DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL PEDOMAN INVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS MANGROVE

dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

III. METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan

TINJAUAN PUSTAKA. lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Menurut

Volume 6, No. 2, Oktober 2013 ISSN:

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia memiliki mangrove terluas di dunia (Silvus et al, 1987; Primack et al,

BAB I. PENDAHULUAN. pulau-nya dan memiliki garis pantai sepanjang km, yang merupakan

TINJAUAN PUSTAKA. dipengaruhi pasang surut air laut. Tumbuhan mangrove memiliki kemampuan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. tempat dengan tempat lainnya. Sebagian warga setempat. kesejahteraan masyarakat sekitar saja tetapi juga meningkatkan perekonomian

PENDAHULUAN. lahan pertambakan secara besar-besaran, dan areal yang paling banyak dikonversi

KERAPATAN HUTAN MANGROVE SEBAGAI DASAR REHABILITASI DAN RESTOCKING KEPITING BAKAU DI KABUPATEN MAMUJU PROVINSI SULAWESI BARAT

BAB I PENDAHULUAN. fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut.


Jurnal KELAUTAN, Volume 2, No.2 Oktober 2009 ISSN :

PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN CILACAP

KAJIAN BIOFISIK LAHAN HUTAN MANGROVE DI KABUPATEN ACEH TIMUR ISWAHYUDI

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN. beradaptasi dengan salinitas dan pasang-surut air laut. Ekosistem ini memiliki. Ekosistem mangrove menjadi penting karena fungsinya untuk

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Hutan mangrove merupakan ekosistem hutan yang terdapat di daerah pantai dan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

PENDAHULUAN. pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang .

BAB I PENDAHULUAN. karena merupakan gabungan dari ciri-ciri tumbuhan yang hidup di darat dan di

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pendahuluan 1. Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga

SUMBER DAYA HABIS TERPAKAI YANG DAPAT DIPERBAHARUI. Pertemuan ke 2

PENDAHULUAN. didarat masih dipengaruhi oleh proses-proses yang terjadi dilaut seperti

KESESUAIAN PEMANFAATAN LAHAN WILAYAH PESISIR KABUPATEN DEMAK TUGAS AKHIR

TINJUAN PUSTAKA. Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forest, coastal

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI)

FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS NEGERI MEDAN 2010

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. atas pulau, dengan garis pantai sepanjang km. Luas laut Indonesia

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pembangunan merupakan suatu proses perubahan untuk meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara di dunia dalam bentuk negara

BAB VII KAWASAN LINDUNG DAN KAWASAN BUDIDAYA

V. INDIKATOR-INDIKATOR EKOSISTEM HUTAN MANGROVE

bio.unsoed.ac.id III. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan waktu penelitian

Oleh : Sri Wilarso Budi R

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

2017, No Pengolahan Air Limbah Usaha Skala Kecil Bidang Sanitasi dan Perlindungan Daerah Hulu Sumber Air Irigasi Bidang Irigasi; Mengingat : 1.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia sebagai negara kepulauan mempunyai lebih dari pulau dan

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang

BAB I PENDAHULUAN km dan ekosistem terumbu karang seluas kurang lebih km 2 (Moosa et al

PENDAHULUAN. Indonesia memiliki hutan mangrove yang terluas di dunia. Hutan

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. dan lautan. Hutan tersebut mempunyai karakteristik unik dibandingkan dengan

VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR SK.159/MENHUT-II/2004 TAHUN 2004 TENTANG RESTORASI EKOSISTEM DI KAWASAN HUTAN PRODUKSI

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BULUNGAN,

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Oleh. Firmansyah Gusasi

BAB I PENDAHULUAN. antara dua samudera yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik mempunyai

5. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara

dan (3) pemanfaatan berkelanjutan. Keharmonisan spasial mensyaratkan bahwa dalam suatu wilayah pembangunan, hendaknya tidak seluruhnya diperuntukkan

