BAB 1 PENDAHULUAN. tidak lagi merasa di bawah tingkat orang-orang yang lebih tua melainkan

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 5 PENUTUP. penyesuaian sosial pada remaja low vision yang tinggal di asrama dengan

BABI PENDAHULUAN. Sebagai manusia, remaja pada dasarnya menginginkan kesempumaan

BAB I PENDAHULUAN hingga (Unicef Indonesia, 2012). Menurut Departemen Sosial

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sempurna, ada sebagian orang yang secara fisik mengalami kecacatan. Diperkirakan

BAB I PENDAHULUAN. berhubungan dengan orang lain, atau dengan kata lain manusia mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. dan berfungsinya organ-organ tubuh sebagai bentuk penyesuaian diri terhadap

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan adalah hal yang penting dan tidak dapat dipisahkan dari

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Di era sekarang perceraian seolah-olah menjadi. langsung oleh Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah

BAB I PENDAHULUAN. Pada zaman sekarang memiliki bentuk tubuh yang ideal memang menjadi

BABI PENDAHULUAN. Kehidupan perkawinan akan terasa lebih lengkap dengan hadirnya anakanak

BAB 1 PENDAHULUAN. diwarnai dengan berbagai macam emosi, baik itu emosi positif maupun

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Setiap manusia dilahirkan dalam kondisi yang tidak berdaya, ia akan

I. PENDAHULUAN. Manusia dalam perkembangannya memiliki suatu tugas berupa tugas. perkembangan yang harus dilalui sesuai dengan tahap perkembangannya.

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah mahluk sosial yang memiliki kemampuan untuk menyesuaikan tingkah

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan periode yang penting, walaupun semua periode

PENYESUAIAN SOSIAL SISWA TUNARUNGU (Studi Kasus di SMK Negeri 30 Jakarta)

BAB I PENDAHULUAN. paling menarik dari percepatan perkembangan seorang remaja adalah

BAB I PENDAHULUAN. diandalkan pada saat individu mengalami kesulitan (Orford, 1992). Dukungan

BAB I PENDAHULUAN. Sumber daya manusia yang berkualitas sangat penting artinya untuk

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

DAFTAR LAMPIRAN HASIL WAWANCARA INFORMAN 1

BAB I PENDAHULUAN. Mahasiswa adalah status yang disandang oleh seseorang karena

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. berinteraksi dengan orang lain. Manusia dianggap sebagai makhluk sosial yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. pasal 31 ayat 1 UUD 1945 yang menyebutkan bahwa tiap-tiap warga negara

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dan berlangsung terus-menerus sepanjang kehidupan. Hal demikian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dikarenakan kompleksnya permasalahan-permasalahan yang ada di dalamnya. Masa

Keindahan Seni Pendatang Baru

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan dari mulai lahir sampai dengan meninggal dunia. Dari semua fase

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. luas. Fenomena ini sudah ada sejak dulu hingga sekarang. Faktor yang mendorong

BAB I PENDAHULUAN. Keluarga yang bahagia dan harmonis merupakan dambaan dari setiap

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang. Pada era globalisasi saat ini, pendidikan menjadi sesuatu yang sangat

Dalam keluarga, semua orangtua berusaha untuk mendidik anak-anaknya. agar dapat menjadi individu yang baik, bertanggungjawab, dan dapat hidup secara

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia adalah makhluk yang tidak bisa hidup tanpa manusia lain dan

BAB I PENDAHULUAN. karena pada dasarnya belajar merupakan bagian dari pendidikan. Selain itu

BAB V PEMBAHASAN. A. Rangkuman Hasil Seluruh Subyek Hasil penelitian dengan mengunakan metode wawancara, tes

HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI INTERPERSONAL PADA PENYANDANG TUNA DAKSA SKRIPSI

BAB 1 PENGANTAR. A. Latar Belakang Masalah. Perjalanan hidup manusia mengalami beberapa tahap pertumbuhan.

