I. PENDAHULUAN. asasi manusia dipertaruhkan. Bagaimana akibatnya jika seorang yang didakwa. yang ada disertai keyakinan Hakim, padahal tidak benar.

dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN. sebutan Hindia Belanda (Tri Andrisman, 2009: 18). Sejarah masa lalu Indonesia

TINJAUAN PUSTAKA. sumber utama dalam pembuktian. Mengatur macam-macam alat bukti yang sah

I. PENDAHULUAN. jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi

I. PENDAHULUAN. didasarkan atas surat putusan hakim, atau kutipan putusan hakim, atau surat

ANALISIS YURIDIS PENGGUNAAN BARANG BUKTI TERHADAP PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA PENCURIAN DENGAN KEKERASAN (STUDI PUTUSAN NOMOR 215/PID.B/2013/PN.

BAB I PENDAHULUAN. hukum, tidak ada suatu tindak pidana tanpa sifat melanggar hukum. 1

selalu berulang seperti halnya dengan musim yang berganti-ganti dari tahun ke

BAB I PENDAHULUAN. yang telah tercakup dalam undang-undang maupun yang belum tercantum dalam

I. PENDAHULUAN. hukum sebagai sarana dalam mencari kebenaran, keadilan dan kepastian hukum. Kesalahan,

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

BAB I LATAR BELAKANG. yang diajukan oleh warga masyarakat. Penyelesaian perkara melalui

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan

BAB I PENDAHULUAN. lazim disebut norma. Norma adalah istilah yang sering digunakan untuk

I. PENDAHULUAN. mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna

I. PENDAHULUAN. disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk menentukan

I. PENDAHULUAN. Hakim memiliki peranan penting dalam suatu proses persidangan yaitu. mengambil suatu keputusan hukum dalam suatu perkara dengan

I. PENDAHULUAN. terpuruknya sistem kesejahteraan material yang mengabaikan nilai-nilai

II. TINJAUAN PUSTAKA. sehingga mereka tidak tahu tentang batasan umur yang disebut dalam pengertian

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan

BAB I PENDAHULUAN. semua warga negara bersama kedudukannya di dalam hukum dan. peradilan pidana di Indonesia. Sebelum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

Lex Crimen Vol. IV/No. 8/Okt/2015

I. PENDAHULUAN. dirasakan tidak enak oleh yang dikenai oleh karena itu orang tidak henti hentinya

BAB I PENDAHULUAN. pidana adalah kebenaran materil, yang menjadi tujuan dari hukum acara pidana itu

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3)

BAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat.

I. PENDAHULUAN. nyata. Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk kejahatan juga senantiasa mengikuti perkembangan

II. TINJAUAN PUSTAKA. nampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam berperkara dimuka

I. PENDAHULUAN. Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 Perubahan ke-4 Undang-Undang Dasar Hal ini. tindakan yang dilakukan oleh warga negara Indonesia.

I. PENDAHULUAN. pidana, dan pidana (sanksi). Di Indonesia, pengaturan hukum pidana materiil

I. PENDAHULUAN. dan sejahtera tersebut, perlu secara terus-menerus ditingkatkan usaha-usaha pencegahan dan

BAB I PENDAHULUAN. mendorong terjadinya krisis moral. Krisis moral ini dipicu oleh ketidakmampuan

BAB I PENDAHULUAN. dapat lagi diserahkan kepada peraturan kekuatan-kekuatan bebas dalam

I. PENDAHULUAN. Sebagaimana telah diketahui bahwa penegakkan hukum merupakan salah satu

peradilan dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa, mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Dalam hal ini, untuk

I. PENDAHULUAN. adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materi terhadap perkara tersebut. Hal

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tata Cara Pelaksanaan Putusan Pengadilan Terhadap Barang Bukti

I. PENDAHULUAN. Hak asasi manusia merupakan dasar dari kebebasan manusia yang mengandung

I. PENDAHULUAN. perundang-undangan yang berlaku. Kemandirian dan kemerdekaan dalam

PERAN DAN KEDUDUKAN AHLI PSIKIATRI FORENSIK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam Penjelasan Undang Undang Dasar 1945, telah dijelaskan

