PELAKSANAAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KEHUTANAN OLEH PENYIDIK POLRI DI WILAYAH HUKUM POLRES PADANG PARIAMAN. Skripsi

dokumen-dokumen yang mirip
SKRIPSI PERANAN PENYIDIK POLRI DALAM MENCARI BARANG BUKTI HASIL TINDAK PIDANA PENCURIAN KENDARAAN BERMOTOR RODA DUA DI WILAYAH HUKUM POLRESTA PADANG

BAB I PENDAHULUAN. lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. 4

Laporan Penelitian Implementasi Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 dalam Penanggulangan Pembalakan Liar

BAB I PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati di dunia. Indonesia dijuluki sebagai Megadiversity Country,

SKRIPSI PELAKSANAAN TEKNIK PEMBELIAN TERSELUBUNG OLEH PENYELIDIK DALAM TINDAK PIDANA PEREDARAN GELAP NARKOTIKA DI KOTA PADANG

SKRIPSI. PELAKSANAAN PENYIDIKAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENCABULAN TERHADAP ANAK (Studi Kasus di Polres Pasaman Barat)

BAB I PENDAHULUAN. maupun ilegal dan melebihi batas imbang ekologis serta masalah pembakaran

BAB V PENUTUP. 1. Penegakan hukum terhadap Illegal Logging di Kabupaten Bone Bolango

PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI DALAM TINDAK PIDANA KEHUTANAN. Oleh: Esti Aryani 1 Tri Wahyu Widiastuti 2. Abstrak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Bangsa Indonesia dikaruniai kekayaan alam, bumi, air, udara serta

BAB I PENDAHULUAN. Kejahatan sebagai fenomena sosial yang terjadi di muka bumi ini mungkin

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional.hal ini disebabkan hutan itu bermanfaat bagi sebesar-besarnya

DAFTAR KEPUSTAKAAN., Hukum Acara Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2010;, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2004;

Peran PPNS Dalam Penyidikan Tindak Pidana Kehutanan. Oleh: Muhammad Karno dan Dahlia 1

BAB I PENDAHULUAN. keselarasan hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. kepentingan itu mengakibatkan pertentangan, dalam hal ini yang

BAB I PENDAHULUAN. Di masa sekarang ini pemerintah Indonesia sedang giat-giatnya

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dengan yang lain. Manusia selalu ingin bergaul bersama manusia lainnya dalam. tersebut manusia dikenal sebagai makhluk sosial.

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan

FUNGSI KOORDINASI PENYIDIK POLISI DENGAN PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL KEHUTANAN DALAM PROSES PENYIDIKAN TINDAK PIDANA PEMBALAKAN LIAR

BAB I PENDAHULUAN. semua warga negara bersama kedudukannya di dalam hukum dan. peradilan pidana di Indonesia. Sebelum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

PENEGAKAN HUKUM ATAS PENEBANGAN LIAR DI CAGAR ALAM DURIAN LUNCUK I

I. PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati Indonesia menduduki posisi kedua setelah Columbia

BAB I PENDAHULUAN. dapat lagi diserahkan kepada peraturan kekuatan-kekuatan bebas dalam

BAB I PENDAHULUAN. hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. 1. perundang-undangan lain yang mengatur ketentuan pidana di luar KUHP

BAB I PENDAHULUAN. untuk dipenuhi. Manusia dalam hidupnya dikelilingi berbagai macam bahaya. kepentingannya atau keinginannya tidak tercapai.

