MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR : 132 TAHUN 2003 TENTANG

dokumen-dokumen yang mirip
BUPATI PURBALINGGA PERATURAN BUPATI PURBALINGGA NOMOR TAHUN 2010 TENTANG

MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN BUPATI BULUNGAN TENTANG PEDOMAN UMUM PELAKSANAAN PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DI KABUPATEN BULUNGAN.

PERATURAN DAERAH PROVINSI BANTEN NOMOR : 10 TAHUN 2005 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG NOMOR 28 TAHUN 2012 TENTANG

PERATURAN DAERAH PROVINSI LAMPUNG NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan;

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA (INPRES) NOMOR 9 TAHUN 2000 (9/2000)

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 15 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN UMUM PELAKSANAAN PENGARUSUTAMAAN GENDER DI DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN BUPATI TENTANG PEDOMAN UMUM PELAKSANAAN PENGARUSUTAMAAN GENDER (PUG) DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DI KABUPATEN MALANG. BAB I KETENTUAN UMUM

WALI KOTA DEPOK PROVINSI JAWA BARAT

GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUNINGAN NOMOR 16 TAHUN 2013 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN BUPATI TANGERANG NOMOR 118 TAHUN 2015

Gubernur Jawa Barat PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG

WALIKOTA PEKANBARU PROVINSI RIAU PERATURAN WALIKOTA PEKANBARU NOMOR 41 TAHUN 2016 TENTANG PELAKSANAAN PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH

BUPATI KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN BUPATI KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 47 TAHUN 2011 TENTANG

PERATURAN DAERAH PROVINSI LAMPUNG NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN BUPATI PANDEGLANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PANDEGLANG,

PEMERINTAH PROVINSI KEPULAUAN RIAU

BUPATI BULUKUMBA PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUKUMBA NOMOR 16 TAHUN 2014 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER

2011, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Pe

BUPATI SOPPENG PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SOPPENG NOMOR 2 TAHUN 2017 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH

PERATURAN WALIKOTA MALANG NOMOR 35 TAHUN 2011 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BERITA DAERAH KABUPATEN KULON PROGO

PEMERINTAH KABUPATEN SIDENRENG RAPPANG

WALIKOTA PROBOLINGGO

WALI KOTA CIREBON PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN WALI KOTA CIREBON NOMOR 6 TAHUN 2018 TENTANG PEDOMAN PENGARUSUTAMAAN GENDER DI KOTA CIREBON

PROVINSI KEPULAUAN RIAU PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARIMUN NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG PELAKSANAAN PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN

GUBERNUR SULAWESI SELATAN PERATURAN GUBERNUR PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR : 62 TAHUN 2011 TENTANG

BUPATI BINTAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU PERATURAN DAERAH KABUPATEN BINTAN NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DIDAERAH

PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN

BERITA DAERAH KOTA BOGOR. Nomor 26 Tahun 2016 Seri E Nomor 18 PERATURAN WALIKOTA BOGOR NOMOR 26 TAHUN 2016 TENTANG

PERATURAN DAERAH KOTA BANJARBARU NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 66 TAHUN 2013 TENTANG

PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI TENGAH NOMOR 1 TAHUN 2017 TENTANG PELAKSANAAN PENGARUSUTAMAAN GENDER DI DAERAH

BUPATI LOMBOK UTARA PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK UTARA NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER

2013, No Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender Dalam Pembangunan Nasional; 3. Peraturan Menteri Pertahanan Nom

WALIKOTA KENDARI PROVINSI SULAWESI TENGGARA

GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH

BUPATI TORAJA UTARA PROVINSI SULAWESI SELATAN

BUPATI KEBUMEN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEBUMEN NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER

PERATURAN DAERAH KOTA PAREPARE NOMOR 5 TAHUN

BUPATI TRENGGALEK PROVINSI JAWA TIMUR

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH

BERITA DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

PERATURAN BUPATI LUWU TIMUR NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN PENGARUSUTAMAAN GENDER DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KABUPATEN LUWU TIMUR

PERATURAN WALIKOTA SABANG NOMOR TAHUN 2013 TENTANG PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN RESPONSIF GENDER DALAM PEMBANGUNAN DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA

WALIKOTA BLITAR PROVINSI JAWA TIMUR

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SINJAI NOMOR 12 TAHUN 2013 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER KABUPATEN SINJAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SINJAI,

BUPATI KEPULAUAN SELAYAR PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR NOMOR 8 TAHUN 2016 TENTANG

BUPATI KOTABARU PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 16 TAHUN 2013 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN KABUPATEN KOTABARU

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2014 NOMOR 1 SERI E

WALIKOTA PEKALONGAN, PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 13 TAHUN 2014 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1604, 2014 BNPB. Penanggulangan. Bencana. Gender. Pengarusutamaan.

BUPATI JEPARA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH

BUPATI SERANG PROVINSI BANTEN

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANAH LAUT NOMOR 1 TAHUN 2014

" {{rr> WALIKOTA BANJARMASIN PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KOTA BANJARMASIN TAHUN2015 TENTANG

Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58 Tambahan Le

S A L I N A N BERITA DAERAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT NOMOR 15 TAHUN No. 15, 2016 TENTANG

BUPATI TAPIN PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN BUPATI TAPIN NOMOR 07 TAHUN 2014 TENTANG

BUPATI TAPIN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TAPIN NOMOR 16 TAHUN 2013 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

GUBERNUR ACEH PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG

WALIKOTA SURABAYA INSTRUKSI WALIKOTA SURABAYA NOMOR 6 TAHUN 2008 TENTANG PERCEPATAN PENGARUSUTAMAAN GENDER DI KOTA SURABAYA WALIKOTA SURABAYA,

: 1. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah-daerah Kabupaten Dalam

WALIKOTA PROBOLINGGO PROVINSI JAWA TIMUR

PERATURAN GUBERNUR PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 176 TAHUN 2010 TENTANG KELOMPOK KERJA PENGARUSUTAMAAN GENDER

BUPATI SIAK PROVINSI RIAU PERATURAN BUPATI SIAK NOMOR 18 TAHUN 2016 TENTANG PEMBENTUKAN KELOMPOK KERJA PENGARUSUTAMAAN GENDER

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 21 TAHUN TAHUN 2013

BUPATI BULUKUMBA PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN BUPATI BULUKUMBA NOMOR 53 TAHUN

BUPATI LOMBOK BARAT PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI NEGARA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN REPUBLIK INDONESIA,

GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN DAERAH PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG NOMOR 9 TAHUN2016 TENTANG

BERITA DAERAH KOTA SEMARANG

BUPATI LOMBOK UTARA PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK UTARA NOMOR TAHUN 2014 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER

QANUN KOTA SUBULUSSALAM NOMOR: 21 TAHVN 2010 TENTANG PELAKSANAAN PENGARUSUTAMAAN GENDER DI KOTA SUBULUSSALAM DENGANRAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA

PERATURAN MENTERI NEGARA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN PERLINDUNGAN PEREMPUAN

c. bahwa berdasaarkaan pertimbangan sebagaimana

BUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN BUPATI TANGERANG NOMOR 119 TAHUN 2015 TENTANG

KESEPAKATAN BERSAMA ANTARA MENTERI NEGARA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK REPUBLIK INDONESIA DENGAN

GUBERNUR JAWA TIMUR KEPUTUSAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 188/13/KPTS/013/2006 TENTANG

NOMOR TENTANG. Pemerintah. Provinsi, P dan 3839); Negara. 4. Peraturan. Negara. Lembarann Negara Nomor. 6. Peraturan

PENGARUSUTAMAAN GENDER MELALUI PPRG KEMENTERIAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK

JAILOLO NOMOR P TAHUN 2011 TENTANG PENGARUSUTAMAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL. Wilayah Daerah Swatantra Tingkat I Maluku menjadi Undang-undang;

PEMERINTAH KABUPATEN SAMPANG

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN NEGARA PPdan PA. Perencanaan. Penganggaran. Responsif Gender.