BAB I PENDAHULUAN. orang lain dan membutuhkan orang lain dalam menjalani kehidupannya. Menurut

Hubungan antara Persepsi Anak Terhadap Perhatian Orang Tua dan Intensitas Komunikasi Interpersonal dengan Kepercayaan Diri pada Remaja Difabel

BAB I PENDAHULUAN. penting dalam proses belajar karena motivasi dapat mempengaruhi apa,

BAB I PENDAHULUAN. makhluk sosial. Sebagai makhluk individu ia memiliki sifat dan ciri-ciri yang

PEDOMAN OBSERVASI FENOMENA KORBAN PERILAKU BULLYING PADA REMAJA DALAM DUNIA PENDIIDKAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. manusia yang merupakan masa peralihan dari kanak-kanak menuju dewasa. Masa

BAB I PENDAHULUAN. membangun kehidupan sosial dan kehidupan bermasyarakat secara luas bagi seorang anak.

BAB I PENDAHULUAN. satu dengan lainnya sehingga perlunya kemampuan dalam memahami

BAB I PENDAHULUAN. dengan harapan. Masalah tersebut dapat berupa hambatan dari luar individu maupun

HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI TERHADAP PERCERAIAN ORANG TUA DENGAN OPTIMISME MASA DEPAN PADA REMAJA KORBAN PERCERAIAN. Skripsi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Berbicara tentang siswa sangat menarik karena siswa berada dalam kategori

BAB I PENDAHULUAN. memiliki tugas perkembangan yang sangat penting yaitu mencapai status

BAB I PENDAHULUAN. lainnya khususnya di lingkungannya sendiri. Manusia dalam beraktivitas selalu

BAB I PENDAHULUAN. Pondok Pesantren Daar el-qolam merupakan salah satu pondok pesantren

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. ditandai dengan adanya perkembangan yang pesat pada individu dari segi fisik, psikis

BAB I PENDAHULUAN. 21 tahun dan belum menikah ( Menurut UU No. 23 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dan kemampuan siswa. Dengan pendidikan diharapkan individu (siswa) dapat

BAB I PENDAHULUAN. syndrome, hyperactive, cacat fisik dan lain-lain. Anak dengan kondisi yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. latin adolensence, diungkapkan oleh Santrock (2003) bahwa adolansence

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peneitian

BAB I PENDAHULUAN. E. Latar Belakang Masalah. Remaja biasanya mengalami perubahan dan pertumbuhan yang pesat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kualitas sumber daya manusia sangat diperlukan untuk menunjang

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang penting dalam kehidupan seseorang,

BAB I PENDAHULUAN. ketidakmampuan. Orang yang lahir dalam keadaan cacat dihadapkan pada

HUBUNGAN ANTARA SUASANA KELUARGA DENGAN MINAT BELAJAR PADA REMAJA AWAL

BAB I PENDAHULUAN. jumlah penduduk lansia sebanyak jiwa (BPS, 2010). dengan knowledge, attitude, skills, kesehatan dan lingkungan sekitar.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan hal yang paling mutlak dimiliki oleh semua orang.

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan sangat penting dalam kehidupan dan diharapkan mampu. mewujudkan cita-cita bangsa. Pendidikan bertujuan untuk membantu

BAB I PENDAHULUAN. pada masa remaja, salah satunya adalah problematika seksual. Sebagian besar

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

TINJAUAN TENTANG SOSIALISASI ANAK DENGAN TEMAN SEBAYA DALAM PERKEMBANGAN SOSIALNYA DI TAMAN KANAK-KANAK PERTIWI 1 KANTOR GUBERNUR PADANG ARTIKEL

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Vera Ratna Pratiwi,2013

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dalam kehidupan remaja, karena remaja tidak lagi hanya berinteraksi dengan keluarga

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkembangan perilaku anak berasal dari banyak pengaruh yang

BAB I PENDAHULUAN. diinginkan karena adanya keterbatasan-keterbatasan, baik fisik maupun mental.