Lex et Societatis, Vol. II/No. 2/Februari/2014

BAB IV HAMBATAN-HAMBATAN BAGI PENUNTUT UMUM DALAM MELAKUKAN PENUNTUTAN DILIHAT DARI PERAN KORBAN DALAM TERJADINYA TINDAK PIDANA

DASAR PERTIMBANGAN HAKIM MEMBERIKAN PUTUSAN BERSYARAT TERHADAP ANAK PEMAKAI NARKOTIKA DI PENGADILAN NEGERI KELAS 1A PADANG

PELAKSANAAN PERLINDUNGAN KHUSUS TERHADAP ANAK SEBAGAI KORBAN PENCABULAN MENURUT UU NO. 23 TAHUN 2002

PEMERINTAH KABUPATEN JEMBER

BAB I PENDAHULUAN. sesuai dengan norma hukum tentunya tidaklah menjadi masalah. Namun. terhadap perilaku yang tidak sesuai dengan norma biasanya dapat

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG IZIN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN KAYU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KUTAI,

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

DAMPAK KASUS ILLEGAL LOGGING

BAB I PENDAHULUAN. dimiliki oleh generasi sekarang tetapi juga dimiliki oleh generasi akan datang.

BAB I PENDAHULUAN. Manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya memerlukan sumberdaya

BAB I PENDAHULUAN. dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang untuk

I. PENDAHULUAN. pengobatan dan pelayanan kesehatan. Namun, dengan semakin berkembangnya zaman, narkotika

BAB I PENDAHULUAN. lazim disebut norma. Norma adalah istilah yang sering digunakan untuk

BAB III PENUTUP. dapat Penulis ambil kesimpulan sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN. itu merupakan suatu anugrah dari Tuhan Yang Maha Esa. Menurut UU RI No.

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BARITO UTARA NOMOR 11 TAHUN 2001 TENTANG IZIN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN KAYU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DRAFT SKRIPSI PELAKSANAAN PENYIDIKAN TERHADAP TINDAK PIDANA PENEBANGAN LIAR. (Studi Kasus Di Polres Aro Suka Solok)

I. PENDAHULUAN. ekonomi tinggi, serta hutan ikutan seperti getah, rotan, madu, buah-buahan. Selain

PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 20 TAHUN 2016 TENTANG PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI ACEH DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR ACEH,

BAB I PENDAHULUAN. pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang berbunyi Negara Indonesia adalah Negara Hukum.

BAB III PENUTUP. A. Kesimpulan. Dari uraian hasil penelitian dan analisa yang telah dilakukan oleh penulis,

BAB I PENDAHULUAN. pemberantasan atau penindakan terjadinya pelanggaran hukum. pada hakekatnya telah diletakkan dalam Undang-Undang Nomor 48 tahun

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG FAKULTAS HUKUM

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Anak merupakan generasi penerus bangsa indonesia, mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. baik. Perilaku warga negara yang menyimpang dari tata hukum yang harus

BAB I PENDAHULUAN. Penyelidikan merupakan bagian yang tidak dapat di pisahkan dari. penyidikan, KUHAP dengan tegas membedakan istilah Penyidik dan

PROSES PENYIDIKAN TINDAK PIDANA PENGANGKUTAN KAYU OLAHAN TANPA DILENGKAPI SURAT KETERANGAN SAHNYA HASIL HUTAN

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI UTARA TAHUN 2001 NOMOR 79 SERI C NOMOR 4 PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI UTARA NOMOR 48 TAHUN 2001

I. PENDAHULUAN. kerja dan mendorong pengembangan wilayah dan petumbuhan ekonomi.

AKTIFITAS ILLEGAL DI DALAM KAWASAN HUTAN. Penebangan Liar Pencurian Kayu Perambahan Hutan Perladangan Liar Pengembalaan Liar

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan penyidikan oleh Polisi

PELAKSANAAN PENYIDIKAN PENYALAHGUNAAN PSIKOTROPIKA OLEH PENYIDIK DI POLRESTA PADANG JURNAL. Oleh ZULFATRIADI NPM:

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perkembangan hukum akan selalu berkembang seiring dengan perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Meningkatnya kasus kejahatan pencurian kendaraan bermotor memang

PENULISAN HUKUM. Oleh : EMILLIA CITRA LESTARI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG FAKULTAS HUKUM

BAB I PENDAHULUAN. 1. Pemerintahan berdasarkan peraturan perundang- undangan. 2. Adanya pemisahan atau pembagian kekuasaan.

BAB III PENUTUP. pidana pembunuhan berencana yang menggunakan racun, yaitu: b. Jaksa Penuntut Umum membuat surat dakwaan yang merupakan dasar

PERATURAN DAERAH KOTA BIMA NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG PERLINDUNGAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BIMA,

I. PENDAHULUAN. Indonesia. Penerapan hukum dengan cara menjunjung tinggi nilai-nilai yang

BAB I PENDAHULUAN. alam baik itu berupa sumber daya tanah, air, udara dan sumber daya alam lainnya

BAB I PENDAHULUAN. sekali terjadi, bahkan berjumlah terbesar diantara jenis-jenis kejahatan terhadap

BAB I PENDAHULUAN. modern. Ini ditandai dengan kemajuan di bidang Ilmu Pengetahuan dan

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga

BAB I PENDAHULUAN. seperti hutan hujan tropis yang lebat dan kaya akan fauna dan flora langka. Indonesia

BAB III PENUTUP. Berdasarkan uraian dan analisis pada bab - bab sebelumnya, maka dapat. 1. Upaya yang dilakukan oleh Kepolisian Resort Sleman dalam

LEMBARAN DAERAH KOTA JAMBI

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yakni

I. PENDAHULUAN. segala bidanng ekonomi, kesehatan dan hukum.

I. PENDAHULUAN. dirasakan tidak enak oleh yang dikenai oleh karena itu orang tidak henti hentinya

BAB I PENDAHULUAN. kekerasan. Tindak kekerasan merupakan suatu tindakan kejahatan yang. yang berlaku terutama norma hukum pidana.

BAB III PENUTUP. bencana terhadap kehidupan perekonomian nasional. Pemberantasan korupsi

BAB I PENDAHULUAN. hukum, tidak ada suatu tindak pidana tanpa sifat melanggar hukum. 1

BAB VI KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN. kekerasan. Hal ini dapat dilihat dari tabel tentang jumlah kejahatan yang

BAB I PENDAHULUAN. perbuatan menyimpang yang ada dalam kehidupan masyarakat. maraknya peredaran narkotika di Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. Pertama, hal Soerjono Soekanto, 2007, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cetakan

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, sehingga harus diberantas 1. hidup masyarakat Indonesia sejak dulu hingga saat ini.

PRAPENUNTUTAN DALAM KUHAP DAN PENGARUH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA 1 Oleh: Angela A.

PEMBERIAN SURAT TANDA PENERIMAAN LAPORAN OLEH PIHAK KEPOLISIAN KEPADA PIHAK PELAPOR. (Studi di Polres Kota Batu) PENULISAN HUKUM

I. PENDAHULUAN. kaya, tua, muda, dan bahkan anak-anak. Saat ini penyalahgunaan narkotika tidak

BAB I PENDAHULUAN. Pidana bersyarat merupakan suatu sistem pidana di dalam hukum pidana yang

BAB I PENDAHULUAN. 1945) memberikan hak kepada setiap orang untuk mendapatkan lingkungan. sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN

I. PENDAHULUAN. disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk menentukan

BAB I PENDAHULUAN. tersebut dapat dilihat dari adanya indikasi angka kecelakaan yang terus

Mata Pencaharian Penduduk Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. tanggung jawab besar demi tercapainya cita-cita bangsa. Anak. dalam kandungan. Penjelasan selanjutnya dalam Undang-Undang

SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG HUTAN KOTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. setelah melalui proses pemeriksaan dan pemutusan perkaranya, akan merasa

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2001 TENTANG

Transkripsi:

PELAKSANAAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KEHUTANAN OLEH PENYIDIK POLRI DI WILAYAH HUKUM POLRES PADANG PARIAMAN Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Diajukan Oleh : MELDI SYOFIAN 07 140 030 PROGRAM KEKHUSUSAN: HUKUM PIDANA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ANDALAS PADANG 2011 No. Reg. 3387/PK IV/07/2011

PELAKSANAAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KEHUTANAN OLEH PENYIDIK POLRI DI WILAYAH HUKUM POLRES PADANG PARIAMAN ( Meldi Syofian, Nomor BP 07140030, Fakultas Hukum Unand, 62 halaman, 2011) ABSTRAK Seiring perkembangan zaman dan semakin meningkatnya kebutuhan manusia, maka kelestarian hutan mulai terganggu. Seperti kenyataan yang kita lihat maraknya kasus penebangan liar atau yang lebih dikenal dengan istilah illegal logging. Ketentuan tentang penyidikan terhadap kejahatan di bidang kehutanan diatur dalam Pasal 77 UU Kehutanan. Penyidikan merupakan tahap pemeriksaan permulaan oleh pejabat-pejabat yang ditunjuk oleh undang-undang setelah adanya pelanggaran hukum, oleh karena dalam tahap penyidikan seseorang dapat ditentukan sebagai tersangka yang dapat dikenakan sanksi pidana atau tidak. Pelaksanaan penyidikan sangat penting dalam menanggulangi tindak pidana kehutanan dan menjaring para pelaku tindak pidana kehutanan. Dalam penelitian ini mencoba melihat pelaksanaan penyidikan tindak pidana kehutanan oleh penyidik Polri di wilayah hukum Polres Padang Pariaman, kendala-kendala yang ditemui dalam pelaksanaan penyidikan tindak pidana kehutanan oleh penyidik Polri, dan upaya yang akan dilakukan oleh penyidik Polri untuk mengatasi kendala yang ditemui dalam pelaksanaan penyidikan tindak pidana kehutanan. Metode yang digunakan adalah yuridis sosiologis, yaitu metode pendekatan yang digunakan dengan melihat norma hukum dan peraturan dikaitkan dengan praktek dilapangan. Dari hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa penyidik Polri secara umum sudah melaksanakan penyidikan tindak pidana kehutanan dengan baik, ini dilihat dari tahun 2009-2011 sekarang hanya 27 kasus illegal logging. Kendala yang ditemui dalam penyidikan yaitu masih kurangnya sarana dan prasarana, masih kurangnya partisipasi masyarakat dalam upaya pelaksanaan penyidikan, luas wilayah tidak seimbang dengan jumlah personil Polri, banyak terdapat perbedaan presepsi batas sepadan antara tanah ulayat dengan hutan Negara serta tempat atau medan magnet yang sulit untuk ditempuh. Upaya yang dilakukan untuk mengatsai kendala tersebut lebih mengintensifkan koordinasi dengan aparat penegak hukum terkait dan kegiatan patroli bersama dikawasan yang tingkat illegal logging nya tinggi dan memberikan keyakinan dan perlindungan hukum kepada masyarakat agar dapat berpatisipasi dengan aparat penyidik Polri dalam membantu pelaksanaan penyidikan tindak pidana illegal logging. Maka dari itu diharapkan penyidik Polri lebih meningkatkan kinerjanya untuk mengurangi adanya tindak pidana ini, dengan adanya pembinaan dan pelatihan yang lebih baik sehingga penyidik Polri terhindar dari kendala-kendala yang ada selama ini.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hutan merupakan ciptaan tuhan yang tiada nilainya. Setiap ciptaan tuhan pasti ada manfaatnya, terutama bagi kehidupan. Baik itu manfaat bagi manusia maupaun manfaat bagi zat hidup lainnya sebagai bagian dari ciptaan tuhan. Selain bermanfaat bagi kehidupan, hutan juga mempunyai fungsi pokok yaitu sosio ekonomi, hidrorologi dan estetika. Fungsi sosio ekonomi menetapkan hutan sebagai bagian dari upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan jalan memanfaatkan hutan dengan sebaikbaiknya. Pemanfaatan hutan dengan kaidah-kaidah dan norma-norma yang berlaku menjadikan hutan akan lebih lestari dan akan bermanfaat bagi kepetingan generasi yang akan datang. 1 Fungsi hidrorologi menempatkan hutan sebagai tonggak dan penopang pengatur tata air dan perlindungan tanah, yang pada prinsipnya merupakan bagian yang terpenting dan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan. Sedangkan fungsi estetika menetapkan hutan sebagai pelindung alam dan lingkungan dan menjadikan hutan sebagai paru-paru dunia. Perkembangan penduduk yang semakin hari semakin pesat menuntut adanya ketersedian kebutuhan yang juga meningkat dari waktu ke waktu. Salah satu contohnya adalah kebutuhan masyarakat akan kayu sebagai bahan baku kebutuhan pokok, dimana hutan 1 Djoko Wijanto. 2004. Dampak Illegal Logging Terhadap Fungsi Sosio Ekonomi, Bogor. hal. 1-2

merupakan sumber kayu bagi kehidupan masyarakat. Pasal 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, dimana di dalam pasal 1 tersebut dinyatakan bahwa hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi oleh pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan. Kelestarian hutan ini harus tetap kita jaga karena banyak sekali manfaat yang kita peroleh dari hutan tersebut, antara lain yaitu manfaat yang diperoleh secara langsung dari hutan, kayu (untuk bangunan dan bahan bakar), bahan obat dan penyegar, makanan langsung (seperti buah-buahan, buruan), bahan pakaian (serat, ulat sutera), manfaat bagi industri, industri kayu, industri kertas (pulp). industri farmasi (kosmestik), getah, miyak (cengkeh, kayu putih), serta tempat rekreasi, olahraga, spiritual, sosial budaya dan ketahanan nasioanal. Besar manfaat yang dapat diambil dari hutan menjadikan hutan sebagai sasaran yang sangat potensial bagi sebagian besar masyarakat untuk meraih keuntungan dari hutan, dan sebaliknya apabila tidak dilestarikannya hutan dan melakukan penebangan liar tanpa menggunakan kaidah dan norma-norma yang berlaku yang disebut illegal logging maka hutan akan kehilangan fungsi pokoknya, akibatnya banyak terjadi banjir, tanah longsor, turunnya mutu tanah yang berakibat semakin menyempitnya areal hutan, berkurangnya pendapatan masyarakat disekitar hutan, dan dampak selanjutnya adalah berkurangnya kemampuan biosfer C02 yang berakibat pada penambahan tinggi suhu

dipermukaan bumi atau sering disebut sebagai pemanasan global, sehingga tidak menempatkan lagi hutan sebagai paru-paru dunia. Dewasa ini kejahatan di bidang kehutanan itensitasnya semakin meningkat dan telah mengakibatkan kerugian terhadap Negara terutama dalam menghadapi maraknya pelaku pemanfaatan hutan illegal seperti dalam kasus penebangan liar dalam Pasal 50 ayat (3) huruf e, perambahan hutan dalam Pasal 50 ayat (3) huruf b, dan perburuan liar dalam Pasal 50 ayat (3) huruf a. Salah satu permasalahan yang sangat krusial adalah masalah penebangan liar atau yang lebih dikenal dengan istilah illegal logging. Beberapa tahun terakhir, luas hutan tropis Indonesia yang 120,35 juta hektar atau 63 persen luas daratan, terus menyusut. Berdasarkan hasil analisis FWI dan GFW dalam kurun waktu 50 tahun, luas tutupan hutan Indonesia mengalami penurunan sekitar 40 persen dari total tutupan hutan di Indonesia. Menurut data departemen kehutanan tahun 2006, luas hutan yang rusak dan tidak berfungsi lagi optimal telah mencapai 59,6 juta hektar dari 120,35 juta hektar kawasan hutan di Indonesia, dengan laju deforestasi dalam 5 tahun terakhir mencapai 2,83 juta hektar per tahun, dimana Sumatera dan Kalimantan sudah kehilangan hutannya. Faktor utama penyebab kerusakan hutan, tak lain maraknya illegal logging. 2 Tidak dapat dipungkiri bahwa illegal logging merupakan suatu hal yang sedang berkembang pesat di Indonesia saat ini. Dalam perkembangannya 2 Dede Nurdin S, tth, Pola Penegakan Hukum Satu Atap Sebagai Alternatif Kelembagaan Penegakan Hukum Pembalakan Haram (Illegal logging), Indonesia Center Environmental Law (www.icel.or.id)