BAB 1 PENDAHULUAN. terhadap yang dilakukan oleh pelakunya. Dalam realita sehari - hari, ada

AKIBAT HUKUM PERALIHAN TANGGUNG JAWAB PENYIDIK ATAS BENDA SITAAN 1 Oleh : Noldi Panauhe 2

BAB I PENDAHULUAN. Pasal 28, Pasal 28A-J Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

I. PENDAHULUAN. pengeledahan, penangkapan, penahanan dan lain-lain diberi definisi dalam. Berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP),

BAB II PENAHANAN DALAM PROSES PENYIDIKAN TERHADAP TERSANGKA ANAK DIBAWAH UMUR. penyelidikan yang merupakan tahapan permulaan mencari ada atau tidaknya

I. PENDAHULUAN. Anak sebagai bagian dari generasi muda merupakan penerus cita-cita perjuangan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (Selanjutnya disebut KUHP), dan secara

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga

I. PENDAHULUAN. Tindak pidana korupsi merupakan salah satu kejahatan yang merusak moral

NILAI KEADILAN DALAM PENGHENTIAN PENYIDIKAN Oleh Wayan Rideng 1

BAB I PENDAHULUAN. penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi. pidana atau tidak yang dilakukan terdakwa.

BAB I PENDAHULUAN. melalui media massa maupun media elektronik seperti televisi dan radio.

BAB I PENDAHULUAN. karena kehidupan manusia akan seimbang dan selaras dengan diterapkannya

I. PENDAHULUAN. karna hukum sudah ada dalam urusan manusia sebelum lahir dan masih ada

I. PENDAHULUAN. Hukum acara pidana merupakan perangkat hukum pidana yang mengatur tata cara

I. PENDAHULUAN. berkaitan satu sama lainnya. Hukum merupakan wadah yang mengatur segala hal

BAB I PENDAHULUAN. perundang-undangan yang berlaku. Salah satu upaya untuk menjamin. dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana ( KUHAP ).

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada

BAB III PENUTUP. serta pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa peranan hakim adalah

KAJIAN TERHADAP PENYITAAN SEBAGAI PEMAKSAAN YANG DIHALALKAN OLEH HUKUM

NASKAH PUBLIKASI KEKUTAN PEMBUKTIAN BUKTI ELEKTRONIK DALAM PERSIDANGAN PIDANA UMUM

BAB I PENDAHULUAN. Penyelidikan merupakan bagian yang tidak dapat di pisahkan dari. penyidikan, KUHAP dengan tegas membedakan istilah Penyidik dan

I. PENDAHULUAN. Negara Republik Indonesia. Kepolisian adalah hak-ihwal berkaitan dengan fungsi

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 1 ayat (3)

I. PENDAHULUAN. pelaksanaannya diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan

I. PENDAHULUAN. undang-undang ini, berdasarkan Pasal 1 angka 5 KUHAP. Sedangkan Penyelidik. untuk kepentingan penyelidikan dengan syarat:

I. PENDAHULUAN. Tindak pidana pemalsuan uang mengandung nilai ketidak benaran atau palsu atas

BAB I PENDAHULUAN. Hukum materiil seperti yang terjelma dalam undang undang atau yang

I. PENDAHULUAN. hukum serta Undang-Undang Pidana. Sebagai suatu kenyataan sosial, masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang

PRAPERADILAN SEBAGAI UPAYA KONTROL BAGI PENYIDIK DALAM PERKARA PIDANA

I. PENDAHULUAN. dengan alat kelamin atau bagian tubuh lainnya yang dapat merangsang nafsu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Didalam proses perkara pidana terdakwa atau terpidana

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

SURAT TUNTUTAN (REQUISITOIR) DALAM PROSES PERKARA PIDANA

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan, baik bidang hukum, sosial, politik, ekonomi dan budaya. Dari

BAB I PENDAHULUAN. tidak mendapat kepastian hukum setelah melalui proses persidangan di

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak

Jurnal Ilmiah Universitas Batanghari Jambi Vol.16 No.3 Tahun 2016

dikualifikasikan sebagai tindak pidana formil.