BAB I PENDAHULUAN. sebagai pakaian yang ketinggalan zaman, bahkan saat ini hijab sudah layak

BAB I PENDAHULUAN. Perhatian dunia pendidikan terhadap remaja semakin besar dan. meningkat.banyak ahli maupun praktisi yang memberikan perhatian besar

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. makhluk sosial, individu di dalam menjalin hubungan dengan individu lain perlu

PELAKSANAAN PEMBELAJARAN KEMANDIRIAN ACTIVITY OF DAILY LIVING ANAK LOW VISION SEKOLAH DASAR KELAS IV DI SLB NEGERI A KOTA BANDUNG

BAB I PENDAHULUAN. relasi antar individu yang kompleks Selain para penjual dan pembeli yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. makhluk sosial. Pada kehidupan sosial, individu tidak bisa lepas dari individu

Dalam sehari, dia menghancurkan semua harapanku. Dalam sehari, dia membuatku menangis. Dalam sehari, dia menjadi mimpi terburukku

I. PENDAHULUAN. lain. Menurut Supratiknya (1995:9) berkomunikasi merupakan suatu

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hubungan Antara Persepsi Terhadap Pola Kelekatan Orangtua Tunggal Dengan Konsep Diri Remaja Di Kota Bandung

BAB I PENDAHULUAN. dan individu yang telah lulus dari perguruan tinggi disebut sebagai Sarjana

para1). BAB I PENDAHULUAN

I. PENDAHULUAN. Peserta didik Sekolah Menengah Pertama (SMP ) berada dalam masa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. lainnya. Artinya manusia memiliki kebutuhan dan kemampuan untuk berkomunikasi dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Kelompok teman sebaya memiliki kedudukan yang penting bagi siswa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Mahasiswa merupakan sebutan untuk seseorang yang sedang

BAB I PENDAHULUAN. manusia menggunakan fungsi panca indera dan bagian-bagian tubuh lainnya, tetapi

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan atau sekolah dapat tercapai dengan lebih efektif dan efisien (Zamroni,

Transkripsi:

5 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Ketika seorang anak menjadi remaja dan kemudian remaja berkembang menuju ke tingkat dewasa, banyak perubahan yang akan dialami (Susilowati, 2013: 103). Sebagai manusia, masa remaja dipandang sebagai suatu masa dimana individu dalam proses pertumbuhannya (terutama fisik) telah mencapai kematangan. Secara psikologis, masa remaja adalah usia dimana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa, usia dimana anak tidak lagi merasa di bawah tingkat orang-orang yang lebih tua melainkan berada dalam tingkatan yang sama, sekurang-kurangnya dalam masalah hak (Hurlock, 1980: 206). Salah satu tugas perkembangan masa remaja yang tersulit adalah yang berhubungan dengan penyesuaian sosial. Remaja harus dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan di sekitarnya. Dengan keadaan ini, diperlukan penyesuaian diri dan sosial dalam menghadapi tugas tugas baru (Gunarsa, 2011: 56). Pada masa remaja, penyesuaian sosial merupakan hal yang sangat penting karena berhubungan dengan keberhasilan dan kebahagiaan pada masa kehidupan selanjutnya. Penyesuaian sosial merupakan keberhasilan

