SKRIPSI SARI UKURTHA BR. TARIGAN NIM

dokumen-dokumen yang mirip
Proses Penularan Penyakit

BAB I PENDAHULUAN. Akibat yang paling fatal bagi penderita yaitu kecacatan permanen yang sangat. mengganggu produktivitas (Widoyono, 2008).

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Filariasis (penyakit kaki gajah) adalah penyakit menular yang

Bab I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh cacing filaria dan ditularkan oleh nyamuk Mansonia, Anopheles,

BAB 1 PENDAHULUAN. disebabkan oleh infeksi cacing filaria dan ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. penyakit menular menahun yang disebabkan oleh infeksi cacing filaria dan ditularkan

BAB 1 PENDAHULUAN. Deklarasi Milenium yang merupakan kesepakatan para kepala negara dan

BAB 1 PENDAHULUAN. kaki gajah, dan di beberapa daerah menyebutnya untut adalah penyakit yang

BAB I PENDAHULUAN. penyakit yang disebabkan oleh infeksi cacing filaria yang penularannya melalui

BAB I PENDAHULUAN. Prioritas pembangunan kesehatan dalam rencana strategis kementerian

IDENTIFIKASI FILARIASIS YANG DISEBABKAN OLEH CACING NEMATODA WHECERERIA

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan yang disebabkan oleh berjangkitnya penyakit-penyakit tropis. Salah satu

BAB I PENDAHULUAN. yang disebabkan infeksi cacing filaria yang ditularkan melalui gigitan

BAB 1 : PENDAHULUAN. Filariasis adalah penyakit yang disebabkan oleh cacing filaria yang

BAB I PENDAHULUAN.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pada tahun 2013 jumlah kasus baru filariasis ditemukan sebanyak 24 kasus,

BAB 4 HASIL PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. klinis, penyakit ini menunjukkan gejala akut dan kronis. Gejala akut berupa

BAB 1 PENDAHULUAN. Filariasis atau yang dikenal juga dengan sebutan elephantiasis atau yang

BAB I PENDAHULUAN. menular (emerging infection diseases) dengan munculnya kembali penyakit menular

BAB I PENDAHULUAN. 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pada anggota badan terutama pada tungkai atau tangan. apabila terkena pemaparan larva infektif secara intensif dalam jangka

Analisis Spasial Distribusi Kasus Filariasis di Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun

BAB I PENDAHULUAN. menetap dan berjangka lama terbesar kedua di dunia setelah kecacatan mental (WHO,

Juli Desember Abstract

Prevalensi pre_treatment

BAB 1 PENDAHULUAN. agar peningkatan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dapat

FAKTOR DOMINAN YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN FILARIASIS DI KOTA PADANG TAHUN

Filariasis cases In Tanta Subdistrict, Tabalong District on 2009 After 5 Years Of Treatment

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

TUGAS PERENCANAAN PUSKESMAS UNTUK MENURUNKAN ANGKA KESAKITAN FILARIASIS KELOMPOK 6

BAB I. Pendahuluan. A. latar belakang. Di indonesia yang memiliki iklim tropis. memungkinkan nyamuk untuk berkembang biak dengan baik

DESCRIPTION OF KNOWLEDGE, ATTITUDE AND BEHAVIOR OF THE PEOPLE AT NANJUNG VILLAGE RW 1 MARGAASIH DISTRICT BANDUNG REGENCY WEST JAVA ABOUT FILARIASIS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Faktor Risiko Kejadian Filarisis Limfatik di Kecamatan Maro Sebo Kabupaten Muaro Jambi

BAB I PENDAHULUAN. Tenggara. Terdapat empat jenis virus dengue, masing-masing dapat. DBD, baik ringan maupun fatal ( Depkes, 2013).

ABSTRAK. Pembimbing I : Rita Tjokropranoto, dr., M.Sc Pembimbing II : Hartini Tiono, dr.,m. Kes

PENYAKIT-PENYAKIT DITULARKAN VEKTOR

BAB 1 RANGKUMAN Judul Penelitian yang Diusulkan Penelitian yang akan diusulkan ini berjudul Model Penyebaran Penyakit Kaki Gajah.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Filariasis merupakan penyakit zoonosis menular yang banyak

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

FAKTO-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN FILARIASIS DI PUSKESMAS TIRTO I KABUPATEN PEKALONGAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Filariasis limfatik merupakan penyakit tular vektor dengan manifestasi

BAB I PENDAHULUAN. Chikungunya merupakan penyakit re-emerging disease yaitu penyakit

BAB I PENDAHULUAN. Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh plasmodium yang

BAB I PENDAHULUAN. lebih dari 2 miliar atau 42% penduduk bumi memiliki resiko terkena malaria. WHO

RISIKO KEJADIAN FILARIASIS PADA MASYARAKAT DENGAN AKSES PELAYANAN KESEHATAN YANG SULIT

HUBUNGAN MOTIVASI KERJA DENGAN KINERJA PETUGAS MALARIA PUSKESMAS DI DAERAH ENDEMIS DAN NON ENDEMIS MALARIA KABUPATEN MANDAILING NATAL TAHUN 2008

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

HUBUNGAN DUKUNGAN KELUARGA DENGAN PENCEGAHAN FILARIASIS DI RASAU JAYA II KABUPATEN KUBU RAYA ABSTRAK

URIC ACID RELATIONSHIP WITH BLOOD SUGAR PATIENTS TYPE 2 DIABETES MELLITUS THE EXPERIENCE OF OBESITY

BAB I PENDAHULUAN. dijumpai adalah Plasmodium Falciparum dan Plasmodium. Vivax. Di Indonesia Timur yang terbanyak adalah Plasmodium

BAB I PENDAHULUAN. serta semakin luas penyebarannya. Penyakit ini ditemukan hampir di seluruh

BAB I PENDAHULUAN. distribusinya kosmopolit, jumlahnya lebih dari spesies, stadium larva

KEEFEKTIFAN MODEL PENDAMPINGAN DALAM MENINGKATKAN CAKUPAN OBAT PADA PENGOBATAN MASSAL FILARIASIS

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

Gambaran Pengobatan Massal Filariasis ( Studi Di Desa Sababilah Kabupaten Barito Selatan Kalimantan Tengah )

PENGOBATAN FILARIASIS DI DESA BURU KAGHU KECAMATAN WEWEWA SELATAN KABUPATEN SUMBA BARAT DAYA

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Haemorhagic Fever

HUBUNGAN FAKTOR GEOGRAFIS DAN SOSIAL BUDAYA DENGAN RENDAHNYA KUNJUNGAN K-4 01 PUSKESMAS KUTALIMBARU KABUPATEN DELI SERDANG TAHUN 2005 SKRIPSI.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Rencana Nasional Program Akselerasi Eliminasi Filariasis di Indonesia. No ISBN :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. daerah tropis antara lain adalah malaria dan filariasis merupakan masalah

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh virus dengue. Virus dengue merupakan famili flaviviridae

BAB I PENDAHULUAN. miliar atau 42% penduduk bumi memiliki risiko terkena malaria. WHO mencatat setiap tahunnya

Yahya* *Loka Penelitian dan Pengembangan Pemberantasan Penyakit Bersumber Binatang, Baturaja Jl. A.Yani KM. 7 Kemelak Baturaja Sumatera Selatan 32111

BAB I PENDAHULUAN. Turki dan beberapa Negara Eropa) beresiko terkena penyakit malaria. 1 Malaria

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit demam berdarah dengue merupakan penyakit yang disebabkan oleh

BAB 1 PENDAHULUAN. Malaria merupakan salah satu penyakit tropik yang disebabkan oleh infeksi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Kelurahan Kayubulan Kecamatan Limboto terbentuk/lahir sejak tahun 1928 yang

GAMBARAN PEMBERIAN OBAT MASAL PENCEGAHAN KAKI GAJAH DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS WELAMOSA KECAMATAN WEWARIA KABUPATEN ENDE TAHUN ABSTRAK

BAB 1 PENDAHULUAN. Di dalam bab ini akan dibahas tentang latar belakang penelitian, masalah

ABSTRAK GAMBARAN PENYAKIT FILARIASIS DI KABUPATEN BEKASI, PROVINSI JAWA BARAT PERIODE

ANALISIS PRAKTIK PENCEGAHAN FILARIASIS DAN MF-RATE DI KOTA PEKALONGAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit yang disebabkan

BAB I PENDAHULUAN. harus dipenuhi oleh setiap bangsa dan negara. Termasuk kewajiban negara untuk

ABSTRAK STUDI KASUS PENENTUAN DAERAH ENDEMIS FILARIASIS DI DESA RANCAKALONG KABUPATEN SUMEDANG JAWA BARAT TAHUN 2008

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penyakit Filariasis Limfatik atau penyakit Kaki Gajah merupakan salah

BAB 1 : PENDAHULUAN. yang akan memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial ekonomis.

