PROGRAM KONSERVASI PESUT MAHAKAM

dokumen-dokumen yang mirip
PROGRAM KONSERVASI PESUT MAHAKAM

Facultative river dolphins : conservation and social ecology of freshwater and coastal Irrawaddy dolphins in Indonesia Kreb, D.

BERTUMPU PADA HUTAN DI DAS MAHAKAM

PEMANTAUAN STATUS POPULASI PESUT (Orcaella brevirostris) DI SUNGAI PELLA (DAERAH ALIRAN SUNGAI MAHAKAM), KALIMANTAN TIMUR

Disajikan oleh: 1.Michael Ario, S.H. 2.Rizka Adellina, S.H. (Staf Bagian PUU II Subbagian Penataan Ruang, Biro Hukum, KemenPU)

I. PENDAHULUAN. Kawasan lahan basah Bujung Raman yang terletak di Kampung Bujung Dewa

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

II. TINJAUAN PUSTAKA

BUPATI LANDAK PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN LANDAK NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG

2013, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Rawa adalah wadah air beserta air dan daya air yan

KEBERADAAN PESUT (Orcaella brevirostris) DI SUNGAI MAHAKAM, KALIMANTAN TIMUR *)

PUSAT PENGENDALIAN PEMBANGUNAN EKOREGION KALIMANTAN

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

PEMERINTAH KABUPATEN KAPUAS HULU

KERUSAKAN LAHAN AKIBAT PERTAMBANGAN

Lampiran 3. Interpretasi dari Korelasi Peraturan Perundangan dengan Nilai Konservasi Tinggi

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung

BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI

BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG

PERANAN LAHAN BASAH (WETLANDS) DALAM PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PEMERINTAH KABUPATEN POSO

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

2 menetapkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia tentang Rawa; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 t

PROYEK LUMBA IRRAWADDY TELUK BALIKPAPAN

W A L I K O T A B A N J A R M A S I N

PENGARUH LALU LINTAS KAPAL TERHADAP PERILAKU MUNCUL PESUT (Orcaella brevirostris) DI SUNGAI MAHAKAM DAN TELUK BALIKPAPAN

MODEL IMPLENTASI KEBIJAKAN PENGELOLAAN MANGROVE DALAM ASPEK KAMANAN WILAYAH PESISIR PANTAI KEPULAUAN BATAM DAN BINTAN.

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Morfologi Permukiman Pesisir pada Daerah Aliran Sungai di Kota Dumai. Muhammad Rijal a, Gun Faisal b

Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009

4. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Republik

PERATURAN DAERAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II KUTAI NOMOR 3 TAHUN 1999 TENTANG

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG

mampu menurunkan kemampuan fungsi lingkungan, baik sebagai media pula terhadap makhluk hidup yang memanfaatkannya. Namun dengan

TEKNIK PENANGKAPAN IKAN SIDAT DENGAN MENGGUNAKAN BUBU DI DAERAH ALIRAN SUNGAI POSO SULAWESI TENGAH

Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1991 Tentang : Rawa

TINJAUAN PUSTAKA. meskipun ada beberapa badan air yang airnya asin. Dalam ilmu perairan

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

`BAB IV PENYELENGGARAAN URUSAN PEMERINTAH DAERAH

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PELAKSANAAN PENGEMBANGAN SISTEM INFORMASI LINGKUNGAN HIDUP DAN STATUS LINGKUNGAN HIDUP KALIMANTAN

BUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN

KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR : 04 TAHUN 2001 TENTANG KRITERIA BAKU KERUSAKAN TERUMBU KARANG MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

ABSTRAKSI DOKUMEN AMDAL

I. PENDAHULUAN. Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan

PERATURAN DAERAH KOTA BONTANG NOMOR 7 TAHUN 2003 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BONTANG,

5.1. Analisis mengenai Komponen-komponen Utama dalam Pembangunan Wilayah Pesisir

ANCAMAN KELESTARIAN DAN STRATEGI KONSERVASI OWA-JAWA (Hylobates moloch)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan

PROGRAM HUTAN DAN IKLIM WWF

i:.l'11, SAMBUTAN PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR KOTAK... GLOSARI viii xii DAFTAR SINGKATAN ...

PENGEMBANGAN KONSERVASI LAHAN TERHADAP EROSI PARIT/JURANG (GULLY EROSION) PADA SUB DAS LESTI DI KABUPATEN MALANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB V RENCANA PROGRAM, KEGIATAN, INDIKATOR KINERJA DAN KELOMPOK SASARAN

PP 27/1991, RAWA... Bentuk: PERATURAN PEMERINTAH (PP) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 27 TAHUN 1991 (27/1991) Tanggal: 2 MEI 1991 (JAKARTA)

PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN IV

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LEBAK NOMOR 8 TAHUN 2011 PERATURAN DAERAH KABUPATEN LEBAK NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG SUNGAI

HASIL DAN PEMBAHASAN Penilaian Masyarakat di sekitar Sungai Terhadap Keberadaan Ekosistem Sungai Siak

DIREKTORAT JENDERAL PERLINDUNGAN HUTAN DAN KONSERVASI ALAM

MAKALAH PEMBAHASAN EVALUASI KEBIJAKAN NASIONAL PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP DI DAERAH ALIRAN SUNGAI 1) WIDIATMAKA 2)

PERENCANAAN DAN PERJANJIAN KINERJA. Bab II

L E M B A R A N D A E R A H

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 33 ayat (2)

PERATURAN KEPALA ARSIP NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN RETENSI ARSIP SEKTOR PEREKONOMIAN URUSAN LINGKUNGAN HIDUP

Melestarikan habitat pesisir saat ini, untuk keuntungan di esok hari

PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN CILACAP

BUPATI SIGI PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIGI NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DANAU LINDU

Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR : 7 TAHUN 2005 TENTANG PENGENDALIAN DAN REHABILITASI LAHAN KRITIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

02/03/2015. Sumber daya Alam hayati SUMBER DAYA ALAM JENIS-JENIS SDA SUMBERDAYA HAYATI. Kepunahan jenis erat kaitannya dengan kegiatan manusia

IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

Analisis Konsentrasi dan Laju Angkutan Sedimen Melayang pada Sungai Sebalo di Kecamatan Bengkayang Yenni Pratiwi a, Muliadi a*, Muh.

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.30/MEN/2010 TENTANG RENCANA PENGELOLAAN DAN ZONASI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN

DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN DIREKTORAT JENDERAL KELAUTAN, PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DIREKTORAT KONSERVASI DAN TAMAN NASIONAL LAUT

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA

BAB I PENDAHULUAN. Sungai Tabir merupakan sungai yang berada di Kecamatan Tabir Kabupaten

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Negara Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang

BAB I PENDAHULUAN. dijadikan sebagai daya tarik wisata, seperti contoh wisata di Taman Nasional Way

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 2013 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Warta Kebijakan. Tata Ruang dan Proses Penataan Ruang. Tata Ruang, penataan ruang dan perencanaan tata ruang. Perencanaan Tata Ruang

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 2013 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang .

RENCANA PENGELOLAAN PERIODE TAHUN PT. TELAGABAKTI PERSADA

TINJAUAN PUSTAKA. Defenisi lahan kritis atau tanah kritis, adalah : fungsi hidrologis, sosial ekonomi, produksi pertanian ataupun bagi

ANALISIS POTENSI KERBAU KALANG DI KECAMATAN MUARA WIS, KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA, KALIMANTAN TIMUR

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN. PT. Bintuni Utama Murni Wood Industries 1

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERDANG BEDAGAI NOMOR 20 TAHUN 2012 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di

KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR : 04 TAHUN 2001 TENTANG KRITERIA BAKU KERUSAKAN TERUMBU KARANG

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan

KEPADATAN INDIVIDU KLAMPIAU (Hylobates muelleri) DI JALUR INTERPRETASI BUKIT BAKA DALAM KAWASAN TAMAN NASIONAL BUKIT BAKA BUKIT RAYA KABUPATEN MELAWI

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 03 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN SUNGAI DAN DRAINASE

Konservasi Lingkungan. Lely Riawati

Transkripsi:

1 PROGRAM KONSERVASI PESUT MAHAKAM LAPORAN TEKNIS: Survei monitoring jumlah populasi dan ancaman pada level air rendah, Juli &September 2012 oleh Danielle Kreb & Ivan Yusfi Noor YAYASAN KONSERVASI RASI 0