6 seseorang untuk menyesuaikan diri dan dapat berinteraksi dengan beragam orang, sehingga ia merasa puas terhadap diri sendiri dan orang lain (Susilowati, 2013: 106). Penyesuaian sosial juga diartikan sebagai keberhasilan seseorang untuk menyesuaikan diri terhadap orang lain pada umumnya dan terhadap kelompoknya pada khususnya. Orang yang dapat menyesuaikan diri dengan baik mempelajari berbagai keterampilan sosial seperti kemampuan untuk menjalin hubungan secara diplomatis dengan orang lain, baik teman maupun orang yang tidak dikenal sehingga sikap orang lain terhadap mereka menyenangkan (Hurlock, 1978: 287). Jika seorang remaja mampu melakukan penyesuaian dengan baik, maka remaja tersebut dapat meraih keberhasilan pada masa dewasa, keberhasilan perkawinan dan keberhasilan dalam dunia kerja. Namun jika seorang remaja tidak mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan, maka remaja tersebut akan sulit untuk meraih keberhasilan dalam hidupnya (Hurlock, 1978: 287). Dampak lain ketika seorang remaja tidak dapat melakukan penyesuaian sosial adalah ditolak dari lingkungan. Berdasarkan pendapat Santrock (2002: 287), anak-anak yang ditolak oleh lingkungan mereka adalah anakanak yang tidak disukai oleh teman-teman sebaya mereka dan mereka cenderung lebih bersifat agresif. Anak yang ditolak oleh lingkungan seringkali mengalami masalah penyesuaian diri lebih serius dikemudian hari

7 dalam hidupnya (Kupersmidt & Patterson dalam Santrock, 2002: 347). Ali dan Asrori (2004: 180) mengatakan bahwa, penyesuaian sosial pada remaja tidak terbatas pada suatu tempat atau wilayah tetapi berlaku dimana saja remaja berada. Bagi remaja yang mengalami kondisi low vision, tuntutan untuk dapat melakukan penyesuaian sosial juga merupakan tugas yang harus dilalui. Low vision itu sendiri merupakan kurangnya tingkat pengelihatan pada seseorang, tetapi masih ada sisa penglihatan yang dapat menghalangi seseorang tersebut melakukan perencanaan dan pelaksanaan tugas dalam kesehariannya ( Heward & Orlansky, 1992: 334 ). Pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Muharani (2001: 104) menyatakan bahwa tidak berfungsinya mata secara optimal dapat menghambat individu untuk melakukan aktifitasnya. Fieldman (1999: 107) juga menyatakan bahwa seseorang dengan penglihatan yang sangat kurang juga sangat peka terhadap rangsangan cahaya, sehingga menghambat dalam beraktifitas. Seseorang yang tidak memiliki penglihatan yang baik, tidak memiliki kemampuan seperti menyentuh barang-barang serta tidak bisa melakukan aktifitas seperti orang normal biasanya. Mereka bisa belajar untuk menjadi lebih sensitif, namun untuk informasi tentang lingkungan yang mereka peroleh adalah sangat terbatas ( Heward & Orlansky, 1992: 332 ).

8 Seseorang yang memiliki gangguan penglihatan seperti low vision akan melakukan kegiatan sehari- hari dengan menggunakan indera lainnya. Menurut Pusat Pelayanan low vision Persatuan Indonesia (2008), terdapat beberapa ciri umum pada penyandang low vision antara lain : menulis dan membaca dalam jarak dekat, hanya dapat membaca huruf berukuran besar, terlihat tidak menatap lurus ke depan ketika memandang sesuatu, kondisi mata terlihat berkabut atau berwarna putih pada bagian luar. Ciri lain dari low vision itu sendiri adalah lebih sulit melihat pada malam hari dan memakai kacamata yang sangat tebal tetapi masih tidak dapat melihat dengan jelas. Low vision juga merupakan penglihatan yang kurang dari 6/18 sehingga persepsi cahaya atau medan penglihatan kurang dari 10% sesudah mengalami perawatan ataupun pembaikan pembiasan (Jamila, 2008: 77). Dengan kondisi yang demikian, pemenuhan tugas perkembangan untuk melakukan penyesuaian diri dan lingkungan sosial tentu membutuhkan usaha yang lebih besar bagi remaja low vision (Hurlock, 1978: 12). Remaja low vision akan berhadapan dengan berbagai permasalahan yang terkait dengan hubungan sosial pada lingkungan sekitar (Hurlock, 1978: 12). Menurut Osman (1997: 70-72), kegagalan penyesuaian sosial yang dialami oleh remaja low vision disebabkan oleh 2 faktor, yaitu faktor