BAB I PENDAHULUAN. baik bagi pesisir/daratan maupun lautan. Selain berfungsi secara ekologis,

BAB I PENDAHULUAN. I.I Latar Belakang. Pertambahan penduduk merupakan faktor utama pendorong bagi upaya

BAB I PENDAHULUAN. membentang dari Sabang sampai Merauke yang kesemuanya itu memiliki potensi

BAB I PENDAHULUAN. yang mempunyai fungsi produksi, perlindungan dan pelestarian alam. Luas hutan

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR

PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN IV

BAB III METODE PENELITIAN

PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAROS NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG PELESTARIAN, PENGELOLAAN DAN PEMANFAATAN HUTAN MANGROVE

I. PENDAHULUAN. Menurut Tomlinson(1986), mangrove merupakan sebutan umum yang digunakan

BAB I PENDAHULUAN. wilayah perbatasan antara daratan dan laut, oleh karena itu wilayah ini

STUDI TENTANG DINAMIKA MANGROVE KAWASAN PESISIR SELATAN KABUPATEN PAMEKASAN PROVINSI JAWA TIMUR DENGAN DATA PENGINDERAAN JAUH

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas,

DAFTAR ISI. Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... I. PENDAHULUAN Latar Belakang...

STRATEGI PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE DI DESA PASSARE APUA KECAMATAN LANTARI JAYA KABUPATEN BOMBANA PROVINSI SULAWESI TENGGARA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN

I. PENDAHULUAN. mangrove. Sebagai salah satu ekosistem pesisir, hutan mangrove merupakan

PENGANTAR SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL. SUKANDAR, IR, MP, IPM

BAB I PENDAHULUAN. dalam penggunaan sumberdaya alam. Salah satu sumberdaya alam yang tidak terlepas

BAB I PENDAHULUAN. tertentu dan luasan yang terbatas, 2) Peranan ekologis dari ekosistem hutan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di

BAB I PENDAHULUAN. berbagai kegiatan yang mengancam eksistensi kawasan konservasi (khususnya

GUBERNUR SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 4 TAHUN 2015 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT

PENDAHULUAN. peranan penting dalam berbagai aspek kehidupan sosial, pembangunan dan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Jurnal KELAUTAN, Volume 2, No.1 April 2009 ISSN :

BAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan

PENDAHULUAN. daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan Negara kepulauan dengan garis pantai sepanjang

BAB I PENDAHULUAN. pada 8 februari 2010 pukul Data dari diakses

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o o LU. (perhitungan luas menggunakan perangkat GIS).

BAB I PENDAHULUAN. karena merupakan daerah pertemuan antara ekosistem darat, ekosistem laut dan

I. PENDAHULUAN. lainnya. Keunikan tersebut terlihat dari keanekaragaman flora yaitu: (Avicennia,

I. PENDAHULUAN. Hutan mangrove yang dikenal sebagai hutan payau merupakan ekosistem hutan

Transkripsi:

DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL PEDOMAN INVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS MANGROVE JAKARTA, MEI 2005

