Arbitrase) hanyalah bagian di dalam Perjanjian (Kontrak) bisnis tertentu, yang belum tentu dicantumkan oleh para pihak. Manakala para pihak bersepakat bersama untuk mencantumkannya, maka kesepakatan itu pun mempunyai kekuatan hukum. Tidak mengherankan jika pendapat yang mengatakan bahwa Nyawa dari arbitrase adalah klausul arbitrase. Klausul arbitrase akan menentukan apakah suatu sengketa bisa diselesaikan melalui arbitrase, dimana diselesaikannya, hukum mana yang digunakan, dan lain-lain. Klausul arbitrase bisa berdiri sendiri atau terpisah dari perjanjian pokoknya. 17 Perjanjian Arbitrase (Klausul Arbitrase) sebagaimana halnya perjanjian itu sendiri bertolak dari adanya kesepakatan para pihak yang mengikatkan dirinya untuk menentukan cara penyelesaian sengketa di antara hubungan bisnis tersebut. Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 menentukan pada Pasal 7 bahwa Para pihak dapat menyetujui suatu sengketa yang terjadi atau yang akan terjadi antara mereka untuk diselesaikan melalui arbitrase. Sesuai ketentuan ini, jelaslah bahwa bergantung pada kesepakatan dari para pihak itu sendiri apakah menyetujui suatu sengketa atau sengketa yang akan terjadi diselesaikan melalui arbitrase. Ketentuan tersebut bukan merupakan suatu 16 Frans Hendra Winarta, Op Cit, hal. 37 17 Arbitrase, Pilihan Tanpa Kepastian, www.hukumonline, Diunduh tanggal 12 April 2015. 32

keharusan, sebagaimana kata dapat yang bermakna ganda yakni boleh menyetujui, dan juga boleh tidak menyetujui untuk menyelesaikan persengketaan mereka melalui arbitrase. Suatu Klausul Arbitrase menurut sistem hukum nasional (Indonesia) berdasarkan ketentuan Pasal 7 tersebut di atas, maka ketentuan Pasal 7 merupakan Pactum de compromittendo, berarti Para pihak membuat suatu kesepakatan untuk menyerahkan penyelesaian kepada arbitrase, dan para pihak sepakat untuk tidak menyelesaikan sengketa melalui pengadilan. 18 Kesepakatan para pihak untuk menentukan penyelesaian sengketa bisnis melalui arbitrase, terkait erat dengan hukum mana yang digunakan. Para pihak pelaku bisnis yang membuat perjanjian dan Klausul Arbitrase yang sama-sama berkewarganegaraan Indonesia, termasuk salah satu pihak asing yang menyetujui hukum Indonesia digunakan melalui Klausul Arbitrase, menyebabkan kesepakatan para pihak memilih hukum (choice of law). Hal sebaliknya dapat terjadi jika salah satu pelaku bisnis misalnya orang berkewarganegaraan Indonesia dan pihak asing dalam hubungan bisnis menyetujui untuk menggunakan sistem hukum asing, misalnya hukum Amerika Serikat, hukum Malaysia, atau Hukum Inggris, maka hukum negara yang dipilih dan yang disepakati para pihak itulah yang menjadi dasar hukum digunakannya Klausul Arbitrase. Menurut Huala Adolf, dijelaskannya sifat klausul pilihan hukum sebagai berikut: Sebenarnya sifat pilihan hukum ini tidak merupakan prasyarat untuk berlakunya atau sahnya suatu kontrak. Artinya, adalah kesepakatan, kehendak, dan kebebasan para pihak yang membuat kontrak, apakah akan membuat klausul pilihan hukum ini atau tidak dalam kontrak mereka. Ketiadaan klausul ini tidak berpengaruh terhadap keabsahan suatu kontrak. 19 Berdasarkan uraian Huala Adolf tersebut, Klausul Arbitrase bukan inti dan substansi utama suatu kontrak, melainkan bergantung dari kehendak para pihak itu sendiri apakah suatu kontrak bisnis perlu dilengkapi dengan suatu Klausul Arbitrase atau tidak. Pada pihaklah yang berhak memutuskannya dalam suatu kontrak atau perjanjian bisnis yang dimaksudkan. Pilihan hukum dalam suatu kontrak dan klausul kontrak dapat berupa pilihan: 1. Secara tegas dinyatakan oleh para pihak dalam suatu klausul; 2. Pilihan secara diam-diam atau tersirat; 3. Kesepakatan para pihak untuk menyerahkan pilihan hukum kepada pengadilan; dan 4. Ketetapan para pihak untuk tidak memilih atau membuat klausul pilihan hukum. 