illegal logging menajdi kejahatan yang berskala besar, terorganisir, dan mempunyai jaringan yang sangat besar. Salah satu permasalahan disektor kehutanan tersebut adalah proses penegakan hukum, akan tetapi hal ini pun belum bisa diharap banyak, banyak kejadian dilapangan yang membuktikan lemahnya penegakan hukum tesebut. Maka upaya untuk melaksanakan penyidikan tindak pidana illegal logging semakin sulit dan menjadi prioritas. Menghadapi persoalan tersebut diatas upaya penegakan hukum menjadi penting. Penyidikan merupakan tahap pemeriksaan permulaan oleh pejabatpejabat yang ditunjuk oleh undang-undang setelah adanya pelanggaran hukum dan merupakan tahap awal yang menentukan dalam proses penegakan hukum terhadap tindak pidana kehutanan, karena dalam tahap ini seseorang dapat ditentukan sebagai tersangka pelaku tindak pidana yang dapat dikenakan sanksi tindak pidana atau tidak. Peran Polri dalam penyidikan tindak pidana kehutanan sangat penting sebagai upaya dalam penegakan hukum pidana dibidang kehutanan. Keberadaan Polri merupakan unjung tombak penegakan hukum kejahatan kehutanan, memang sangat diharapkan dapat menjaring para pelaku illegal logging agar terwujud pengelolaan hutan yang aman, lestari dan berkesinambungan. Secara faktual dilapangan bahwa penanganan tindak pidana kehutanan masih sering dirasakan berlarut-larut dan dalam beberapa hal masih ditemukan kendala. Namun demikian Polri harus dapat memposisikan diri agar mampu menghadapi tantangan serta tugas penyidikan. Untuk dapat mengungkap kasus

kejahatan maka seorang Polri harus memiliki keberanian, menguasai materi hukum dan memanfaatkan jaringan kerja melalui koordinasi dengan aparat penegak hukum lainnya. Tolak ukur keberhasilan penyidik Polri dalam kegiatan penyidikan dengan demikian adalah kemampuan menangani setiap tindak pidana kehutanan melalui pemrosesan tersangka, barang bukti dan olah Tempat Kejadian Perkara (TKP) dengan optimal sehingga kasus tersebut bisa diproses oleh pengadilan dan pada gilirannya tersangka dapat dituntut hukuman yang optimal. Penyidikan tindak pidana kehutanan ini tidak dapat berjalan dengan sendirinya dan membutuhkan peran serta masyarakat yang artinya masyarakat ikut serta dalam melaksanakan tegaknya hukum dan mewujudkan apa yang hendak dicapai dari hukum tersebut. Dengan melihat persoalan dan latar belakang di atas maka Penulis terdorong untuk mengetahui lebih jauh lagi mengenai pelaksanaan penyidikan tindak pidana kehutanan oleh penyidik Polri di wilayah hukum polres Padang Pariaman dan pejabat penyidik dari dinas kehutanan dimana penyidik kehutanan harus berkoordinasi dengan penyidik Polri dalam setiap kegiatan yang dilakukan oleh penyidik kehutanan harus dibawah pengawasan penyidik Polri, itu dapat dilihat dari kondisi hutan di Kabupaten Padang Pariaman setiap tahunnya mengalami kerusakan yang diantaranya disebabkan oleh kegiatan perambahan hutan atau penebangan liar, dari kerusakan hutan tersebut maka hutan Padang Pariaman mengalami penurunan seluas 310 Ha yaitu 42.430 Ha yang menyebabkan terjadinya lahan kritis di kawasan hutan Padang Pariaman tersebut, jadi aparat penegak hukum di Polres Padang Pariaman bekerja secara

optimal untuk bisa menegakan hukum di Polres Padang Pariaman dengan cara menyelidiki, menangkap dan memberikan hukuman sesuai dengan perbuatan yang dilakukan oleh para pelaku tindak pidana penebangan liar tersebut guna untuk memberikan efek jera kepada para pelaku penebangan liar itu, dan kendala-kendala yang ditemui dalam pelaksnaan penyidikan tindak pidana kehutanan serta upaya untuk mengatasi kendala-kendala yang ditemui dalam pelaksanaan penyidikan tindak pidana kehutanan oleh penyidik polri di wilayah hukum Polres Padang Pariaman tersebut. Dengan penguraian diatas penulis teratrik untuk melakukan penelitian dan penulisan sebuah skripsi yang berjudul: PELAKSANAAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KEHUTANAN OLEH PENYIDIK POLRI DI WILAYAH HUKUM POLRES PADANG PARIAMAN B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah dan judul di atas maka penulis mengajukan beberapa perumusan masalah yaitu: A. Bagaimanakah pelaksanaan penyidikan tindak pidana kehutanan oleh penyidik Polri di wilayah hukum Polres Padang Pariaman? B. Apakah kendala-kendala yang ditemui dalam pelaksanaan penyidikan tindak pidana kehutanan oleh penyidik Polri di wilayah hukum Polres Padang Pariaman? C. Apakah upaya yang akan dilakukan oleh penyidik Polri untuk mengatasi kendala yang ditemui dalam pelaksanaan penyidikan tindak pidana kehutanan di wilayah hukum Polres Padang Pariaman?

C. Tujuan Penelitian Sesuai dengan judul dan perumusan masalah yang telah penulis kemukakan di atas, maka tujuan yang hendak dicapai penulis dalam kegiatan penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui pelaksanaan penyidikan kasus tindak pidana kehutanan oleh penyidik Polri di wilayah hukum Polres Padang Pariaman. 2. Untuk mengetahui kendala-kendala yang ditemui dalam pelaksanaan penyidikan tindak pidana kehutanan di wilayah hukum Polres Padang Pariaman. 3. Untuk mengetahui upaya yang akan dilakukan oleh penyidik Polri untuk mengatasi kendala yang ditemui dalam pelaksanaan penyidikan tindak pidana kehutanan di wilayah hukum Polres Padang Pariaman. D. Manfaat Penelitian Melalui pelaksanaan penelitian ini, penulis berharap semoga hasil penelitian yang penulis lakukan nantinya dapat memberi manfaat untuk berbagai pihak, maka manfaat yang diharapkan penulis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Manfaat secara teoritis a. Untuk melengkapi salah satu syarat dan tugas mengikuti ujian sarjana bagi penulis di fakultas hukum Universitas Andalas. b. Untuk memberikan manfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan pada umumnya dan dibidang hukum pidana pada khususnya serta

memperdalam ilmu hukum pidana yang telah penulis peroleh selama ini dibangku kuliah. 2. Manfaat secara praktis a. Untuk memberikan informasi kepada masyarakat mengenai tindak pidana kehutanan. b. Memberikan masukan kepada aparat penegak hukum lainnya mengenai tindak pidana kehutanan.

BAB IV PENUTUP A. KESIMPULAN 1. Pelaksanaan penyidikan tindak pidana kehutanan yang ditangani oleh penyidik Polri di Polres Padang Pariaman secara umum sudah berjalan dengan baik, dari tahun 2009-2011 hingga sekarang hanya 27 kasus illegal logging, dan kasus yang dilimpahkan ke JPU hanya 3 kasus sedangkan 1 kasus lagi diserahkan ke POM, padahal UU Kehutanan mengamanatkan dengan tegas apa yang menjadi wewenang penyidik Polri sebagai penyidik tindak pidana kehutanan. 2. Kendala-kendala yang ditemui dalam pelaksanaan penyidikan tindak pidana kehutanan antara lain, masih kurangnya peraturan perundangundangan mengenai tindak pidana ini, sarana dan prasarana masih kurang, masih kurangnya partisipasi dari masyarakat dalam upaya pelaksanaan penyidikan tindak pidana illegal logging, luas wilayah dengan jumlah personil Polri tidak seimbang, banyak terdapat perbedaan presepsi batas sepadan antara tanah ulayat dengan hutan Negara (hutan lindung), serta tempat atau medan yang sulit untuk ditempuh dalam melaksanakan penyidikan tindak pidana illegal logging.