9 internal dan faktor eksternal. Faktor internal yang menjadi penyebab adalah kurangnya pengetahuan tentang perilaku sosial yang diharapkan masyarakat atau karena remaja low vision memiliki pengetahuan namun tidak bisa melihat akibat dari perilaku mereka apabila mereka berperilaku tidak sesuai dengan yang diharapkan. Selanjutnya faktor eksternal yang mempengaruhi keberhasilan remaja low vision menyesuaikan diri adalah penerimaan sosial dan lingkungan sekitarnya. Salah satu faktor eksternal yang mempengaruhi penyesuaian sosial pada remaja low vision adalah tempat tinggal. Tempat tinggal merupakan tempat bagi seseorang harus dianggap selalu hadir dalam hubungannya dengan pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban, juga apabila pada suatu waktu ia benar-benar tidak dapat hadir di tempat tersebut (Prawirohamidjojo & Pohan, 1991: 12). Rumah adalah tempat tinggal bukan hanya sebuah bangunan, melainkan juga tempat kediaman yang memenuhi syarat kehidupan yang layak, dipandang dari berbagai segi kahidupan masyarakat (Frick & Mulyani, 1999: 1). Peneliti mengambil kasus dari sebuah artikel yang berjudul Di tengah Keterbatasan ku (www.kompasiana.com) pada tanggal 28 Maret 2015 yang menggambarkan tentang penyesuaian sosial dari seorang penyandang low vision. Penyesuaian sosial ini juga dirasakan oleh si X, dimana X adalah

10 seorang anak remaja yang memiliki kekurangan fisik yaitu seorang low vision. Tidak seperti anak remaja pada umumnya, X disini berusaha untuk menyesuaikan dirinya dengan lingkungan sosial dan dilingkungan sekolahnya. X selalu berusaha menutupi kekurangannya dengan apa yang X miliki. Salahnya satunya adalah X tetap ingin bermain bersama dengan teman-temannya di sekolah walaupun X selalu mendapatkan ejekan dan olokan yang menyakitkan dari teman-temannya. Bukan hanya itu saja X bahkan tetap bertekad untuk tetap mengikuti proses belajarnya di sekolah walaupun membutuhkan waktu yg cukup lama. Hal ini senada dengan pendapat yang dikemukakan oleh Wasito (2010: 139), bahwa seseorang yang memiliki kekurangan fisik memiliki kesulitan dalam penyesuaian sosial serta sulit untuk berinteraksi dengan baik dalam lingkungannya. Dalam kenyataannya hanya sedikit saja seseorang yang low vision bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar dengan baik (Pragtiningrum, 2010: 33). Peneliti juga melakukan wawancara dengan beberapa informan yang bersekolah di SMPLB pada sebuah Yayasan Pendikan di Surabaya. Peneliti melakukan wawancara awal pada remaja yang tinggal di asrama dan tinggal di rumah. Berdasarkan wawancara pada tanggal 20 Juni 2015 yang