BAB I PENDAHULUAN. I.1.Latar Belakang. Filariasis limfatik atau Elephantiasis adalah. penyakit tropis yang disebabkan oleh parasit di mana

UPAYA KELUARGA DALAM PENCEGAHAN PRIMER FILARIASIS DI DESA NANJUNG KECAMATAN MARGAASIH KABUPATEN BANDUNG

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. endemik malaria, 31 negara merupakan malaria-high burden countries,

BAB I. dalam kurun waktu yang relatif singkat. Penyakit menular umumnya bersifat akut

BAB I PENDAHULUAN. hingga tahun 2009, World Health Organization (WHO) mencatat Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang

GAMBARAN KARAKTERISTIK PENDERITA FILARIASIS DI DESA SANGGU KABUPATEN BARITO SELATAN KALIMANTAN TENGAH

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai risiko tinggi tertular Demam Dengue (DD). Setiap tahunnya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu

POLA KONSUMSI PANGAN PENDERITA JANTUNG KORONER RAWAT JALAN DI RUMAH SAKIT UMUM KABANJAHE TAHUN 2007 SKRIPSI OLEH

BAB 1 PENDAHULUAN. anak-anak.penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) sampai saat ini masih

BAB 1 PENDAHULUAN. kesehatan masyarakat di dunia termasuk Indonesia. Penyakit ini mempengaruhi

BAB 1 PENDAHULUAN. sejak lama tetapi kemudian merebak kembali (re-emerging disease). Menurut

Transkripsi:

Pengaruh Karakteristik Kepala Keluarga Terhadap Tindakan Pencegahan Penyakit Filariasis Di Desa Kemingking Dalam Kecamatan Maro Sebo Kabupaten Muaro Jambi Tahun 2007 SKRIPSI OLEH : SARI UKURTHA BR. TARIGAN NIM.051000544 FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2007

PENGARUH KARAKTERISTIK KEPALA KELUARGA TERHADAP TINDAKAN PENCEGAHAN PENYAKIT FILARIASIS DI DESA KEMINGKING DALAM KECAMATAN MARO SEBO KABUPATEN MUARO JAMBI TAHUN 2007 Skripsi Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat Oleh : SARI UKURTHA BR. TARIGAN NIM.051000544 FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2007

HALAMAN PENGESAHAN Skripsi Dengan Judul PENGARUH KARAKTERISTIK KEPALA KELUARGA TERHADAP TINDAKAN PENCEGAHAN PENYAKIT FILARIASIS DI DESA KEMINGKING DALAM KECAMATAN MARO SEBO KABUPATEN MUARO JAMBI TAHUN 2007 Telah Diuji dan Dipertahankan Dihadapan Tim Penguji Skripsi Pada Tanggal 25 Juli 2007 dan Dinyatakan Telah Memenuhi Syarat Untuk Diterima Tim Penguji : Ketua Penguji Penguji I Prof. dr. H. Aman Nasution, MPH DR. Dra. Ida Yustina, Msi NIP. 140 019 774 NIP. 131 996 170 Penguji II Penguji III dr. Heldy B.Z, MPH dr. Fauzi, SKM NIP. 131 124 052 NIP. 140 052 649 Medan, 26 September 2007 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara Dekan, dr. Ria Masniari Lubis, Msi NIP. 131 124 053` Filariasis Di Desa Kemingking Dalam Kecamatan Maro Sebo i Kabupaten Muaro Jambi Tahun 2007. 2007

ABSTRAK Di Propinsi Jambi filariasis masih merupakan masalah kesehatan masyarakat. Hasil survei cepat yang dilakukan pada tahun 2002 tercatat sebanyak 205 kasus kronis. Kabupaten Muaro Jambi merupakan salah satu kabupaten di propinsi Jambi yang kasus kronis filariasisnya terbesar sehingga perlu penanganan yang lebih intensif. Terjadinya penularan filariasis sangat dipengaruhi oleh lingkungan, perilaku dan pengetahuan masyarakat. Penelitian ini bersifat survey explanatory yang bertujuan untuk menjelaskan pengaruh karakteristik kepala keluarga (umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan, tingkat pengetahuan dan sikap) terhadap tindakan pencegahan penyakit filariasis di desa Kemingking Dalam tahun 2007. Populasi penelitian ini adalah semua kepala keluarga yang ada di desa Kemingking Dalam sebanyak 554 kk, dan sampel berjumlah 85 kk yang diambil secara random. Data primer dihimpun melalui metode wawancara, dan analisis data dilakukan dengan teknik uji regresi ganda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel karakteristik kepala keluarga yang mempunyai pengaruh terhadap tindakan dalam pencegahan penyakit filariasis adalah pendidikan (p = 0,000), pekerjaan (p = 0,001), dan pengetahuan (p = 0,014). Hasil ini menunjukkan tindakan pencegahan filariasis dipengaruhi oleh karakteristik kepala keluarga, dan di antara karakteristik tersebut yang relatif paling dominan adalah variabel pendidikan (p = 0,000). Untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang penyakit filariasis di harapkan pemerintah agar lebih meningkatkan Komunikasi, Informasi dan Edukasi yang optimal dan terpadu juga disertai dengan peningkatan upaya promosi melalui penyuluhan-penyuluhan dengan mengikutsertakan para penderita filariasis, tokoh agama, tokoh adat dan lembaga swadaya masyarakat sehingga masyarakat dapat lebih memahami dan mengetahui tindakan yang baik dan benar tentang pencegahan penyakit filariasis. Kata kunci : Filariasis,Tindakan pencegahan.

DAFTAR RIWAYAT HIDUP Nama : Sari Ukurtha Br Tarigan Tempat/tanggal lahir : Medan, 22 Maret 1971 Agama : Kristen Protestan Status Perkawinan : Sudah Menikah Jumlah Anak : 2 Nama Suami : Drs. Sueri Sinuraya Alamat Rumah : Jl. SM. Raja Desa Ujung Serdang No. 31 Medan. Alamat Kantor : Puskesmas Talang Banjar Kota Jambi. Riwayat Pendidikan : 1978-1984 : SD Inpres Ujung Serdang 1984-1987 : SMP Negeri I Tanjung Morawa 1987-1990 : SMA Negeri Tanjung Morawa 1991-1995 : Akademi Analis Kesehatan RSU. Glugur Medan 2005-2007 : Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara Riwayat Pekerjaan : 1999-Sekarang : Staf Puskesmas Talang Banjar Kota Jambi

KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, atas berkat dan karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul Pengaruh Karakteristik Kepala Keluarga Terhadap Tindakan Pencegahan Penyakit Filariasis di Desa Kemingking Dalam Kecamatan Maro Sebo Kabupaten Muaro Jambi Tahun 2007, guna memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana kesehatan masyarakat. Selanjutnya dalam penyusunan dan penulisan skripsi ini, penulis telah banyak mendapat bimbingan dan arahan dari berbagai pihak untuk itu pada kesempatan ini perkenankanlah penulis menyampaikan terimakasih kepada : 1. Ibu dr. Ria Masniari Lubis, MSi selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara. 2. Ibu Dr. Dra Ida Yustina, MSi selaku Ketua Departemen Administrasi dan Kebijakan Kesehatan dan juga selaku Dosen Pembimbing II yang dengan baik dan sabar membimbing dan mengarahkan penulis. 3. Bapak Prof. dr. H. Aman Nasution MPH, selaku Dosen Pembimbing I yang telah memberikan banyak saran dan masukan selama penyusunan skripsi 4. Ibu Eka Lestari Mahyuni SKM, MKes, selaku pembimbing akademik yang telah memperhatikan penulis selama masa perkuliahan.