BUPATI CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN BUPATI CIAMIS NOMOR 46 TAHUN 2016 TENTANG

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 41 TAHUN 2009 TENTANG PEDOMAN PENYELENGGARAAN PEMBAURAN KEBANGSAAN DI PROVINSI JAWA TIMUR

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2010 TENTANG PENGAWASAN KETENAGAKERJAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

GUBERNUR SUMATERA BARAT PERATURAN GUBERNUR SUMATERA BARAT NOMOR 25 TAHUN 2017

PERATURAN MENTERI PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2015

BUPATI BULUNGAN PERATURAN BUPATI BULUNGAN NOMOR 23 TAHUN 2008 TENTANG

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG

RENCANA AKSI DAERAH PENGARUSUTAMAAN GENDER KOTA SOLOK TAHUN 2015 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA SOLOK,

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2010 TENTANG PENGAWASAN KETENAGAKERJAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

WALIKOTA BATU KEPUTUSAN WALIKOTA BATU NOMOR: 180/24/KEP/ /2013 TENTANG TIM TEKNIS OTONOMI DAERAH KOTA BATU WALIKOTA BATU,

PEMERINTAH KABUPATEN LAMONGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMONGAN NOMOR 08 TAHUN 2008 TENTANG

G U B E R N U R SUMATERA BARAT

KESEPAKATAN BERSAMA ANTARA KEMENTERIAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA DAN KEMENTERIAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK REPUBLIK INDONESIA

Transkripsi:

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR : 132 TAHUN 2003 TENTANG PEDOMAN UMUM PELAKSANAAN PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DI DAERAH MENTERI DALAM NEGERI, Menimbang : a. bahwa dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di daerah masih terdapat kesenjangan gender baik dalam perencanaan, pelaksanaan, penganggaran, pemantauan dan evaluasi, maupun dalam pengambilan keputusan dan kebijakan publik; b. bahwa dalam rangka menindaklanjuti Inpres Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional, maka pengaturan dalam Surat Edaran Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah Nomor : 050/1232/SJ tanggal 26 Juni 2001 tentang Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender perlu disempurnakan; c. bahwa dengan penyempurnaan Surat Edaran dimaksud, diharapkan pelaksanaan pengarusutamaan gender di daerah lebih berdaya guna dan berhasil guna sehingga terwujud kebijakan, program, proyek, kegiatan pembangunan dan sistem kelembagaan yang responsif gender di daerah melalui pengintegrasian strategi pengarusutamaan gender ke dalam seluruh proses dan tahapan pembangunan; d. bahwa untuk melaksanakan sebagaimana dimaksud pada huruf a, b, dan c, dipandang perlu ditetapkan Pedoman Umum Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender di Daerah dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri; Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (Lembaran Negara RI Tahun 1984 Nomor 29; Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3277); 2. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara RI Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3839); 3. Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (Lembaran Negara RI Tahun 1999 Nomor 72, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3848);

4. Undang-undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) Tahun 2000-2004 (Lembaran Negara RI Tahun 2000 Nomor 206); 5. Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional; 6. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 40 Tahun 2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Dalam Negeri; 7. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 2002 tentang Prosedur Penyusunan Produk-produk Hukum di lingkungan Departemen Dalam Negeri; M E M U T U S K A N : Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI DALAM NEGERI TENTANG PEDOMAN PENGARUSUTAMAAN GENDER DI DAERAH. BABI KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam keputusan ini yang dimaksud dengan : 1. Gender adalah konsep yang mengacu pada peran dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan yang terjadi akibat dari dan dapat berubah oleh keadaan sosial dan budaya masyarakat. 2. Pengarusutamaan gender adalah salah satu strategi pembangunan yang dilakukan untuk mencapai kesetaraan dan keadilan gender melalui pengintegrasian pengalaman, aspirasi, kebutuhan, dan permasalahan perempuan dan laki-laki ke dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi dari seluruh kebijakan, dan program, proyek dan kegiatan di berbagai bidang kehidupan dan pembangunan. 3. Kesetaraan dan Keadilan Gender adalah suatu kondisi yang adil dan setara dalam hubungan kerjasama antara perempuan dan laki-laki. 4. Analisis gender adalah proses yang dibangun secara sistematik untuk mengidentifikasi dan memahami pembagian kerja/peran laki-laki dan perempuan, akses dan kontrol terhadap sumber-sumber daya pembangunan, partisipasi dalam proses pembangunan dan manfaat yang mereka nikmati, pola hubungan antara laki-laki dan perempuan yang timpang, yang di dalam pelaksanaannya memperhatikan faktor-faktor lainnya seperti kelas sosial, ras, dan suku bangsa. 5. Responsif gender adalah memberikan perhatian yang konsisten dan sistematis terhadap perbedaan-perbedaan antara perempuan dan laki-laki dalam masyarakat dengan suatu pandangan yang ditujukan kepada kesetaraan dan keadilan. 6. Perencanaan responsif gender adalah perencanaan yang dilakukan dengan memasukkan perbedaan-perbedaan pengalaman, aspirasi, kebutuhan dan permasalahan perempuan dan laki-laki dalam proses penyusunannya.