dilakukan peneliti pada remaja low vision yang tinggal di rumah. Remaja Y mengatakan bahwa, 11 ya kalau lagi main sama teman kadang enak kadang gak. Lebih banyak saya yang diejek. Malas banget. Jadi saya lebih milih diam. Apalagi kalau di sekolah saya sering diketawain sama mereka. Saya jengkel kalau dapat tugas untuk membaca, pasti satu kelas tertawa semua kecuali disuruh diam sama guru baru mereka diam. Walaupun saya salah baca tapi ya saya tetap berusaha. Saya ya cuek aja dalam hati sakit rasanya pengen nangis. Teman-teman yang disekitar sini juga sering gangguin saya kok pas saya nubruk sesuatu entah apalah. Meskipun kayak gitu ya saya tetap jalan aja dengan keadaan kayak gini. Kalau lagi disekolah pengen cepat-cepat pulang saya gak betah. Kalau saya kemana gitu ya pakai tongkat ini saja biar bisa jalan sendiri. Berdasarkan hasil wawancara dengan remaja low vision yang tinggal di rumah, tampak bahwa tidak hanya dalam lingkungan masyarakat saja tetapi di lingkungan sekolah juga tampak ada permasalahan. Informan Y merasakan ketidaknyamanan ketika berinteraksi dengan teman-teman di sekitar rumah maupun di lingkungan sekolah, yang pada umumnya mengalami kondisi fisik (low vision) yang sama dengan informan. Hal tersebut juga dikemukakan oleh Octaviana (2013: 61), adapun masalah yang terjadi pada remaja low vision yang tinggal di rumah dalam

12 melakukan penyesuaian sosial dilingkungannya. Mereka lebih suka sendiri dan cenderung untuk pendiam. Adanya gangguan penglihatan seperti low vision ini, merupakan hambatan dalam berkomunikasi dan berinteraksi dengan lingkungan sosialnya serta hambatan dalam beraktivitas (Heward & Orlansky, 1992: 143). Peneliti melakukan wawancara dengan informan kedua, yaitu informan A. Berdasarkan wawancara pada tanggal 23 Juni 2015 yang dilakukan peneliti pada remaja low vision yang tinggal di rumah. Remaja A mengatakan bahwa, aku rasa biasa aja kak. Kan memang sudah terbiasa, sudah sejak lama keadaan aku begini. Kalau lagi jalan sama mama papa atau keluarga gitu ya gak apa-apa. Tapi ada juga beberapa kerabat yang suka olokin aku gitu. Tanggapan aku ya sudah biasa emang kayak gitu. Kalau lagi main sama teman-teman disekitar sini ya sama juga. Ada teman yang mau terima aku ada juga yang gak terima tapi sukanya gangguin saja. Jengkel, stres aku kak. Tapi ya mau gimana lagi. Aku berusaha buat yang terbaik deh kalau memang aku di terima main sama mereka aku senang. Tapi kalau gak ya aku pulang kerumah aja main sendiri dirumah. Berangkat dari kondisi yang demikian, tampak bahwa seseorang dengan low vision sering merasa tidak nyaman. Lebih lanjut, Hurlock (1978: 293) memberi beberapa tanda yang umum dari ketidakmampuan

13 remaja untuk menyesuaikan diri seperti perasaan menyerah, merasa ingin pulang bila berada jauh dari lingkungan yang dikenal, sikap agresif dan tidak nyaman. Selain rumah ada tempat tinggal yang biasa disebut dengan asrama, dimana asrama merupakan tempat untuk menampung banyak orang dalam satu atap. Terdapat remaja low vision yang tinggal di asrama. Remaja low vision yang tinggal di asrama melakukan penyesuaian sosial lebih sedikit ruang lingkupnya. Selain tinggal bersama dengan teman-teman, remaja yang tinggal di asrama mendapatkan fasilitas tambahan. Hal ini dikatakan oleh Purnama (2010: 137) bahwa remaja dengan low vision bisa mendapat latihan tambahan sebegai fasilitas tentang bagaimana belajar membaca huruf brielle lebih mendalam. Purnama (2010: 139) juga mengatakan bahwa, meski tinggal di asrama remaja low vision berhak untuk mendapatkan lingkungan yang kondusif, penuh kedamaian, kesejukan, dan ketenangan lahir batin untuk membina kepribadiannya agar menjadi sumber daya manusia yang berkualitas sehingga, memiliki ketrampilan hidup yang memungkinkan agar anak mampu menjalankan berbagai fungsi dalam kehidupannya.