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan mangrove merupakan suatu ekosistem hutan yang unik yang berperan sebagai penyambung (interface) antara ekosistem daratan dan ekosistem lautan. Bagi daerah pantai, hutan mangrove memiliki fungsi penting baik fungsi produksi, fungsi perlindungan maupun fungsi pelestarian. Keberadaan hutan mangrove sangat menentukan dan menunjang tingkat perkembangan sosial dan perekonomian masyarakat pantai. Dari segi ekonomis, hutan mangrove merupakan sumber penghasil produk hasil hutan yang bernilai ekonomis tinggi, seperti kayu, sumber pangan, bahan kosmetika, bahan pewarna dan penyamak kulit, serta sumber pakan ternak dan lebah. Selain itu, hutan mangrove merupakan tempat pemijahan berbagai jenis ikan dan udang, yang diharapkan dapat mendukung peningkatan hasil tangkapan ikan dan budidaya tambak yang diusahakan oleh para nelayan dan petani tambak. Pada beberapa tipe ekologi wilayah pantai, hutan mangrove sangat berperan penting bagi perlindungan wilayah dari abrasi pantai, pencegah intrusi air laut, serta sebagai penyangga terhadap sedimentasi dari daratan ke lautan. Keanekaragaman jenis flora dan fauna serta keunikan ekosistem mangrove, dapat dikembangkan dan dilestarikan untuk hutan-hutan wisata atau bahkan taman nasional di beberapa wilayah pantai. Kondisi hutan mangrove sampai saat ini masih mengalami tekanan-tekanan akibat pemanfaatan dan pengelolaannya yang kurang memperhatikan aspek kelestarian. Tuntutan pembangunan yang lebih menekankan pada tujuan ekonomi dengan mengutamakan pembangunan infrastruktur fisik, seperti konversi hutan mangrove untuk pengembangan kota-kota dan pemukiman pantai, perluasan tambak dan lahan pertanian serta adanya penebangan yang tidak terkendali, telah terbukti menjadi faktorfaktor penyebab kerusakan ekosistem hutan mangrove dan degradasi lingkungan pantai. Kondisi seperti ini diperberat lagi dengan terjadinya pencemaran air sungai/air laut dan eksploitasi sumberdaya laut yang tidak ramah lingkungan, sehingga kualitas lingkungan pantai saat ini umumnya berada dalam kondisi yang cukup mengkhawatirkan. Indikasi adanya ancaman terhadap degradasi hutan mangrove masih berlangsung pada hampir semua wilayah pantai. Secara umum, hal ini disebabkan oleh adanya peraturan 1

peundangan dan penegakan hukum yng masih kurang tegas. Di samping itu, kesadaran masyarakat akan pentingnya konservasi dan perlindungan ekosistem mangrove masih lemah sebagai akibat kurangnya intensitas penyuluhan dan kurang optimalnya pengembangan kapasitas dan kapabilitas kelembagaan. Mengingat pentingnya keberadaan dan peranan ekosistem hutan mangrove bagi daerah pantai, maka penataan dan pengelolaan hutan mangrove yang sesuai dengan sifat dan karakteristiknya sangat perlu dilakukan. Dalam hal ini, salah satu upaya yang diperlukan adalah kegiatan rehabilitasi hutan mangrove. Untuk mendukung kegiatan tersebut, diperlukan adanya pedoman inventarisasi dan identifikasi hutan mangrove yang dapat memberikan dasar dan arahan bagi pelaksanaan kegiatan-kegiatan rehabilitasi hutan mangrove. B. Maksud dan Tujuan Maksud disusunnya pedoman ini adalah untuk memberikan panduan dan arahan bagi pelaksanaan kegiatan inventarisasi dan identifikasi hutan mangrove. Adapun tujuan yang diharapkan adalah diperolehnya data dan informasi yang akurat tentang kondisi aktual hutan-hutan mangrove yang ada di lapangan. C. Sasaran Sasaran dari pedoman ini adalah para petugas di lapangan dan pihak-pihak lain yang terlibat dalam kegiatan inventarisasi dan identifikasi hutan mangrove. D. Pengertian 1. Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan yang berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan dengan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. 2. Ekosistem adalah sistem hubungan timbal balik antara unsur alam (fisik, kimia, biotik) dan unsur budaya yang saling tergantung dan mempengaruhi satu dengan lainnya. 3. Hutan mangrove adalah suatu formasi hutan yang dipengaruhi oleh pasang dan surut air laut dengan keadaan tanah yang anaerobik. 4. Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. 2

