KEPUTUSAN MENTERI PERTANIAN NOMOR 940/Kpts/OT.210/10/1997 TENTANG PEDOMAN KEMITRAAN USAHA PERTANIAN MENTERI PERTANIAN,

dokumen-dokumen yang mirip
MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA. KEPUTUSAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 940/Kpts/OT.210/10/97 TENTANG PEDOMAN KEMITRAAN USAHA PERTANIAN

KEPUTUSAN MENTERI PERTANIAN NOMOR 348/Kpts/TP.240/6/2003 TENTANG PEDOMAN PERIZINAN USAHA HORTIKULTURA MENTERI PERTANIAN,

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1997 TENTANG PROGRAM PENGEMBANGAN TEBU RAKYAT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI PERTANIAN DAN MENTERI KOPERASI DAN PEMBINAAN PENGUSAHA KECIL

GUBERNUR KEPALA DAERAH TINGKAT I L A M P U N G KEPUTUSAN GUBERNUR KEPALA DAERAH TINGKAT I LAMPUNG NOMOR 111 TAHUN 1998 TENTANG

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13/PERMENTAN/PK.240/5/2017 TENTANG KEMITRAAN USAHA PETERNAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BOGOR

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR: 26/Permentan/OT.140/2/2007 TENTANG PEDOMAN PERIZINAN USAHA PERKEBUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 33/Permentan/OT.140/7/2006 TENTANG PENGEMBANGAN PERKEBUNAN MELALUI PROGRAM REVITALISASI PERKEBUNAN

JENIS-JENIS DAN POLA KEMITRAAN USAHA OLEH : Anwar sanusi

Kemitraan Agribisnis. Julian Adam Ridjal. PS Agribisnis Universitas Jember

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2013 TENTANG BUDI DAYA HEWAN PELIHARAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PEMERINTAH KOTA PROBOLINGGO

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2013 TENTANG BUDI DAYA HEWAN PELIHARAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

SURAT KEPUTUSAN MENTERI PERTANIAN NOMOR: 248/Kpts/KB.360/5/92 TENTANG PETUNJUK DIVERSIFIKASI DAN KONSERVASI TANAMAN CENGKEH MENTERI PERTANIAN,

SURAT KEPUTUSAN MENTERI PERTANIAN NOMOR: 808/Kpts/TN.260/12/94 TENTANG SYARAT PENGAWAS DAN TATACARA PENGAWASAN OBAT HEWAN MENTERI PERTANIAN,

WALIKOTA BANJARBARU PERATURAN WALIKOTA BANJARBARU NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG

QANUN KABUPATEN ACEH BESAR NOMOR 6 TAHUN 2013 TENTANG IZIN USAHA PERKEBUNAN BISMILLAHHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA

SURAT KEPUTUSAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 626/Kpts/PD.330/12/2003 TENTANG

SURAT KEPUTUSAN MENTERI PERTANIAN NOMOR: 390/Kpts/TP.600/5/1994 TENTANG PENYELENGGARAAN PROGRAM NASIONAL PENGENDALIAN HAMA TERPADU MENTERI PERTANIAN,

PEDOMAN PELAKSANAAN KREDIT USAHA PEMBIBITAN SAPI

BUPATI MADIUN BUPATI MADIUN,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BUPATI KEBUMEN PERATURAN BUPATI KEBUMEN NOMOR 72 TAHUN 2008 TENTANG

BUPATI SIGI PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIGI NOMOR 10 TAHUN 2010 T E N T A N G

KEPUTUSAN MENTERI PERTANIAN Nomor : 393/Kpts/OT.130/6/2004 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BALAI PENGUJIAN MUTU PRODUK TANAMAN MENTERI PERTANIAN,

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR: 07/Permentan/OT.140/2/2009 TENTANG PEDOMAN PENILAIAN USAHA PERKEBUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

KEPMEN NO. 96 TH 1998

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : 663/Kpts-II/2002 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BALAI PERBENIHAN TANAMAN HUTAN MENTERI KEHUTANAN,

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BONE NOMOR 5 TAHUN 2010

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 6 TAHUN 2013 TENTANG PELAKSANAAN KEMITRAAN DAN PERLINDUNGAN USAHA PETERNAKAN DI PROVINSI BALI

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN PERTANIAN. Kredit Usaha. Pembibitan Sapi. Pelaksanaan. Pencabutan.

BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI PURBALINGGA NOMOR 95 TAHUN 2016 TENTANG

2013, No.6 2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini, yang dimaksud dengan: 1. Pemberdayaan Peternak adalah segala upaya yang dila

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP.09/MEN/2002 TENTANG INTENSIFIKASI PEMBUDIDAYAAN IKAN

PEMERINTAH KABUPATEN BENGKULU TENGAH

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.52, 2010 Kementerian Pertanian. Pelatihan. Pertanian Swadaya. Pedoman.

PEMERINTAH KABUPATEN SLEMAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 7 TAHUN 2006 TENTANG

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : 665/Kpts-II/2002 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BALAI PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI MENTERI KEHUTANAN,

2013, No.40 2 MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2008 TENTANG USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENE

BUPATI TULUNGAGUNG PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI TULUNGAGUNG NOMOR 60 TAHUN 2014 TENTANG

NOMOR 44 TAHUN 1997 TENTANG KEMITRAAN

RANCANGAN LEMBARAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI UTARA TAHUN 2011 NOMOR 7 PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI UTARA NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG

.000 WALIKOTA BANJARBARU

BUPATI BLITAR PERATURAN BUPATI BLITAR NOMOR 42 TAHUN 2011 TENTANG PENJABARAN TUGAS DAN FUNGSI DINAS PETERNAKAN KABUPATEN BLITAR BUPATI BLITAR,

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 61/Permentan/OT.140/11/2008 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANYUMAS NOMOR 14 TAHUN 2008 TENTANG

LEMBARAN DAERAH PROPINSI BALI NOMOR : 44 TAHUN : 2000 SERI : D NO.38 GUBERNUR BALI KEPUTUSAN GUBERNUR BALI NOMOR 87 TAHUN 2000 TENTANG

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 68/Permentan/OT.140/11/2007 TENTANG

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR: 60/Permentan/HK.060/8/2007 TENTANG UNIT PERCEPATAN PENCAPAIAN SWASEMBADA DAGING SAPI TAHUN 2010

BUPATI CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN BUPATI CIAMIS NOMOR 54 TAHUN 2016 TENTANG

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 70/Permentan/PD.200/6/2014 TENTANG PEDOMAN PERIZINAN USAHA BUDIDAYA HORTIKULTURA

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1997 TENTANG BADAN PENGENDALI BIMBINGAN MASSAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

BUPATI PURWOREJO PERATURAN BUPATI PURWOREJO NOMOR : 30 TAHUN 2008 TENTA NG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LEBAK NOMOR 4 TAHUN 2011 PERATURAN DAERAH KABUPATEN LEBAK NOMOR 4 TAHUN 2011 TENTANG

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 122/Permentan/SR.130/11/2013 TENTANG

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BUPATI LUMAJANG PROVINSI JAWA TIMUR

PEMERINTAH KABUPATEN KOTABARU

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 38/PERMEN-KP/2013 TENTANG KEBIJAKAN DAN STRATEGI PENYULUHAN PERIKANAN

BUPATI WONOSOBO PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI WONOSOBO NOMOR 43 TAHUN 2016 TENTANG

KEPUTUSAN MENTERI PERTANIAN NOMOR 357/Kpts/HK.350/5/2002 TENTANG PEDOMAN PERIZINAN USAHA PERKEBUNAN MENTERI PERTANIAN,

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.13/MEN/2011 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN PROGRAMA PENYULUHAN PERIKANAN

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI PERTANIAN. NOMOR : 1017/Kpts/TP.120/12/98 TENTANG

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR 39/Permentan/OT.140/8/2008 TENTANG PEMBENTUKAN LEMBAGA SERTIFIKASI PRODUK ALAT DAN MESIN PERTANIAN

PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 44 TAHUN 1997 TENTANG KEMITRAAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BUPATI PURWOREJO PERATURAN BUPATI PURWOREJO NOMOR: 30.N Tahuii 2008

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : 664/Kpts-II/2002 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BALAI PERSUTERAAN ALAM MENTERI KEHUTANAN,

NOMOR : KEP.44/MEN/2004 TENTANG PEDOMAN STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG KELAUTAN DAN PERIKANAN KABUPATEN/KOTA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN,

PEMERINTAH KABUPATEN KOTABARU

PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN BARRU

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 1997 TENTANG KEMITRAAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR: KEP. 07/MEN/2004 TENTANG PENGADAAN DAN PEREDARAN BENIH IKAN

2 2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4377); 3. Undang-Un

BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI PURBALINGGA NOMOR 85 TAHUN 2016 TENTANG

KEPUTUSAN BUPATI JEMBRANA NOMOR 608 TAHUN 2003 TENTANG URAIAN TUGAS DINAS PERTANIAN, KEHUTANAN DAN KELAUTAN KABUPATEN JEMBRANA BUPATI JEMBRANA,

PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 17/M-DAG/PER/6/2011 TENTANG PENGADAAN DAN PENYALURAN PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN

PEMERINTAH PROPINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTAPERATURAN DAERAH

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 06/Permentan/SR.130/2/2011 TENTANG

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40/Permentan/SR.230/7/2015 TENTANG FASILITASI ASURANSI PERTANIAN

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 61/Permentan/OT.140/11/2008 TENTANG

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PERKEBUNAN NOMOR: 129.1/Kpts/HK.320/12/07 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1998 TENTANG PEMBINAAN DAN PENGEMBANGAN USAHA KECIL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 17/M-DAG/PER/6/2011 TENTANG PENGADAAN DAN PENYALURAN PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN

MEMUTUSKAN : PERATURAN MENTERI PERTANIAN TENTANG PEDOMAN KERJA SAMA PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN. Pasal 1

BUPATI BELITUNG PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN BUPATI BELITUNG NOMOR 39 TAHUN 2014 TENTANG

PEMERINTAH KABUPATEN JEMBER

BUPATI BANTUL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 63 TAHUN 2016 TENTANG

BUPATI PURWOREJO PERATURAN BUPATI PURWOREJO NOMOR 23 TAHUN 2007 TENTANG

SURAT KEPUTUSAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 646/Kpts/SR.330/12/2003 TENTANG

2 Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lemb

BUPATI TEMANGGUNG BUPATI TEMANGGUNG,

BUPATI BONE PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN BUPATI BONE NOMOR 84 TAHUN 2016 TENTANG

BUPATI PULANG PISAU PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN BUPATI PULANG PISAU NOMOR 54 TAHUN 2016 TENTANG

PERATURAN BUPATI SRAGEN NOMOR 104 TAHUN 2016 TENTANG TUGAS DAN FUNGSI SERTA TATA KERJA DINAS PERTANIAN KABUPATEN SRAGEN

BUPATI TASIKMALAYA KEPUTUSAN BUPATI TASIKMALAYA NOMOR 18 TAHUN 2004 TENTANG

Transkripsi:

KEPUTUSAN MENTERI PERTANIAN NOMOR 940/Kpts/OT.210/10/1997 TENTANG PEDOMAN KEMITRAAN USAHA PERTANIAN MENTERI PERTANIAN, Menimbang : a. bahwa kemitraan usaha merupakan salah satu upaya untuk tercapainya pembangunan pertanian modern yang berorientasi agribisnis; b. bahwa dalam pengembangan kemitraan usaha, diperlukan adanya pedoman kemitraan usaha bagi pelaku agribisnis; c. bahwa atas dasar hal tersebut diatas, dipandang perlu untuk menetapkan Pedoman Kemitraan Usaha Pertanian; Mengingat : 1. Undang-undang republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1967; 2. Undang-undang republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1992; 3. Undang-undang republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1985; 4. Undang-undang republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1995; 5. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 1977; 6. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 1990; 7. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1974; 8. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 83 Tahun 1993; 9. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 96/M Tahun 1993; 10. Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 668/Kpts/KB.510/10/1985; 11. Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 333/Kpts/KB.510/6/1986; 2. Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 96/Kpts/OT.210/2/1994; 3. Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 97/Kpts/OT.210/2/1994; 4. Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 509/Kpts/IK.120/7/1995; 5. Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 472/Kpts/TN.330/6/1996; 6. Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 786/Kpts/KB.120/12/1996; 7. Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 93/Kpts/OT.210/3/1997; Memperhatikan : Rapat Koordnasi Kemitraan Usaha Pertanian lingkup Departemen Pertanian tanggal 18 Juni 1997; MEMUTUSKAN : Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI PERTANIAN TENTANG PEDOMAN KEMITRAAN USAHA PERTANIAN.

BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan: a. Kemitraan Usaha Pertanian adalah kerjasama usaha antara Perusahaan Mitra dengan kelompok mitra di bidang usaha pertanian. b. Usaha Tanaman Pangan dan Hortikultura adalah usaha yang dilaksanakan oleh petani maupun pengusaha baik di lahan mliknya atau dilahan sewa atau lahan guna usaha, mulai dari perbenihan, budidaya, pengolahan sampa pemasaran. c. Usaha Perkebunana adalah kegiatan untuk melakukan usaha budidaya dan atau usaha industeri perkebunan dalam bentuk perkebunan rakyat yang diusahakan oleh perseorangan di atas tanah hak milik atau hak guna usaha mulai dari pembibitan, penanaman, pengolahan hasil sampai pemasaran. d. Usaha Perternakan adalah suatu usaha pembibitan dan atau budidaya peternakan dalam bentuk perusahaan peternakan atau peternakan rakyat, yang diselenggarakan secara teratur dan terus menerus pada suatu tempat dan dalam jangka waktu tertentu untuk tujuan komersial atau sebagai usaha sampingan untuk menghasilkan ternak bibit/ternak potong, telur, susu serta menggemukan suatu jenis ternak termasuk mengumpulkan, mengedarkan dan memasarkan. e. Usaha Perikanan adalah usaha yang dilaksanakan oleh petani/nelayan atau pengusaha baik di perairan darat maupun di laut, mulai dari usaha pembudidayaan dan penangkapan ikan, pengolahan sampai dengan pemasarannya. f. Perusahaan Mitra adalah perusahaan pertanian atau perusahaan bidang pertanian baik swasta atau pun BUMN maupun BUMD yang melakukan kerjasama dengan kelompok mitra. g. Perusahaan Pertanian adalah perusahaan yang dapat izin dari aparatur sector pertanian. h. Perusahaan Bidang Pertanian adalah perusahaan yang berkaitan dengan pertanian dan mendapat izin dari aparatur di luar aparatur pertanian. i. Tingkat Hubungan Kemitraan Usaha Pertanian adalah tngkat hubungan kerjasama antara perusahaan mitra dengan kelompok mitara. j. Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Daerah Tingkat I atau Pemerintah Daerah Tingkat II. k. Instansi Pembina Teknis adalah Instansi yang membina pengembangan agrobisnis. Pasal 2 (1) Tujuna Kemitraan Usaha untuk meningkatkan pendapatan, keseimbangan usaha, meningkatkan kualitas sumberdaya kelompok mitra, peningkatan skala usaha, dalam rangka menumbuhkan dan meningkatkan kemampuan usaha kelompok mitra yang mandir. (2) Pelaku kemitraan usaha pertanian meliputi: a. petani nelayan; b. kelompok petani nelayan; c. gabungan kelompok tani nelayan; d. koprasi; e. usaha kecil;