5. Seluruh Bapak/Ibu Dosen dan seluruh Staf di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara, khususnya peminatan Administrasi dan Kebijakan Kesehatan. 6. Bapak Bustami selaku kepala desa Kemingking Dalam yang telah memberikan ijin kepada penulisan untuk melakukan penelitian di desa ini. 7. Kepala Puskesmas Kemingking Dalam dan seluruh staff Puskesmas yang telah memberikan bantuan dan dukungan dalam pelaksanaan penelitian selama penulis mengadakan penelitian di Desa Kemingking Dalam. 8. Buat teman-temanku di AKK dan Mahasiswa ekstension stambuk 2005 yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Secara khusus penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada suami yang telah banyak memberikan dorongan dan dukungan baik moril maupun material juga dorongan dan doa dari kedua orang tua sehingga penulis dapat menyelesaikan studi di FKM USU. Akhirnya penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, untuk itu kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak sangat penulis harapkan dan semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca. Medan, Juli 2007 Penulis,

Sari Ukurtha Tarigan DAFTAR ISI Halaman Persetujuan... Abstrak. ii Daftar Riwayat Hidup... iii Kata Pengantar... iv Daftar Isi... vi Daftar Tabel... viii Daftar Gambar... BAB I PENDAHULUAN... 1 1.1. Latar Belakang... 1 1.2. Masalah Penelitian... 7 1.3. Tujuan Penelitian... 7 1.4. Manfaat Penelitian... 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA... 8 2.1. Penyakit Filariasis... 8 2.1.1. Definisi... 8 2.1.2. Cara Masuk Mikrofilaria ke dalam Tubuh... 8 2.1.3. Epidemiologi... 8 2.1.4. Penyebab Filariasis di Indonesia... 10 2.1.5. Hospes... 10 2.1.6. Vektor... 12 2.1.7. Daur Hidup... 13 2.1.8. Gejala Klinis... 14 2.2. Keadaan Lingkungan Sosial dan Budaya... 15 2.3. Penentuan Desa Endemis Filaria... 16 2.4. Pencegahan Filariasis... 17 2.4.1. Pengobatan Masal... 17 2.4.2. Eliminasi... 18 2.5. Perilaku Penduduk... 19 2.5.1. Pengetahuan... 20 i x

2.5.2. Sikap... 21 2.5.3. Tindakan... 22 2.6. Kerangka Konsep... 23 2.7. Hipotesis Penelitian... 24 BAB III METODE PENELITIAN... 25 3.1. Jenis Penelitian... 25 3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian... 25 3.2.1. Lokasi Penelitian... 25 3.2.2. Waktu Penelitian... 25 3.3. Populasi dan Sampel... 25 3.3.1. Populasi... 25 3.3.2. Sampel... 26 3.4. Metode Pengumpulan Data... 27 3.5. Definisi Operasional... 27 3.6. Aspek Pengukuran... 28 3.6.1. Aspek Pengukuran Variabel bebas... 28 3.6.2. Aspek Pengukuran Varibel Terikat... 31 3.7. Teknik Analisa Data... 31 BAB IV. Hasil Penelitian... 32 4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian... 32 4.2. Karakteristik Responden... 32 4.3. Pengetahuan Responden... 34 4.4. Sikap Responden... 36 4.5. Tindakan Responden Dalam Pencegahan Penyakit Filariasis... 37 4.6. Analisa Statistik... 39 BAB V. Pembahasan... 42 5.1. Pengaruh Pendidikan Terhadap Tindakan Pencegahan Penyakit Filariasis... 42 5.2. Pengaruh Pekerjaan Terhadap Tindakan Pencegahan Penyakit Filariasis... 43 5.3. Pengaruh Pengetahuan Terhadap Tindakan Pencegahan Penyakit Filariasis... 44 5.4. Variabel Lain... 46 BAB VI. Kesimpulan dan Saran... 48 6.1. Kesimpulan... 48 6.2. Saran... 49 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

DAFTAR TABEL Tabel 1.1. Tabel 1.2. Tabel 3.1. Tabel 4.1. Tabel 4.2. Tabel 4.3. Tabel 4.4. Tabel 4.5. Tabel 4.6 Distribusi Penderita Filariasis di Kabupaten Muaro Jambi Tahun 2006 Distribusi Penderita Filariasi di Kabupaten Muaro Jambi Tahun 2002 2004 Aspek Pengukuran Variabel Bebas Distribusi Responden Berdasarkan Karakteristik Kepala Keluarga ( Umur, Jenis Kelamin, Pendidikan, Pekerjaan di Desa Kemingking Dalam Kecamatan Maro Sebo Kabupaten Muaro Jambi Tahun 2007 Distribusi Responden Berdasarkan Pengetahuan ( Pengertian, Penyebab dan Tindakan Pencegahan Filariasis) di Desa Kemingking Dalam Kecamatan Maro Sebo Kabupaten Muaro Jambi Tahun 2007 Distribusi Responden Berdasarkan Pengetahuan Tentang Penyakit Filariasis di Desa Kemingking Dalam Kecamatan Maro Sebo Kabupaten Muaro Jambi Tahun 2007. Distribusi Responden Berdasarkan Setuju, Kurang Setuju atau Tidak Setuju Terhadap Tindakan Pencegahan Penyakit Filariasis di Desa Kemingking Dalam Kecamatan Maro Sebo Kabupaten Muaro Jambi Tahun 2007 Distribusi Responden Berdasarkan Sikap Terhadap Tindakan Pencegahan Penyakit Filariasis di Desa Kemingking Dalam Kecamatan Maro Sebo Kabupaten Muaro Jambi Tahun 2007 Distribusi Responden Berdasarkan Tindakan Pencegahan Penyakit Filariasis di Desa Kemingking Dalam Kecamatan Maro Sebo Kabupaten Muaro Jambi Tahun 2007 Tabel 4.7 Distribusi Responden Berdasarkan Tidakan Pencegahan Penyakit

Filariasis di Desa Kemingking Dalam Kecamatan Maro Sebo Kabupaten Muaro Jambi Tahun 2007 Tabel 4.8 Nilai Determinan Karakteristik Kepala Keluarga Terhadap Tindakan Pencegahan Penyakit Filariasis di Desa Kemingking Dalam Kecamatan Maro Sebo Kabupaten Muaro Jambi Tahun 2007 Tabeli 4.9 Hasil Uji Regresi Linear Berganda Pengaruh Karakteristik Kepala Keluarga Terhadap Tidakan Pencegahan Penyakit Filariasis di Desa Kemingking Dalam Kecamatan Maro Sebo Kabupaten Muaro Jambi Tahun 2007

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan kesehatan masyarakat merupakan bagian integral dari pembangunan nasional karena upaya memajukan bangsa Indonesia tidak akan efektif apabila tidak memiliki dasar yang kuat yaitu derajat kesehatan masyarakat yang tinggi. Untuk mempercepat keberhasilan pembangunan kesehatan tersebut diperlukan kebijakan pembangunan kesehatan yang lebih dinamis dan proaktif dengan melibatkan semua sektor terkait baik pemerintah, swasta maupun masyarakat itu sendiri. Upaya perbaikan dalam bidang kesehatan masyarakat salah satu diantaranya melalui pencegahan dan pemberantasan penyakit menular. Program pemberantasan penyakit menular bertujuan untuk mencegah terjadinya penyakit, menurunkan angka kesakitan dan angka kematian sehingga tidak lagi menjadi masalah kesehatan masyarakat (Depkes RI, 2002). Filariasis masih merupakan masalah kesehatan masyarakat, karena merupakan penyebab utama kecacatan, stigma sosial, hambatan psikososial yang menetap dan penurunan produktivitas kerja individu, keluarga dan masyarakat

sehingga menimbulkan kerugian ekonomi yang cukup besar. Dengan demikian penderita kaki gajah merupakan beban bagi keluarga, masyarakat dan negara (Depkes RI, 2002). Penyakit kaki gajah merupakan penyakit di daerah tropik, tetapi dapat juga ditemukan di daerah sub tropik. Penyakit ini tersebar di 100 negara dengan lebih dari seratus miliar penduduk hidup di wilayah rawan tertular filariasis. Filariasis diperkirakan menginfeksi sekitar 120 juta penduduk di 80 negara terutama di daerah tropik dan beberapa di negara sub tropik. Dari 120 juta orang yang sudah terinfeksi, 40 juta diantaranya telah menjadi cacat dan disfungsi organ tubuh tertentu karena penyakit sudah berada dalam tahap kronis lanjut (Depkes RI, 2002). Di Indonesia kurang lebih 10 juta penduduk sudah terinfeksi penyakit ini, dengan jumlah penderita kronik kaki gajah kurang lebih 6500 orang. Penyakit menular ini tersebar di 26 Propinsi, 231 Kabupaten, 451 Kecamatan dan 1553 desa endemik filaria, yaitu desa dengan angka mikrofilaria diantara penduduk lebih dari 1%. Diperkirakan sekitar 3% dari jumlah penduduk telah terinfeksi penyakit filariasis dengan jumlah kasus kronis yang tercatat sampai tahun 2000 sebanyak 1444 orang (Depkes RI, 2002). Filariasis banyak diderita oleh penduduk berusia produktif (15-44 tahun), laki-laki lebih banyak terinfeksi daripada perempuan. Cacat fisik sifatnya permanen juga lebih banyak dijumpai pada laki-laki karena kemungkinan kontak dengan nyamuk lebih besar berkaitan dengan pekerjaannya (Soeyoko, 2002).

