BAB II KAJIAN TEORITIS. Ada beberapa sistem pemungutan pajak menurut Purwono (2010: 12). Lebih

dokumen-dokumen yang mirip
PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24/PMK.03/2008 TENTANG

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

: PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG TATA CARA PENAGIHAN BEA MASUK DAN/ATAU CUKAI.

PERATURAN BUPATI ACEH TIMUR NOMOR 15 TAHUN 2012 TENTANG

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Penelitian Terdahulu Erwis (2012) menyatakan, bahwa penagihan pajak dan pencairan

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2000 TENTANG

PERATURAN WALIKOTA PARIAMAN NOMOR 33 TAHUN 2013 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN PENAGIHAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN PERKOTAAN DAN PERDESAAN

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 561/KMK.04/2000 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2000 TENTANG

BAB II LANDASAN TEORI

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 11 TAHUN 2015 TENTANG PENAGIHAN PAJAK DAERAH DENGAN SURAT PAKSA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB II LANDASAN TEORI. rakyat kepada Negara berdasarkan Undang-Undang yang dapat dipaksakan. ditunjuk atau digunakan untuk membayar pengeluaran umum.

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 95 TAHUN 2011 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 24/PMK.04/2011 TENTANG TATA CARA PENAGIHAN DI BIDANG CUKAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEUANGAN,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II LANDASAN TEORI. Berikut ini beberapa pengertian pajak menurut beberapa ahli, salah. satunya menurut R. Santoso Brotodiharjo sebagai berikut:

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 135 TAHUN 2000 TENTANG TATA CARA PENYITAAN DALAM RANGKA PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA

BAB 4 PEMBAHASAN. 4.1 Rencana Penerimaan Dan Realisasi Penerimaan PPh dan PPN Pada. Kantor Pelayanan Pajak Pratama Jakarta Kemayoran

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 24/PMK.04/2011 TENTANG TATA CARA PENAGIHAN DI BIDANG CUKAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

- 1 - PEMERINTAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENAGIHAN PAJAK DAERAH DENGAN SURAT PAKSA

BAB II LANDASAN TEORI. Pajak merupakan sumber pendapatan kas negara yang digunakan untuk

- 1 - PEMERINTAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENAGIHAN PAJAK DAERAH DENGAN SURAT PAKSA

BAB II LANDASAN TEORI

PENAGIHAN PAJAK DAN SURAT PAKSA DASAR HUKUM, PENGERTIAN, DAN JENIS-JENIS PENAGIHAN PAJAK

BAB 2 LANDASAN TEORI Pengertian, Unsur, dan Fungsi Pajak. yang satu sama lain pada dasarnya memiliki tujuan yang sama yaitu merumuskan

- 1 - PEMERINTAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENAGIHAN PAJAK DAERAH DENGAN SURAT PAKSA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TELAAH PUSTAKA. Pada dasarnya pajak merupakan salah satu perwujudan dan kewajiban

UU 19/2000, PERUBAHAN ATAS UNDANG UNDANG NOMOR 19 TAHUN 1997 TENTANG PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Praktik Kerja Lapangan Mandiri (PKLM) Dalam rangka mewujudkan cita-cita pembangunan nasional Negara Republik

PERATURAN BUPATI PANDEGLANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PANDEGLANG,

BAB II LANDASAN TEORI

LEMBARAN DAERAH KOTA BOGOR TAHUN 2009 NOMOR 5 SERI E PERATURAN DAERAH KOTA BOGOR NOMOR 9 TAHUN 2009 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PAJAK DAERAH

BAB III PELAKSANAAN KULIAH KERJA PRAKTEK

BAB III PEMBAHASAN 3.1 Definsi Pajak Pengertian Pajak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. perpajakan. Menurut Soemitro (2010:1), pengertian pajak adalah sebagai berikut:

KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN

BUPATI KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN BUPATI KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 34 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PEMERIKSAAN PAJAK DAERAH

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2000 TENTANG

Penagihan Pajak. a. Pengertian Penagihan Pajak b. Sifat Utang Pajak c. Tatacara Penagihan Pajak (siklus) d. Pencairan Tunggakan

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS. pajak, tentunya perlu dipahami dulu apa yang dimaksud dengan pajak.