7. Sensitif gender adalah kemampuan memahami ketimpangan gender utamanya dalam pembagian kerja dan pembuatan keputusan yang telah mengakibatkan kurangnya kesempatan dan rendahnya status sosial perempuan dibandingkan dengan laki-laki. 8. Pemerintah Daerah adalah Kepala Daerah beserta perangkat daerah otonom yang lain sebagai Badan Eksekutif Daerah. 9. Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan Pernerintahan Daerah Otonom oleh Pemerintah Daerah dan DPRD menurut azas Desentralisasi. 10. Gender Analysis Pathway (GAP)/Alur Kerja Analisis Gender (AKAG)) adalah salah satu alat analisis gender yang dapat digunakan untuk membantu para perencana dalam melakukan pengarusutamaan gender dalam perencanaan kebijakan, program, proyek dan atau kegiatan pembangunan. 11. Focal Point Pengarusutamaan Gender adalah individu-individu yang telah sensitif gender yang berasal dari instansi/lembaga/organisasi/unit organisasi yang mampu melaksanakan pengarusutamaan gender ke dalam setiap kebijakan, program, proyek dan kegiatan pembangunan yang akan dilaksanakan di wilayah masing-masing. 12. Kelompok Kerja Pengarusutamaan Gender adalah wadah konsultasi bagi para pelaksana dan penggerak pengarusutamaan gender dari berbagai instansi/lembaga di pemerintah Nasional, Provinsi, Kabupaten dan Kota. BAB II RUANG LINGKUP Bagian Pertama Perencanaan Pasal 2 (1) Pengarusutamaan gender dalam perencanaan pembangunan dibedakan atas perencanaan kebijakan, perencanaan program, perencanaan proyek dan perencanaan kegiatan dalam jangka panjang, menengah dan pendek. (2) Agar pengarusutamaan gender dalam perencanaan pembangunan dapat berjalan optimal, maka pengetahuan, kesadaran dan pemahaman tentang pengarusutamaan gender bagi para perencana perlu ditingkatkan. (3) Pengarusutamaan gender dalam perencanaan pembangunan dilakukan oleh seluruh instansi dan lembaga pemerintah di Provinsi, Kabupaten, dan Kota. (4) Dalam melakukan pengarusutamaan gender dalam perencanaan pembangunan dapat digunakan Gender Analysis Pathway (GAP/Alur Kerja Analisis Gender (AKAG)) atau instrumen analisis yang lain. (5) Pengaturan lebih lanjut tentang pengarusutamaan gender dalam perencanaan pembangunan, ditetapkan dengan Peraturan Daerah Provinsi bagi Provinsi, dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota bagi Kabupaten/Kota, dan Kecamatan/Desa dan Kelurahan. (6) Pengarusutamaan gender dalam perencanaan pembangunan sebagaimana dimaksud ayat (1) disertai dengan perencanaan anggaran yang responsif gender. (7) Pengarusutamaan gender dalam perencanaan pembangunan di daerah mengikuti mekanisme perencanaan pembangunan yang ada, dimulai dari musyawarah pembangunan desa, sampai dengan rapat koordinasi pembangunan nasional.