Penularan filiariasis banyak berkaitan dengan aspek sosial budaya, antara lain pengetahuan, kepercayaan, sikap dan kebiasaan masyarakat. Penduduk dengan pekerjaan petani berladang, pencari kayu rotan dan penyadap karet banyak terinfeksi filariasis (Sumarni dan Soeyoko, 1998). Sejak tahun 1975, Indonesia telah melakukan program pemberantasan filariasis di daerah endemik. Secara keseluruhan prevalensi penyakit di Indonesia telah terjadi penurunan setelah dilakukan pengobatan massal pada penderita sejak Pelita I, namun penyakit ini di daerah-daerah tertentu masih tinggi prevalensinya. Daerah tersebut merupakan daerah kantong endemis dan selalu menjadi sumber penularan ke daerah lainnya (Depkes RI, 2002). Pemerintah sendiri pada tahun 2002 telah mencanangkan dimulainya Program Nasional Eliminasi Penyakit Kaki Gajah di Indonesia dan telah menetapkan eliminasi penyakit kaki gajah sebagai salah satu program prioritas. Program ini dicanangkan sebagai respons dari program WHO yang menetapkan komitmen global untuk mengeliminasi filiariasis ( the global goal of elimination of lymphatic filariasis as a public health problem by the year 2020 ). Adapun Program Nasional Eliminasi Penyakit Kaki Gajah dan rencana kegiatan tahunan 2002-2006 telah tersusun dan telah disetujui WHO untuk dilaksanakan secara bertahap. Pada tanggal 8 April 2002 di Desa Mainan, Kecamatan Banyuasin II, Kabupaten Musi Banyuasin, Propinsi Sumatera Selatan, Menteri Kesehatan Republik Indonesia telah mencanangkan dimulainya Eliminasi Penyakit Kaki Gajah di Indonesia.

Di Propinsi Jambi, filariasis masih merupakan masalah kesehatan masyarakat, terutama di Kabupaten Bungo, Kabupaten Tebo, Kabupaten Marangin, Kabupaten Sorolangun, Kabupaten Batang Hari dan Kabupaten Muaro Jambi. Penyakit ini tersebar di 31 kecamatan, 41 wilayah Puskesmas dan 55 desa endemis. Hasil survei darah jari menunjukkan mikro filaria rate rata-rata 1,8% (interval 0,8%- 2,98%). Hasil survei cepat yang dilakukan pada tahun 2002, tercatat sebanyak 205 orang terinfeksi mikro filarial di dalam darahnya. Penduduk propinsi Jambi lebih dari 103.000 jiwa atau sekitar 4% dari jumlah penduduk bertempat tinggal di daerah rawan filaria, sehingga beresiko untuk terinfeksi penyakit Elephanthias (Kaki Gajah). Kabupaten Muaro Jambi merupakan daerah dataran rendah terletak pada ketinggian 0 500 meter di atas permukaan laut dan berada pada Daerah Aliran Sungai (DAS) Batang Hari, sehingga sangat dipengaruhi oleh keadaan musim. Kabupaten Muaro Jambi sebagaimana di Provinsi Jambi lainnya beriklim tropis dengan jumlah curah hujan rata-rata 231,3 mm dan bulan basah berkisar antara 8 10 bulan. Akibat curah hujan yang begitu besar maka daerah-daerah yang terletak pada cekungan dan rawa seperti pada Kecamatan Kumpeh, Kecamatan Maro Sebo, Kecamatan Kumpeh Hulu dan Kecamatan Sakernan yang berada pada daerah aliran sungai Batang Hari, hampir setiap tahun menimbulkan permasalahan akibat naiknya air permukaan yang menggenangi lahan pertanian, sawah serta pemukiman penduduk (Dinkes Muaro Jambi, 2005). Kabupaten Muaro Jambi merupakan salah satu kabupaten di propinsi Jambi yang terdiri dari 7 kecamatan dan 4 kecamatan diantaranya merupakan daerah

endemis filariasis. Hasil survei cepat yang dilakukan di Desa Sekumbung dengan 500 sediaan darah terdapat 10 orang yang positif (+) mengandung mikro filarial dengan Mf-rate 2%. Berdasarkan laporan dari puskesmas Kemingking Dalam ditemukan jumlah kasus filariasis sebanyak 27 yang tersebar di tiga desa. Jumlah kasus yang terbanyak terdapat di desa Kemingking Dalam sebanyak 17 kasus. Tabel 1.1 Distribusi Penderita Filariasis di Kabupaten Muaro Jambi Tahun 2006 No Kecamatan Nama Puskesmas Nama Desa Jumlah Kasus 1 Maro Sebo Kemingking Dalam Jambi Kecil Kemingking Dalam Talang Duku Sekumbung Mudung Darat Muaro Jambi Desa Bakung Tanjung Katung Jambi Kecil Desa Baru Danau Lamo Jambi Tulo Kemingking Luar 18 5 4 4 3 3 2 1 1 1 1 1 2 Jaluko Penyengat Olak Pondok Meja 3 Kumpeh Tanjung Puding Rengas Bandung Pademangan Sei Bertam Sei Aur Jebus Gd. Karya Tj. Ulu Tj. Ilir Sei Bungur Desa Puding Mekar Sari 2 1 3 2 3 1 2 1 3 4 1

4 Kumpeh Ulu Muaro Kumpeh Tangkit Teluk Raya Sai Terap Sakean Solok Sumber Jaya Arang-arang Kasang Lp. Alai Kasang Pudak 1 2 3 8 2 3 10 2 4 Kecamatan 8 Puskesmas 30 Desa 98 Kasus Kecamatan Maro Sebo terdiri dari 19 desa dengan jumlah penduduk sebanyak 25.085 jiwa. Berdasarkan laporan Dinas Kesehatan Muaro Jambi disebutkan bahwa dari 19 desa yang ada tercatat 12 desa yang menjadi daerah endemis filariasis yaitu Desa Muaro Jambi, Jambi Kecil, Mudung Darat, Tanjung Katung, Bakung, Desa Baru, Danau Lamo, Kemingking Luar, Jambi Tulo, Kemingking Dalam, Talang Duku dan Sekumbung. Sejak tahun 2003 Kecamatan Maro Sebo telah dilaksanakan pengobatan massal yang diharapkan berlanjut sampai tahun 2007. Tabel 1.2. Distribusi Penderita Filariasis di Kabupaten Muaro Jambi Tahun 2002-2004 No Tahun Jumlah Klinis Filariasis Acute Disease rate % (ADR %) Desa Terserang Jumlah Kasus 1 2002 42 0,02 15 42 2 2003 8 0,03 2 8 3 2004 3 0,02 2 3 Sumber : Dinas Kesehatan Kabupaten Muaro Jambi tahun 2005 Hasil laporan Dinas Kesehatan Kabupaten Muaro Jambi tahun 2005 dan tahun 2006 terjadi peningkatan jumlah kasus maupun jumlah desa yang terserang. Tahun 2005 jumlah kasus meningkat menjadi 72 kasus dengan jumlah desa yang terserang sebanyak 25 desa, disusul dengan tahun 2006 jumlah kasus menjadi 98 kasus dengan jumlah desa yang terserang menjadi 30 desa.

Filariasis masih merupakan masalah kesehatan khususnya di beberapa kecamatan dan desa yang menjadi kantong filariasis di Kabupaten Muaro Jambi sehingga perlu penanganan yang intensif. Dimana timbul dan terjadinya penularan kaki gajah (Filariasis) sangat dipengaruhi keadaan lingkungan, perilaku dan pengetahuan masyarakat serta adanya vektor sebagai penularan penyakit tersebut. Untuk itu diperlukan dukungan dari berbagai lintas program, lintas sektoral, LSM (Lembaga Swadaya Masyaraakat) dan masyarakat itu sendiri dalam pemberantasan penyakit filariasis. 1.2. Masalah Penelitian Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah Bagaimana pengaruh karakteristik kepala keluarga (umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan, tingkat pengetahuan dan sikap) terhadap tindakan pencegahan penyakit kaki gajah (filariasis) di Desa Kemingking Dalam Kecamatan Maro Sebo Kabupaten Muaro Jambi tahun 2007. 1.3. Tujuan Penelitian Untuk menjelaskan pengaruh karakteristik kepala keluarga (umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan, tingkat pengetahuan dan sikap) terhadap tindakan pencegahan penyakit filariasis di Desa Kemingking Dalam Kecamatan Maro Sebo Kabupaten Muaro Jambi tahun 2007. 1.4. Manfaat Penelitian

1. Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai dasar untuk perencanaan dan pengambilan keputusan pada program pengendalian, penanggulangan penyebaran filariasis di Kabupaten Muaro Jambi. 2. Memberi masukan untuk dapat mengantisipasi penyakit filariasis di Kabupaten Muaro Jambi. 3. Bagi masyarakat dapat memberikan pemahaman tentang resiko terjadinya filariasis pada masyarakat dan upaya perbaikan lingkungan yang tepat untuk memutuskan mata rantai penularan filariasis. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penyakit filariasis 2.1.1. Definisi Filariasis ialah penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi cacing filaria yang di sebabkan oleh mikrofilaria dan ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk. Cacing tersebut hidup dikelenjar dan saluran getah bening, sehingga menyebabkan kerusakan pada sistim limpatik yang dapat menimbulkan gejala akut berupa peradangan kelenjar dan saluran getah bening (adenolimfangitis) terutama di daerah pangkal paha dan ketiak, tetapi dapat pula di daerah lain. Peradangan ini disertai demam yang timbul berulang kali dan dapat berlanjut menjadi abses yang dapat pecah dan meninggalkan parut (Depkes RI, 2002). 2.1.2. Cara masuk mikrofilaria ke dalam tubuh

Mikrofilaria masuk ke dalam tubuh manusia dengan cara melalui gigitan nyamuk, dimana tubuh manusia dapat terinfeksi mikrofilaria apabila nyamuk yang mengigit tubuh manusia mengandung larva cacing filaria yang infektif (stadium 3). Mikrofilaria akan keluar dari tubuh nyamuk dan masuk ke dalam tubuh manusia pada saat nyamuk mengigit dan menghisap darah manusia. (Depkes RI, 2002). 2.1.3. Epidemiologis Penyebaran filariasis hampir diseluruh wilayah Indonesia, dibeberapa daerah dengan tingkat endemisitas yang cukup tinggi. Jumlah kasus filariasis di Indonesia cukup banyak. Berdasarkan hasil survei cepat tahun 2000, jumlah penderita kronis yang dilaporkan sebanyak 6.500 orang tersebar di 1.553 Desa, di 231 Kabupaten dan 26 Propinsi. Data ini belum menggambarkan keadaan yang sebenarnya karena hanya 3.020 Puskesmas (42%) dari 7.221 Puskesmas yang menyampaikan laporan. Tingkat endemisitas filariasis berdasarkan hasil survei pada tahun 1999 masih tinggi dengan rata-rata mf (Mikrofilaria) Rate 3,1% dengan interval 0,5%-19,64%. Hasil ini menunjukkan bahwa tingkat penularan filariasis di Indonesia masih tinggi. Filariasis umumnya endemis di daerah dataran rendah, terutama di pedesaan, di daerah pantai, pedalaman, persawahan, rawa-rawa dan daerah hutan. Secara umum filariasis tersebar di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku dan Irian Jaya. Filariasis Wuchereria bancrofti tipe pedesaan masih banyak ditemukan di Propinsi Papua dan beberapa daerah lain di Indonesia, sedangkan Wuchereria bancrofti tipe perkotaan ditemukan di Jakarta, Bekasi, Semarang, Tangerang, Pekalongan dan Lebak (Banten). Filariasis malayi tersebar di Sumatera,

Kalimantan, Sulawesi dan Pulau Seram. Filariasis timori terdapat di Kepulauan Flores, Alor, Rote, Timor dan Sumba, umumnya endemik di daerah persawahan. Filariasis bersifat menahun (Kronis) dan bila tidak memperoleh pengobatan dapat menimbulkan cacat menetap berupa pembesaran kaki (kaki gajah), lengan, payudara serta alat kelamin, baik pada wanita maupun laki-laki. Meskipun filariasis tidak menimbulkan kematian secara langsung tetapi merupakan salah satu penyebab utama timbulnya kecacatan, kemiskinan dan masalah-masalah sosial lainya. Hal ini disebabkan, karena bila terjadi kecacatan menetap, maka seumur hidupnya penderita tidak dapat bekerja secara optimal, sehingga dapat menjadi beban keluarganya, merugikan masyarakat dan Negara. Seringnya serangan akut pada penderita filariasis sangat menurunkan produktivitas kerja, sehingga akhirnya dapat juga merugikan masyarakat. Selain itu penderita akan mengalami kerugian ekonomi yang besar. Hasil penelitian Departemen Kesehatan bersama Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia pada tahun 2000, menunjukkan bahwa biaya yang diperlukan oleh seorang penderita penyakit kaki gajah per tahun sekitar 17,8% dari seluruh pengeluaran keluarga atau 32,3% dari biaya untuk makan. Dengan demikian maka penderita akan menjadi beban bagi keluarga dan negara (Depkes RI, 2002). 2.1.4. Penyebab filariasis di Indonesia Filariasis di Indonesia disebabkan oleh 3 spesies cacing filaria yaitu : a. Wuchereria bancrofti b. Brugia malayi c. Brugia timori Dari tiga spesies tersebut secara epidemiologi dapat dibagi lagi menjadi 6 tipe yaitu :

a. Wuchereria bancrofti yang ditemukan di daerah perkotaan (urban) seperti di Jakarta, Bekasi, Tangerang, Semarang, Pekalongan, dan sekitarnya. b. Wuchereria bancrofti yang ditemukan di daerah pedesaan di luar Jawa tersebar luas terutama Irian Jaya yang mempunyai periodisitas nokturna. c. Brugia malayi yang di temukan di daerah persawahan yang bersifat periodik nokturna. d. Brugia malayi yang ditemukan di daerah rawa, bersifat sub periodik nokturna. e. Brugia malayi yang ditemukan di hutan bersifat non periodik, mikrofilaria ditemukan dalam daerah tepi baik malam maupun siang hari. f. Brugia timori yang bersifat periodik nokturna ditemukan di daerah Nusa tenggara Timur, Maluku Tenggara, dan mungkin juga di daerah lain (Depkes RI, 2002). 2.1.5. Hospes Hospes (induk semang) dari filariasis adalah manusia. Pada dasarnya semua manusia dapat terjangkit filariasis apabila digigit oleh nyamuk vektor yang infektif (mengandung larva stadium 3). Vektor infektif mendapat mikrofilaria dari orangorang setempat yang mengidap mikrofilaria dalam darahnya. Namun demikian, dalam kenyataannya tidak semua orang yang hidup disuatu daerah endemis filariasis terinfeksi dan semua orang yang terinfeksi tidak semua menunjukan gejala. Meskipun tanpa gejala tetapi sudah terjadi perubahan-perubahan patologis. Makin lama pendatang menempati daerah endemis filariasis makin besar kemungkinannya terkena infeksi. Pendatang baru dari daerah non endemis ke daerah endemis (misalnya

transmigran) lebih banyak menunjukkan gejala, tetapi pada pemeriksaan darah jari lebih sedikit yang mengandung mikrofilaria. Di suatu daerah endemis tinggi sebagian besar penduduk dapat terinfeksi. Biasanya pendatang baru ke daerah yang endemis seperti transmigran lebih cepat menunjukan gejala klinis akut bila terinfeksi walaupun mikrofilaria dalam belum ditemukan. Semakin lama pendatang baru menempati daerah endemis filariasis, maka akan lebih banyak yang terinfeksi. Hospes reservoir berperan sebagai sumber penyakit. Diantara cacing filaria yang menginfeksi manusia di Indonesia, hanya Brugia malayi yang sub periodik nokturna dan non periodik yang ditemukan juga pada hewan lutung (Presbytis cristatus), kera (Macaca fascicularis) dan kucing (Felis catus) yang dapat merupakan sumber infeksi pada manusia. Brugia malayi tipe sub periodik nokturna umumnya ditemukan di daerah rawa-rawa. Brugia malayi tipe non periodik ditemukan di hutan dan mikrofilarianya ditemukan dalam darah tepi baik siang maupun malam hari. Adanya hospes reservoir akan menyulitkan program pemberantasan. Hal ini disebabkan karena keterbatasan kemampuan untuk mengatasi keberadaan hospes reservoir sebagai sumber penyakit (Depkes RI, 2002). 2.1.6. Vektor Vektor penyakit kaki gajah (filariasis) adalah nyamuk yang mengandung mikrofilaria di dalam tubuhnya. Di Indonesia hingga saat ini telah di ketahui terdapat 23 spesies nyamuk dari genus Anopheles, Culex, Aedes, Mansonia dan Armigeres yang dapat berperan sebagai vektor dan merupakan vektor yang potensial untuk