14 Peneliti melakukan wawancara dengan remaja yang tinggal di asrama. Berdasarkan wawancara pada tanggal 22 Juni 2015 informan S mengatakan bahwa: disini aku senang kalau lagi main sama teman-teman dalam asrama. Semuanya akurakur. Kalau lagi cerita ada saja yang bikin ketawa. Yang bikin aku malas itu kalau pas libur pulang rumah. Disana aku merasa sendirian. Banyak yang gak mau main sama aku. Aku di ejek kalau main sama teman-teman dekat rumah. Kadang ya aku langsung nangis. Keadaannya beda kalau aku di asrama. Aku lebih nyaman disini. Kalau pas main nendang bola musti aku diketawain gara-gara aku gak bisa nendang kata mereka. Tapi biar begitu aku tetap nendang bolanya kok walaupun gak masuk gawang. Berdasarkan hasil wawancara dengan remaja yang low vision yang tinggal di asrama, tampak bahwa remaja low vision lebih merasa nyaman untuk tinggal di asrama. Ia mengalami kesulitan untuk melakukan penyesuaian sosial dengan teman yang berada di luar asrama. Peneliti juga melakukan wawancara dengan informan D pada tanggal 27 Juni 2015 di asrama tempat tinggalnya. Diketahui bahwa keterbatasan fisik yang dimiliki remaja low vision merupakan hambatan. Remaja D mengatakan bahwa,

15 aku kesulitan bicara kalau disuruh ngomong sama orang luar asrama yang normal. Kadang juga aku sering malas ketika sedang beraktivitas diluar kompleks asrama ini, karena aku susah untuk mengenali keadaan ketika berada dilingkungan yang baru. Apalagi kalau misalnya aku jatuh tiba-tiba nanti di tertawain sama orang. Makanya aku ya canggung takut salah aku juga ya gak mau ditertawain orang disekitar. Aku rasa minder kak. Kalau di asrama aku sama teman-teman sering main bareng jalan bareng, seru deh pokoknya. Tampak bahwa informan D mengalami hambatan dalam melakukan penyesuaian sosial pada lingkungan di luar asrama. Ia merasa lebih nyaman untuk berinteraksi dengan teman-teman yang memiliki kondisi yang sama dengannya. Berdasarkan kondisi di atas tampak ada perbedaan antara remaja yang tinggal di rumah maupun yang tinggal di asrama. Menurut Heward & Orlansky (1992: 142) seorang remaja low vision yang tidak bisa melakukan penyesuaian sosial dengan baik maka, akan ada hambatan dalam melakukan kegiatannya sehari-hari. Penyesuaian sosial yang buruk memiliki bahaya antara lain : anak merasa kesepian karena kebutuhan sosial mereka tidak terpenuhi, merasa tidak aman dan tidak bahagia, anak akan mengembangkan konsep diri yang tidak menyenangkan, hidup dalam ketidakpastian tentang reaksi sosial (Hurlock, 1978: 278).

16 Penyesuaian sosial akan terasa menjadi penting, manakala individu dihadapkan pada kesenjangan-kesenjangan yang timbul dalam hubungan sosialnya dengan orang lain. Betapa pun kesenjangan-kesenjangan itu dirasakan sebagai hal yang menghambat, akan tetapi sebagai makhluk sosial, kebutuhan individu akan pergaulan, penerimaan, dan pengakuan orang lain atas dirinya tidak dapat dielakan sehingga dalam situasi tersebut, penyesuaian sosial akan menjadi wujud kemampuan yang dapat mengurangi atau mengatasi kesenjangan-kesenjangan tersebut (Nurdin, 2009: 87-88). Seseorang yang low vision mengalami keterbatasan dalam menerima informasi. Kondisi normal informasi diperoleh dari indera penglihatan. Sedangkan pada remaja low vision informasi diterima melalui indera lain antara lain indera penciuman, peraba dan perasa. Pada studi yang dilakukan sebelumya oleh Lewis. S & Isselin (dalam Michael Farrell, 2012; 86 ) bahwa, angka persentase menunjukan bahwa hanya sedikit dari anak-anak yang mengalami low vision secara mandiri mampu untuk berinteraksi dengan lingkungan sekitar. Oleh sebab itu, penyesuaian sosial harus berhasil dilakukan oleh setiap anak, baik anak normal maupun anak yang memiliki kekurangan fisik seperti low vision untuk menjalankan tugas-tugas di masa remajanya.