Kata Pengantar dan Ucapan Terima Kasih Laporan teknis ini menyajikan hasil survei monitoring ancaman dan jumlah populasi lumba-lumba Irrawaddy air tawar di Sungai Mahakam, Kalimantan Timur, Indonesia. Penelitian ini merupakan bagian dari Program Konservasi Pesut Mahakam, yaitu suatu program konservasi dan penelitian yang dijalankan oleh Yayasan Konservasi RASI sejak tahun 1999 bekerjasama dengan Balai Konservasi Sumber Daya Alam Kalimantan Timur (BKSDA Kaltim) dan pemerintah lokal (Kabupaten Kutai Barat dan Kutai Kartanegara). Data dikumpulkan pada saat level air rendah pada bulan juli dan september 2012. Data dalam laporan ini masih dalam revisi dan tidak dapat dikutip tanpa ijin dari penulis. Survei dilakukan oleh Danielle Kreb, Syachraini (keduannya LSM RASI), Ismail (Universitas Mulawarman) dan Ivan Yusfi Noor (IPB Bogor). Analisa identifikasi foto dilakukan oleh Danielle Kreb dan Ivan Yusfi Noor. Kami mengucapkan terima kasih banyak kepada meraka dan para motorist ces, Pak Acoh dan Pak Udin, atas kesabaran, fleksibilitas, dan kerja kerasnya. Kami juga berterima kasih atas informasi dari para nelayan, masyarakat sepanjang Sungai Mahakam dan kolega. Kami sampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Mohamed bin Zayed Funds dan Whitley Fund for Nature yang sungguh-sungguh dalam memberikan dukungan finansial untuk melakukan kegiatan survei ini. Samarinda, 28 Desember 2012, Daniëlle Kreb (Ph.D.) Penasehat Program Ilmiah / Peneliti Utama Yayasan Konservasi RASI Komplek Pandan Harum Indah (Erlyza), Blok C, No. 52 Samarinda, Kalimantan Timur Indonesia Telp/ fax office: + 62.541.206406/ Mobile: 081346489515 E-mail: yk.rasi@gmail.com http://www.ykrasi.org i ii i

Daftar isi Kata Pengantar & Ucapan Terima Kasih...... i Ringkasan......... 1 Pendahuluan......... 1 halaman - Sejarah dan latar Belakang...... 1 - Tujuan........ 2 Metode......... 2 - Pengumpulan data........ 2 - Analisis......... 3 Hasil.......... 4 - Penyebaran........ 4 - Jumlah populasi........ 5 - Ukuran kelompok & komposisi...... 6 - Ancaman-ancaman........ 6 - Potensi ancaman yang akan datang..... 9 - Kegiatan konservasi dahulu & saat ini..... 10 - Rencana penelitian saat ini & masa mendatang.... 10 - Lokasi, ukuran dan pengelolaan kawasan perlindungan yang direncanakan atau telah ada...... 11 - Rencana Strategi Konsevasi Nasional..... 13 Pembahasan......... 14 Daftar Pustaka......... 14 Foto-foto......... 16 Lampiran 1-Rancangan Rencana Pengelolaan dan Divisi Tugas untuk Kawasan Pelestarian Alam (KPA) Muara Pahu..... 25 Lampiran 2. Draf peraturan dan kebijakan yang diharapkan akan berlaku di Zona Pelestarian Habitat Pesut Mahakam dan Perikanan di Kutai Kartenegara. 28 iii

Ringkasan Dua survei monitoring ekstensif terhadap jumlah populasi yang dilaksanakan pada tanggal 9 hingga 15 juli dan 10 hingga 18 september 2012 menggunakan foto identifikasi sirip punggung untuk analisa penandaan penangkapan ulang. Disamping itu, setiap hari dilakukan beberapa wawancara dengan para nelayan untuk memperoleh informasi baru mengenai ancaman, kematian dan pola penyebaran. Dari hasil analisa penandaan-penangkapan ulang Petersen jumlah populasi diperkirakan 92 ekor (CV=15%; 95% CL = 72-130), jumlah ini hampir sama dengan hasil yang diperoleh dari survei penandaan-penangkapan ulang tahun 2005 (N=89), 2007 (N=90) dan 2010 (N=91). Ancaman utama meliputi kematian langsung, yang sebagian besar karena terperangkap rengge nelayan (66% dari total kematian) dan terkena baling kapal (10% dari kematian). Rata-rata kematian antara tahun 1995-2012 adalah empat ekor pesut per tahun. Ancaman lain adalah penurunan kualitas habitat akibat polusi suara dari kapal bermesin frekuensi tinggi yang melewati daerah inti pesut dengan kecepatan tinggi serta kapal-kapal laut pengangkut batubara yang menuju hulu melalui habitat utama pesut. Hal ini sangat memprihatinkan, mengingat besarnya polusi suara bawah air yang ditimbulkan kapal tersebut. Para kontributor utama lainnya terhadap degradasi habitat adalah polusi kimia terutama berasal dari pertambangan batu bara pembersihan sampah dan perkebunan mono-budidaya skala besar terutama perkebunan kelapa sawit dengan saluran buatan mereka yang berfungsi sebagai gerai. Terjadinya penurunan mangsa ikan melalui teknik memancing tidak berkelanjutan (setrum, racun dan pukat). Perpindahan habitat oleh pesut dari daerah inti utama mereka beberapa tahun lalu disebabkan oleh transportasi kontainer tongkang di sungai sempit yang menyebabkan kebisingan keras bawah air, sedimentasi di habitat danau dan konversi kawasan pemijahan ikan menjadi perkebunan sawit. Dalam beberapa waktu, perubahan dalam habitat telah terjadi mengenai wilayah inti yang sebelumnya diidentifikasi di mana "Muara Pahu - Penyinggahan wilayah kecamatan", mewakili kawasan inti utama sebelum tahun 2007 dalam hal kepadatan yang juga diamati oleh semua generasi penduduk di sini, sedangkan terbesar kedua daerah inti adalah "Pela / Semayang - daerah Muara Kaman". Saat ini, daerah inti pertama yang ditugaskan sebagai habitat kawasan pelestarian untuk Pesut Mahakam pada tahun 2009, telah banyak kehilangan signifikansi dan pesut berkurang dan jarang terlihat oleh penduduk setempat dan juga selama empat survei ekstensif pada tahun 2010 dan 2012, tidak ada lumba-lumba yang muncul di sini dan baik di daerah hulu Muara Pahu, kecuali satu kelompok terisolasi yang telah membuat Sungai Ratah sebagai habitatnya selama 14 tahun sekarang. Penyebab perpindahan habitat cadangan mungkin disebabkan oleh kualitas habitat menurun di daerah hulu dan penurunan berikutnya sumber daya ikan di daerah-daerah karena pembukaan perkebunan kelapa sawit di daerah rawa yang menghubungkan dengan daerah inti pesut serta intensitas penggunaan setrum ikan dan penggunaan racun untuk ikan di daerah hulu. Kegiatan konservasi saat ini terfokus pada upaya memperoleh dukungan dari masyarakat dan pemerintah lokal untuk melindungi daerah-daerah ini melalui kegiatan lokakarya dari berbagai pihak terkait dan menyiapkan sebuah rencana pengelolaan dengan divisi tugas untuk organisasi masingmasing daerah. Membatasi teknik penangkapan ikan tidak berkelanjutan dengan memperkenalkan teknik penangkapan yang lebih lestari dan mengurangi polusi (dari bahan kimia dan suara kapal) merupakan komponen penting bagi kelangsungan hidup populasi lumba-lumba air tawar yang sangat terancam punah ini. Pendahuluan Sejarah dan Latar Belakang Lumba-lumba dan porpoise sungai termasuk ke dalam jenis mamalia yang paling terancam punah di dunia. Habitat mereka yang telah banyak berubah dan terdegradasi oleh aktifitas manusia, seringkali berujung pada penurunan drastis dari jumlah populasi dan penyebaran mereka (Reeves et al. 2000). Salah satu jenis lumba-lumba air tawar terdapat di Sungai Mahakam dan danau-danau yang terhubung dengan sungai ini di Kalimantan Timur, Indonesia, yaitu lumba-lumba sungai fakultatif Orcaella brevirostris, yang sering juga disebut Irrawaddy Dolphin (nama umum) atau Pesut (nama lokal). Spesies ini dapat ditemukan di perairan dangkal, pesisir pantai daerah tropis dan subtropis 1