menyebabkan penyakit kaki gajah (filariasis). Terdapat 10 spesies nyamuk Anopheles telah diidentifikasi sebagai vektor penular Wuchereria bancrofti tipe pedesaan. Sedangan untuk vektor penular Wuchereria bancrofti tipe perkotaan adalah nyamuk Culex quinguefasciatus. Vektor penular Brugia malayi tercatat ada 6 spesies Mansonia dan untuk wilayah Indonesia bagian Timur selain Mansonia ada juga vektor lain yaitu nyamuk Anopheles barbirostris. Demikian pula untuk vektor penular Brugia malayi tipe sub periodik nokturna sebagai vektornya adalah beberapa jenis nyamuk spesies Mansonia. Pada daerah bagian Timur yaitu Nusa Tenggara Timur dan Kepulauan Maluku Selatan sebagai vektor penular Brugia timori adalah jenis nyamuk Anopheles barbirostris. (Depkes RI, 2002). Nyamuk dapat bersifat antropofilik (menyukai darah manusia), zoofilik (menyukai darah hewan) dan zoantropofilik (menyukai darah hewan dan manusia), eksofagik (mencari mangsa diluar rumah) dan endofagik (mencari mangsa di dalam rumah). Tempat beristirahat berbeda-beda tergantung jenisnya. Umumnya nyamuk istirahat pada tempat-tempat teduh seperti di semak-semak sekitar tempat perindukan, dan di dalam rumah pada tempat-tempat yang gelap. Perilaku nyamuk sebagai vektor filariasis menentukan distribusi filariasis. Setiap daerah endemis filariasis umumnya mempunyai spesies nyamuk yang berbeda-beda dan setiap spesies dapat menjadi vektor utama penyebab filariasis. 2.1.7. Daur hidup Filaria limfatik dalam daur hidupnya memerlukan nyamuk sebagai vektor. Nyamuk menghisap darah penderita yang mengandung mikrofilaria dengan

kepadatan tertentu. Daur hidup parasit ini memerlukan waktu yang sangat panjang. Masa pertumbuhan parasit di dalam nyamuk kurang lebih dua minggu. Pada saat nyamuk vektor menghisap darah manusia atau hewan yang mengandung mikrofilaria, maka mikrofilaria akan terbawa masuk dan melepaskan sarungnya di dalam lambung nyamuk dan selanjutnya bergerak menuju otot-otot torak, setelah lebih kurang 3 hari mikrofilaria ini akan memendek menyerupai sosis dan disebut larva stadium I (L1). Dalam waktu kurang lebih seminggu larva L1 akan bertukar kulit, tumbuh menjadi gemuk dan panjang dan disebut larva stadium II (L2). Pada hari ke sepuluh dan selanjutnya, larva L2 akan bertukar kulit sekali lagi tumbuh makin panjang dan lebih kurus dan disebut larva stadium III (L3). Gerak larva L3 ini sangat aktif. Bentuk ini bermigrasi mula-mula ke rongga abdomen dan kemudian ke kepala dan alat tusuk nyamuk. Bila nyamuk yang mengandung larva L3 yang sangat infektif ini menggigit manusia, maka larva tersebut secara aktif masuk melalui luka tusuk kedalam tubuh hospes dan bersarang di saluran limfe. Di dalam saluran limfe, larva ini mengalami dua kali pergantian kulit, tumbuh menjadi larva stadium IV (L4) dan stadium V (L5) atau cacing dewasa. Brugia malayi dan Brugia timori dari L3 menjadi dewasa dalam kurun waktu kurang lebih 3,5 bulan, sedangkan Wuchereria bancrofti dari L3 sampai dewasa di perlukan waktu lebih kurang 9 bulan. Umur cacing dewasa filaria 5-10 tahun (FK.UI, 2003). Setelah dewasa, akan terjadi perkawinan dan cacing betina melahirkan mikrofilaria yang dapat ditemukan di dalam darah dan secara berkala di temukan di

dalam darah tepi untuk mengumpankan diri agar di isap oleh nyamuk vektor dan ditularkan ke inang yang baru (WHO, 1997). 2.1.8. Gejala klinis Seseorang dapat terinfeksi filariasis apabila orang tersebut mendapat gigitan dari nyamuk vektor yang mengandung mikrofilaria dengan kepadatan tertentu. Akibat dari gigitan tersebut akan menimbulkan gejala klinis pada manusia yang sudah terinfeksi filariasis. Ada dua macam gejala klinis filariasis, yaitu gejala klinis akut dan gejala klinis kronis. Gejala klinis akut adalah berupa peradangan pada kelenjar limfe (limfadenitis) atau saluran limfe (limfangitis). Pada umumnya gejala klinis akut yang terjadi adalah disertai dengan demam, sakit kepala, rasa lemah atau kelelahan dan dapat pula disertai abses (bisul) yang kemudian pecah dan sembuh. Biasanya abses yang sembuh akan meninggalkan bekas seperti parut. Bekas dalam bentuk parut sering kita lihat dan temukan didaerah lipatan paha dan ketiak. Keadaan ini banyak terdapat didaerah penularan filariasis dengan golongan spesies cacing filaria Brugia malayi dan Brugia timori. Pada infeksi dengan Wuchereria bancrofti gejala akut yang berupa peradangan tidak jelas, tetapi elephantiasis dapat mencapai ukuran yang besar. Gejala infeksi wuchereria bancrofti yang lebih jelas adalah orchitis, epidemitis, hidrokel dan kiluria. Bahkan hidrokel sering dipakai sebagai indikator endemis Wuchereria bancrofti seperti elephantiasis scroti yang menyebabkan penderita tidak dapat berjalan. Elephantiasis dapat terjadi pada seluruh kaki dan lengan (Depkes RI, 2002).

Gejala kronis meliputi limfadema, hidrokel dan kiluria. Limfadema merupakan gejala kronis yang dialami penderita pada seluruh kaki atau lengan, skrotum, vagina dan payudara. Gejala ini biasanya terdapat pada penderita yang terinfeksi cacing filaria dengan spesies Wuchereria bancrofti, sedangkan untuk penderita yang terinfeksi oleh jenis spesies Brugia malayi dan Brugia timori, gejala klinisnya dapat mengenai kaki dan lengan di bawah lutut atau siku. Hidrokel merupakan gejala klinis yang menyebabkan terjadinya pelebaran kantung buah skrotum yang berisi cairan limfe. Sedangkan kiluria adalah gejala klinis yang dialami penderita dengan mengeluarkan air seni seperti susu. Adanya cairan seperti susu ini disebabkan oleh kebocoran saluran limfe didaerah pelvik ginjal, sehingga cairan limfe tersebut masuk ke dalam saluran kencing. Namun gejala klinis kiluria ini jarang ditemukan (Depkes RI, 2002). 2.2. Keadaan Lingkungan Sosial dan budaya Lingkungan sosial dan budaya ialah lingkungan yang timbul sebagai akibat adanya interaksi antar manusia, termasuk antara lain sosial ekonomi, perilaku penduduk, adat istiadat, tingkah laku, budaya penduduk, kebiasaan hidup penduduk, tradisi penduduk dan sebagainya. Sosial ekonomi dan budaya masyarakat setempat yang perlu diperhatikan antara lain adalah kebiasaan penduduk bertani (berkebun), dan kebiasaan penduduk bekerja malam hari atau keluar malam hari, serta kebiasaan penduduk pada malam hari sebelum dan sewaktu tidur. Kebiasaan- kebiasaan tersebut berkaitan dengan terjadinya kontak antara manusia dengan vektor (terjadinya infeksi).

Umumnya laki-laki menunjukkan angka infeksi microfilaria rate lebih tinggi dari perempuan karena umunya laki-laki lebih sering terpapar akibat pekerjaan dan kebiasaanya, sehingga kemungkinan terjadinya infeksi (kontak dengan vektor) lebih sering dari perempuan (Nyoman Saniambara, 2005). 2.3. Penentuan desa endemis filaria Sebelum diadakan pemberantasan harus ditemukan daerah endemis terutama daerah endemis tinggi (Mf Rate > 1%). Untuk menentukan daerah endemis dapat digunakan beberapa cara: survei cepat, survei klinis, pemeriksaan serologi untuk daerah endemis Wuchereria bancrofti, pemeriksaan biologi molekuler untuk daerah endemis Brugia malayi dan Brugia timori. Indikasi awal dari pelaksanaan survei adalah ditemukannya penderita klinis atau penderita kronis diantara penduduk di desa tersebut. Survei yang dilaksanakan secara massal di Indonesia adalah survei gejala klinis dan darah jari yang dilakukan pada pukul delapan malam waktu setempat pada daerah sekitar rumah penderita dengan gejala klinis. Jumlah sampel diambil ditentukan dengan cara sampling. Bila hasil survei menunjukan Mf Rate > 1% maka desa tersebut ditetapkan sebagai daerah endemis yang harus dilakukan pengobatan massal. Bila Mf Rate < 1% ditetapkan sebagai non endemis dan dilakukan pengobatan selektif (Depkes RI, 2002). 2.4. Pencegahan Filariasis Usaha pencegahan filariasis ini sesungguhnya berpulang kembali pada masyarakat sendiri. WHO sudah menetapkan The Global Goal of Elimination of