Bagian Kedua Pelaksanaan Pasal 3 (1) Pelaksanaan pembangunan di daerah didasarkan pada perencanaan yang responsif gender. (2) Agar pelaksanaan pembangunan yang responsif gender dapat berjalan optimal, maka pengetahuan, kesadaran dan pemahaman tentang pengarusutamaan gender bagi pelaksana pembangunan perlu ditingkatkan. (3) Pemerintah Provinsi, Kabupaten dan Kota harus memberikan kesempatan yang setara bagi perempuan dan laki-laki untuk berpartisipasi, memperoleh akses, memiliki kontrol dan memperoleh manfaat secara selaras, serasi dan seimbang dalam pelaksanaan pembangunan daerah. (4) Pelaksanaan pembangunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ditetapkan dengan Peraturan Daerah Provinsi bagi Provinsi, dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota bagi Kabupaten/Kota, dan Kecamatan/Desa dan Kelurahan; (5) Pemerintah Provinsi, Kabupaten dan Kota perlu meningkatkan upaya Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) melalui sosialisasi, penyuluhan, advokasi, pendidikan dan pelatihan tentang pengarusutamaan gender kepada seluruh aparatur pemerintah dan seluruh komponen masyarakat. (6) Dalam mewujudkan kebijakan, program, proyek dan kegiatan yang responsif gender dapat menggunakan Gender Analysis Pathway (GAP) atau instrumen analisis yang lain. (7) Analisis kebijakan makro dilakukan oleh instansi dan lembaga perencana daerah, dan analisis kebijakan mikro dilakukan oleh instansi dan lembaga teknis yang dalam teknis pelaksanaannya dapat dikerjasamakan dengan pihak ketiga. Bagian Ketiga Pengorganisasian Pasal 4 1. Gubernur adalah penanggungjawab umum pelaksanaan pengarusutamaan gender di Provinsi. 2. Untuk mengoptimalkan pelaksanaan pengarusutamaan gender, Gubernur menetapkan unit kerja di lingkungan Sekretariat Daerah atau instansi dan lembaga pemerintah Provinsi sebagai koordinator dan penanggungjawab pelaksanaan pengarusutamaan gender di daerah Provinsi. 3. Dalam rangka percepatan melembaganya pengarusutamaan gender di seluruh instansi dan lembaga pemerintah Provinsi harus dibentuk kelompok kerja dan focal point atau sebutan lain yang sejenis. Pasal 5 1. Bupati/Walikota adalah penanggungjawab umum pelaksanaan pengarus-utamaan gender di Kabupaten/Kota. 2. Untuk mengoptimalkan pelaksanaan pengarusutamaan gender, Bupati/Walikota menetapkan unit kerja di lingkungan Sekretariat Daerah atau instansi dan lembaga pemerintah Kabupaten/Kota sebagai koordinator dan penanggung-jawab pelaksanaan pengarusutamaan gender di daerah Kabupaten/Kota.