17 Melihat fenomena yang telah disebutkan di atas penelitian ini memiliki kekhasan tersendiri, dimana pada penelitian ini peneliti ingin melihat tentang bagaimana perbedaan penyesuaian sosial pada remaja low vision yang tinggal di asrama dengan remaja low vision yang tinggal di rumah. 1.2. Batasan Masalah Fokus penelitian ini hanya pada perbedaan penyesuaian sosial remaja low vision yang tinggal di asrama dengan remaja low vision yang tinggal di rumah. a. Penyesuaian sosial Penyesuaian sosial merupakan keberhasilan seseorang untuk menyesuaikan diri terhadap orang lain pada umumnya dan terhadap kelompoknya pada khususnya ( Hurlock, 1978: 287). Namun pada penelitian ini hanya dikhususkan pada penyesuaian sosial dengan lingkungan sekitar dan teman sebaya. Untuk dapat mengukur penyesuaian sosial akan digunakan kriteria penyesuaian sosial meliputi penampilan nyata, penyesuaian diri terhadap kelompok teman sebayanya, sikap sosial, kepuasan pribadi (Hurlock, 1978: 287). b. Subjek penelitian

18 Subjek penelitian ini adalah anak low vision yang memiliki status sebagai anak asrama dan yang tinggal di rumah yang duduk di sekolah tingkat SMP dengan rentang usia 11-13 tahun, yang berada pada masa remaja menurut Santrock (2000: 375). Pemilihan subjek anak remaja dilakukan karena relasi antar teman sebaya dan mencari jati diri merupakan tugas perkembangan yang harus di lakukan. c. Jenis penelitian Jenis penelitian ini merupakan penelitian uji komparasi atau perbedaan remaja yang tinggal di asrama dan remaja yang tinggal di rumah. Peneliti dapat mengetahui apakah ada perbedaan dari kedua alternatif penyesuaian sosial pada remaja low vision. 1.3. Rumusan Masalah Apakah ada perbedaan penyesuaian sosial pada remaja low vision yang tinggal di asrama dengan remaja low vision yang tinggal di rumah?

19 1.4. Tujuan Penelitian Mengetahui apakah ada perbedaan penyesuaian sosial pada remaja low vision yang tinggal di asrama dengan remaja low vision yang tinggal di rumah. 1.5. Manfaat penelitian 1. Manfaat teoritis a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan ilmiah bagi pengembangan teori di bidang psikologi, khususnya dalam bidang psikologi perkembangan, psikologi pendidikan dan psikologi sosial yaitu penyesuaian sosial pada masa remaja, khususnya remaja low vision. b. Penelitian ini bermanfaat sebagai sumber acuan dalam mengadakan penelitian lanjutan. 2. Manfaat praktis a. Bagi subjek penelitian lainnya, Penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi mengenai low vision itu sendiri dan hal-hal yang terkait dengan penyesuaian sosial remaja low vision baik yang tinggal di lingkungan rumah maupun di sekolah.

20 b. Bagi orangtua, Penelitian ini diharapkan agar orangtua dapat melihat mana yang lebih baik antara tinggal di rumah atau di asrama, memotivasi serta mendukung remaja low vison di rumah agar bisa menyesuaikan diri dengan baik dilingkungan masyarakat dan sosial. c. Bagi guru Penelitian ini diharapkan dapat memperluas pemahaman mengenai penyesuaian sosial remaja low vision dan dukungan yang diperlukan remaja low vision agar tidak mengalami hambatan penyesuaian sosial.