3. Upaya yang dilakukan oleh penyidik Polri untuk mengatasi kendala yang ditemui dalam pelaksanaan penyidikan anatara lain, mengintensifkan koordinasi, pengawasan dan kegiatan patroli bersama dengan aparat terkait dikawasan yang tingkat illegal logging nya tinggi, memberikan keyakinan dan perlindungan hukum kepada masyarakat agar dapat berpatisipasi dengan aparat penyidik Polri dalam membantu pelaksanaan penyidikan tindak pidana illegal logging, membutuhkan tambahan sarana dan prasarana yang masih kurang di Polres Padang Pariaman, luas wilayah yang tidak seimbang dengan jumlah penyidik Polri yang ada di Polres Padang Pariaman, perbedaan persepsi antara tanah ulayat dan hutan lindung, dan tempat atau medan yang sangat sulit untuk ditempuh. B. SARAN 1. Penyidik Polri sebagai ujung tombak penegak hukum kejahatan di bidang kehutanan harus lebih dikedepankan lagi sebagai penyidik tindak pidana kehutanan. Kedepan, penyidik Polri diharapkan dapat menajdi aparat penegak hukum yang profesional yang mampu menangani kasus tindak pidana kehutanan lebih banyak lagi. Tentu saja hal ini bisa terwujud melalui proses pembelajaran dan pemberdayaan dengan dukungan perlengakapan dan fasilitas yang sesuai dengan kebutuhan tugas. 2. Perlu adanya tambahan sarana dan prasarana yang memadai, partisipasi atau kerjasama antara penyidik Polri dengan masyarakat, serta jumlah

personil yang cukup sehingga dapat medukung pelaksnaan penyidikan tindak pidana kehutanan. 3. Perlu adanya koordinasi, pengawasan dan patroli bersama antara Polri dan dinas terkait sehingga lebih terpantaunya tindak pidana kehutanan yang terjadi diwilayah yang tingkat illegal logging nya tinggi.

DAFTAR PUSTAKA A. BUKU Andi Hamzah. 2001, Hukum Acara Pidana Indonesia. Sinar Grafika, Jakarta. Abdul hakim. 2005, Pengantar Hukum Kehutanan Indonesia dalam Era Otonomi Daerah. P.T. Cipta Bakti, Bandung. Adami Chazawi, 2002, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, Rajawali Pers, Jakarta. Bambang Waluyo, 2008, Penelitian Hukum Dalam Praktek. Sinar Grafika, Jakarta. Djoko Prakoso. 1987, Polri Sebagai Penyidik dalam Penegakan Hukum. Bina Aksara, Jakarta. M. Yahya Harahap. 2008, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta. Rien G. Kartasapoetra, 1998, Pengantar Ilmu Hukum Lengkap, Bina Aksara, Jakarta. Salim, H.S, 2003, Dasar-dasar Hukum Kehutanan, Sinar Grafika, Jakarta. Siswanto Sunarso, 2005, Hukum Pidana Lingkungan Hidup Dan Strategi Penyelesaian Sengketa, PT Rineka Cipta, Jakarta. Soerjono Soekanto, 2005, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Sukardi, 2009, Penyidikan Tindak Pidana Tertentu, Restu Agung, Jakarta.

B. JURNAL, KARYA ILMIAH, KAMUS Andiko Is blogging On My Opera, Berita Resmi Statistik No. 14 VII./16 Februari 2004. Departemen Pendidikan Nasional. 2005, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka, Jakarta. Primapena. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Terbaru, Gita Mediaperss, Jakarta. C. UNDANG-UNDANG Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1967 tentang Undang- Undang Pokok Kehutanan. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1985 tentang Perlindungan Hutan. Rancangan Peraturan Perlindungan (RPP) tentang Perlindungan Hutan Tahun 2001.