Indo-Pasifik serta di sistem sungai utama berikut: Mahakam, Ayeyarwady dan Mekong, dimana penurunan jumlah dan penyebaran serta ancaman-ancaman terhadap mereka masih terus berlangsung (Smith et al., 2003). Spesies yang dilindungi oleh undang-undang di Indonesia dan diangkat sebagai simbol Kalimantan Timur ini telah dimasukkan ke dalam status Sangat terancam punah pada tahun 2000 (Kreb and Smith, 2000) berdasarkan hasil program penelitian yang hingga sekarang masih dilaksanakan (Program Konservasi Pesut Mahakam). Populasi lumba-lumba Irrawaddy di Sungai Mahakam adalah satu-satunya populasi lumbalumba air tawar obligat atau sebenarnya di Indonesia. Analisa contoh jaringan tubuh yang diambil dari 6 ekor lumba-lumba menunjukkan bahwa populasi tersebut memiliki dua haplo-type genetik yang unik dibandingkan dengan lumba-lumba Irrawaddy di pesisir Kalimantan timur laut (Malinau), Thailand dan Filipina (Robertson, 2009). Pengumpulan data penting tentang lumba-lumba Irrawaddy di Mahakam dilakukan selama 2 bulan penelitian awal pada tahun 1997 dan 3,5 tahun penelitian Doktoral intensif sejak awal 1999 hingga pertengahan 2002 (Kreb, 2004a). Penelitian terutama difokuskan pada jumlah, perubahan populasi, ancaman, dan perbandingan antara lumba-lumba Irrawaddy pesisir dan air tawar dari segi struktur sosial, akustik, tingkat perbedaan morfologi serta tingkah laku mereka (Kreb, 2004b; Kreb and Rahadi, 2004; Kreb and Budiono, 2005). Sebelum studi ini, informasi mengenai status populasi lumba-lumba Irrawaddy air tawar di Sungai Mahakam dan lumba-lumba Irrawaddy pesisir pantai Kalimantan Timur, Indonesia, hampir sama sekali belum ada. Survei monitoring lanjutan dilaksanakan kembali pada tahun 2005 (Kreb et al, 2005); 2007 (Kreb et al., 2007), 2010 (Kreb and Lim, 2010) and 2012 oleh Yayasan Konservasi RASI bekerjasama dengan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) untuk memperkirakan total jumlah populasi serta mengetahui tingkat kematian dan ancaman-ancaman. Selain itu, dalam kerja sama dengan Tokyo Unversity, Universitas Mulawarman dan YK-RASI, pemantauan akustik bawah air sedang dilakukan dari platform tetap di sungai Pela untuk memantau migrasi lumba-lumba setiap hari dari sungai utama ke danau Semayang. Tujuan Tujuan kegiatan penelitian yang dilaksanakan pada tahun 2010 adalah memperoleh data perbandingan untuk mengetahui perubahan jumlah dan penyebaran, memperbaharui katalog foto identitas, memperkirakan apakah daerah-daerah utama yang disukai pesut tetap sama, serta memperoleh informasi terakhir mengenai ancaman dan angka kematian sejak tahun 2007. Strategi baru untuk kegiatan konservasi akan disusun berdasar informasi terbaru yang didapat, agar lebih efektif bagi kelangsungan hidup populasi pesut. Informasi tersebut juga akan dipresentasikan dalam lokakarya lokal di Kabupaten Kutai Kartanegara, yang belum memiliki kawasan pelestarian atau yang telah diusulkan secara resmi, dan ini akan digunakan sebagai langkah awal untuk mengajukan usulan pembentukan daerah serupa seperti daerah konservasi pesut di Kabupaten Kutai Barat (Kecamatan Muara Pahu). Metode Pengumpulan data Pengumpulan data dilakukan dengan cara menyusuri Sungai Mahakam menggunakan kapal mulai dari Muara Kaman (180 km dari muara Mahakam) hingga Laham (± 500 km dari muara Mahakam) termasuk anak sungai Kedang Rantau, Kedang Kepala, Belayan, Kedang Pahu, Ratah (sampai desa Mao, 10 km dari mulut untuk memperoleh informasi sekunder distribusi sepanjang Sungai Ratah karena tingkat air rendah dan kesulitan dalam transportasi perahu) serta Danau Semayang dan Melintang berdasarkan pada informasi penemuan sebelumnya (Kreb & Budiono, 2005) dan wawancara dengan masyarakat setempat yang menyatakan bahwa pesut tidak pernah terlihat di luar daerah-daerah tersebut (Gambar 1). Dua survei monitoring ekstensif terhadap jumlah populasi dilaksanakan antara 9 hingga 14 Juli 2012 dan 10 sampai 18 September 2012 menggunakan foto identifikasi sirip punggung untuk analisa penandaan-penangkapan ulang. Di samping itu, setiap hari dilakukan beberapa wawancara dengan para nelayan untuk memperoleh informasi baru mengenai 2

ancaman, kematian dan pola penyebaran. Jarak penelitian adalah 507 km pada survei pertama, dan 767 km untuk survei kedua, total kedua survei 1274 km dalam 90,9 jam. Untuk memantau kelimpahan dan menemukan kelompok-kelompok pesut selama kedua survei, pencarian di sungai menggunakan perahu bermotor kecil (26 hp) perjalanan dengan kecepatan ratarata 13,6 km h-1. Tim observasi terdiri dari tiga pengamat: dua di depan dan satu belakang. Rata-rata per penampakan lumba-lumba selama dua survei adalah 45 menit, sedangkan total waktu yang dihabiskan mengamati lumba-lumba adalah 18,2 jam. Foto digital yang diambil dari sirip punggung lumba-lumba menggunakan kamera digital Nikon D700 dan 300mm/f4.0 lensa dan Nikon D300 dan lensa 24-120mm/f3.5-5.6. Upaya dilakukan untuk memotret setiap individu dalam kelompok terlepas dari apakah mereka tampaknya memiliki tanda sirip dorsal yang berbeda. Pada setiap penemuan (sighting), jangka waktu, lokasi, tingkah laku kelompok, ukuran dan komposisi dicatat. Waktu rata-rata pengamatan kelompok selama kedua survei monitoring di bulan September dan Oktober/November adalah sekitar satu jam. Jumlah pesut yang mati antara tahun 1995 hingga 2010 telah diketahui (Kreb, 2005a, Kreb et al., 2007, Kreb et al., 2010). Untuk menentukan jumlah pesut yang mati antara tahun 2010 hingga 2012, data dikumpulkan dari hasil pengamatan, laporan dan wawancara semi formal dengan para nelayan selama survei tahun 2012. Namun keterangan yang tidak lengkap atau tidak dapat dipercaya karena lokasi, tanggal kematian atau saksi mata tidak jelas, tidak akan disertakan dalam perhitungan. Long Bagun Datah Bilang Belayan Kedang Kepala Kedang Rantau Ratah Muyub Ulu Muara Bohoq Benangak Muara Semayang Muara Kaman Pahu Melintang Pela Rambayan Kota Bangun Kedang Pahu Kedang Kepala Damai Tepian Muara Ulak Batuq Jelau Jempang Loa Kulu Mahakam Delta Gambar 1. Daerah studi dengan a) daerah penyebaran seluruh pesut, b) daerah dengan kepadatan populasi yang tinggi dan c) daerah lumba-lumba Irrawaddy pesisir. Daerah lumba-lumba pesisir didasarkan pada observasi dan wawancara. Daerah utama konservasi pesut yang telah ada dan yang diusulkan ditandai dengan dua lingkaran berwarna abu-abu. Analisa Untuk memperkirakan jumlah populasi, digunakan dua metode yaitu analisa penandaanpenangkapan ulang melalui identifikasi foto (dijelaskan secara rinci dalam Kreb 2005) dan perhitungan minimum. Analisa penandaan-penangkapan ulang menggunakan metode Petersen s, dengan asumsi bahwa antara periode penandaan dan penangkapan tidak terjadi penambahan maupun pengurangan jumlah individu. Metode ini dianggap yang paling cocok digunakan karena antara kedua survei September dan November hanya ditemukan seekor anak pesut baru dengan 3