3. Dalam rangka percepatan melembaganya pengarusutamaan gender di seluruh instansi dan lembaga pemerintah Kabupaten/Kota harus dibentuk kelompok kerja dan focal point atau sebutan lain yang sejenis. Pasal 6 1. Camat, Lurah dan Kepala Desa adalah penanggungjawab umum pelaksanaan pengarusutamaan gender di kecamatan kelurahan dan desa. 2. Untuk mengoptimalkan pelaksanaan pengarusutamaan gender, Camat, Lurah dan Kepala Desa menetapkan unit kerja di lingkungan kecamatan, kelurahan dan desa sebagai koordinator dan penanggungjawab pelaksanaan pengarusutamaan gender di wilayah kerjanya. 3. Dalam rangka percepatan melembaganya pengarusutamaan gender di seluruh kecamatan, kelurahan dan desa harus dibentuk kelompok kerja dan focal point atau sebutan lain yang sejenis. Pasal 7 (1) Tugas Kelompok Kerja Pengarusutamaan Gender : a. Mempromosi dan memfasilitasi dialog antar unit kerja pada unit-unit dinas di Provinsi, Kabupaten dan Kota. b. Mengembangkan jaringan kerja sesuai dengan tupoksi dan kewenangan yang diberikan oleh pimpinan dalam upaya mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender (KKG). c. Menyusun program kerja kelompok kerja dalam rangka pelaksanaan dan review pengarusutamaan gender untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender (KKG). d. Membuat mekanisme kerja kelompok kerja agar para focal point pengarusutamaan gender setempat semakin handal dan efektif. e. Melaksanakan sosialisasi, advokasi, koordinasi, dan pelatihan pengarusutamaan gender di unit kerja masing-masing. f. Membuat dan menyampaikan laporan program dan kegiatan kelompok kerja pengarusutamaan gender kepada pimpinannya. (2) Fungsi Kelompok Kerja Pengarusutamaan Gender a. Sebagai koordinaior mengembangkan ide dan pemikiran para focal point di lingkungan unit-unit kerja masing-masing tentang perspektif gender pada proses pengambil keputusan, khususnya dalam perencandan kebijakan dan program serta isu gender yang berkembang di lingkungannya. b. Sebagai wadah komunikasi penyelenggaraan pertemuan dengan para pengambil keputusan di masing-masing atau antar instansi, lembaga, organisasi dan unit organisasi dalam berbagai bentuk pertemuan, roundtable discussion, dan diskusi mengenai pengarusutamaan gender. c. Untuk Provinsi, Kabupaten, dan Kota, tata kerja kelompok kerja diatur sesuai dengan kewenangan Sekretaris Daerah guna melaksanakan program pemberdayaan perempuan sebagaimana telah ditetapkan dalam Propeda dan atau Renstrada. Biro atau Badan atau Dinas atau Bagian yang ditugasi menangani pemberdayaan perempuan menjadi Sekretaris Kelompok Kerja. d. Ketua Kelompok Kerja Pengarusutamaan Gender bertanggungjawab kepada pimpinan instansinya.

Pasal 8 (1) Tugas Focal Point Pengarusutamaan Gender : a. Membantu pengambil kebijakan unit dan atau sektornya dalam ruang lingkup tugas, pokok dan fungsi (tupoksi) instansinya untuk secara terencana mengambil langkah sepenuhnya apabila ada melihat kesenjangan gender. b. Mendorong dan membantu instansi/lembaga/organisasi/unit organisasi untuk mereview dan memperbaiki mandat, kebijakan, program, proyek, kegiatan dan anggaran agar lebih berperspektif gender. c. Memfasilitasi pelaksanaan pelatihan sensitifitas gender, pelatihan analisas gender dan mengembangkan jaringan kerja gender dengan instansi/ lembaga/organisasi dan unit kerjanya, baik pemerintah maupun non pemerintah. d. Mengupayakan terselenggaranya analisis gender sebagai salah satu tahap di dalam setiap proses pembangunan yang dimulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi. e. Menjabarkan dan menindaklanjuti kebijakan-kebijakan dan program-program pelaksanaan yang tersirat dalam Propenas, Renstra, dan Repeta sektor maupun daerah. f. Terlibat dalam berbagai kegiatan yang diselenggarakan oleh kelompok kerja dan atau kelompok kerja nasional pengarusutamaan gender. g. Membuat laporan kegiatan secara periodik kepada kelompok kerja. (2) Fungsi Focal Point Pengarusutamaan Gender : a. Sebagai salah satu sumber informasi tentang konsep gender, pengarusutamaan gender, kesetaraan dan keadilan gender dan program pemberdayaan perempuan. b. Sebagai penggerak atau perintis terbentuknya jejaring pengarusutamaan gender di lingkungan kerjanya, dan atau sektor di daerahnya. c. Sebagai pelaksana dari setiap kegiatan pembangunan yang responsif gender. Bagian Keempat Pelaporan Pasal 9 (1) Lurah/Kepala Desa melaporkan hasil pelaksanaan pengarusutamaan gender di wilayahnya kepada Camat. (2) Camat melaporkan hasil pelaksanaan pengarusutamaan gender di wilayahriya kepada Bupati/Walikota. (3) Bupati/Walikota melaporkan hasil pelaksanaan pengarusutamaan gender di wilayahnya kepada Gubernur. (4) Gubernur melaporkan hasil pelaksanaan pengarusutamaan gender di wilayahnya kepada Menteri Dalam Negeri. (5) Laporan hasil pelaksanaan pengarusutamaan gender meliputi :