BAB I PENDAHULUAN. Pertama, hal Soerjono Soekanto, 2007, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cetakan

PEMBUKTIAN DAN PUTUSAN PENGADILAN DALAM ACARA PIDANA 1 Oleh: Susanti Ante 2

BAB I PENDAHULUAN. suatu perkara disandarkan pada intelektual, moral dan integritas hakim terhadap

I. PENDAHULUAN. meminta. Hal ini sesuai dengan ketentuan Konvensi Hak Anak (Convention on the

Pemeriksaan Sebelum Persidangan

BAB I PENDAHULUAN. negara harus berlandaskan hukum. Dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. landasan konstitusional bahwa Indonesia adalah negara yang berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan dan teknologi, mengakibatkan kejahatan pada saat ini cenderung

I. PENDAHULUAN. formil. Hukum pidana materiil di Indonesia secara umum diatur di dalam Kitab

BAB I PENDAHULUAN. peradilan adalah untuk mencari kebenaran materiil (materiile waarheid)

BAB I PENDAHULUAN. positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa/

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum.

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah Negara hukum, hal ini tercantum dalam Pasal 1 ayat (3)

I. PENDAHULUAN. Penanganan dan pemeriksaan suatu kasus atau perkara pidana baik itu pidana

BAB I PENDAHULUAN. sekali terjadi, bahkan berjumlah terbesar diantara jenis-jenis kejahatan terhadap

Transkripsi:

1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembuktian tentang benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan merupakan bagian yang terpenting dalam acara pidana, dimana hak asasi manusia dipertaruhkan. Bagaimana akibatnya jika seorang yang didakwa dinyatakan terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan berdasarkan alat bukti yang ada disertai keyakinan Hakim, padahal tidak benar. 1 Berkaitan dengan pembuktian Hukum Acara Pidana mengenal asas-asas yang menjadi dasar pemeriksaan, yaitu asas praduga tak bersalah dan asas kebenaran materiil. Hal ini menjadi dasar pemeriksaan karena untuk melindungi hak asasi manusia yang dimiliki setiap orang. 2 Setiap orang yang terlibat dalam perkara pidana harus dianggap belum bersalah sebelum adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahan itu, asas ini disebut asas praduga tak bersalah. Asas kebenaran materiil adalah suatu asas yang menghendaki bahwa dalam pemeriksaan perkara pidana lebih mementingkan pada penemuan kebenaran materiil (materiale warheid) yakni kebenaran yang sesungguhnya sesuai kenyataan. 3 Seperti halnya pembuktian ada untuk mendapatkan kebenaran yang sebenar-benarnya dalam peradilan. 1 Andi Hamzah, 2008, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika, hlm. 249 2 Tri Andrisman, 2010, Hukum Acara Pidana, Bandarlampung, Penerbit Universitas Lampung, hlm. 14 3 Ibid,

2 Pembuktian dalam Hukum Acara Pidana adalah suatu upaya mendapatkan keterangan-keterangan melalui alat-alat bukti dan barang bukti, guna memperoleh suatu keyakinan atas benar tidaknya perbuatan pidana yang didakwakan serta dapat mengetahui ada tidaknya kesalahan pada diri terdakwa. 4 Untuk kepentingan pembuktian tersebut maka sangat diperlukan kehadiran benda-benda yang berkaitan dengan suatu tindak pidana, lazimnya benda-benda tersebut disebut sebagai Barang Bukti. Istilah barang bukti di dalam KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) tidak ditafsirkan secara eksplisit da lam Pasal 1, tetapi istilah barang bukti terdapat dalam Pasal 21 ayat (1), Pasal 45 ayat (2), Pasal 46 ayat (2) dan Pasal 181. Barang bukti adalah hasil serangkaian tindakan penyidik dalam penyitaan, dan atau penggeledahan dan atau pemeriksaan surat untuk mengambil alih dan atau menyimpan dibawah penguasaannya benda bergerak atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan. 5 Barang bukti juga dikenal dengan istilah benda sitaan karena barang bukti diperoleh melalui proses penyitaan oleh penyidik, yang berfungsi untuk kepentingan pembuktian dalam proses penyidikan, penuntutan, dan peradilan. 6 Pasal 42 ayat (1) menjelaskan bahwa Penyidik berwenang memerintahkan kepada orang yang menguasai benda yang dapat disita, menyerahkan benda 4 Ibid, hlm. 62 5 Hari Sasangka dan Lily Rosita, 2003, Hukum Pembuktian dalam Perkara Pidana, Bandung, Mandar Maju, hlm. 99 6 Barang Bukti, http://repository.usu.ac.id, diakses pada [04/09/2014]