lipatan neo-foetal dan tidak ada pesut yang dilaporkan mati, sehingga kemungkinan tingkat kesalahan sangat kecil. Pengambilan gambar menggunakan kamera digital dengan kemampuan menangkap obyek yang bergerak cepat sehingga sirip punggung anak pesut pun dapat difoto. Karena itu faktor koreksi untuk perhitungan pesut yang tak dapat diidentifikasi, yang digunakan untuk survei-survei sebelum tahun 2005, kini tidak digunakan lagi. Rumus yang digunakan untuk memperkirakan jumlah populasi dan batas kepercayaan dari metode Petersen adalah sebagai berikut (Sutherland, 1996): Rumus 1.1 N = (n 1 + 1) (n 2 + 1)/ (m 2 + 1) 1 Rumus 1.2 W 1, W 2 = p±[ 1.96 p(1-p)( 1-m 2 /n 1 )/ ((n 2-1) + 1/2n 2 ] CL 1,2 = n 1 / W 1,2 Rumus 1.3 dimana: N = jumlah seluruh populasi n1 = jumah yang diidentifikasi pada survei pertama; n2 = jumlah yang diidentifikasi pada survei kedua; m2 = jumlah lumba-lumba yang telah diidentifikasi pada survei pertama dan kembali ditemukan pada survei kedua; p = m2/ n2 CL 1,2 = perkiraan batas kepercayaan terendah dan tertinggi CV = koefesien variabel Pencocokan foto-foto sirip punggung pesut yang ditemukan pada survei tahun 2010 berdasarkan katalog foto identitas yang sudah ada, dilakukan oleh dua orang analis agar diperoleh hasil yang obyektif atau bahkan mungkin individu baru. Untuk mengukur rata-rata ukuran kelompok tiap survei, didefinisikan bahwa sejumlah pesut dapat dikatakan merupakan satu kelompok jika dapat mempertahankan komposisi dan jumlahnya paling tidak selama satu jam. Jika saat mengamati satu kelompok ada kelompok lain yang bergabung, maka sejumlah pesut ini baru akan dianggap merupakan satu kelompok baru jika formasi mereka bertahan lebih dari satu jam. Hasil Penyebaran Penemuan pesut di Sungai Mahakam selama survei tahun 2010 terbatas pada daerah Muara Kaman (± 180 km dari muara Mahakam) dan Bakung(± 250 km dari muara Mahakam) (Gambar 2). Penampakan pada tahun 2012 termasuk di anak sungai Kedang Rantau (yang bermuara di Muara Kaman), sungai Belayan dan sungai Pela, yang menghubungkan pertemuan dengan Danau Semayang. Sungai Ratah ditelusuri hingga ke desa pertama yang ada sekitar 10km dari muara dimana dilakukan wawancara dengan masyarakat mengungkapkan bahwa ada sekelompok lumbalumba telah berada dari tahun 1998 hingga 2007 di sepanjang sungai yang panjangnya 2,5 km diantara sungai berarus deras dan dangkal telah pindah ke daerah hulu seperti yang diamati secara langsung pada tahun 2010 ketika sudah tidak ada lumba-lumba yang terlihat di bagian tersebut. Menurut informasi lokal sekelompok pesut yang terdiri dari 2 ekor masih terjebak di sungai kecil ukuran 40 x 50 m yang berjarak 100km dari muara Sungai Ratah dan tidak menutup kemungkinan ada 2-3 lebih persimpangan lain disekitar daerah tersebut. Semua penemuan pesut selama survei tahun 1997 hingga 2012 terbatas pada daerah antara Muara Kaman (± 180 km dari muara Mahakam) dan Tering (± 420 km dari muara Mahakam) 4

(Gambar 3). Pesut juga ditemukan di anak sungai di daerah Mahakam tengah yaitu Kedang Rantau, Kedang Kepala, Belayan, Kedang Pahu, Pela, Danau Semayang dan Melintang; selain itu diantara bagian sungai berarus deras yang berjarak sekitar 20 dan 100 km ke arah hulu dari Sungai Ratah, yang bermuara ke Sungai Mahakam pada jarak kira-kira 500 km dari muara laut. Berdasarkan hasil wawancara, daerah penyebaran maksimum dapat meluas ke arah hilir (± hingga 90 km dari muara) dan ke hulu hingga bagian sungai berarus deras di daerah Long Bagun yang berjarak 600 km dari muara. Perubahan yang nyata pada penyebaran pesut terjadi seiring waktu. Antara tahun 1999-2002 telah diidentifikasi dua daerah utama dimana pesut ditemukan dalam jumlah terbanyak yaitu daerah utama pertama Muara Pahu Penyinggahan di Kutai Barat dan daerah utama kedua Pela/Semayang Muara Kaman di Kutai Kartanegara. Pada 2005, 78% dari populasi pesut dapat dijumpai di daerah utama pertama di Kutai Barat, namun pada survei tahun 2007 persentasenya menurun hingga 57% dan bahkan dalam dua survei monitoring ekstensif yang dilaksanakan tahun 2010 tak seekor pesut pun ditemukan di wilayah kabupaten Kutai Barat, seluruh populasi berada kabupaten Kutai Kartanegara pada tahun 2012 dan untuk survei, di mana hanya satu penemuan di Kutai Barat yang sudah berada dekat dengan perbatasan Kabupaten Kutai Kartanegara. Sebagai kesimpulan, distribusi pesut telah bergeser ke bagian yang lebih hilir berdasarkan hasil observasi dan wawancara, yang juga dapat dengan jelas dilihat dari gambar 2. Pesut dapat bermigrasi pada kondisi air tertentu, namun hal ini tidak dapat dijadikan sebagai alasan yang memuaskan karena sebelumnya pesut dapat ditemukan di Kutai Barat pada kondisi air apapun, tinggi, sedang maupun rendah. Walaupun berdasarkan laporan, pesut masih dapat ditemukan di Kutai Barat, khususnya Muara Pahu, mereka semakin jarang terlihat oleh penduduk lokal dan nelayan, padahal sejak dahulu selalu terdapat pesut dalam jumlah melimpah di wilayah utama ini. Hal ini mungkin disebabkan oleh penurunan kualitas habitat di bagian hulu dan berkurangnya sumber makanan (ikan) di daerah tersebut. Perubahan ini tampaknya berkaitan erat dengan degradasi habitat yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir yaitu konversi daerah rawa, yang merupakan tempat perkembangbiakan ikan yang penting, menjadi perkebunan kelapa sawit; limbah pencucian batubara yang masuk ke dalam Sungai Kedang Pahu melalui kanal-kanal kecil dan polusi suara bawah air oleh ponton pengangkut batubara di anak sungai yang sempit tersebut; penangkapan ikan secara ilegal menggunakan setrum dan racun. Perubahan paling drastis terjadi di daerah utama Muara Pahu dimana pada tahun 2002-2005, disini setiap hari terdapat minimal 12 ekor pesut (5-21 ekor) yang terdiri atas 3 kelompok (2-6 ekor/kelompok) selama 42% jam-jam terang (20%-65%) antara pukul 7:00-18:00 pada kondisi air apapun. Paling tidak sebanyak 31 individu berbeda berhasil diidentifikasi selama 5 hari observasi darat berturut-turut dalam setiap survei. Dengan meningkatnya transportasi ponton batubara yang keluar masuk Sungai Kedang Pahu, pesut lebih sering muncul pada sore atau malam hari, dan pada tahun 2009 setelah banyak daerah perkembangbiakan ikan dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit, pesut semakin sulit ditemukan dan kini daerah utama ini biasanya hanya mereka lewati saja tanpa banyak menghabiskan waktu disana. Jumlah populasi Berdasarkan analisa penandaan-penangkapan ulang Petersen, populasi lumba-lumba Irrawaddy di Mahakam tahun 2012 diperkirakan sebanyak 92 individu (CV=15%; 95% CL = 72-130), jumlah ini sama dengan hasil yang diperoleh dari survei penandaan-penangkapan ulang tahun 2005 (N= 89), 2007 (N=90) dan 2010 (N=91). Nilai tengah angka kematian per tahun antara 1995 hingga 2012 adalah 4 individu (= 4% dari total populasi), sedangkan jumlah total kematian yang tercatat dalam 18 tahun adalah 77 ekor. Analisa regresi menunjukkan penurunan yang signifikan hingga mencapai angka kematian tahunan minimum selama tahun-tahun terakhir (b = -0,23, df = 16, t = -2.1, p = 0.05). Jika periode dibagi dua yaitu 1995-2000, 2001-2006 dan 2007-2012, maka nilai tengah angka kematian akan berkurang dari 6 individu menjadi 4 dan kemudian menjadi 3 kematian per tahun untuk periode terakhir. Angka kelahiran yang tercatat antara 2000-2002 adalah 5-6 anak per tahun dengan menghitung dari angka kelahiran baru setiap 2-3 bulan. Selama survei pada tahun 2012 kami mengamati 4 ekor anakan (berukuran setengah dewasa/sedang) yang berasal dari grup yang berbeda dan pada survei tahun 2010 telah terdeteksi 5 ekor anakan yang berasal dari grup yang berbeda. Dalam kesimpulan antara tahun 2005 dan 2010 tidak ada perubahan yang signifikan pada 5

jumlah populasi namun telah terjadi perubahan yang signifikan pada areal inti distribusi lumba-lumba (seperti yang dijelaskan selanjutnya). Ukuran kelompok & komposisi Rata-rata ukuran kelompok pesut pada 16 penemuan selama survei bulan juli dan september adalah 7 ekor, dengan nilai tengah 5 ekor (kisaran: 1-32 ekor) untuk kedua survei. Selama survei pertama, ditemukan sedikitnya 4 ekor anakan yang berbeda dengan perkiraan umur antara 1 bulan ke atas hingga kurang lebih satu tahun. dibandingkan tahun 2010, 5 ekor anakan yang berbeda ditemukan. Ancaman-ancaman Kematian Langsung Ancaman utama terhadap lumba-lumba Irrawaddy Mahakam adalah kematian langsung akibat terjerat rengge (66% dari kematian yang penyebabnya diketahui (N=77), berdasarkan wawancara dan pengamatan langsung antara tahun 1997 hingga 2012 (Gambar 3 & 4). Kebanyakan pesut yang mati terdiri dari dewasa (76%), 9% remaja dan 15% bayi baru lahir. Kebanyakan pesut mati akibat terjerat rengge dengan ukuran mata jaring 10-17,5 cm. Hubungan erat antara nelayan dan pesut meningkatkan resiko terjeratnya pesut dalam rengge. Pesut sering ditemukan sedang mencari makan di dekat rengge dan banyak nelayan menggunakan pola mencari makan pesut sebagai indikator lokasi dan waktu untuk memasang rengge. Pesut dilaporkan dapat membantu nelayan menggiring ikan ke arah jaring. Sebagai balasannya, pada beberapa kejadian nelayan berhasil melepaskan pesut yang terjerat rengge. Namun sedikitnya lima ekor pesut yang mati akibat terperangkap rengge dikonsumsi oleh masyarakat setempat dan kulit dari dua ekor diantaranya digunakan sebagai obat alergi kulit. Kematian akibat tertabrak kapal adalah 10%, umumnya terjadi pada pesut remaja, ditambah seekor pesut dewasa. Kematian karena sengaja dibunuh sebesar 7% dari semua kasus kematian yang tercatat, hal ini kebanyakan terjadi di daerah terisolir dimana pesut jarang ditemukan. Kematian saat dilahirkan 4%, karena terperangkap di air dangkal, luka fatal akibat diserang ikan Toman dan penangkapan ikan dengan setrum 3%. Akibat rawai dan racun masing-masing 2%. Gambar 3. Kematian minimum yang dicatat lewat pengamatan langsung serta laporan dan wawancara dengan nelayan. 6

Figure 2. Dolphin observations during the 2012 survey (pink dots), 2010 survey (red dots), 2007 (light-green) and 2005 (dark-green) survey. 7

Gambar 5. Penyebab kematian pesut Ancaman tidak langsung adalah beberapa faktor yang menyebabkan penurunan kualitas habitat pesut antara lain: 1) sedimentasi yang menyebabkan danau semakin dangkal dan berkurangnya sumber daya ikan; 2) polusi suara berfrekuensi tinggi yang berasal dari baling-baling kapal serta suara berdesibel tinggi dari kapal penarik dan ponton pengangkut batubara; 3) polusi bahan-bahan kimia, terutama dari limbah pencucian batubara dan emas serta kanalisasi antara perkebunan kelapa sawit dan danau atau ekosistem sungai yang membawa pupuk atau herbisida ke dalam ekosistem, dan 4) berkurangnya jumlah makanan pesut (sumber daya ikan) karena teknik penangkapan ikan secara ilegal dan tidak berkelanjutan (menggunakan setrum, racun serta pukat) serta penangkapan ikan secara berlebihan dalam praktek budidaya ikan yang tidak berkelanjutan (beternak ikan yang memakan ikan lain) dan hilangnya daerah pemijahan ikan karena konversi rawa menjadi perkebunan kelapa sawit. Pembahasan secara detail adalah sebagai berikut: Sedimentasi Penurunan wilayah penyebaran populasi baru-baru ini ditandai dengan menghilangnya pesut dari Danau Jempang sejak pertengahan 1990, kemungkinan disebabkan oleh pendangkalan dari sedimentasi yang berlebihan akibat penebangan hutan di pinggir danau. Tingginya sedimentasi dan banyaknya rengge juga membatasi pergerakan pesut ke dua danau lainnya, Melintang dan Semayang. Sehingga saat ini, kecuali jika tingkat permukaan air tinggi, pergerakan pesut terbatas pada jalur transportasi kapal yang sempit diantara kedua danau tersebut dengan resiko tertabrak dan gangguan kebisingan. Di samping itu sedimentasi juga mengurangi sumber daya ikan (lihat Penurunan jumlah mangsa di bawah). Polusi suara Sumber utama polusi suara adalah kapal berkecepatan tinggi (40-200 pk) (rata-rata = 4,6 kapal/jam melewati habitat pesut). Pesut menyelam lebih lama saat kapal berjarak 300 m dari mereka (Kreb & Rahadi, 2004). Selain itu, banyaknya ces dengan tongkat baling-baling panjang yang melaju dengan kecepatan tinggi (maks 26 pk) di Sungai Pela juga menyebabkan pesut menyelam lebih lama. Setiap hari kapal penarik ponton batubara melewati Sungai Kedang Pahu (rata-rata = 8,4 kapal/hari), anak sungai sempit yang merupakan habitat utama pesut. Selama musim kemarau, ukuran kapal ini menyita lebih dari dua pertiga lebar sungai dan lebih dari setengah kedalaman anak sungai. Pesut selalu mengubah arah berenang mereka (jika sedang menuju ke hulu) saat bertemu kapal penarik ponton batubara. Saat level air rendah, pesut tidak pernah masuk ke dalam anak sungai ini. Padahal berdasarkan informasi nelayan setempat, dahulu (sebelum ada kapal penarik ponton batubara) saat bergerak ke hulu pesut masuk ke anak sungai hingga muara anak Sungai Bolowan (sekitar 10 km dari muara Kedang Pahu) pada berbagai level air. Bahkan sekarang sebuah kapal laut pengangkut tipe 8

baru juga digunakan untuk membawa batubara langsung dari perusahaan tambang di Muara Bunyut (dekat Melak). Hal ini meningkatkan keprihatinan karena kapal seperti ini akan menimbulkan polusi suara amat besar di wilayah perairan yang tidak luas, dan meningkatkan kanalisasi dasar sungai yang berdampak pada tempat perkembangbiakan ikan di tikungan sungai. Polusi bahan kimia Merkuri dan sianida mencemari sungai akibat bocornya tanggul penahan limbah dari kegiatan penambangan emas besar maupun berskala kecil yang ilegal di sepanjang sungai. Debu batubara seringkali jatuh tanpa sengaja ke sungai dan hal ini mungkin menyebabkan perubahan warna kulit pesut di daerah tersebut, seperti yang teramati pada tahun 2002 dan 2007. Keadaan seperti ini tidak pernah terlihat pada pesut di daerah lain. Selain itu, air limbah pencucian batubara juga masuk ke anak-anak sungai besar dan danau-danau melalui kanal-kanal kecil saat air pasang. Pestisida (pupuk dan herbisida non-organik) dari perkebunan kelapa sawit yang masuk ke dalam sungai melalui saluran-saluran yang dibuat oleh perusahaan juga merupakan ancaman yang tidak termonitor. Penurunan jumlah mangsa Penangkapan ikan secara intensif menggunakan rengge, setrum, pukat (terutama di danau), racun (Dupon/Lamet, Deses, akar Gadong) dan budidaya ikan predator yang diberi makan ikan-ikan kecil, yang diambil langsung dari danau atau sungai, kemungkinan telah menyebabkan penurunan yang signifikan dari sumber daya ikan (Departemen Perikanan, 2007). Penurunan jumlah mangsa ini mungkin dapat mempengaruhi waktu dan energi yang harus dikeluarkan oleh pesut untuk mencari makan. Penebangan hutan di tepi sungai juga mengurangi sumber daya ikan karena hal ini mengakibatkan peningkatan suhu air, sedimentasi dan berkurangnya sisa-sisa tanaman (seperti daun dan buah yang jatuh dari pohon) yang merupakan sumber makanan bagi ikan. Berkurangnya jumlah ikan meningkatkan ketertarikan pesut terhadap rengge dan meningkatkan resiko pesut terjerat rengge. Selain itu, alih fungsi hutan rawa menjadi perkebunan kelapa sawit, yang banyak terdapat di wilayah ini, juga mengurangi daerah perkembangbiakan ikan. Bendungan yang dibuat oleh perusahaan untuk mencegah banjir justru menghalangi ikan yang akan bertelur untuk masuk atau ikan kecil yang akan keluar dari daerah rawa tersebut. Potensi ancaman yang akan datang Ancaman masa mendatang adalah kematian langsung dan degradasi habitat yang terus berlangsung (penebangan hutan serta polusi suara dan bahan kimia). Polusi suara dapat menyebabkan stres yang akan berdampak pada penurunan tingkat reproduksi, sedangkan polusi bahan kimia dapat mengakibatkan keturunan yang tidak sehat atau bahkan kematian. Ancaman lain berupa penurunan sumber makanan akibat teknik penangkapan ikan yang tidak berkelanjutan (terutama penangkapan ikan menggunakan listrik semakin meningkat dengan memakai generator bertegangan tinggi, intensif gillnetting untuk praktek budidaya berkelanjutan, budidaya ikan predator dan pukat which use predator fish and trawling), serta kemungkinan tekanan akibat perkawinan sedarah, seperti penurunan kemampuan anak-anak pesut untuk bertahan hidup melewati tahun pertamanya, penurunan kemampuan bertahan hidup pesut dewasa, penurunan kemampuan berkembangbiak, dan/atau kemampuan bersaing untuk mendapatkan pasangan. Namun, hasil analisa kelangsungan hidup populasi menunjukkan bahwa tingkat perkawinan sedarah dalam populasi ini masih rendah. Dilihat dari populasi pesisir Orcaella brevirostris yang tersebar dalam kelompok-kelompok kecil, dapat ditarik kesimpulan bahwa Pesut Mahakam berasal dari sebuah populasi kecil yang mampu menjaga keanekaragaman genetikanya. Selain itu, nampaknya sebelum dampak tekanan akibat perkawinan sedarah terlihat, populasi pesut akan telah mencapai satu tahap dimana tidak mungkin lagi bertahan hidup akibat jumlah kematian dan kelahiran yang tidak seimbang sehingga populasi tidak mampu berkembang lagi. (terutama penangkapan ikan menggunakan listrik semakin meningkat dengan memakai generator bertegangan tinggi, intensif gillnetting untuk praktek budidaya berkelanjutan, budidaya ikan predator dan pukat which use predator fish and trawling) 9

Konservasi Kegiatan konservasi dahulu dan saat ini oleh Yayasan Konservasi RASI Kegiatan konservasi dilakukan segera setelah data tentang perkiraan awal dan daerah-daerah yang disukai pesut tersedia. Langkah awal dilakukan pada tahun 1999, bekerjasama dengan Balai Konservasi Sumber Daya Alam Kalimantan Timur (Departemen Kehutanan) berupa upaya peningkatan kesadaran masyarakat di sepanjang sungai mengenai status perlindungan Pesut Mahakam melalui penyebaran informasi dan leaflet ke seluruh kepala desa. Pada tahun 2000, didirikan sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) lokal, Yayasan Konservasi RASI (Rare Aquatic Species of Indonesia) yang tujuan awalnya adalah melindungi Pesut Mahakam dan habitatnya. Sejauh ini kegiatan yang telah dilakukan RASI meliputi 1) monitoring populasi pesut; 2) pemetaan daerah-daerah utama pesut; 3) kampanye kesadaran lingkungan untuk masyarakat umum dan target khusus, seperti sekolah-sekolah dasar dan menengah, nelayan, aparat pemerintah, dan perusahaan; 4) menyusun paket pendidikan lingkungan sebagai muatan lokal atau ekstra kurikuler bagi sekolah menengah pertama dan atas serta sekolah dasar; 5) survei sosial ekonomi dan prakiraan sikap masyarakat nelayan terhadap konservasi Pesut Mahakam; 6) lokakarya bagi para nelayan untuk berlatih cara-cara pelepasan pesut yang terperangkap rengge dengan aman dan teknik penangkapan ikan yang lestari; 7) memperkenalkan teknik budidaya ikan yang lestari kepada para nelayan dan membentuk koperasi nelayan untuk mengelola pinjaman modal; 8) Lokakarya multi-pihak baik di tingkat kabupaten dan tingkat internasional (Kreb et al., 2010) Tingkat untuk membahas dan mendukung pembentukan dua kawasan lindung untuk lumba-lumba dan kawasan penting pemijahan ikan di bagian barat dan tengah kutai dan untuk mengembangkan peraturan. Kegiatan konservasi saat ini terfokus pada upaya memperoleh dukungan pemerintah lokal dan masyarakat untuk melindungi daerah-daerah melalui lokakarya multipihak dan mempersiapkan rencana manajemen dengan pembagian tugas untuk masing-masing organisasi untuk setiap area. Mitigasi teknik penangkapan ikan yang tidak berkelanjutan dengan memperkenalkan teknik penangkapan ikan yang lebih berkelanjutan, memulihkan daerah pemijahan ikan dan pengurangan polusi (karena limbah kimia dan kebisingan perahu) merupakan komponen penting untuk kelangsungan hidup populasi lumba-lumba air tawar yang terancam punah ini. Tambahan, pada tahun 2012 pusat pendidikan lingkungan akan didirikan di stasiun rakit apung di desa sangkuliman di sungai pela, dimana sudah tersedia instalasi pemantauan akustik bawah air yang sedang berlangsung untuk menginformasikan kepada anak-anak sekolah, wisatawan domestik dan asing. Beberapa pelatihan lokakarya akan dilakukan di desa-desa di pela, yang merupakan anak sungai dimana lumba-lumba setiap hari lewat dari Sungai Mahakam menuju Danau Semayang dan sebaliknya. Lokakarya ini fokus pada pembangunan berkelanjutan dan ekowisata dan termasuk kursus dasar bahasa inggris mengenai konservasi, produk kerajinan dari sampah plastik dan gulma, membuat pupuk kompos organik dan cara menumbuhkan tanaman hidroponik. Rencana penelitian saat ini dan masa mendatang Rencana penelitian saat ini dan masa mendatang adalah survei monitoring dua tahun sekali untuk: 1) Monitoring ancaman-ancaman, angka kematian dan kelahiran serta ukuran populasi (menggunakan metode perhitungan langsung dan analisa penandaan-penangkapan ulang) untuk mengetahui kecenderungan perubahannya dalam jangka panjang; 2) Memperbaharui katalog foto identitas untuk mengetahui daerah yang disukai dan sosial ekologi, khususnya aspek perkembangbiakan; 3) Memperkirakan apakah daerah-daerah utama yang sebelumnya telah diidentifikasi akan tetap menjadi daerah yang disukai dalam jangka waktu lama; 4) Mengumpulkan contoh jaringan dari bangkai pesut yang ditemukan untuk mengetahui variasi genetik dan hubungan demografik antara populasi sungai dan laut.; 5) Pemantauan akustik bawah air migrasi harian lumba-lumba di sungai pela bekerja sama dengan Universitas Tokyo dan Universitas Mulawarman; 6) Pemetaan batas PA. 10

