PERKAWINAN BEDA AGAMA DALAM PERSPEKTIF ISLAM Oleh Dr. ABDUL MAJID Harian Pikiran Rakyat

dokumen-dokumen yang mirip
PERNIKAHAN BEDA AGAMA DALAM PANDANGAN ISLAM

BAB II KAJIAN PUSTAKA. A. Perkawinan Beda Agama Menurut Agama Islam. Berdasarkan ajaran Islam, deskripsi kehidupan suami-istri yang tentram

Oleh : TIM DOSEN SPAI

BAB I PENDAHULUAN. kelaminnya (laki-laki dan perempuan), secara alamiah mempunyai daya tarikmenarik

BAB I PENDAHULUAN. Pernikahan merupakan suatu institusi sosial yang diakui disetiap kebudayaan

BAB I. Pendahuluan. Perkawinan beda agama adalah suatu perkawinan yang dilakukan oleh

H.M.A Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h.6

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sumber daya alam yang dimiliki, tetapi juga kaya akan kebudayaan. Dengan latar

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan kebutuhan kodrat manusia, setiap manusia

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1989, dan telah diubah dengan Undang-undang No. 3 Tahun 2006,

PENGATURAN PERKAWINAN SEAGAMA DAN HAK KONSTITUSI WNI Oleh: Nita Ariyulinda Naskah diterima : 19 September 2014; disetujui : 3 Oktober 2014

Munakahat ZULKIFLI, MA

PERKAWINAN BEDA AGAMA DI INDONESIA Abdul Kholiq ABSTRACT

BAB I PENDAHULUAN. nafsu syahwat semata, melainkan memiliki tujuan yang lebih dari itu di antaranya

TAFSIR BARU PERKAWINAN BEDA AGAMA DI INDONESIA. Oleh: M. Muhibuddin. Pegawai Pada Pengadilan Agama Wonosari

BAB IV ANALISIS YURUDIS TERHADAP KEBIJAKAN KEPALA DESA YANG MENAMBAH USIA NIKAH BAGI CALON SUAMI ISTRI YANG BELUM

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Masalah atau problem merupakan bagian dari kehidupan manusia. Hampir

MEMAHAMI KETENTUAN POLIGAMI DALAM HUKUM ISLAM Oleh: Marzuki

MENGENAL PERKAWINAN ISLAM DI INDONESIA Oleh: Marzuki

MENTELU DI DESA SUMBEREJO KECAMATAN LAMONGAN

FATWA TARJIH MUHAMMADIYAH HUKUM NIKAH BEDA AGAMA

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.

BAB IV ANALISIS PERBANDINGAN ANTARA ISLAM DAN KRISTEN KATOLIK MENGENAI PERKAWINAN ANTAR AGAMA

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA. Perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Perkawinan

2002), hlm Ibid. hlm Komariah, Hukum Perdata (Malang; UPT Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang,

Perzinahan dan Hukumnya SEPUTAR MASALAH PERZINAHAN DAN AKIBAT HUKUMNYA

FAKULTAS SYARI'AH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) ZAWIYAH COT KALA LANGSA 2015 M/1436 H

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1974, TLN No.3019, Pasal.1.

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN BEDA AGAMA. Islam. Ketentuan-ketentuan tersebut adalah sebagai berikut: 28

Mam MAKALAH ISLAM. Pernikahan Beda Agama Perspektif Undang-Undang Perkawinan

??????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????

BAB I PENDAHULUAN. perbuatan yang bernilai ibadah adalah perkawinan. Shahihah, dari Anas bin Malik RA, Ia berkata bahwa Rasulullah SAW

segera melaksanakannya. Karena perkawinan dapat mengurangi kemaksiatan, baik

MEMILIH PEMIMPIN YANG BENAR PERSPEKTIF ISLAM Oleh: Dr. Marzuki, M.Ag.