Lymphatic Filariasis as a Public Health Problem by The Year 2020. Bentuknya berupa program pengobatan dengan Diethyl Carbamazine Citrate (DEC) dikombinasikan dengan albendazol sekali setahun selama 5-10 tahun di lokasi yang endemis dan perawatan kasus klinis, baik yang akut maupun kronis untuk mencegah kecacatan dan mengurangi penderitanya. Tentu saja, mencegah lebih baik daripada mengobati. Caranya dengan menghindari dari gigitan nyamuk dengan menggunakan kelambu, menutup ventilasi dengan kasa nyamuk, menggunakan obat anti nyamuk, atau mengoles kulit dengan lotion pencegah gigitan nyamuk. Melakukan pemberantasan terhadap sarang nyamuk dengan melakukan 3M (menutup, menguras dan mengubur) benda-benda yang dapat menampung air ( Hermana, 2007 ). 2.4.1 Pengobatan massal Pelaksanaan pengobatan massal dengan obat Diethyl Carbamazine Citrat (DEC), pada waktu sekarang ini masih merupakan kegiatan utama dalam pemberantasan filariasis. Upaya pemberantasan filariasis ini telah dilakukan sejak tahun 1975 dengan cara pengobatan massasl menggunakan obat dosis rendah Diethyl Carbamazine Citrate (DEC) 100 mg untuk dewasa dan 50 mg untuk usia 2-10 tahun selama 40 minggu. Dengan keikut sertaan Indonesia dalam global eliminasi yang dicanangkan oleh WHO maka saat ini digunakan kombinasi DEC 6mg/kg BB (Berat

Badan), Albendazole 400 mg (1 Tablet) dan Paracetamol 500 mg yang diberikan sekali setahun selama 5 (lima) tahun. Pada semua kasus klinis sebelum diberikan obat DEC, semua gejala klinis akut yang berupa demam dan gejala peradangannya diobati terlebih dahulu dengan memberikan obat-obatan Analgesik, Antipiretik dan Antibiotik. Penggunaan obat Antibiotik dilakukan apaabila terjadi infeksi sekunder. Setelah gejala akut diatasi, penderita tersebut dapat diberikan pengobatan DEC 3x1 tablet 100 mg selama 10 hari dan disertai Paracetamol 3x1 tablet 500 mg dalam 3 (tiga) hari pertama. Untuk anakanak, dosis disesuaikan dengan umur. Bila penderita berada di daerah endemis maka pada tahun berikutya diikutsertakan dalam pengobatan massal (Depkes RI, 2002). 2.4.2 Eliminasi Penyakit Filaria Eliminasi filariasis adalah upaya pemberantasan yang dilakukan secara intensif,menyeluruh,terpadu dan berkesinambungan guna menurunkan angka kesakitan (Mf.rate) menjadi <1% sehingga tidak terjadi penularan lagi. Program eliminasi dilaksanakan atas dasar kesepakatan global WHO pada tahun 2000 (the global goal of elimination of lymphatic filariasis as a public health problem by the year 2020). Untuk melaksanakan eliminasi ini WHO telah menetapkan 2 strategi utama, yaitu: 1. Pemutusan mata rantai penularan dengan menurunkan angka kesakitan (Mf.Rate) menjadi <1% dengan cara pengobatan massal penduduk di desa endemis.

2. Penatalaksanaan kasus klinis untuk mencegah kecacatan, srategi ini di tujukan untuk merawat penderita baik yang akut maupun kronis guna mencegah kecatatan dan mengurangi penderitaannya, sehingga mereka dapat meningkatkan kesejahteraannya. Adapun kegiatannya dilaksanakan secara bertahap mulai tahun 2002 dan pada tahun 2010 direncanakan semua desa endemis sudah terjangkau (Depkes RI, 2002). 2.5 Perilaku penduduk Berdasarkan pendapat Notoatmodjo yang dikutip oleh Mahdiniansyah (2002), perilaku adalah merupakan suatu kegiatan atau aktivitas organisme yang bersangkutan dari pandangan biologi. Perilaku manusia pada hakekatnya suatu aktivitas dari manusia itu sendiri. Untuk kepentingan analisa perilaku adalah apa yang dikerjakan oleh organisme tersebut, baik dapat diamati secara langsung maupun tidak langsung. Perilaku dapat tumbuh dibedakan menjadi dua yaitu perilaku yang tidak bersyarat atau pembawaan, dan perilaku yang bersyarat yang diperoleh berdasarkan pengalaman atau didapat, atau karena adanya proses belajar. Menurut pendapat Blom yang dikutip oleh Mahdiniansyahn (2002), perilaku dapat dikelompokan menjadi tiga, yakni pengetahuan (knowledge), sikap (attitude), dan tindakan (overt behavior). Perilaku dalam bentuk pengetahuan penduduk yang berkaitan dengan filariasis, baik pencegahan, penularan pengobatan dan lain-lain. Pengetahuan yang dimiliki tersebut dapat kemungkinan mempengaruhi kejadian filariasis, baik secara langsung atau tidak langsung. Perilaku dalam bentuk praktik berupa respon terhadap segala bentuk kegiatan yang pernah diberikan baik berupa

peyuluhan ataupun cara pencegahan dan pelaksanaan pengobatan terhadap suatu penyakit. Sikap adalah suatu keadaan mental dan kecendrungan seseorang untuk beraksi terhadap suatu keadaan dan lingkungan sangat dipengaruhi oleh pengetahuan dan pengalaman serta latar belakang pendidikan. Masih banyak masyarakat di daerah endemis filariasis mempunyai sikap tidak positif terhadap penanggulangan filariasis sebagai contoh masih adanya masyarakat yang menolak dilakukan pengobatan dan pengambilan darah. Selain itu masyarakat di daerah endemis filariasis umumnya kurang tanggap terhadap lingkungannya, seperti masih banyaknya daerah rawa-rawa di sekitar pemukiman tetap dibiarkan terbuka (Kasnodiharjo, 1990). 2.5.1. Pengetahuan Pengetahuan (Knowledge) apa yang telah diketahui dalam kamus bahasa Indonesia disebutkan bahwa pengetahuan atau tahu adalah mengerti sesudah melihat atau sesudah menyaksikan, mengalami atau setelah diajari. Menurut Notoatmodjo (2003) pengetahuan merupakan domain yang paling penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (overt behavior) dan pengetahuan dapat diukur dengan melakukan wawancara, perilaku yang didasari dengan pengetahuan dan kesadaran akan lebih bertahan lama dari pada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan dan kesadaran. Pengetahuan yang didalamnya mencakup 6 (enam) tingkatan yaitu : 1. Tahu (Know) diartikan sebagai mengigat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya.

2. Memahami (Comprehention) diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui. 3. Aplikasi (Application) diartikan sebagai kemampuan untuk mempergunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi yang sebenarnya. 4. Analisis (Analysis) diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjabarkan materi suatu objek terhadap komponen-komponennya. 5. Sintesis (Synthesis) menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian didalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. 6. Evaluasi (evaluation) hal ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Pengukuran dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menyatakan tentang isi materi yang diukur dari objek penelitian. Kedalaman pengetahuan yang ingin diketahui atau diukur dapat kita sesuaikan dengan tingkatan tersebut diatas (Notoatmodjo, 2003) 2.5.2. Sikap Menurut Notoatmodja (2003) sikap adalah reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Manifestasi sikap tidak langsung dilihat tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dar prilaku yang tertutup. Menurut Neowcomb yang dikutip oleh Notoatmodjo (2003) bahwa sikap merupakan kesiapan seseorang untuk bertindak sebagai objek di lingkungan tertentu,

sebagai suatu penghayatan terhadap objek. Sikap mempunyai 3 komponen pokok yaitu : 1. Kepercayaan (keyakinan), ide dan konsep terhadap suatu objek 2. Kehidupan emosional untuk evaluasi terhadap suatu objek. 3. Kecendrungan untuk bertindak. Pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung atau tidak langsung. Secara langsung dapat dinyatakan melalui pendapat atau pertanyaan responden terhadap suatu objek, secara tidak langsung dapat dilakukan dengan pertanyaanpertanyaan hipotesis, kemudian ditanyakan pendapat responden. 2.5.3. Tindakan Menurut Notoatmodjo (2003) tindakan adalah gerakan/perbuatan dari tubuh setelah mendapat rangsangan ataupun adaptasi dari dalam tubuh maupun luar tubuh (Lingkungan). Tindakan seseorang terhadap stimulus tertentu akan banyak ditentukan oleh bagaimana kepercayaan dan perasaanya terhadap stimulus tersebut. Secara logis sikap akan dicerminkan dalam bentuk tindakan namun tidak dapat dikatakan bahwa sikap dan tindakan memiliki hubungan yang sistematis. Suatu sikap belum tentu terwujud dalam suatu tindakan (overt behavior). Untuk terwujudnya sikap menjadi suatu tindakan diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan antara lain fasilitas dan faktor pendukung dari berbagai pihak. Seperti halnya dengan pengetahuan dan sikap, tindakan juga terdiri dari berbagai tingkatan yaitu :