20 Selain pilihan hukum (choice of law), pilihan forum (choice of forum) merupakan bagian yang terkait erat dengan kontrak atau perjanjian. Huala Adolf menjelaskan pilihan forum ini bahwa: Forum tersebut adalah negosiasi, penyelidikan fakta-fakta (Inquiry), mediasi, konsiliasi, arbitrase, penyelesaian sengketa melalui hukum atau pengadilan, atau caracara penyelesaian sengketa lainnya yang dipilih dan disepakati oleh para pihak. 21 Pilihan forum merujuk pada forum apakah yang digunakan dalam penyelesaian sengketa bisnis, forum-forum itu dapat bersifat nasional dan dapat pula bersifat internasional. Pilihan forum yang bersifat nasional sesuai ketentuan hukum Indonesia secara garis besar dibedakan atas penyelesaian sengketa melalui pengadilan (litigasi) dan penyelesaian sengketa di luar pengadilan (non-litigasi). Penyelesaian sengketa bisnis berdasarkan pilihan hukum melalui pengadilan, ialah berdasarkan ketentuan Hukum Perdata dan Hukum Acara Perdata. Pilihan hukum melalui pengadilan ini akan bersifat memutus (ajudikatif) dengan konsekuensinya ada pihak yang menang dan pihak lainnya yang kalah. Pilihan forum (choice of forum) apabila para pihak sepakat untuk memilih penyelesaian sengketa di luar pengadilan, dalam hukum Indonesia digunakan ketentuan Undang- Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. 18 M. Khoidin, Op Cit, hal. 15 19 Huala Adolf, Dasar-Dasar Hukum Kontrak Internasional, Op Cit, hal. 139 20 Huala Adolf, Ibid, hal. 145 21 Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional, Op Cit, hal. 200 33

Menurut ketentuan Undang-Undang No. 30 Tahun 1999, secara garis besar pilihan forumnya dibedakan atas penyelesaian sengketa bisnis melalui arbitrase, dan penyelesaian sengketa bisnis melalui Alternatif Penyelesaian Sengketa. Arbitrase telah banyak dibahas dalam penelitian ini sehingga Alternatif Penyelesaian Sengketa perlu untuk dibahas lebih lanjut dalam rangka pembahasan tentang pilihan forum. Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 hanya merumuskan bahwa Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli. (Pasal 1 Angka 10). Alternatif Penyelesaian Sengketa dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 1999, ditentukan pada Pasal 6 ayat-ayatnya sebagai berikut: 1. Sengketa atau beda pendapat perdata dapat diselesaikan oleh para pihak melalui alternatif penyelesaian sengketa yang didasarkan pada itikad baiknya dengan mengenyampingkan penyelesaian sengketa secara litigasi di Pengadilan Negeri. 2. Penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui alternatif penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diselesaikan dalam pertemuan langsung oleh para pihak dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari dan hasilnya dituangkan dalam suatu kesepakatan tertulis. 3. Dalam hal sengketa atau beda pendapat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak dapat diselesaikan, maka atas kesepakatan tertulis para pihak, sengketa atau beda pendapat diselesaikan melalui bantuan seorang atau lebih penasihat ahli maupun melalui seorang mediator. 4. Apabila para pihak tersebut dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari dengan bantuan seorang atau lebih penasihat ahli maupun melalui seorang mediator tidak berhasil mencapai kata sepakat, atau mediator tadi tidak berhasil mempertemukan kedua belah pihak, maka para pihak dapat menghubungi sebuah lembaga arbitrase atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa untuk menunjuk seorang mediator. 5. Setelah penunjukan mediator oleh lembaga arbitrase atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa, dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari usaha mediasi harus sudah dapat dimulai. 6. Usaha penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui mediator sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) dengan memegang teguh kerahasiaan, dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari harus tercapai kesepakatan dalam bentuk tertulis yang ditandatangani oleh semua pihak yang terkait. 7. Kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat secara tertulis adalah final dan mengikat para pihak untuk dilaksanakan dengan itikad baik serta wajib didaftarkan di Pengadilan Negeri dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak penandatanganan. 8. Kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat sebagaimana dimaksud dalam ayat (7) wajib selesai dilaksanakan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak pendaftaran. 9. Apabila usaha perdamaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sampai dengan ayat (6) tidak dapat dicapai, maka para pihak berdasarkan kesepakatan secara tertulis dapat mengajukan usaha penyelesaiannya melalui lembaga arbitrase atau arbitrase ad hoc. Berdasarkan ketentuan Pasal 6 Undang- Undang No. 30 Tahun 1999, jelaslah bahwa Alternatif Penyelesaian Sengketa merupakan cara penyelesaian sengketa berdasarkan perdamaian. Manakala upaya perdamaian tidak tercapai, maka pihak yang bersengketa sesuai kesepakatan tertulis bersama, dapat menyelesaikan persengketaan mereka melalui lembaga arbitrase. Sesuai ketentuan tersebut, apakah lembaga arbitrase termasuk klausul arbitrase merupakan penyelesaian sengketa secara perdamaian? Menurut penulis, lembaga arbitrase tidak sepenuhnya merupakan lembaga perdamaian, oleh karena dapat pula menjatuhkan ketentuan bersifat memutus yakni adanya pihak yang dikatakan pihak yang menang, dan ada pula pihak yang kalah. 34

PENUTUP 1. Kesimpulan a. Klausal Arbitrase berfungsi sebagai pengamanan kontrak yang merupakan kesepakatan bersama para pihak yang membuat kontrak sehingga dapat memberikan rasa aman bahwa pelaksanaan kontrak yang bersangkutan dijamin dan dilindungi oleh hukum. b. Klausul Arbitrase adalah bagian dari isi kontrak yang merupakan induk atau pokok dari kontrak yakni kontrak bisnis. Adanya suatu Klausul Arbitrase, para pihak dapat menentukan pilihan hukum dan atau pilihan forum dalam penyelesaian persengketaan bisnis mereka. c. Pelanggaran terhadap klausul kontrak adalah pelanggaran hukum dengan konsekuensi hukum yang berat bagi pelanggarnya. Itikad buruk tercermin dalam pelanggaran Klausul Kontrak oleh salah satu pihak yang mencederai hukum bisnis dan praktik bisnis. 2. Saran Perlu dipertegas, dipahami, dan dilaksanakannya kompetensi absolut lembaga arbitrase dalam penyelesaian sengketa sehingga lembaga lain khususnya peradilan seharusnya melakukan hak ingkar, bahwa tidak berwenang memeriksa, mengadili dan memutus sengketa yang sudah terikat dengan ketentuan arbitrase. Perlu dilakukan revisi terhadap Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 dengan mempertegas dan memperkuat pelaksanaan dan putusan arbitrase secara mandiri tanpa mengikutsertakan lembaga peradilan. Munir Fuady, Arbitrase Nasional (Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis) Citra Aditya Bakti, Cetakan Ke-2, Bandung, 2003. Takdir Rahmadi, Mediasi : Penyelesaian Sengketa Melalui Pendekatan Mufakat, RajaGrafindo Persada, Cetakan Ke-2, Jakarta, 2011. Adolf Huala, Aspek-Aspek Negara Dalam Hukum Internasional, RajaGrafindo Persada, Cetakan Ke-3, Jakarta, 2002., Hukum Perdagangan Internasional, RajaGrafindo Persada, Cetakan Ke-5, Jakarta, 2013. J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional, Terjemahan Sumitro L.S. Danuredjo, Jilid 1, Aksara Persada Indonesia, Cetakan Ke-2, Jakarta, 1989. Suyud Margono, Aspek Hukum Komersialisasi Aset Intelektual, Nuansa Aulia, Cetakan Pertama, Bandung, 2010. Ahmadi Miru, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, RajaGrafindo Persada, Cetakan Ke- 6, Jakarta, 2014. Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normastif. Suatu Tinjauan Singkat, RajaGrafindo Persada, Cetakan Ke-15, Jakarta, 2013. DAFTAR PUSTAKA Frans Hendra Winarta, Hukum Penyelesaian Sengketa. Arbitrase Nasional Indonesia dan Internasional, Sinar Grafika, Cetakan Ke-2, Jakarta, 2013. M. Khoidin, Hukum Arbitrase Bidang Perdata, Aswaja Pressindo, Cetakan Ke-3, Yogyakarta, 2013. 35