BAB IV. ANALISIS DASAR DAN PERTIMBANGAN MAJELIS HAKIM DALAM PENETAPAN PENGADILAN AGAMA BLITAR NO. 0187/Pdt.P/2014/PA.BL

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sarana untuk bergaul dan hidup bersama adalah keluarga. Bermula dari keluarga

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN

BAB I PENDAHULUAN. Rasulullah SAW juga telah memerintahkan agar orang-orang segera

FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA Nomor 17 Tahun 2013 Tentang BERISTRI LEBIH DARI EMPAT DALAM WAKTU BERSAMAAN

BAB I PENDAHULUAN. Pria dan wanita diciptakan oleh Tuhan untuk hidup berpasang-pasangan

BAB I PENDAHULUAN. satu dengan yang lainnya untuk dapat hidup bersama, atau secara logis

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Keluarga merupakan lembaga sosial bersifat universal, terdapat di semua

BAB I PENDAHULUAN. jalan pernikahan. Sebagai umat Islam pernikahan adalah syariat Islam yang harus

BAB I PENDAHULUAN. itu, harus lah berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagai azas pertama

BAB I PENDAHULUAN. makhluk-nya, baik pada manusia, hewan, maupun, tumbuh-tumbuhan. Ia adalah

BAB IV DASAR PERTIMBANGAN MAHKAMAH AGUNG TERHADAP PUTUSAN WARIS BEDA AGAMA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

BAB IV ANALISIS HASIL PENELITIAN PERMOHONAN IZIN POLIGAMI TERHADAP WANITA HAMIL DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA MALANG

BAB I PENDAHULUAN. menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 2 Undang-Undang

PERNIKAHAN MULTIKULTURAL (PERNIKAHAN ANTAR AGAMA PERSPEKTIF HUKUM ISLAM) Oleh: Ali Mohtarom Universitas Yudharta Pasuruan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia selalu ingin bergaul (zoon politicon) 1 bersama manusia lainya

BAB I PENDAHULUAN. poligami dalam bentuknya yang beragam telah ada dalam tahap-tahap awal dari

BAB II TINJAUAN UMUM MAQASHID AL-SYARIAH DALAM HUKUM PERKAWINAN. Maqashid Syariah adalah tujuan Allah dan Rasul-Nya dalam merumuskan

BAB I PENDAHULUAN. kalangan manusia, tetapi juga terjadi pada tumbuhan maupun hewan. Perkawinan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan oleh Allah SWT dari kaum laki-laki dan perempuan

STATUS ANAK HASIL PERKAWINAN BEDA AGAMA YANG DILAKUKAN DI LUAR NEGERI

BAB IV ANALISIS FATWA MUI NOMOR: 4/MUNAS VII/MUI/8/2005 DAN PEMIKIRAN QURAISH SHIHAB TENTANG PERKAWINAN BEDA AGAMA

TINJAUAN TEORITIS ASAS MONOGAMI TIDAK MUTLAK DALAM PERKAWINAN. Dahlan Hasyim *

BAB I PENDAHULUAN. Untuk menjaga kedudukan manusia sebagai makhluk yang terhormat maka diberikan

BAB I PENDAHULUAN. senantiasa hidup bersama dengan orang lain. Naluri untuk hidup bersama

Perkawinan dengan Wali Muhakkam

Mulia Quran Terjemahan Bahasa Indonesia. Surah Mumtahinah

BAB I PENDAHULUAN. Dalam Al-Qur'an disebutkan bahwa hidup berpasang-pasangan, hidup. sebagaimana firman-nya dalam surat Az-zariyat ayat 49 :

TINJAUAN YURIDIS ANAK DILUAR NIKAH DALAM MENDAPATKAN WARISAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

BAB I PENDAHULUAN. Artinya : Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah. (Q.S.Adz-Dzariyat: 49).

BAB I PENDAHULUAN. keanekaragaman adat istiadat dalam pelaksanaan perkawinan. Di negara. serta dibudayakan dalam pelaksanaan perkawinan maupun upacara

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan di atas adalah merupakan rumusan dari Bab I Dasar Perkawinan pasal

BAB I. Persada, 1993), hal Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, cet.17, (Jakarta:Raja Grafindo

BAB I PENDAHULUAN. bentuknya yang terkecil, hidup bersama itu dimulai dengan adanya sebuah keluarga.