3 tersebut kepadanya untuk kepentingan pemeriksaan dan kepada yang menyerahkan benda itu harus diberikan surat tanda penerimaan. Barang-barang yang bisa dilakukan penyitaan untuk kepentingan pemeriksaan atau pembuktian, menurut Pasal 39 ayat (1) KUHAP adalah : a. Benda atau tagihan yang diduga berasal dari tindak pidana; b. Benda-benda yang digunakan untuk melakukan tindak pidana; c. Benda yang dipakai menghalang-halangi penyidikan tindak pidana; d. Benda yang khusus dibuat atau diperuntukan melakukan tindak pidana; e. Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana. fungsi barang bukti dalam sidang pengadilan adalah sebagai berikut: 1. Menguatkan kedudukan alat bukti yang sah (Pasal 184 ayat (1) KUHAP); 2. Mencari dan menemukan kebenaran materiil atas perkara sidang yang ditangani; 3. Setelah barang bukti menjadi penunjang alat bukti yang sah maka barang bukti tersebut dapat menguatkan keyakinan Hakim atas kesalahan yang didakwakan Jaksa Penuntut Umum. 7 Alat bukti adalah segala sesuatu yang ada hubungannya dengan perbuatan, dimana dengan alat-alat bukti tersebut, dapat dipergunakan sebagai bahan pembuktian guna menimbulkan keyakinan Hakim atas kebenaran adanya suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh terdakwa. 8 7 Flora Dianti, Perbedaan Barang Bukti dengan Alat Bukti, http://www.hukumonline.com/,diakses pada [03/09/2014] 8 Hari Sasangka dan Lily Rosita, Op.Cit, hlm. 11

4 Pasal 183 KUHAP mengatur bahwa untuk menentukan pidana kepada terdakwa, kesalahannya harus terbukti dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dan atas keterbuktian dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah tersebut, Hakim memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Alat-alat bukti yang sah diatur dalam Pasal 184 KUHAP sebagai berikut : (1) Alat bukti yang sah adalah : a. Keterangan saksi; b. Keterangan ahli; c. Surat; d. Petunjuk; e. Keterangan Terdakwa (2) Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan. Apabila dilihat dari ketentuan yang diatur dalam pasal 181 KUHAP tentang pemeriksaan barang bukti, seakan-akan hanya bersifat formal saja. Padahal secara material barang bukti seringkali sangat berguna bagi Hakim untuk menyandarkan keyakinannya. 9 Beberapa contoh kasus dibawah ini akan menggambarkan pentingnya peranan barang bukti dalam persidangan. Beberapa waktu lalu kasus pencurian sepasang sendal jepit oleh seorang anak marak diberitakan dimedia, karena terdapat beberapa kejanggalan dalam pemeriksaan di persidangan. Kasus pencurian sendal jepit berwarna putih dengan merek Eiger milik Briptu Ahmad Rusdi Harahap yang dilakukan oleh Anjar 9 Ibid, hlm. 100

5 Andreas Lagaronda, seorang siswa Sekolah Menengah Kejuruan di Palu, Sulawesi Tengah. 10 Kejanggalan dalam pemeriksaan di persidangan tersebut yang menjadi masalah adalah barang bukti yang dihadirkan oleh jaksa penuntut umum yaitu sepasang sandal jepit. Barang bukti sepasang sandal jepit tersebut adalah barang bukti yang keliru, dimana ketika Hakim menyuruh memasangkan sendal tersebut di kaki saksi korban ternyata sendal tersebut ukurannya lebih kecil dari kaki saksi korban. 11 Hakim tetap memutuskan perkara tersebut dengan Nomor Putusan 31/Pid.Anak/2011/PN.PL. Isi putusan Hakim bahwa terdakwa Anjar Andreas Lagaronda tetap bersalah secara sah dan meyakinkan telah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya untuk dikembalikan kepada orang tuanya, karena menurut pengakuan terdakwa, terdakwa benar mengaku bahwa dia yang mencuri sendal jepit tersebut. Akan tetapi pada putusannya, Hakim menyuratkan ketidakyakinan perihal milik siapa sandal jepit tersebut yang dihadirkan di persidangan, yang dijadikan barang hasil tindak pidana sesuai dengan yang terdapat didalam surat dakwaan. 12 Kasus di atas menggambarkan sikap penyidik yang tidak bertanggungjawab dalam mencari barang bukti, hal ini tidak sepatutnya dilakukan. Kasus berikutnya masih mengenai barang bukti, yaitu kasus Pencurian Sepeda Motor dengan Nomor Putusan 307/Pid.B/2013/PN.Kpj. Terdakwa Poniran terbukti bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum. Terdakwa Poniran 10 Kejamnya Keadilan, http://nasional.kompas.com, diakses pada [06/09/2014] 11 Ibid, 12 Ibid,