1. Persepsi (perception) diartikan mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil. 2. Respon terpimpin (guided response) diartikan sebagai suatu urutan yang benar sesuai dengan contoh 3. Mekanisme (mechanism) diartikan apabiala seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara optimis atau sesuatu itu merupakan kebiasaan. 4. Adaptasi (adaptation) suatu praktek atau tindakan yang sudah berkembang dengan baik, artinya tindakan itu juga sudah dimodifikasi tanpa mengurangi keberadaan tindakan tersebut. Pengukuran tindakan dapat dilakukan secara tidak langsung yaitu dengan wawancara atas kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan beberapa jam, hari atau bulan yang lalu (recall). Pengukuran dapat juga dilakukan secara langsung yakni mengobservasi tindakan atau kegiatan responden (Notoatmodjo, 2003). 2.6. Kerangka Konsep Variabel Bebas Karakteristik kepala keluarga: - Umur - Jenis Kelamin - Tingkat Pendidikan - Pekerjaan - Pengetahuan - Sikap Variabel Terikat Tindakan Pencegahan Filariasis Berdasarkan kerangka konsep diatas, dapat dirumuskan variabel yang akan diteliti sebagai berikut :

1. Karakteristik kepala keluarga adalah ciri yang melekat pada diri seorang kepala keluarga yang dapat membedakan satu kepala keluarga dengan kepala keluarga lainnya, yang berhubungan dengan tindakan dalam pencegahan penyakit filariasis. 2. Tindakan pencegahan filariasis adalah segala sesuatu yang dilakukan oleh kepala keluarga dalam pencegahan penyakit filariasis. 2.7. Hipotesis Penelitian Berdasarkan kerangka konsep, dapat disusun hipotesis penelitian sebagai berikut : Ada pengaruh karakteristik kepala keluarga (umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan, tingkat pengetahuan dan sikap) terhadap tindakan pencegahan filariasis di Desa Kemingking Dalam Kecamatan Maro Sebo Kabupaten Muaro Jambi tahun 2007. BAB III METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian Jenis penelitian adalah survey explanatory reserch dengan pendekatan kuantitatif yaitu untuk menjelaskan pengaruh antara variabel penelitian melalui pengujian hipotesa, yakni pengaruh variabel karakteristik kepala keluarga terhadap tindakan pencegahan penyakit filariasis di Desa Kemingking Dalam kecamatan Maro Sebo Kabupaten Muaro Jambi. 3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2.1 Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Desa Kemingking Dalam kecamatan Maro Sebo yang merupakan salah satu daerah endemis di wilayah kabupaten Muaro Jambi. 3.2.2 Waktu Penelitian juni 2007. Penelitian dilaksanakan pada tanggal 18 juni 2007 sampai dengan tanggal 22 3.3 Populasi dan Sampel 3.3.1 Populasi Populasi dalam penelitian ini adalah semua kepala keluarga di Desa Kemingking Dalam Kecamatan Maro Sebo Kabupaten Muaro Jambi sebanyak 544 KK. Pertimbangan memilih kepala keluarga di Desa Kemingking Dalam karena

jumlah kasus kronis filariasis lebih banyak terdapat di Desa ini dibandingakan dengan desa-desa endemis lainya. 3.3.2 Sampel Jumlah sampel dalam penelitian ini dicari dengan mengunakan rumus yang ada di buku Soekidjo (2002). n = N 1 + N (d 2 ) n = 85 Dari hasil perhitungan dengan rumus diatas maka jumlah sampel yang dibutuhkan adalah sebanyak 85 kepala keluarga. Pengambilan sampel dilakukan dengan cara simple random sampling (acak sederhana). 3.4 Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data yaitu data primer yang diperoleh dari masyarakat di Desa Kemingking Dalam melalui wawancara langsung dengan menggunakan kuesioner yang telah dipersiapkan dan data sekunder diperoleh dari Puskesmas Kemingking Dalam, Dinas kesehatan Muaro Jambi serta buku-buku yang berhubungan dengan penyakit filariasis. 3.5 Definisi Operasional

Untuk memudahkan penelitian serta memiliki persepsi yang sama, maka defenisi operasional penelitian ini adalah : 1. Kepala keluarga adalah salah seorang dari keluarga yang dianggap sebagai pemimpin dan bertanggung jawab terhadap keluarga tersebut. 2. Umur adalah usia responden dalam tahun yang disampaikan pada saat wawancara. 3. Tingkat pendidikan adalah jenjang pendidikan formal terakhir yang dicapai oleh responden, 4. Pekerjaan adalah aktivitas yang dilakukan secara rutin dalam usaha mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-harinya. 5. Pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui oleh responden tentang penyakit filariasis yang terdiri dari pengertian, gejala-gejala, penyebab, cara penularan, cara pencegahan dan cara penyembuhannya. 6. Sikap adalah kecendrungan responden untuk berespon baik secara positif atau negative dalam pencegahan penyakit filariasis. 7. Tindakan pencegahan segala sesuatu yang dilakukan oleh kepala keluarga dalam pencegahan penyakit filariasis. 3.6 Aspek pengukuran 3.6.1 Aspek pengukuran variabel bebas

Tabel 3.1. Aspek Pengukuran Variabel Bebas No Variabel In di ka to r Kriteria Bob ot Nilai Bobot Nilai Variabel Seluruh Indikator Skor Skala Penguk uran 1 Umur 1 1. 20-29 tahun 2. 30-39 tahun 3. 40-49 tahun 4. 50-59 tahun 5. >59 tahun 2 Jenis 1 1. Laki-laki kelamin 3 Tingkat Pendidikan 2. Perempuan 1 1. Tidak tamat SD/tidak sekolah 2. SD 3. SLTP 4. SLTA 5.Akademi/ Sarjana 4 Pekerjaan 1 1. Petani 2. Nelayan 3. Pedagang 4. PNS 5 Pengetahuan 13 1. Baik 2. Sedang 3. Kurang 6 Sikap 7 1. Baik 2. Kurang baik 3. Tidak baik 3 2 1 3 2 1 39 31-39 22-30 13-21 21 17-21 12-16 7-11 Ordinal Nominal Ordinal Nominal Interval Interval Aspek Pengukuran Variabel Terikat Tindakan masyarakat diukur dengan menggunakan skala interval dengan teknik pilihan jawaban a (skor 3), b (skor 2), c (skor 1), dengan jumlah 7 pertanyaan. Masing-masing pertanyaan mempunyai nilai tertinggi 3, sehingga total skor tertinggi

untuk kuesioner tindakan adalah 21 dan terendah adalah 7 Berdasarkan jumlah skor yang diperoleh maka dapat dikategorikan sebagai berikut : 1. Baik, apabila total skor yang dijawab untuk seluruh pertanyaan berada diantara 17-21. 2. Kurang baik, apabila total skor yang dijawab untuk seluruh pertanyaan berada diantara 12-16. 3. Tidak baik, apabila total skor yang dijawab untuk seluruh pertanyaan berada diantara 7-11. Teknik Analisa Data Teknik analisa Data yang digunakan adalah uji statistic regresi liniar berganda untuk menguji pengaruh veriabel karakteristik kepala keluarga (umur,jenis kelamin,tingkat pendidikan,pekerjaan,tingkat pengetahuan dan sikap) terhadap variable tindakan pencegahan filariasis dengan tingkat kepercayaan α =0,05 (95%)..

BAB IV HASIL PENELITIAN 4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian Desa Kemingking Dalam merupakan salah satu desa di Kecamatan Maro Sebo Kabupaten Muaro Jambi. Secara geografis desa Kemingking Dalam berbatasan dengan : (1) Sebelah timur berbatasan dengan desa Teluk Jambu, (2) Sebelah selatan berbatasan dengan desa Kemingking Luar, (3) Sebelah barat berbatasan dengan desa Tebat Patah, (4) Sebelah utara berbatasan dengan sungai Batang Hari. Jumlah penduduk 2.721 jiwa (154 KK), yang terdiri dari laki-laki 1.398 jiwa dan perempuan 1.323 jiwa. Mata pencarian penduduk pada umumnya adalah sebagai petani, disamping itu sebagai pencari ikan di sungai (rawa-rawa), pedagang, pegawai negeri (Data Desa Kemingking Dalam, 2006). Sarana Kesehatan yang terdapat di desa Kemingking Dalam adalah Puskesmas Kemingking Dalam serta Polindes yang ditangani oleh seorang Bidan Desa. Kondisi lingkungan desa Kemingking Dalam banyak terdapat rawa-rawa, sungai, hutan dan kebun para (karet) milik Masyarakat yang merupakan habitat dari nyamuk. 4.2. Karakteristik Responden Responden dalam penelitian ini adalah Kepala Keluarga yang berjumlah 85 KK. Karakteristik responden yang diteliti meliputi umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan, tingkat pengetahuan dan sikap kepala keluarga terhadap