yang selanjutnya kelompok mitra. f. Perusahaan menengah pertanian; g. Perusahaan besar pertanian; h. Perusahaan menengah dibdang pertanian; i. Perusahaan besar di bidang pertanian; yang selanjutnya disebut perusahaan mitra. Pasal 3 (1) Kemitraan usaha pertanian berdasarkan azas persamaan kedudukan, keselarasan dan peningkatan keterampilan kelompok mitra oleh perusahaan mitra melalui perwujudan sinerg kemitraan yaitu hubungan yang: a. saling memerlukan dalam arti perusahaan mitra memerlukan pasokan bahan baku dan kelompok mitra memerlukan penampungan hasil dan bimbingan; b. saling memperkuat dalam arti baik kelompok mitra maupun perusahaan mitra sama-sama memperhatikan tanggung jawab moral dan etika bisnis, sehngga akan memperkuat kedudukan masing-masing dalam meningkatkan daya saing usahanya; c. salaing menguntungkan, yaitu baik kelompok mitra maupun perusahaan mitra memperoleh peningkatan pendapatan, dan kesinambungan usaha. (2) Untuk mendukung pelaksanaan kemitraan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Kelompok Mitra perlu ditingkatkan kemampuan dalam: a. merencanakan usaha; b. melaksanakan dan mentaati perjanjian kemitraan; c. memupuk modal dan memanfaatkan pendapatan secara rasional; d. meningkatkan hubungan melembaga dengan koprasi; e. mencari dan memanfaatkan informasi peluang usaha sehingga dapat mandiri dan mencapai skala usaha ekonomi. BAB II POLA KEMITRAAN Pasal 4 (1) Kemitraan usaha pertanian dapat dilakukan dengan pola: a. inti plasma; b. sub kontrak; c. dagang umum; d. keagenan; atau e. bentuk-bentuk lain: misalnya kerjasama oprasional agribisnis (KAO) (2) Pola inti plasma sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a merupakan hubungan kemitraan antara kelompok mitra dengan perusahaan mitra, yang di dalamnya kelompok

mitra memproduksi komponen yang diperlukan perusahaan mitra sebagai bagian dari produksi. (3) Pola sub kontra sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b merupakan hubungan kemitraan antara kelompok mitra dengan perusahaan mitra, yang didalamnya kelompok mitra memperoduksi komponen yang diperlukan perusahaan mitra sebagai bagian dari produksinya. (4) Pola Dagang Umum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c merupakan hubungan kemitraan antara kelompok mitra dengan perusahaan mitra, yang didalamnya perusahaan mitra memasarkan hasil produksi kelompok mitra atau kelompok mitra memasok kebutuhan yang diperlukan perusahaan mitra. (5) Pola keagenan sebagaimana dmaksud dalam ayat (1) huruf d merupakan hubungan kemitraan, yang didalamnya kelompok mitra diber hak khusus untuk memasarkan barang dan jasa usaha perusahaan mitra. (6) Pola KOA sebagai mana dimaksud dalam ayat (1) huruf e merupakan hubungan kemitraan, yang didalamnya kelompok mitra menyediakan lahan, sarana dan tenaga, sedangkan perusahaan mitra menyediakan biaya atau modal dan/atau sarana untuk mengusahakan atau membudidayakan suatu komoditi pertanian. Pasal 5 Perusahaan Mitra dapat bertindak sebagai Perusahaan Inti/Perusahaan Pembina atau Perusahaan Pengelola atau Perusahaan Penghela. Pasal 6 (1) Perusahaan mitra yang bertindak sebagai Perusahaan Inti atau Perusahaan Pembina, melaksanakan pembukaan lahan atau menyediakan lahan atau menyediakan kapal, mempunyai usaha budidaya atau penangkapan dan memiliki unit pengolahan yang dikelola sendiri. (2) Perusahaan mitra sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) melaksanakan pembinaan berupa pelayanan dalam bidang teknologi; sarana produksi, permodalan atau kredit, dan pengolahan hasil, menampung produksi atau memasarkan hasil kelompok mitra. Pasal 7 (1) Perusahaan mitra yang bertindak sebagai Perusahaan Pengelola tidak melakukan usaha budidaya atau usaha penangkapan, tetapi memiliki unit pengolahan. (2) Perusahaan mitra sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) melaksanakan pembinaan berupa pelayanan dalam bidang teknologi; sarana produksi, permodalan atau kredit, dan pengolahan hasil, menampung dan/atau memasarkan hasil kelompok mitra.