Lokasi, ukuran dan pengelolaan kawasan perlindungan yang direncanakan atau telah ada Kawasan perlindungan/pelestarian pertama bagi pesut Mahakam adalah Kawasan Pelestarian Alam Habitat Pesut Mahakam, Muara Pahu, Kutai Barat, di Muara Pahu, Kabupaten Kutai Barat (Gambar 6). Penetapan dan status perlindungan disahkan secara resmi lewat Surat Keputusan Bupati Kutai Barat No. 522.5.51/ K. 471/2009. Institusi yang ditugaskan untuk mengkoordinir pengelolaan dan sosialisasi adalah Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Kutai Barat, bekerjasama dengan Yayasan Konservasi RASI. Rincian peraturan kabupaten dan rencana pengelolaan Kawasan Perlindungan (KP) masih harus disahkan melalui surat keputusan (Lampiran 1). KP ini meliputi daerah utama pesut sepanjang 36 km antara Tepian Ulak hingga Rambayan dan kurang lebih 22 km Sungai Kedang Pahu antara Muara Pahu hingga Muara Jelau. Selain itu, anak sungai sepanjang 23 km (Baroh dan Beloan) serta habitat hutan rawa air tawar dan gambut (dengan perlindungan hutan sepanjang tepian, berjarak 150-500m dari tepi sungai), yang sebenarnya jarang dikunjungi pesut namun merupakan habitat perkembangbiakan ikan yang penting dan pemasok ikan langsung bagi daerah pesut. Luas keseluruhan KP adalah 4100 ha. Sebuah daerah penyangga di bagian hilir Tepian Ulak hingga Penyinggahan sepanjang 27 km juga diusulkan untuk dilindungi oleh pemerintah setempat dan didukung oleh masyarakat setempat namun belum dirancang secara resmi. Gambar 6. Peta Lokasi KP Alam Habitat Pesut Mahakam Kabupaten Kutai Barat Kawasan perlindungan kedua yang diusulkan adalah Kawasan Pelestarian Alam Habitat Pesut Mahakam Kabupaten Kutai Kartanegara dengan luas keseluruhan 6.568 ha, yang meliputi: Sungai Mahakam sepanjang 32 km antara Muara Kaman hingga Kota Bangun; Sungai Kedang Rantau sepanjang 30 km hingga Tunjungan; 5 km jalur muara Sungai Sebintulung sampai desa Sebintulung;Sungai Kedang Kepala sepanjang 7,3 km hingga Muara Siran;Sungai Belayan sepanjang 7,5 km hingga Muhuran; Sungai Pela sepanjang 4,3 km dari muara sungai Mahakam hingga muara Danau Semayang ditambah radius 2km kanan kiri di muara tersebut; Jalur dalam di danau Semayang (merupakan jalur di danau yang masih tergenang air pada musim kemarau) antara Muara Danau Semayang/ Pela arah kampung Melintang sepanjang 10 km dan 200m lebar maximum (Gambar 7). 11

Gambar 7. KP yang diusulkan di Kabupaten Kutai Kartanegara Tujuan umum kedua Kawasan Perlindungan (KP) adalah: 1. Penetapan kawasan perlindungan berbasis masyarakat bagi lumba-lumba air tawar Pesut Mahakam, Orcaella brevirostris untuk memperoleh perlindungan habitat yang efisien dengan menerapkan ukuran peningkatan kualitas habitat yaitu menghindari polusi bahan kimia dan suara bawah air serta mengurangi risiko kematian yang disebabkan oleh rengge dan tertabrak kapal. 2. Perlindungan sumber daya ikan melalui metode penangkapan ikan yang lestari serta penegakan hukum terhadap praktek perikanan yang ilegal dengan tujuan untuk melindungi sumber makanan Pesut Mahakam dan menopang mata pencaharian masyarakat nelayan setempat. 3. Pelestarian hutan tepian sungai dan rehabilitasi dalam kawasan perlindungan yang bertujuan untuk mengurangi erosi dan sedimentasi, melindungi daerah perkembangbiakan ikan, sumber daya perikanan (biji dan buah pohon yang jatuh merupakan makanan ikan), jenis lain yang dilindungi, dan potensi ekoturisme. 4. Meningkatkan kesadaran lingkungan masyarakat setempat, pemerintah serta berbagai pihak lain untuk pemanfaatan lingkungan dan sumber dayanya secara berkelanjutan dan membangun komitmen untuk pelestarian pesut Mahakam. Peraturan dan kebijakan yang diusulkan untuk kedua kawasan terutama mengenai perikanan yang berkelanjutan (tanpa setrum, racun, dan membantu nelayan untuk menerapkan teknik budidaya ikan yang berkelanjutan), menetapkan peraturan rengge untuk keselamatan pesut (dipasang sejajar tepi sungai di lokasi yang dekat dan terlihat oleh penduduk, tidak pada malam hari dan harus diperiksa secara rutin, ukuran mata rengge antara 4 10 cm, menyediakan ganti rugi bagi nelayan yang bersedia memotong renggenya demi melepaskan pesut yang terperangkap dalam keadaan hidup). Sedangkan peraturan dan kebijakan untuk mengurangi polusi suara dan bahan kimia antara lain 12

dengan mencegah ponton melewati anak-anak sungai sempit, mengurangi kecepatan kapal yang melintasi daerah muara (max. 15 km/jam), monitoring kualitas air dan pembuangan limbah perusahaan secara aman. Peraturan lainnya adalah mengenai perlindungan dan pemulihan hutan tepian sungai, perlindungan daerah perkembangbiakan ikan, pelaksanaan undang-undang, serta monitoring populasi dan ancaman. Sehubungan dengan pelaksanaan undang-undang dan monitoring, RASI mengusulkan agar patroli malam dilaksanakan oleh tim satuan tugas lokal sebagai bagian dari perangkat desa, semacam satuan tugas sipil yang diangkat oleh kepala desa yang berwenang untuk menahan dan menyerahkan oknum yang terlibat dalam kegiatan ilegal kepada pihak kepolisian setempat. Tim-tim ini mungkin terdiri atas 3-4 orang yang akan mengawasi kegiatan penangkapan ikan ilegal serta akan menjadi pusat koordinasi bagi nelayan setempat yang ingin melaporkan suatu kejadian yang tidak lazim dan keadaan yang berpotensi bahaya sehubungan dengan pesut (misalnya rengge yang dipasang melintang tepian sungai). Mereka juga dapat memberikan informasi terbaru tentang keberadaan pesut, terutama di daerah danau rawa banjir dimana beberapa pesut pernah terjebak saat danau mengering kembali di musim kemarau. Rencana Strategi Konservasi Nasional untuk Pesut Mahakam 2010-2020 Rencana Strategi Konservasi Nasional untuk Pesut Mahakam yang diprakarsai oleh Departemen Konservasi di bawah Menteri Kehutanan telah disusun sejak akhir 2010. Saat ini sedang menuju proses akhir dan menunggu untuk disahkan oleh Kementerian. Tujuan Rencana Strategi Konservasi Nasional untuk Pesut Mahakam disusun sebagai upaya merumuskan prioritas dan panduan bagi kegiatan konservasi agar dilaksanakan oleh semua pihak yang terlibat dalam pengelolaan habitat untuk meningkatkan jumlah populasi pesut dan menjamin kelangsungan hidup jangka panjang mereka dengan perhatian khusus terhadap pembangunan kawasan konservasi, hutan produksi, tambang batubara dan pertanian skala besar. Target konservasi yang ingin dicapai tahun 2020 adalah penambahan populasi hingga 120 individu (40%). Hal ini mungkin dapat diwujudkan jika tingkat kematian yang sekarang 3 ekor per tahun, dikurangi hingga 1 atau 0 ekor per tahun. Dengan demikian, populasi pesut dapat tumbuh 4% per tahun. Misi Untuk mencapai tujuan ini, dirumuskan misi sebagai berikut: 1. Meningkatkan perlindungan bagi Pesut Mahakam melalui pelestarian habitatnya dan menjadikan daerah utama sebagai kawasan perlindungan. 2. Monitoring perubahan yang terjadi dalam populasi (jumlah, ancaman, tingkat kematian dan kelahiran). 3. Meningkatkan kontrol terhadap kegiatan legal dan ilegal, yang dapat berdampak negatif terhadap populasi, sumber daya ikan, dan hutan tepian sungai serta meningkatkan kesadaran masyarakat lokal dalam pemanfaatan sumber daya alam secara lestari. 4. Memiliki dana yang mencukupi setiap tahun untuk melindungi populasi dan habitat pesut. 13