5. Status kondisi mangrove adalah tingkatan kondisi mangrove pada suatu lokasi tertentu dalam waktu tertentu yang dinilai berdasarkan kriteria baku kerusakan mangrove. 6. Kerusakan hutan adalah perubahan fisik, sifat fisik atau hayatinya, yang menyebabkan hutan terganggu atau tidak dapat berperan sesuai dengan fungsinya. 7. Abrasi adalah peristiwa rusaknya pantai sebagai akibat dari hantaman ombak atau air laut. 8. Rehabilitasi lahan dan hutan adalah upaya untuk memulihkan, mempertahankan, dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan, sehingga daya dukung, produktivitas dan peranannya dalam mendukung sistem penyangga kehidupan dapat tetap terjaga. 3

II. METODE A. Kerangka Berpikir Penyusunan Pedoman Inventarisasi dan Identifikasi Lahan Kritis Mangrove didasarkan pada kenyataan bahwa pengelolaan hutan mangrove yang telah dilaksanakan selama ini, yang lebih menekankan pada tujuan ekonomi yang cenderung mengabaikan aspek kelestarian, telah banyak menimbulkan dampak negatif yang ditunjukkan oleh semakin luasnya lahan kritis mangrove. Untuk mencegah semakin meluasnya lahan kritis mangrove, maka upaya rehabilitasi hutan mangrove mutlak diperlukan guna memulihkan keberadaan dan fungsi dari ekosistem mangrove. Lebih lanjut, pengelolaan hutan mangrove harus dilakukan secara baik dan benar dengan tetap memperhatikan aspek kelestariannya, baik dari segi ekonomi, ekologi maupun sosial. Dengan demikian, diharapkan hutan mangrove mampu berperan penting dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar dan pembangunan nasional secara keseluruhan. B. Metode Sebagai tahap awal untuk dapat melakukan kegiatan inventarisasi dan identifikasi lahan kritis mangrove, petugas lapangan dan pihak-pihak yang terkait harus memahami terlebih dahulu kriteria-kriteria dari lahan kritis mangrove. Suatu lahan mangrove dapat dikategorikan sebagai lahan kritis apabila lahan tersebut sudah tidak dapat berfungsi lagi, baik sebagai fungsi produksi, fungsi perlindungan maupun fungsi pelestarian alam. Berdasarkan hasil-hasil kajian sebelumnya, kerusakan ekosistem mangrove umumnya disebabkan oleh faktor biofisik lingkungan dan faktor sosial ekonomi masyarakat setempat. Untuk mengetahui faktor biofisik lingkungan yang berpengaruh terhadap terjadinya kerusakan hutan mangrove, perlu dilakukan pengumpulan data primer dan sekunder. Data primer dapat diperoleh dari survey langsung di lapangan dan/atau dari data GIS (Geographic Information System) dan teknologi inderaja (penginderaan jauh, seperti citra satelit). Sedangkan data sekunder dapat diperoleh dari penelusuran terhadap data/dokumen penunjang yang berasal dari hasil kajian atau penelitian sebelumnya. 4

Selain inventarisasi dan identifikasi terhadap faktor biofisik lingkungan, perlu dilakukan pula identifikasi dan analisis terhadap faktor sosial ekonomi masyarakat tersebut. Hal ini dapat dilakukan dengan melakukan survey dengan metode deskriptif kualitatif. Parameter-parameter yang perlu diamati dalam survey tersebut meliputi: data luas wilayah, tipe penutupan dan penggunaan lahan, komposisi mata pencaharian masyarakat, dan aktifitas-aktifitas masyarakat yang terkait dengan pemanfaatan hutan mangrove. Untuk memperdalam kajian, perlu dilakukan pula penelusuran terhadap data-data sekunder dan hasil-hasil penelitian sebelumnya yang relevan. Secara umum, metode penentuan tingkat kekritisan lahan mangrove dapat digambarkan seperti terlihat pada Gambar 1. Mulai Penetapan kriteria penilaian Pengumpulan data sekunder, dokumen-dokumen, peta dasar, peta pendukung dari kawasan mangrove Data GIS & inderaja (citra satelit) Peta lokasi kerusakan hutan mangrove Perancangan pengambilan sample Survey lapangan: - Pengamatan kondisi umum - Pengambilan sample - Pengukuran parameter biofisik lingkungan - Survey sosial ekonomi masyarakat Revisi peta lokasi kerusakan menjadi draft peta akhir Penyajian peta kekritisan kawasan mangrove Analisa dan evaluasi awal menggunakan kriteria penilaian (tabel skoring) Analisa dan evaluasi lanjutan Tabulasi Pengukuran luasan Evaluasi dan pelaporan Selesai Gambar 1. Diagram alir tahapan penentuan tingkat kekritisan lahan mangrove 5

III. CARA DAN KRITERIA PENENTUAN TINGKAT KEKRITISAN LAHAN MANGROVE A. Teknik Penilaian Berdasarkan cara pengumpulan data, penentuan tingkat kekritisan lahan mangrove dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu: 1) Penilaian dengan menggunakan teknologi GIS (geographic information system) dan inderaja (citra satelit), dan 2) Penilaian secara langsung di lapangan (teristris). Cara penilaian pertama dapat dilakukan apabila tersedia data GIS dan inderaja (citra satelit) dari kawasan mangrove yang akan diinventarisasi. Cara ini cukup efektif diterapkan apabila kawasan mangrove yang akan diinventarisasi tersebut cukup luas. Sedangkan cara teristris dilakukan untuk areal yang tidak terlalu luas dan apabila tidak tersedia data citra satelit. Selain itu, cara kedua ini dapat diterapkan untuk melakukan pengecekan lapangan dari hasil interpretasi dan analisis citra satelit (pada cara pertama). Secara skematis, hubungan kedua cara penilaian tersebut dapat dijelaskan seperti terlihat pada Gambar 2. Kawasan hutan mangrove Apakah data inderaja (citra satelit) tersedia? Tidak Ya Penentuan tingkat kekritisan mangrove dengan teknologi inderaja Penentuan tingkat kekritisan mangrove secara teristris Pengecekan lapangan Peta tingkat kekritisan lahan mangrove Gambar 2. Cara penilaian tingkat kekritisan lahan mangrove 6

B. Kriteria Penilaian Adapun kriteria-kriteria yang dapat digunakan untuk penentuan tingkat kekritisan lahan mangrove untuk masing-masing teknik penilaian adalah sebagai berikut: 1) Kriteria-kriteria penentuan tingkat kekritisan lahan mangrove dengan teknologi GIS dan inderaja: a. Jenis penggunaan lahan, yang dapat diklasifikasikan menjadi tiga kategori, yaitu: 1) hutan (kawasan berhutan), 2) tambak tumpangsari dan perkebunan, dan 3) areal non-vegetasi hutan (pemukiman, industri, tambak non-tumpangsari, sawah, dan tanah kosong). b. Kerapatan tajuk, dimana berdasarkan nilai NDVI (Normalized Difference Vegetation Index) dapat diklasifikasikan menjadi: kerapatan tajuk lebat, kerapatan tajuk sedang, dan kerapatan tajuk jarang. c. Ketahanan tanah terhadap abrasi, yang dapat diperoleh dari peta land system dan data GIS lainnya. Dalam hal ini, jenis-jenis tanah dapat dikategorikan menjadi tiga kategori, yaitu: jenis tanah tidak peka erosi (tekstur lempung), jenis tanah peka erosi (tekstur campuran), dan jenis tanah sangat peka erosi (tekstur pasir). 2) Kriteria-kriteria penentuan tingkat kekritisan lahan mangrove dengan cara survey langsung di lapangan (teristris): a. Tipe penutupan dan penggunaan lahan, yang dapat diklasifikasikan menjadi lima kategori, yaitu: 1) hutan mangrove murni, 2) hutan mangrove bercampur tegakan hutan lain, 3) hutan mangrove bercampur dengan tambak tumpangsari, atau areal tambak tumpangsari murni, 4) hutan mangrove bercampur dengan penggunaan lahan non-vegetasi (pemukiman, tambak non-tumpangsari, dsb), dan 5) areal tidak bervegetasi. b. Jumlah pohon per hektar. c. Jumlah permudaan per hektar. d. Lebar jalur hijau mangrove. e. Tingkat abrasi. 7

IV. SISTEM PENILAIAN TINGKAT KEKRITISAN LAHAN MANGROVE A. Sistem Penilaian dengan Bantuan Teknologi GIS dan Inderaja Sesuai kriteria-kriteria yang telah disebutkan pada bab sebelumnya, penilaian tingkat kekritisan lahan mangrove dengan bantuan teknologi GIS dan inderaja (citra satelit) dapat dilakukan dengan sistem penilaian sebagai berikut: a.1) Jenis penggunaan lahan Berdasarkan data citra satelit, jenis penggunaan lahan untuk penentuan tingkat kekritisan lahan mangrove diklasifikasikan kedalam tiga kategori dengan bobot nilai 45 dan cara skoring sebagai berikut: 1) Skor 3: hutan (kawasan hutan) 2) Skor 2: tambak tumpangsari dan/atau perkebunan 3) Skor 1: pemukiman, industri, tambak non-tumpangsari, sawah, dan tanah kosong a.2) Kerapatan tajuk Kerapatan tajuk merupakan parameter penting yang dapat diketahui dari data citra satelit untuk penentuan tingkat kekritisan hutan mangrove. Dalam hal ini, kerapatan tajuk memiliki bobot nilai 35 dengan cara skoring sebagai berikut: 1) Skor 3: kerapatan tajuk lebat (70 100%, atau 0,43 NDVI 1,00) 2) Skor 2: kerapatan tajuk sedang (50 69%, atau 0,33 NDVI 0,42) 3) Skor 1: kerapatan tajuk jarang (<50%, atau -1,0 NDVI 0,32) a.3) Ketahanan tanah terhadap abrasi Ketahanan tanah terhadap abrasi, yang dapat diidentifikasi dari peta land system, dibagi dalam tiga kategori dengan bobot nilai 20 dan cara skoring sebagai berikut: 1) Skor 3: jenis tanah tidak peka erosi (tekstur lempung) 2) Skor 2: jenis tanah peka erosi (tekstur campuran) 1) Skor 1: jenis tanah sangat peka erosi (tekstur pasir) Secara ringkas, kriteria, bobot dan skor penilaian tersebut dapat disajikan seperti terlihat pada Tabel 1. 8

Tabel 1. Kriteria, bobot dan skor penilaian untuk penentuan tingkat kekritisan lahan mangrove dengan bantuan teknologi GIS dan inderaja No. Kriteria Bobot Skor penilaian 1. Jenis penggunaan lahan (Jpl) 2. Kerapatan tajuk (Kt) 3. Ketahanan tanah terhadap abrasi (Kta) Catatan: skor 1 = jelek 45 a. 3 : hutan (kawasan berhutan) b. 2 : tambak tumpangsari, perkebunan c. 1 : pemukiman, industri, tambak non-tumpangsari, sawah, tanah kosong 35 a. 3 : kerapatan tajuk lebat (70 100%, atau 0,43 NDVI 1,00) b. 2 : kerapatan tajuk sedang (50 69%, atau 0,33 NDVI 0,42) a. 1 : kerapatan tajuk jarang (<50%, atau -1,0 NDVI 0,32) 20 a. 3 : jenis tanah tidak peka erosi (tekstur lempung) b. 2 : jenis tanah peka erosi (tekstur campuran) c. 1 : jenis tanah sangat peka erosi (tekstur pasir) Berdasarkan Tabel 1 di atas, total nilai skoring (TNS 1 ) dihitung dengan rumus sebagai berikut: TNS 1 = (Jpl x 45) + (Kt x 35) + (Kta x 20) Dari total nilai skoring (TNS 1 ), selanjutnya dapat ditentukan tingkat kekritisan lahan mangrove sebagai berikut: Nilai 100 166 : rusak berat Nilai 167 233 : rusak Nilai 234 300 : tidak rusak B. Sistem Penilaian dengan Cara Teristris (Survey Lapangan) Penilaian tingkat kekritisan lahan mangrove berdasarkan cara teristris (survey lapangan) dapat dilakukan dengan sistem penilaian sebagai berikut: b.1) Tipe penutupan dan penggunaan lahan Kriteria tipe penutupan dan penggunaan lahan diklasifikasikan kedalam lima kategori dengan bobot nilai 30 dan cara skoring sebagai berikut: 1) Skor 5: hutan mangrove murni 2) Skor 4: hutan mangrove bercampur tegakan hutan lain 9

3) Skor 3: hutan mangrove bercampur dengan tambak tumpangsari, atau areal tambak tumpangsari murni 4) Skor 2: hutan mangrove bercampur dengan penggunaan non-vegetasi (pemukiman, tambak non-tumpangsari, dsb) 5) Skor 1: areal tidak bervegetasi b.2) Jumlah pohon per hektar Kerapatan tegakan (jumlah pohon per hektar, N) dan kemerataan kehadirannya (frekuensi, F) merupakan kriteria penting untuk menentukan tingkat kekritisan lahan mangrove. Kriteria ini diklasifikasikan kedalam lima kategori dengan bobot nilai 25 dan cara skoring sebagai berikut: 1) Skor 5: N = 1.500 pohon/ha, merata (F = 75%) 2) Skor 4: N = 1.500 pohon/ha, tidak merata (F < 75%) 3) Skor 3: N = 1.000-1.500 pohon/ha, merata (F = 75%) 4) Skor 2: N = 1.000-1.500 pohon/ha, tidak merata (F<75%) 5) Skor 1: N < 1.000 pohon/ha b.3) Jumlah permudaan per hektar Jumlah permudaan (semai dan pancang) per hektar (Np) diklasifikasikan kedalam lima kategori dengan bobot nilai 20 dan cara skoring sebagai berikut: 1) Skor 5: Np = 5.000 semai/ha (F = 40%), Np = 2.500 pancang/ha (F = 60%) 2) Skor 4: Np = 4.000-5.000 semai/ha (F = 40%), Np = 2.000-2.500 pancang/ha (F = 60%) 3) Skor 3: Np = 3.000-4.000 semai/ha (F = 40%), Np = 1.500-2.000 pancang/ha (F = 60%) 4) Skor 2: Np = 2.000-3.000 semai/ha (F = 40%), Np = 1.000-1.500 pancang/ha (F = 60%) 5) Skor 1: Np < 2.000 semai/ha (F = 40%), Np < 1.000 pancang/ha (F = 60%) b.4) Lebar jalur hijau mangrove Sesuai dengan Keppres No. 32 Thun 1990, tentang pengelolaan kawasan lindung, kawasan pantai berhutan bakau/mangrove = 130 x nilai rata-rata perbedaan air pasang tertinggi dan terendah tahunan diukur dari garis air surut terendah ke arah darat (PPS), dikategorikan masih dapat berfungsi cukup baik. Bobot nilai 10

yang diberikan pada kriteria lebar jalur hijau mangrove adalah 15 dengan cara skoring sebagai berikut: 1) Skor 5: 100% 2) Skor 4: 80% - 100% (130 x PPS) 3) Skor 3: 60% - 80% (130 x PPS) 4) Skor 2: 40% - 80% (130 x PPS) 5) Skor 1: < 40 % (130 x PPS) b.5) Tingkat abrasi Berhubung informasi mengenai abrasi ini masih kurang dukungan data hasil penelitian, maka secara profesional judgement laju abrasi dibawah 3 m/tahun dapat dikatagorikan sebagai tingkat abrasi yang masih dapat ditolerir. Bobot nilai yang diberikan pada kriteria ini adalah 10, dengan cara skoring sebagai berikut : 1) Skor 5: 0-1 m/tahun 2) Skor 4: 1-2 m/tahun 3) Skor 3: 2-3 m/tahun 4) Skor 2: 3-5 m/tahun 5) Skor 1: > 5 m/tahun Secara ringkas, kriteria, bobot dan skor penilaian di atas dapat disajikan seperti tertera pada Tabel 2. Tabel 2. Kriteria, bobot dan skor penilaian untuk penentuan tingkat kekritisan lahan mangrove dengan cara teristris (survey lapangan) No. Kriteria Bobot Skor penilaian 1. Tipe penutupan dan penggunaan lahan (Tppl) 2. Jumlah Pohon/ha (N) 30 a. 5 : hutan mangrove murni b. 4 : hutan mangrove bercampur tegakan hutan lain c. 3 : hutan mangrove bercampur dengan tambak tumpangsari, atau areal tambak tumpangsari murni d. 2 : hutan mangrove bercampur dengan penggunaan lahan non-vegetasi (pemukiman, tambak nontumpangsari, dsb) e. 1 : areal tidak bervegetasi 25 a. 5 : N = 1.500 pohon/ha, merata (F = 75%) b. 4 : N = 1.500 pohon/ha, tidak merata (F < 75%) c. 3 : N = 1.000-1.500 pohon/ha, merata (F = 75%) d. 2 : N = 1.000-1.500 pohon/ha, tidak merata (F<75%) e. 1 : N < 1.000 pohon/ha 11

Tabel 2 (lanjutan) No. Kriteria Bobot Skor penilaian 3. Permudaan/ha (Np) 4. Lebar jalur hijau mangrove (L) 20 a. 5 : N = 5.000 semai/ha (F = 40%) N = 2.500 pancang/ha (F = 60%) b. 4 : N = 4.000-5.000 semai/ha (F = 40%) N = 2.000-2.500 pancang/ha (F = 60%) c. 3 : N = 3.000-4.000 semai/ha (F = 40%) N = 1.500-2.000 pancang/ha (F = 60%) d. 2 : N = 2.000-3.000 semai/ha (F = 40%) N = 1.000-1.500 pancang/ha (F = 60%) e. 1 : N < 2.000 semai/ha (F = 40%) N < 1.000 pancang/ha (F = 60%) 15 a. 5 : 100% b. 4 : 80% - 100% (130 x PPS) c. 3 : 60% - 80% (130 x PPS) d. 2 : 40% - 80% (130 x PPS) e. 1 : < 40 % (130 x PPS) 5. Tingkat Abrasi (A) 10 a. 5 : 0-1 m/tahun b. 4 : 1-2 m/tahun c. 3 : 2-3 m/tahun d. 2 : 3-5 m/tahun e. 1 : > 5 m/tahun Catatan: skor 1 = jelek Adapun total nilai skoring (TNS 2 ) dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut: TNS 2 = (Tppl x 30) + (N x 25) + (Np x 20) + (L x 15) + (A x 10) Berdasarkan total nilai skoring (TNS 2 ) tersebut, tingkat kekritisan lahan mangrove dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Nilai 100 200 : rusak berat Nilai 201 300 : rusak Nilai > 300 : tidak rusak 12

V. PENUTUP Dengan adanya Pedoman Inventarisasi dan Identifikasi Lahan Kritis Mangrove diharapkan dapat diperoleh data yang akurat tentang kawasan mangrove yang rusak/kritis, sehingga kegiatan rehabilitasi lahan mangrove dapat berjalan secara efisien dan efektif, yang pada akhirnya akan mampu mendukung terwujudnya kelestarian ekosistem mangrove. Selain itu, pedoman ini diharapkan dapat digunakan oleh semua pihak yang berkepentingan dalam pengelolaan kawasan mangrove. Adanya masukan dari pihak-pihak yang terkait akan mampu meningkatkan keberhasilan pengelolaan kawasan mangrove pada khususnya dan kawasan pantai pada umumnya. 13