Pasal 8 (1) Perusahaan Mitra sebagai Perusahaan Penghela, tidak melakukan usaha budidaya atau usaha penangkapan dan tdak memiliki unit pengolahan. (2) Perusahaan mitra sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) melaksanakan pembinaan kepada kelompok mitra berupa pelayanan dalam bidang teknologi, menampung dan/atau memasarkan hasil produksinya. BAB III SYARAT KEMITRAAN USAHA PERTANIAN Pasal 9 (1) Perusahaan mitra harus memenuhi syarat sebagai berikut: a. mempunya itikad baik dalam membantu usaha petani, nelayan dan pengusaha kecil pertanian lainnya; b. memiliki teknologi dan manajemen yang baik; c. menyusun rencana kemitraan; d. berbada hokum dan memiliki bonafitas. (2) Kelompok Kerja yang akan menjadi mitra usaha diutamakan telah dibina oleh Pemerintah Daerah. Pasal 10 (1) Kemitraan usaha pertanian dilakukan dengan penandatanganan perjanjian kemitraan terlebih dahuli. (2) Isi perjanjian kerja sama mencakup jangka waktu, hak dan kewajiban termasuk melapor kemitraan kepada Instansi Pembina Teknis di daerah, pembagian resiko penyelesaian bila terjadi perselisihan, klausula lainnya yang memberikan kepastian hokum bagi kedua belah phak. Pasal 11 (1) Dalam melaksanakan kemitraan, kelompok mitra dapat memanfaatkan fasilitas kredit program dari Pemerintah antara lain KKPA, KUA,KUK dan SKIM kredit lainnya serta dana PEGEL, sedangkan Prusahaan Mitra dapat bertindak sebagai avails(penjamin kredit) bagi Kelompok Mitra. (2) Dalam melaksanakan kemitraan Perusahaan Mirta dapat memanfaatkan kredit perbankkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 12 (1) Pembinaan oleh Derektur Jendral lingkup Pertanian, Kantor Wilayah, Dinas dan Instansi Pembina teknis lainnya bersama Lembaga Konsultas Pelayanan Agribisnis dan Perusahaan Mitra bertujuan untuk menyiapkan Kelompok Mitra agar siap dan mampu melakukan kemitraan. (2) Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan melalui kegiatan penelitian, pemecahan masalah sesuai dengan kebutuhan para pihak, pemberian konsultasi bisnis dan temu usaha. (3) Tahapan kegiatan penyiapan kelompok mitra dan prusahaan mitra agar siap bermitra seperti tercantum pada Lampiran Keputusan ini. BAB IV PEMBINAAN DAN PENGEMBANGAN Pasal 13 (1) Direktur Jendral lngkup Departemen Pertanian, Kepala Kantor Wilayah, Dnas-dinas lingkup Pertanian dan Instansi Pembina Teknis lainnya mendorong dan mengarahkan Kelompok Mitra terutama koprasi untuk memanfaatkan Lembaga Konsultasi Pelayanan Agrobisnis seperti Klinik Konsultasi Bisnis dalam melakukan Kemitraan. (2) Lembaga Konsultasi Pelayanan Agrobisnis memiliki fungsi: a. menciptakan dan mendorong hubungan bisnis antara Kelompok Mitra dengan Perusahaan Mitra; b. memberikan konsultasi dan bimbingan manajemen kepada Kelompok Mitra; c. membantu Kelompok Mitra mendapat akses pemasaran, permodalan, dan teknologi. (3) Lembaga Konsultasi Pelayanan Agribisnis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dilakukan oleh Penyuluh Pertanian atau Petugas Pertanian, tenaga lainnya seperti Tenaga Klinik Konsultasi Bisnis yang memiliki pengetahuan manajemen kewirausahaan, memliki kemampuan mengadakan pendekatan dengan pengusaha serta mampu memberikan motivasi kepada Kelompok Mitra dan memahami pola kemitraan. Pasal 14 Pembinaan oleh Perusahaan Mitra dilakukan dalam rangka pelaksanaan kemitraan meliputi: a. meningkatkan pengetahuan dan kewirausahaan Kelompok Mitra; b. membantu mencarikan fasilitas permodalan yang layak seperti KKPA, KUT, KUK, Modal Ventura, dana PEGEL dan sumber-sumber lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; c. mengadakan penelitian, pengembangan, dan penyaluran teknologi tepat guna; d. melakukan konsultasi dan temu usaha.