Pembahasan Peningkatan jumlah pesut di kabupaten Kutai Kartanegara dan penurunannya di Kutai Barat terutama disebabkan oleh pembukaan perkebunan kelapa sawit pada lahan basah dan kegiatan penambangan batubara yang berhubungan dengan daerah utama pesut di Muara Pahu (lihat bagian Hasil). Di samping itu, wawancara dengan nelayan menunjukkan bahwa penangkapan ikan menggunakan listrik dengan generator adalah masalah yang umum di Kutai Barat dan terlebih juga baru-baru ini telah masuk ke Kutai Kartanegara. In addition, interviews with fishermen indicated that electro-fishing with generators is a common problem in West Kutai and also more recently made its entrance in Central Kutai. Oleh karena itu pemulihan habitat di daerah yang telah rusak amat diperlukan untuk: 1) mengendalikan faktor polusi dan mengambil tindakan pencegahan, 2) mencegah konversi lebih jauh dari daerah rawa; 3) memulihkan hutan tepian sungai menggunakan jenis tanaman setempat, pohon buah, rotan dan jenis lain yang dapat menimbulkan keinginan dari masyarakat setempat untuk ikut menjaga dan memanfaatkan hasil hutan secara berkelanjutan; 4) meningkatkan patrol dan penegakan hukum terhadap penangkapan ikan dengan menggunakan listrik. Ancaman yang teridentifikasi tetap sama dengan periode penelitian sebelumnya (1999-2002; 2005; 2007; 2010) dan penyebab utama kematian masih disebabkan terjerat rengge. Analisa regresi menunjukkan penurunan yang signifikan hingga mencapai angka kematian tahunan minimum selama tahun-tahun terakhir (b = -0,23, df = 16, t = -2.1, p < 0.05). Jika periode dibagi tiga yaitu 1995-2000, 2001-2006 dan 2007-2012 maka nilai tengah angka kematian yang tercatat berkurang dari 6 menjadi 4 dan kemudian menjadi 3 kematian per tahun selama periode terakhir. Angka yang menurun ini mungkin benar-benar menunjukkan berkurangnya pesut yang mati, bukan karena berkurangnya pesut yang diketahui mati. Karena pesut yang mati biasanya tidak dikubur, sehingga akan mudah diketahui oleh penduduk desa yang tinggal di sepanjang sungai. Selain itu, informasi mengenai pesut yang mati di suatu daerah, terutama karena aktivitas manusia seperti merengge, sangat jarang bila tidak diketahui oleh penduduk karena informasi seperti ini cepat menyebar dari mulut ke mulut dan dapat diperoleh saat wawancara informal dengan penduduk desa di sepanjang daerah survei. Namun, kematian anak pesut sepertinya lebih sulit diketahui; hal ini menjelaskan mengapa jumlah kematian anak pesut tetap stabil dalam angka rendah sepanjang tahun sejak 1995. Daftar penyebab kematian mendapat dua tambahan baru belakangan ini, yaitu kejutan listrik dan kail pancing. Walaupun masih jarang terjadi, kesadaran masyarakat perlu ditingkatkan untuk mengatasi masalah ini. Daftar Pustaka Kreb, D. (1999) Observations on the occurrence of Irrawaddy dolphin, Orcaella brevirostris, in the Mahakam River, East Kalimantan, Indonesia. Zeitschrift für Säugetierkunde, 64, 54 58. Kreb, D. and Smith, B.D. (2000) Orcaella brevirostris (Mahakam subpopulation). In: IUCN 2004. 2004 IUCN Red List of Threatened Species. <http://www.redlist.org/>. Kreb, D. (2002) Density and abundance of the Irrawaddy dolphin, Orcaella brevirostris, in the Mahakam River of East Kalimantan, Indonesia: a comparison of survey techniques. The Raffles Bulletin of Zoology, Supplement, 10, 85 95. Kreb, D. (2004) Facultative river dophins: Conservation and social ecology of freshwater and coastal Irrawaddy dolphins in Indonesia. PhD thesis, University of Amsterdam, pp. 1-230 Kreb, D. & Rahadi, K.D. (2004) Living under an aquatic freeway: effects of boats on Irrawaddy dolphins (Orcaella brevirostris) in a coastal and riverine environment in Indonesia. Aquatic Mammals, 30, 363 375 Kreb, D. & Budiono (2005) Conservation management of small core areas: key to survival of a Critically Endangered population of Irrawaddy river dolphins Orcaella brevirostris in Indonesia. Oryx, 39 (2), 1-11. Kreb, D. (2004) Abundance of freshwater Irrawaddy dolphins in the Mahakam in East Kalimantan, Indonesia, based on mark-recapture analysis of photo-identified individuals. Journal of Cetacean Research and Management, 6 (3), 269-277. 14

Kreb, D., Syahrani & Budiono (2005) Pesut Mahakam Conservation Program 2005. Technical Report: Abundance and threats monitoring surveys during medium-high and low waterlevels, June & September 2005. Kreb, D., Budiono and Syachraini. 2007. Status and Conservation of Irrawaddy Dolphins Orcaella brevirostris in the Mahakam River of Indonesia. In Status and Conservation of Freshwater Populations of Irrawaddy Dolphins, WCS Working Paper Series 31 (B.D. Smith, R.G. Shore, and A. Lopez, eds.), pp. 53-66, Wildlife Conservation Society, Bronx, NY. Kreb, D., Syachraini & Lim, I.S. (2007). Pesut Mahakam Conservation Program. Technical report: Abundance and threats monitoring surveys during medium to low water levels, August/September & November 2007 Kreb, D. & Lim, I.S. (2010). Pesut Mahakam Conservation Program. Technical report: Abundance and threats monitoring surveys during medium to high water levels, September & October/November 2010 D. Kreb, R.R. Reeves, P.J. Thomas, G. Braulik and B.D. Smith (2010). Establishing protected areas for Asian freshwater cetaceans as flagship species for integrated river conservation management. Samarinda, 19-24 October 2009. Final Workshop report: Yayasan Konservasi RASI, Samarinda. Available online at: http://www.ykrasi.110mb.com/asia_freshwater_dolphin_workshop.html Kreb, D., Noor, I.Y., Budiono, Syachraini (2012). Pesut Mahakam Conservation Program. Technical report: Abundance and threats monitoring surveys during low levels, July and September 2012. Reeves, R.R., B.D. Smith, & T. Kasuya, (eds), 2000. Biology and conservation of freshwater cetaceans in Asia. Occasional Paper of the IUCN Species Survival Commission, 23, IUCN, Gland, Switzerland. Smith, B.D., Beasley, I. & Kreb, D. (2003) Marked declines in populations of Irrawaddy dolphins. Oryx, 37, 401-401. Sutherland, W.J. (ed) 1996. Ecological Census Techniques. A Handbook. Cambridge University Press, UK. 336pp. 15

Pictures Areal survei di Sungai Mahakam berkisar antara 180km-500km dari muara termasuk beberapa anak sungai utama Pengamat depan mengamati sungai secara terus-menerus menggunakan teropong genggam. Selain itu ada satu pengamat depan tambahan pemindaian dengan mata telanjang dan seorang pengamat belakang (dan juga perekam data) dan posisi diganti setiap 30 menit. Seorang pengamat belakang diperlukan untuk mendeteksi lumba-lumba yang mungkin tidak terdeteksi setelah berbelok. 16

Pola timbul khas pesut 17

Spy-hopping Fluke slap 18

Dengan kehadiran aktivitas manusia dekat di sepanjang sungai membuat pesut sangat rentan terhadap beberapa ancaman seperti terbelit rengge dan polusi 19

Danau Semayang masih merupakan habitat penting bagi lumba-lumba pesut dan mereka membuat migrasi harian antara sungai utama dan danau melalui Sungai Pela Hutam sempadan sungai masih utuh termasuk rawa-rawa air tawar mengurangi erosi dan sedimentasi, memberikan keteduhan, tempat pemijahan ikan dan makanan untuk ikan (bibit pohon dan buah-buahan). Lumba-lumba serta spesies dilindungi lainnya bergantung pada sumber daya ikan. 20

Mengambil foto-foto sirip punggung untuk estimasi jumlah populasi lumba-lumba Beberapa contoh foto-diidentifikasi sirip punggung. Secara total selama survei 2012 65 individu secara langsung dapat diidentifikasi berdasarkan bentuk sirip punggung mereka 21