6 mencuri satu unit sepeda motor Honda Gl. Pro warna hitam No. Polisi E6407LA tahun 1996 milik Harianto. Pada kasus ini diketahui yang menjadi barang bukti dalam persidangan adalah satu unit sepeda motor Jenis Honda Gl. Pro warna hitam dengan No. Polisi E 6407 LA tahun 1996. 13 Terdakwa Poniran terbukti secara sah meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana pencurian dalam keadaan memberatkan (Pasal 363 ayat (1) ke-4 KUHP) dan dijatuhi pidana penjara selama 1 tahun 3 bulan. Dalam kasus tersebut, barang bukti yang dihadirkan dalam persidangan sangat kuat sehingga Hakim memperoleh keyakinan dalam memutus perkara tersebut. Beberapa kasus diatas menjadi contoh bagaimana barang bukti yang sah dan yang tidak sah, atau dibuat - buat. Pada kasus dengan Nomor Putusan 215 /Pid.B /2013/PN.KLD, penulis ingin melakukan penelitian terhadap putusan tersebut, dimana diketahui bahwa dalam kasus tersebut terdakwa bernama Rifai dan rekannya Herdian (Daftar Pencarian Orang) melakukan tindak pidana pencurian dengan kekerasan di wilayah Tegineneng, Lampung Selatan. Terdakwa Rifai beserta rekannya berhasil merampas satu unit sepeda motor jenis Honda Beat dengan Nomor Polisi BE 7642 FQ tahun 2011 berserta Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK), 2 buah Handphone dan sejumlah uang milik korban. Terdakwa didakwa dengan Pasal 365 ayat (1) dan (2) ke-1, 2 KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana). Kejanggalan dalam kasus ini yaitu pada barang bukti yang dihadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum. 13 http://putusan.mahkamahagung.go.id, diakses pada [06/09/2014]

7 Barang bukti tersebut adalah dua buah pelat Nomor Polisi BE 7642 FQ dan dua buah baju, satu baju bermotif kotak-kotak warna hitam dan satu kaos berwarna coklat. Barang bukti ini dirasa belum kuat untuk membuktikan perkara tersebut. Seharusnya yang menjadi barang bukti adalah satu unit sepeda motor jenis Honda Beat dengan Nomor Polisi BE 7642 FQ tahun 2011. Akan tetapi dalam kasus ini hanya pelat Nomor Polisinya saja. Penilaian Hakim terhadap keabsahan barang bukti dinilai kurang memenuhi unsur-unsur pembuktian dalam menyamakan pelat Nomor Polisi dengan Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) dan keterangan saksi. Hal ini yang ingin diteliti oleh penulis, dengan judul Analisis Yuridis Penggunaan Barang Bukti Terhadap Pembuktian Tindak Pidana Pencurian Dengan Kekerasan (Studi Putusan No. 215/Pid.B/2013/PN.KLD). B. Permasalahan Ruang Lingkup 1. Permasalahan Berdasarkan uraian pada latar belakang, maka permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Bagaimanakah kedudukan barang bukti dalam proses peradilan pidana? 2. Bagaimana keabsahan barang bukti oleh Hakim dalam memutus perkara No. 215/Pid.B/2013/PN.KLD? 2. Ruang Lingkup Ruang lingkup penelitian ini adalah kajian dalam Hukum Pidana formil yang membahas mengenai penggunaan barang bukti terhadap pembuktian tindak pidana pencurian dengan kekerasan (Studi Putusan Nomor.

8 215/Pid.B/2013/PN.KLD). Wilayah penelitian yaitu bertempat di wilayah hukum Pengadilan Negeri Kalianda meliputi Pengadilan Negeri Kalianda, Kejaksaan Negeri Kalianda dan POLSEK Tegineneng. Penelitian dilaksanakan pada Tahun 2014. C. Tujuan dan Kegunaan 1. Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang, rumusan masalah dan pokok bahasan di atas, maka tujuan dalam penelitian ini yaitu : a. Untuk mengetahui dan memahami kedudukan barang bukti dalam proses peradilan pidana. b. Untuk mengetahui keabsahan barang bukti oleh Hakim dalam memutus Putusan No. 215/Pid.B/2013/PN.KLD 2. Kegunaan Penelitian Dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai berikut : 1. Kegunaan Teoritis Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan kajian ilmu pengetahuan hukum khususnya di dalam Hukum Pidana, dalam rangka memberikan penjelasan mengenai Penggunaan Barang Bukti Terhadap Pembuktian Tindak Pidana Pencurian Dengan Kekerasan. 2. Kegunaan Praktis Kegunaan secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan bagi rekan-rekan mahasiswa selama mengikuti program perkuliahan Hukum

9 Pidana khususnya pada Fakultas Hukum Universitas Lampung dan masyarakat umum mengenai Penggunaan Barang Bukti Terhadap Pembuktian Tindak Pidana Pencurian Dengan Kekerasan. D. Kerangka Teoritis dan Konseptual 1. Kerangka Teoritis Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang merupakan abstraksi dan hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan identifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan oleh peneliti. 14 Adapun teori yang digunakan penulis dalam penelitian ini, yaitu mencakup teori pembuktian. Pembuktian merupakan bagian dari Hukum Acara Pidana yang mengatur macammacam alat bukti yang sah menurut hukum, sistem dan tata cara mengajukan bukti tersebut serta kewenangan Hakim untuk menerima, menolak dan menilai suatu pembuktian. 15 Menurut Van Bummelen, berkaitan dengan hal membuktikan adalah memberikan kepastian yang layak menurut akal (redelijk) tentang : a) Apakah hal yang tertentu itu sungguh-sungguh terjadi; b) Apa sebabnya demikian halnya. 16 14 Soerjono Soekanto, 2010, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, UI Press, hlm.125 15 Hari Sasangka dan Lily Rosita, Op.Cit, hlm. 10 16 Ibid, hlm. 11

10 Senada dengan hal tersebut, Martiman Prodjohamidjojo mengemukakan membuktikan mengandung maksud dan usaha untuk menyatakan kebenaran atas suatu peristiwa, sehingga dapat diterima akal terhadap kebenaran peristiwa tersebut. 17 Pembuktian merupakan kekuatan-kekuatan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang tata cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang dan yang boleh dipergunakan oleh Hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan. 18 Apabila dilihat dari ketentuan yang diatur dalam Pasal 181 KUHAP tentang pemeriksaan barang bukti, seakan-akan hanya bersifat formal saja. Padahal secara material barang bukti seringkali sangat berguna bagi Hakim untuk menyandarkan keyakinannya. Hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang untuk mengadili. Hakim menjamin tegaknya kebenaran materiil, keadilan dan kepastian hukum bagi seseorang maka dasar yang digunakan oleh Hakim dalam menjatuhkan putusan harus mengacu pada Undang-Undang No. 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yaitu Pasal 183 yang berbunyi : 17 Ibid, 18 Yahya Harahap, 1993, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Jilid 2, Jakarta, Sinar Grafika, hlm. 793

11 Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. 2. Konseptual Kerangka konseptual merupakan kerangka yang menghubungkan atau menggambarkan konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan dari arti yang berkaitan dengan istilah. 19 Supaya tidak terjadi kesalahpahaman pada pokok permasalahan, maka penulis memberikan beberapa konsep yang dapat dijadikan acuan sebagai pegangan dalam memahami tulisan ini. Berdasarkan judul yaitu Analisis Yuridis Penggunaan Barang Bukti Terhadap Pembuktian Tindak Pidana Pencurian Dengan Kekerasan (Studi Putusan No. 215/Pid.B/2013/PN.KLD). Adapun pengertian istilah-istilah yang dipergunakan dalam penulisan ini adalah : a. Analisis adalah penguraian suatu pokok atas berbagai bagiannya dan penelaahan bagian itu sendiri serta hubungan antar bagian untuk memperoleh pengertian yang tepat dan pemahaman arti keseluruhan. 20 b. Barang bukti adalah barang mengenai mana delik dilakukan (objek delik) dan barang dengan mana delik dilakukan yaitu alat yang dipakai untuk melakukan delik misalnya pisau yang dipakai menikam orang. Termasuk juga barang bukti ialah hasil dari delik, misalnya uang negara yang dipakai (Korupsi) 19 Soerjono Soekanto, 2010, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, UI Press, hlm. 32 20 Tim Penyususn Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1997, hlm. 32

12 untuk membeli rumah pribadi, maka rumah pribadi itu merupakan barang bukti, atau hasil delik. 21 c. Pelat Nomor Polisi atau Tanda Nomor Kendaraan dalam Pasal 1 ayat (7) Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2012 tentang Penerbitan Rekomendasi Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor dan Tanda Nomor Kendaraan Bermotor Khusus dan Rahasia Bagi Kendaraan Bermotor Dinas, yaitu tanda berbentuk pelat, yang dipasang pada kendaraan bermotor, berfungsi sebagai bukti regristrasi yang sah dan identifikasi kendaraan bermotor berisikan nomor regristrasi dan masa berlaku yang ditertibkan oleh POLRI dengan spesifikasi teknis tertentu. d. Pembuktian dalam Hukum Acara Pidana adalah suatu upaya mendapatkan keterangan-keterangan melalui alat-alat bukti dan barang bukti guna memperoleh suatu keyakinan atas benar tidaknya perbuatan pidana yang didakwakaan serta dapat mengetahui ada tidaknya kesalahan pada diri terdakwa. 22 e. Tindak pidana menurut Simons adalah tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan yang oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum. 23 21 Andi Hamzah, Op.cit, hlm. 100 22 Tri Andrisman, Op.cit, hlm. 62 23 Tongat, 2009, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia Dalam Perspektif Pembaharuan, Malang, UMM Press, hlm.105

13 f. Pencurian dengan kekerasan (geweld) adalah suatu perbuatan mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya ataupun sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, yang didahului, disertai atau diikuti dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, terhadap orang, dengan maksud mempersiapkan atau mempermudah pencurian, atau dalam hal tertangkap tangan, untuk memungkinkan melarikan diri sendiri atau peserta lainnya, atau untuk tetap menguasai barang yang dicuri. 24 E. Sistematika Penulisan I. PENDAHULUAN Bab pendahuluan ini, penulis menguraikan mengenai latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan. II. TINJAUAN PUSTAKA Bab ini berisi tentang kerangka teori dan konseptual. Kerangka teori meliputi tinjauan umum tentang Hukum Acara Pidana yang berkaitan dengan keabsahan penggunaan barang bukti tindak pidana pencurian dengan kekerasan. Sedangkan konseptual meliputi pengertian dari istilah-istilah yang digunakan dalam penelitian. III. METODE PENELITIAN Bab ini memuat metode yang digunakan dalam penulisan yang menjelaskan mengenai langkah-langkah yang digunakan dalam pendekatan masalah, yaitu dalam memperoleh dan mengklasifikasikan sumber dan jenis data, serta prosedur 24 Ibid,.hlm. 166

14 pengumpulan data dan pengolahan data, kemudian dari data yang telah terkumpul dilakukan analisis data dengan bentuk uraian. IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Bab ini menyajikan hasil penelitian dan pembahasan berdasarkan rumusan masalah, yaitu bagaimana keabsahan barang bukti oleh Majelis Hakim dalam memutus perkara No. 215/Pid.B/2013/PN.KLD. V. PENUTUP Bab ini merupakan kumpulan tulisan mengenai kesimpulan dan saran-saran yang berhubungan dengan permasalahan yang ada.