Pasal 15 (1) Untuk pemecahan masalah kemitraan usaha dapat dibentuk Forum Komunikasi Agribisnis yang terdiri atas unsure-unsur aparat Pembina teknis, perusahaan mitra, dan kelompok mitra. (2) Forum Komunikasi Agribisnis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dibentuk pada setiap tingkatan yaitu di tingkat pusat, Propinsi, dan Kabupaten dengan masing-masing secretariat berada di Bidang Agribisnis, Kantor Wilayah Departemen Pertanian dan Dinas Lngkup Pertanian. Pasal 16 (1) Dalam rangka pembinaan kemitraan usaha pertanian dkembangkan sstem tingkat hubungan kemitraan usaha yang dbagi dalam 4 (empat) tingkat hubungan kemitraan yaitu Tingkat Pra Prima, Prima, Prima Madya, dan Prima Utama. (2) Keempat tngkat hubungan kemitraan usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan tersendir dengan Keputusan Merteri. BAB V PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN Pasal 17 (1) Pengawasan dan Pengendalaian dalam pelaksanaan kemitraan usaha di Tingkat Pusat ditetapkan sebagai berikut: a. Badan Agribsnis berfungsi melaksanakan analisis/pengkajian dan perumusan kebijakan pola kemitraan yang dlakukan melalui kajian, atau menyelenggarakan pilot projek/proyek-proyek percontohan bersama-sama Direktorat Jendral lngkup Departemen Pertanian dan melaksanakan koordinasi monitoring evaluasi kemitraan. b. Direktorat Jendral Lingkup Departemen Pertanian berfungsi melaksanakan kegiatan identfikasi, inventarisasi, implementas, bimbingan, monitoring dan evaluasi serta pengawasan kemitraan. (2) Kegiatan nventarisasi dan identifikasi, program pemberdayaan usaha kelembagaan petaninelayan di daerah dilakukan oleh Balai Informasi Penyuluhan Pertanian, Dinas lingkup Pertanian melalui koordinasi Kantor Wilayah Departemen Pertanian. Pasal 18 Pemantauan perkembangan kemitraan usaha pertanan di daerah, dlakukan oleh Balai Informasi Penyuluhan Pertanian, Dinas lngkup Pertanian secara periodic yang dikoordinasikan oleh Kepala Kantor Wilayah Departemen Pertanian dan dlaporkan kepada Direktorat Jendral Wilayah lingkup Departemen Pertanian dengan tembusan Badan Agribisnis.

BAB VI KETENTUAN PENUTUP Pasal 19 Dengan berlakunya Keputusan ini, seluruh ketentuan yang berkaitan dengan pedoman usaha pertanian, dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan pedoman ini. Pasal 20 Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 13 Oktober 1997 MENTERI PERTANIAN, ttd DR. IR. SJARIFUDDIN BAHARSJAH SALINAN Keputusan ini disampaikan kepada Yth.: 1. Menteri Negeri Koordinator Produksi dan Distirbusi; 2. Menteri Dalam Negeri; 3. Menteri Koprasi dan Pembinaan Pengusaha Kecil; 4. Menteri Perindusterian dan Perdagangan; 5. Menteri Negara Pengerak Dana Investasi/Ketua BKPM; 6. Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan; 7. Para Pimpinan Unit Kerja Eselon I lingkup Departemen Pertanian; 8. Kepala Pusat Penyuluhan Pertanan; 9. Para Gubernur Kepala Daerah Tingkat I seluruh Indonesia; 10. Para Kepala Kantor Wilayah Departemen Pertanian seluruh Indonesia; 11. Para Kepala Dinas Lingkup Pertanian seluruh Indonesia; 12. Para Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II seluruh Indonesia;