BAB IV ANALISIS PERNIKAHAN DALAM MASA IDDAH. A. Analisis Pemikiran Pernikahan dalam Masa Iddah di Desa Sepulu Kecamatan

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 1 TAHUN 1974 (1/1974) Tanggal: 2 JANUARI 1974 (JAKARTA)

MBAREP DI DESA KETEGAN KECAMATAN TANGGULANGIN

Kaum Muslim telah dilarang untuk merayakan hari raya orang-orang kafir atau musyrik.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. masyarakat luas. Pengertian "ikatan lahir batin" dalam perkawinan berarti

BAB I PENDAHULUAN. menginginkan bahagia dan berusaha agar kebahagiaan itu tetap menjadi

BAB I PENDAHULUAN. Tujuan perkawinan sebagaimana yang diisyaratkan oleh Al-Quran dan

BAB I PENDAHULUAN. mulia dibanding makhluk lainnya. Manusia memiliki fitrah untuk saling

BAB IV ANALISIS TERHADAP PELAKSANAAN PERNIKAHAN WANITA HAMIL DI LUAR NIKAH DI KUA KECAMATAN CERME KABUPATEN GRESIK

TINJAUAN HUKUM TERHADAP HAK DAN KEWAJIBAN ANAK DAN ORANG TUA DILIHAT DARI UNDANG UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN HUKUM ISLAM

FATWA MAJLIS ULAMA INDONESIA Tentang Perayaan Natal Bersama

PERSATUAN DAN KERUKUNAN

RATIOLEGIS HUKUM RIDDAH

BAB I PENDAHULUAN. Dalam abad kemajuan teknologi komunikasi modern dewasa ini,

BAB III ANALISIS. Pada dasarnya hukum islam tidak memberatkan umatnya. Akan tetapi

Akibat hukum..., Siti Harwati, FH UI, Universitas Indonesia

POLIGAMI DALAM PERPEKTIF HUKUM ISLAM DALAM KAITANNYA DENGAN UNDANG-UNDANG PERKAWINAN Oleh: Nur Hayati ABSTRAK

PENTINGNYA PENCATATAN PERKAWINAN MENURUT UNDANG- UNDANG NO.1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

BAB I PENDAHULUAN. dalammenjadikan dan menciptakan alam ini. Perkawinan bersifat umum,

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Perkawinan ini menjadi sebuah ikatan antara seorang laki-laki dan seorang

BAB I PENDAHULUAN. semua yang diberi berbagai kelebihan dari mahkluk lainnya, sehingga mereka

MUTLAK DAN MUQAYYAD DALAM AL-QURAN

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan salah satu sunnatullah yang berlaku untuk semua

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia dalam setiap perjalanan hidupnya, sudah pasti memiliki

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkawinan amat penting dalam kehidupan manusia, baik bagi

HAL-HAL YANG MEMBATALKAN KEISLAMAN

UMMI> DALAM AL-QUR AN

BAB II PERKAWINAN DAN PUTUSNYA PERKAWINAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan yang ada di negara kita menganut asas monogami. Seorang pria

Nikah Sirri Menurut UU RI Nomor 1 Tahun 1974 Wahyu Widodo*

KESINAMBUNGAN AGAMA-AGAMA

Transkripsi:

PERKAWINAN BEDA AGAMA DALAM PERSPEKTIF ISLAM Oleh Dr. ABDUL MAJID Harian Pikiran Rakyat 09-04-05 PERNIKAHAN bernuansa keragaman ini banyak terjadi dan kita jumpai di dalam kehidupan bermasyarakat. Mungkin contoh yang banyak terekspos ke masyarakat luas hanyalah pernikahan atau perkawinan dari pasangan para selebriti kita. Ambillah beberapa contoh dari pasangan suami istri, Nurul Arifin-Mayong; Ira Wibowo-Katon Bagaskara; Dewi Yull-Rae Sahetapy (yang akhirnya Rae menjadi Muslim, tetapi kini telah bercerai dengan Dewi), Nia Zulkarnaen-Ari Siasaleh. Perkawinan yang dilakukan oleh mereka tidak lagi didasarkan pada satu akidah agama, melainkan hanya pada cinta. Seolah cinta semata yang menjadi dasar suatu pernikahan. Masalah agama dalam beberapa argumen pasangan-pasangan seperti itu kira-kira dapat dirumuskan begini, "Agama tidak boleh dibawa-bawa, oleh karena agama adalah urusan pribadi seseorang. Yang terpenting kita saling mencintai apa tidak?" Berdasarkan hukum munakahat yang diajarkan Islam kepada para penganutnya ialah perkawinan (pernikahan) yang dibenarkan oleh Allah SWT adalah suatu perkawinan yang didasarkan pada satu akidah, di samping cinta dan ketulusan hati dari keduanya. Dengan landasan dan naungan keterpaduan itu, kehidupan suamiistri akan tenteram, penuh rasa cinta dan kasih sayang. Keluarga mereka akan bahagia dan kelak memperoleh keturunan yang sejahtera lahir batin. Berdasarkan ajaran Islam, deskripsi kehidupan suami-istri di atas akan dapat terwujud bila suami-istri memiliki keyakinan agama yang sama, sebab keduanya berpegang teguh untuk melaksanakan satu ajaran agama, yaitu Islam. Tetapi sebaliknya, jika suami-istri berbeda agama maka akan timbul berbagai kesulitan di lingkungan keluarga, misalnya dalam hal pelaksanaan ibadah, pendidikan anak, pengaturan tatakrama makan/minum, pembinaan tradisi keagamaan, dan lain sebagainya. Islam dengan tegas melarang seorang wanita Islam kawin dengan seorang pria non-muslim, baik musyrik maupun Ahlulkitab. Dan seorang pria Islam secara pasti dilarang menikahi seorang wanita musyrik. Kedua bentuk perkawinan tersebut mutlak diharamkan. Mengapa? Karena pernikahan yang berlanjut kepada lembaga keluarga bisa menjadi institusi penting dan strategis untuk memindahkan dan menanamkan nilai-nilai agama yang diyakini kebenarannya. Banyaknya kasus murtad atau pemurtadan antara lain melalui perkawinan beda agama. Adapun yang menjadi persoalan sejak zaman sahabat Rasulullah hingga abad modern ini adalah perkawinan antarpria Islam dengan wanita Ahlulkitab atau Kitabiyah. Berdasarkan zahir ayat 221 pada Surat Al-Baqarah/2, menurut pandangan kebanyakan ulama, pernikahan seorang Muslim dengan Kitabiyah diperbolehkan. Namun sebagian ulama mengharamkannya atas dasar sikap musyrik Kitabiyah. Dan masih banyak sekali ulama yang melarang sebab pada akhirnya kelak fitnah atau mafsadat dari bentuk perkawinan tersebut akan sangat mudah sekali muncul.

Untuk memperjelas maksud dari isi serta tujuan akhir beberapa pemikiran yang telah dikemukakan sebelumnya, maka penulis akan melihatnya dari beberapa pandangan ulama mengenai beberapa teks ayat atau hadis Nabi Muhammad saw; Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, dan kesimpulan serta saran yang akan diajukan. Pandangan ulama (1) Wanita Islam dengan pria bukan Islam. Seluruh ulama sejak zaman sahabat hingga abad modern ini sepakat bahwa wanita Islam haram hukumnya kawin dengan pria bukan Islam. Dasar keharamannya termaktub di dalam Alquran Surah Al-Baqarah/2:221. "Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu". Firman Allah di atas menegaskan kepada para wali untuk tidak menikahkan wanita Islam dengan laki-laki bukan Islam. Keharamannya bersifat mutlak, artinya wanita Islam mutlak haram kawin dengan laki-laki selain Islam baik lakilaki musyrik atau Ahlulkitab. Dengan begitu dapat ditegaskan bahwa satu syarat sahnya perkawinan seorang wanita Islam ialah pasangannya harus pria Islam. (2) Pria Islam dengan wanita bukan Islam. Dalam kitabnya, Tafsir Ayat Al- Ahkam, Ali Al-Sayis menjelaskan makna muhshanat dalam ayat 5 Surat Al- Maidah (5), "Wanita-wanita yang menjaga kehormatan (al-muhshanat) di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab" adalah wanita yang merdeka (bukan hamba sahaya). Demikian pula Ali Al-Shabuni menjelaskan dalam Kitab Tafsir ayat Al-Ahkamnya bahwa maksudnya adalah mengawini perempuan-perempuan merdeka dari perempuan-perempuan mukmin dan perempuan Ahlulkitab. Sedangkan mufassir lainnya menyatakan bahwa al-muhshanat adalah perempuan-perempuan yang memelihara kehormatan dirinya. Adapun dasar keharamannya mengawini seorang wanita Kitabiyah yang sudah menyimpang oleh karena kemusyrikan mereka. Firman Allah, "Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah, dan (juga mereka telah mempertuhankan) Al-Masih Putra Maryam padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa (Allah). Tidak ada Tuhan selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan" (Q.S. At- Taubah/9:31). Dengan demikian, seorang wanita musyrik haram dikawini oleh seorang pria Islam. Yusuf Al-Qardlawi berpendapat bahwa kebolehan nikah dengan Kitabiyah tidak mutlak, tetapi dengan ikatan-ikatan (quyud) yang wajib untuk diperhatikan, yaitu, (1) Kitabiyah itu benar-benar berpegang pada ajaran samawi. Tidak ateis, tidak murtad dan tidak beragama yang bukan agama samawi; (2) Wanita Kitabiyah yang muhshanah (memelihara kehormatan diri dari perbuatan zina); (3) Ia bukan

Kitabiyah yang kaumnya berada pada status permusuhan atau peperangan dengan kaum Muslimin. Untuk itulah perlu dibedakan antara kitabiyah dzimmiyah dan harbiyah. Dzimmiyah boleh, harbiyah dilarang dikawini; (4) Di balik perkawinan dengan Kitabiyah itu tidak akan terjadi fitnah, yaitu mafsadat atau kemurtadan. Makin besar kemungkinan terjadinya kemurtadan makin besar tingkat larangan dan keharamannya. Nabi Muhammad saw. pernah menyatakan, "La dharara wa la dhirara (tidak bahaya dan tidak membahayakan ). Selanjutnya Qardlawi menyatakan beberapa kemurtadan (keburukan) yang akan terjadi manakala kawin dengan wanita non-muslim: (1) Akan berpe-ngaruh kepada perimbangan antara wanita Islam dengan laki-laki Muslim. Akan lebih banyak wanita Islam yang tidak kawin dengan laki-laki Muslim yang belum kawin. Sementara itu poligami diperketat dan malah laki-laki yang kawin dengan wanita Nasrani sesuai dengan ajaran agamanya serta tidak mungkin menyetujui suaminya berpoligami; (2) Suami mungkin terpengaruh oleh agama istrinya. Demikian pula anak-anaknya. Bila hal ini terjadi maka fitnah benar-benar menjadi kenyataan, dan (3) Perkawinan dengan non-muslimah akan menimbulkan kesulitan hubungan suami istri dan kelangsungan pendidikan anak-anaknya. Lebih-lebih jika laki-laki Muslim dan Kitabiyah berbeda tanah air, bahasa dan budaya. Misalnya, seorang Muslim Timur kawin dengan Kitabiyah Eropa atau Amerika. Sedangkan dalam Alquran dan tafsirnya, kelompok penerjemah dan penafsir Departemen Agama Republik Indonesia menyampaikan suatu pandangan bahwa, "Dihalalkan bagi laki-laki mukmin mengawini perempuan Ahlulkitab dan tidak dihalalkan mengawini perempuan kafir lainnya. Dan tidak dihalalkan bagi perempuan-perempuan mukmin kawin dengan laki-laki Ahlulkitab dan laki-laki lainnya". Menurut UU Perkawinan Sejak diberlakukannya Undang-Undang Pemerintah Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 mengenai perkawinan seperti disebut pada Pasal 66 UUP, maka semua ketentuan-ketentua perkawinan terdahulu seperti GHR, HOCI dan Hukum Perdata Barat (Burgelijk wetboek) serta peraturan perkawinan lainnya sepanjang telah diatur dalam undang-undang tersebut dinyatakan tidak berlaku lagi. Pasal 2 (1) UUP berbunyi, "Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu". Di dalam penjelasan UUP itu dinyatakan bahwa, "Dengan perumusan Pasal 2 (1) ini, tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945". Prof. Dr. Hazairin, S.H. secara tegas menafsirkan pasal 2 (1), "Bagi orang Islam tidak ada kemungkinan untuk kawin dengan melanggar hukum-hukum agamanya sendiri. Demikian juga bagi orang Kristen dan bagi orang Hindu atau Hindu-Buddha seperti dijumpai di Indonesia".

Perkawinan campuran karena berbeda agama selalu hangat dan pelik untuk dibicarakan karena itu berhubungan dengan akidah dan hukum. Dalam bukunya, Rusli (1984) menyatakan bahwa "perkawinan antaragama tersebut merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita yang berbeda agama, menyebabkan tersangkutnya dua peraturan yang berlainan mengenai syarat-syarat dan tata cara pelaksanaan perkawinan sesuai dengan hukum agamanya masingmasing, dengan tujuan untuk membentuk keluarga bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa". Oleh karena itu, di kalangan para ahli dan praktisi hukum, kita jumpai ada tiga mazhab yang berbeda dalam memandang Undang-undang Perkawinan bila dihubungkan dengan perkawinan antardua orang yang berbeda agama. Mazhab pertama mengatakan bahwa perkawinan antaragama merupakan pelanggaran terhadap undang-undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 8 huruf (f), di mana pasal tersebut berbunyi, "Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin". Mazhab kedua berpendapat bahwa perkawinan antaragama adalah sah dan dapat dilangsungkan karena telah tercakup dalam perkawinan campuran. Sehingga pendukung mazhab ini berargumen bahwa Pasal 57 yang mengatur tentang perkawinan campuran menitikberatkan pada dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan. Karena itu, pasal ini tidak saja mengatur perkawinan antara dua orang yang berbeda kewarganegaraan melainkan juga antara dua orang yang berbeda agama. Dan untuk pelaksanaannya dilakukan menurut tata cara yang diatur oleh Pasal 6 Peraturan Perkawinan Campuran (GHR). Sedangkan mazhab ketiga menyatakan bahwa perkawinan antaragama sama sekali tidak diatur dalam UUP nomor 1 tahun 1974 dengan anggapan bahwa peraturanperaturan lama sepanjang Undang-undang itu belum mengatur masih dapat diberlakukan. Dengan demikian untuk persoalan perkawinan antaragama haruslah merujuk kepada Peraturan Perkawinan Campuran. Dari ketiga mazhab di atas maka penulis mengemukakan pandangan bahwa sebaiknya penentuan boleh tidaknya perkawinan antarorang yang berbeda agama sehingga lebih baik, aman dan tidak menimbulkan masalah haruslah dikembalikan pada hukum agama. Artinya, bila hukum agama menyatakan sebuah perkawinan dikatakan boleh atau tidak, maka seharusnya hukum negara mengikutinya. Jadi, untuk perkawinan antaragama, penentuan boleh tidaknya bergantung pada hukum agama dan seluruh pemeluk agamanya wajib menaatinya. Merujuk pada Undang-undang Perkawinan nomor 1 tahun 1974 Pasal 2 (1) jo. 8 (f) terhadap beberapa hal di atas, maka cenderung menyerahkan sepenuhnya kepada hukum agama masing-masing pihak untuk menentukan diperbolehkan atau dilarangnya perkawinan antaragama. Untuk itulah maka agama-agama selain Islam yang diakui eksistensinya di Indonesia memiliki pandangan yang sedikit

berbeda. Oleh karena, (1) Agama Katholik pada prinsipnya melarang dilakukannya perkawinan antaragama, kecuali dalam hal-hal tertentu Uskup dapat memberikan dispensasi untuk melakukan perkawinan antaragama; (2) Agama Protestan membolehkan dilakukannya perkawinan antaragama dengan syarat bahwa pihak yang bukan Protestan harus membuat surat pernyataan tidak berkeberatan perkawinannya dilangsungkan di gereja Protestan, dan (3) Agama Hindu dan Buddha melarang dilakukannya perkawinan antaragama. Penulis, dosen Universitas Pendidikan Indonesia.