a. Program kerja pengarusutamaan gender tahun anggaran yang bersangkutan; b. Hasil-hasil yang telah dicapai dalam pelaksanaan pengarusutamaan gender pada tahun anggaran sebelumnya dan yang sedang berjalan; c. Hambatan-hambatan yang dihadapi dalam pelaksanaan; d. Upaya-upaya yang dilakukan dalam menangani hambatan yang ada. Bagian Kelima Pemantauan dan Evaluasi Pasal 10 (1) Gubernur, Bupati/Walikota, Camat dan Lurah/Kepala Desa secara terus menerus melaksanakan dan bertanggungjawab atas pemantauan pelaksanaan pengarusutamaan gender di wilayah kerjanya masing-masing. (2) Gubernur, Bupati/Walikota, Camat dan Lurah/Kepala Desa melaksanakan dan bertanggungjawab atas evaluasi pelaksanaan pengarusutamaan gender di wilayah kerjanya masing-masing. (3) Sambil menunggu disusunnya aspek, indikator dan sub indikator pemantauan dan evaluasi pelaksanaan Pengarusutamaan gender, maka acuan yang dijadikan sebagai sasaran pada pemantauan dan evaluasi pelaksanaan pengarusutamaan gender dapat mempergunakan formulir yang ada pada Panduan Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender. BAB III PEMBIAYAAN Pasal 11 (1) Segala pembiayaan yang diperlukan bagi pelaksanaan pengarusutamaan gender di daerah dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk masing-masing Provinsi, Kabupaten dan Kota sekurang-kurangnya minimal sebesar 5 % (lima persen) dari APBD Provinsi, Kabupaten dan Kota. (2) Pembiayaan pelaksanaan pengarusutamaan gender yang berasal dari pihak lain yang tidak mengikat, selain dari APBN dan APBD dapat dilakukan sepanjang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. BAB IV PEMBINAAN Pasal 12 Menteri Dalam Negeri sebagai Pembina Umum Pemerintahan Dalam Negeri melakukan : 1. Memfasilitasi pemerintah Provinsi, Kabupaten, dan Kota dalam rangka pelaksanaan pengarusutamaan gender. 2. Merumuskan tata!aksana penanganan pengarusutamaan gender di daerah.

3. Memfasilitasi pengembangan antar wilayah dalam pengarusutamaan gender. 4. Melakukan konsultasi dan koordinasi untuk memperkuat kelompok kerja secara berkala. 5. Memperkuat lembaga atau unit organisasi yang menangani pemberdayaan perempuan dan pengarusutamaan gender di daerah. 6. Melakukan pemantauan dan evaluasi pelaksanaan pengarusutamaan gender di daerah. 7. Dalam rangka pelaksanaan pengarusutamaan gender, Departemen Dalam Negeri dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan memberikan bantuan teknis berupa pelatihan, konsultasi, pengadaan data dan informasi sesuai dengan bidang tugas dan fungsinya masing-masing. 8. Melaporkan hasil pelaksanaan pengarusutamaan gender kepada Presiden dengan tembusan kepada Menteri Pemberdayaan Perempuan. BAB V KETENTUAN PENUTUP Pasal 13 (1) Pedoman Pengarusutamaan Gender di Daerah ini dilakukan oleh Pemerintah Provinsi, Kabupaten, dan Kota. (2) Dengan ditetapkannya Keputusan ini, maka Surat Edaran Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah Nomor 050/1232/SJ tanggal 26 Juni 2001 perihal Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender dinyatakan tidak berlaku. (3) Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan, dengan ketentuan apabila ternyata di kemudian hari terdapat kekeliruan akan dilakukan perbaikan sebagaimana mestinya. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 29 Desember 2003 MENTERI DALAM NEGERI Tembusan HARI SABARNO 1. Yth. Ibu Presiden RI; 2. Yth. Bapak Wakil Presiden RI; 3. Yth. Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan; 4. Yth. Menteri Keuangan; 5. Yth. Kepala Bappenas; 6. Yth. Kepala Lembaga Non Pemerintah Non Departemen; 7. Yth. Para Ketua DPRD Propinsi di seluruh Indonesia; 8. Yth. Para Ketua DPRD Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia.