BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kontrasepsi 2.1.1 Definisi Kontrasepsi berasal dari kata kontra yang berarti mencegah dan konsepsi adalah pertemuan antara sel telur dan sel sperma yang mengakibatkan kehamilan. Kontrasepsi juga dapat di definisikan sebagai cara atau upaya unutuk mencegah kehamilan (IPPF, 2011). Kontrasepsi dapat di definisikan sebagai segala cara untuk mencegah kehamilan. Syarat kontrasepsi yang baik adalah tidak berbahaya, dapat diandalkan, sederhana, murah, diterima banyak orang dan dapat terus dipakai (Saifuddin,2006). Kontrasepsi adalah upaya untuk mencegah terjadinya kehamilan. Upaya ini dapat bersifat sementara maupun bersifat permanen, dan upaya ini dapat dilakukan dengan cara, alat atau obat obatan (Proverawati, 2010) 2.1.2 Tujuan Penggunaan Alat Kontrasepsi Berdasarkan tujuannya, pemakaian alat kontrasepsi dapat dikelompokkan sebagai berikut (Suwiyoga, 2001) : 1. Untuk Menunda Kehamilan dan Kesuburan Alat kontrasepsi yang digunakan untuk menunda kehamilan harus reversibilitas yang artinya dapat mengembalikan kesuburan hingga hampir 100%. Efektivitas alat kontrasepsi yang tinggi artinya tingkat kegagalan pada alat ini kecil jika digunakan oleh akseptor. Karena jika terjadi kegagalan maka akan menyebabkan terjadinya kehamilan risiko tinggi pada ibu yang terlalu muda. 7
8 2. Untuk Mengatur dan Menjarangkan Kehamilan Alat kontrasepsi yang digunakan untuk mengatur kehamilan memerlukan efektivitas yang cukup tinggi untuk menghindari terjadinya kegagalan. Kegagalan pada alat kontrasepsi akan mengakibatkan jarak kehamilan yang terlalu dekat dan berisiko untuk ibu. Selain itu alat kontrasepsi yang digunakan juga diharapkan mampu mengembalikan kesuburan dengan baik dan tidak menghambat ASI (Air Susu Ibu) karena biasanya akseptor KB masih menginginkan untuk memiliki anak. 3. Untuk Mengakhiri Kehamilan Alat kontrasepsi yang digunakan untuk mengakhiri kehamilan memerlukan efektivitas yang sangat tinggi. Hal ini disebabkan karena jika terjadi kegagalan kontrasepsi akan terjadi kehamilan risiko tinggi pada ibu yang terlalu tua. Selain itu penggunaan alat kontrasepsi ini biasanya digunakan untuk akseptor yang tidak ingin memiliki anak lagi. 2.1.3 Jenis Jenis Metode Kontrasepsi Secara garis besar metode kontrasepsi dikelompokkan menjadi 2 bagian yaitu kontrasepsi hormonal dan kontrasepsi non hormonal. Namun penggunaan metode kontrasepsi ini hanya bersifat sementara karena jika alat atau obat tidak digunakan lagi maka pengguna dapat hamil kembali jika masih dalam keadaan produktif. Kontrasepsi hormonal terdiri dari jenis suntikan, pil, dan impant. Sedangkan metode kontrasepsi non hormonal terdiri dari Metode Amenore Laktasi (MAL), senggama terputus, metode barrier, alat kontrasepsi dalam Rahim (AKDR) dan kontrasepsi mantap (BKKBN, 2008). Berdasarkan lama efektivitasnya, kontrasepsi dapat dibagi menjadi 2 metode yaitu : 1. Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP) : impant, IUD, MOP dan MOW.
9 2. Non Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (Non MKJP) : kondom, pil, suntik dan metode lain selain MKJP. Meskipun metode kontrasepsi mampu mencegah terjadinya kehamilan akan tetapi belum bisa 100% efektif. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Perwakilan BKKBN Provinsi Bali pada tahun 2008 di sembilan kabupaten dan kota di Bali, menunjukkan terjadinya kegagalan di berbagai macam metode kontrasepsi kecuali MOW. Tiga metode kontrasepsi dengan kasus kegagalan bertutut turut adalah IUD, suntik dan pil. 2.2 Vasektomi 2.2.1 Definisi Vasektomi Vasektomi adalah tindakan yang lebih ringan dari khitan yang umumnya hanya dilakukan selama 10 15 menit. Vasektomi sangat efektif, tidak ada efek samping jangka panjang, tindakan bedah aman serta efektif setelah 20 ejakulasi atau sekitar 3 bulan (BKKBN, 2008). Pelaksanaan metode kontrasepsi vasektomi yaitu saluran sperma diikat atau di potong sehingga sperma tidak dikeluarkan dan tidak bisa bertemu dengan sel telur. Dengan demikian bila suami istri melakukan hubungan seksual tidak akan terjadi kehamilan (BKKBN, 2008). Tujuan Vasektomi Pria yang melakukan vasektomi adalah ayah yang memiliki kesadaran untuk terlibat langsung dalam hal mengatur kelahiran anak. 2.2.2 Kelebihan dan Keterbatasan Metode Kontrasepsi Vasektomi Sama seperti metode kontrasepsi lain, metode kontrasepsi dengan cara vasektomi juga memiliki beberapa kelebihan dan keterbatasan. Menurut penelitian Meilani pada tahun 2010, adapun kelebihan dari metode kontrasepsi vasektomi adalah sebagai berikut :
10 a. Tidak mengganggu ereksi, potensi seksual, dan produksi hormon. b. Perlindungan terhadap terjadinya kehamilan sangat tinggi, dapat digunakan seumur hidup. c. Tidak mengganggu kehidupan seksual suami istri d. Lebih aman karena keluhan lebih sedikit e. Lebih praktis karena hanya memerlukan satu kali tindakan f. Lebih efektif karena tingkat kegagalannya sangat kecil g. Lebih ekonomis karena hanya memerlukan biaya untuk satu kali tindakan Sama seperti metode kontrasepsi yang lain, selain memiliki kelebihan metode kontrasepsi vasektomi juga memiliki beberapa keterbatasan diantaranya (BKKBN, 2008) : a. Harus dengan tindakan pembedahan b. Walaupun merupakan operasi kecil, masih dimungkinkan terjadi komplikasi seperti pendarahan dan infeksi. c. Tidak melindungi klien dari penyakit menular seksual. d. Masih harus menggunakan kondom selama 20 kali ejakulasi. e. Jika istri masih menggunakan alat kontrasepsi disarankan tetap mempertahankan selama 2 bulan sampai 3 bulan sesudah suami menjalankan vasektomi. f. Klien perlu istirahat total selama 1 hari dan tidak bekerja keras selama 1 minggu. Menurut Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) tahun 2008, adapun kekurangan dalam metode kontrasepsi vasektomi yaitu : Menurut Hartanto tahun 2004, adapaun beberapa efek samping yang mungkin ditimbulkan dari metode kontrasepsi vasektomi adalah : Infeksi, Hematoma, Granuloma Sperma, Rekanalisasi spontan dan Pendarahan.
11 2.2.3 Persyaratan untuk Menjadi Akseptor Vasektomi Menurut BKKBN tahun 2009, yang dapat menjadi akseptor vasektomi adalah suami dari pasangan usia subur (PUS) yang memenuhi beberapa persyaratan yaitu : 1. Tidak ingin punya anak lagi 2. Sukarela dan telah mendapat konseling mengenai vasektomi 3. Mendapatkan persetujuan dari istri atau keluarga 4. Jumlah anak sudah ideal serta sehat jasmani dan rohani 5. Umur istri sekurang kurangnya 25 tahun 6. Mengetahui prosedur vasektomi dan akibatnya 7. Menandatangani formulir persetujuan tindakan medis 2.2.4 Program Keluarga Berencana di Kabupaten Gianyar Di Kabupaten Gianyar, pelaksaan program kependudukan dilakukan oleh Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (BPPKB) yang dibentuk sesuai dengan Perda Kabupaten Gianyar No. 6 Tahun 2008. Untuk program keluarga berencana, kegiatan dilaksanakan oleh dua bidang yaitu Bidang Keluarga Berencana dan Keluarga Sejahtera serta Bidang Kelembagaan dan Informasi. Untuk kegiatan sosialisasi dan pelayanan kontrasepsi dilaksanakan oleh Sub Bidang Keluarga Berencana. Kegiatan sosialisasi KB pria dilaksanakan sebanyak 7 kali dalam satu tahun dimana masing-masing kecamatan mendapatkan sosialisasi satu kali dalam setahun. Kegiatan ini bertujuan untuk memberikan informasi mengenai vasektomi kepada masyarakat serta menjaring akseptor KB baru. Selain itu, dilaksanakan juga kegiatan sosialisasi pelayanan Mupen (Mobil Unit Penerangan) dan pelayanan kontrasepsi yang
12 dilaksanakan sebanyak 14 kali dalam satu tahun dimana masing-masing kecamatan memperoleh pelayanan sebanyak 2 kali dalam satu tahun. Kegiatan sosialisasi Mupen bertujuan untuk memberikan informasi kesehatan kepada masyarakat khususnya PUS yang ingin mendapatkan pelayanan KB. Sedangkan dalam kegiatan pelayanan kontrasepsi, pelaksanaan yang dilakukan adalah KIE dan pelayanan KB khususnya MKJP (Metode Kontrasepsi Jangka Panjang) yaitu MOP, IUD, dan Implant. Kegiatan pelayanan kontrasepsi difasilitasi dengan 1 unit mobil pelayanan yang digunakan untuk menjangkau daerah daerah yang masih kekurangan akses pelayanan KB. Kegiatan pelayanan KB biasanya dilakukan di mobil unit pelayanan (Mupel) dan dikerjakan oleh tenaga medis di wilayah kerja puskesmas setempat. Setelah selesai mendapat pelayanan, masyarakat yang menjadi akseptor akan diberikan bantuan berupa sembako oleh Badan PP dan KB Kabupaten Gianyar. Untuk program pelayanan kontrasepsi khususnya MOP atau vasektomi, Badan PP dan KB Kabupaten Gianyar memberikan penghargaan sebesar 1 juta rupiah per akseptor dengan rincian 750 ribu rupiah untuk askseptor dan 250 ribu rupiah untuk penggerak. Hal ini dilakukan sebagai gebrakan dari Pemkab Gianyar karena masih kurangnya motivasi masyarakat untuk melaksanakan MOP. 2.3 Faktor yang Berhubungan dengan Perilaku Kesehatan Dalam perilaku kesehatan berdasarkan Preced Model (Green, 1990) dalam Notoatmodjo (2014) menyatakan bahwa perilaku kesehatan dipengaruhi oleh 3 faktor yakni faktor predisposisi, faktor pendukung dan faktor penguat sebagai berikut : 2.3.1 Faktor Predisposisi Faktor predisposisi adalah faktor yang dapat mempermudah terjadinya perilaku atau tindakan pada diri seseorang atau masyarakat. Faktor ini antara lain pengetahuan,
13 pendidikan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai dan persepsi yang berhubungan dengan motivasi individu atau kelompok untuk bertindak (Notoatmodjo, 2014). Berikut faktor predisposisi yang berhubungan dengan perilaku kesehatan : 1. Tingkat Pendidikan Pendidikan adalah upaya persuasi atau pembelajaran kepada masyarakat agar masyarakat mau melakukan tindakan-tindakan (praktik) untuk memelihara (mengatasi masalah-masalah), dan meningkatkan kesehatannya. Perubahan atau tindakan pemeliharaan dan peningkatan kesehatan yang dihasilkan oleh pendidikan kesehatan ini didasarkan kepada pengetahuan dan kesadaran melalui proses pembelajaran (Notoatmodjo, 2005). Namun, hasil penelitian Ratno dkk di Kabupaten Pasaman Barat tahun 2010 menunjukkan tidak adanya pengaruh tingkat pendidikan terhadap pemilihan metode kontrasepsi vasektomi. Hasil analisis penelitian ini menggmbarkan bahwa vasektomi diterima dari semua golongan pendidikan. 2. Tingkat Pengetahuan Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia atau hasil tahu seseorang terhadap objek melalui indra yang dimilikinya. Pengetahuan seseorang terhadap objek mempunyai intensitas atau tingkat yang berbeda-beda (Notoatmodjo, 2014). Kurang berperannya suami dalam program Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi disebabkan oleh pengetahuan suami mengenai KB secara umum relatif rendah, sebagaimana terungkap pada penelitian Suherni, dkk (1999) bahwa pria yang mengetahui secara lengkap tentang alat kontrasepsi wanita dan pria hanya 6.2%. 3. Pekerjaan
14 Pekerjaan adalah kegiatan yang dilakukan seseorang dilakukan oleh seseorang untuk memperoleh penghasilan guna melangsungkan kehidupannya. Pekerjaan disini berhubungan erat dengan sumber mata pencaharian dan finansial. Apabila seseorang memiliki pekerjaan yang layak dengan dengan penghasilan yang cukup maka akan terpenuhi kebutuhan hidupnya termasuk kebutuhan terhadap pelayanan kesehatan. 2.3.2 Faktor Pendukung Faktor pendukung adalah kemampuan/keahlian dan sumber-sumber yang diperlukan untuk menciptakan atau memunculkan perilaku kesehatan yang terwujud dalam lingkungan fisik tersedia atau tidak tersedianya fasilitas-fasilitas atau saranasarana kesehatan misalnya ketersediaan sarana pelayanan kesehatan dan prasarana atau fasilitas-fasilitas, personalia, sekolah-sekolah, klinik maupun sumber-sumber sejenis. Faktor-faktor pendukung juga berkaitan dengan aksesibilitas berbagai sumber daya, biaya, jarak, sarana transportasi yang ada dan waktu pemakaian sarana kesehatan (Notoatmodjo, 2014). Berikut faktor pendukung yang berhubungan dengan perilaku kesehatan sebagai berikut: 1. Keterjangkauan Jarak ke Fasilitas Pelayanan Kesehatan Jarak dengan fasilitas kesehatan juga berkontribusi terhadap terciptanya suatu perilaku kesehatan pada masyarakat. Pengetahuan dan sikap yang baik belum menjamin terjadinya perilaku, maka masih diperlukan faktor lain yaitu jauh dekatnya dengan fasilitas kesehatan. Jarak fasilitas kesehatan yang jauh dari pemukiman penduduk akan mengurangi pemanfaatan pelayanan kesehatan, dan sebaliknya jarak yang relatif lebih dekat akan meningkatkan pemanfaatan pelayanan kesehatan.
15 2.3.3 Faktor Pendorong Faktor pendorong adalah faktor-faktor yang berhubungan dengan sikap dan perilaku secara umum seperti sikap dan perilaku petugas kesehatan atau petugas lain yang merupakan kelompok referensi dari perilaku masyarakat (Notoatmodjo, 2014). Berikut faktor pendorong yang berhubungan dengan perilaku kesehatan sebagai berikut : 1. Dukungan Petugas Kesehatan Perilaku pemanfaatan fasilitas atau produk kesehatan juga sangat dipengaruhi oleh petugas kesehatan. Seseorang yang sudah mengetahui manfaat kesehatan dan ingin memanfaatkannya dapat terhalang karena sikap dan tindakan petugas kesehatan yang tidak ramah dan memotivasi individu yang akan memanfaatkan fasilitas kesehatan. Selain itu, kurangnya tenaga terlatih untuk vasektomi, kurangnya motivasi provider untuk pelayanan vasektomi dan kurangnya dukungan peralatan untuk juga berpengaruh terhadap keikutsertaan pria dalam melakukan vasektomi. Penelitian yang dilakukan oleh, hasil penelitian Ratno dkk di Kabupaten Pasaman Barat tahun 2010 menunjukkan adanya hubungan antara dukungan petugas lapangan KB dengan pemilihan vasektomi sebagai metode kontrasepsi pria. Selain itu penelitian yang dilakukan oleh Nasution, dkk (2012) di Puskesmas Ambacang Kota Padang menunjukkan hasil adanya hubungan yang bermakna antara peran petugas kesehatan dengan perilaku akseptor KB pria (p=0,001, OR=7,9). 3. Dukungan Istri
16 Dukungan yang diberikan oleh istri dapat membangkitkan rasa percaya diri untuk membuat keputusan. Dukungan yang diberikan antara lain berupa motivasi untuk menggunakan metode kontrasepsi vasektomi. Hasil penelitian Budisantoso (2008) dan Sri Wahyuni dkk (2013) menyatakan bahwa dukungan istri berpengaruh positif terhadap partisipasi pria dalam KB. Demikian juga dengan hasil penelitian yang dilakukan di Jawa Barat dan Sumatera Selatan pada tahun 2000 penyebab rendahnya pria ber KB sebagian besar disebabkan oleh faktor keluarga, antara lain isteri tidak mendukung (66,26%), rumor di masyarakat, (46,65%), kurangnya informasi metode KB pria dan terbatasnya tempat pelayanan (6,22%) (BKKBN, 2009). Studi kualitatif yang dilakukan oleh Budisantoso (2008) di Kecamatan Jetis Kabupaten Bantul menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara sikap istri dengan partisipasi pria dalam ber-kb dengan nilai p=0,027. Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Novianti (2014) di Kabupaten Tasikmalaya menunjukkan hasil adanya hubungan yang bermakna antara dukungan istri dengan partisipasi pria dalam ber-kb dengan nilai p=0,006.