BAB III GAMBARAN DATA. akan dapat membawa pengaruh positif terhadap kepatuhan wajib pajak dalam

PENAGIHAN SEKETIKA SEKALIGUS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 135 TAHUN 2000 TENTANG TATA CARA PENYITAAN DALAM RANGKA PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 11 TAHUN 2015 TENTANG PENAGIHAN PAJAK DAERAH DENGAN SURAT PAKSA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN DAERAH KOTA MALANG NOMOR 9 TAHUN 2005 TENTANG PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MALANG,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2007 TENTANG

BAB II BAHAN RUJUKAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB IV PEMBAHASAN. IV.I Realisasi Tunggakan Pajak yang lunas Pada Kantor Pelayanan Pajak

BAB II BAHAN RUJUKAN 2.1. Pajak Pengertian Pajak Rochmat Soemitro (1990;5)

ANALISIS EFEKTIVITAS DAN KONTRIBUSI TINDAKAN PENAGIHAN PAJAK AKTIF DENGAN SURAT TEGURAN DAN SURAT PAKSA SEBAGAI UPAYA PENCAIRAN TUNGGAKAN PAJAK

2017, No Peraturan Menteri Keuangan tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 111/PMK.04/2013 tentang Tata Cara Penagihan Bea Ma

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1998 TENTANG TATA CARA PENYITAAN DALAM RANGKA PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ANALISIS EFEKTIFITAS PENERAPAN SURAT PENAGIHAN PAJAK TERHADAP PENERIMAAN PAJAK PADA KANTOR PELAYANAN PAJAK PRATAMA MEDAN POLONIA

BAB III GAMBARAN DATA. terutang oleh Orang Pribadi atau Badan yang bersifat memaksa berdasarkan

PERATURAN BUPATI PURWAKARTA NOMOR 57 TAHUN 2013 TENTANG TATA CARA PENGHAPUSAN PIUTANG PAJAK BUMI DAN BANGUNAN PERDESAAN DAN PERKOTAAN

BAB 4 ANALISIS DAN BAHASAN

TENTANG TATA CARA PENAGIHAN DI BIDANG CUKAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEUANGAN,

KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN (UU KUP)

BAB III PROSES DAN EFEKTIVITAS TINDAKAN PENAGIHAN PAJAK AKTIF

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1997 TENTANG PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB IV PEMBAHASAN HASIL PENGAMATAN

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. Istilah pajak berasal dari bahasa Jawa yaitu ajeg yang berati pungutan

SUSUNAN DALAM SATU NASKAH UNDANG-UNDANG PERPAJAKAN

Sistem pemungutan pajak dari Official Assesment System menjadi Self. administrasi di bidang perpajakan. Self Assessment System merupakan sistem

bahwa Penggugat memiliki tunggakan pajak sebagai berikut:

BERITA DAERAH KOTA BEKASI NOMOR : SERI : E PERATURAN WALIKOTA BEKASI NOMOR 44 TAHUN 2012 TENTANG

EVALUASI ATAS PENAGIHAN PAJAK PADA KANTOR PELAYANAN PAJAK PRATAMA JAKARTA KEMAYORAN

- 1 - BUPATI TULUNGAGUNG PERATURAN BUPATI TULUNGAGUNG NOMOR 34 TAHUN 2012 TENTANG PEDOMAN PEMUNGUTAN PAJAK MINERAL BUKAN LOGAM DAN BATUAN

24/PMK.03/2008 TATA CARA PELAKSANAAN PENAGIHAN DENGAN SURAT PAKSA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK SARANG BURUNG WALET DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pengertian pajak sehingga mudah untuk dipahami. Perbedaannya hanya terletak

BAB IV PEMBAHASAN. Surat Ketetapan Pajak (SKP) Dan Surat Tagihan Pajak (STP) Lebih Bayar (SKPLB) berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983

Menetapkan : PERATURAN BUPATI TENTANG TATA CARA PENGHAPUSAN PIUTANG PAJAK BUMI DAN BANGUNAN PERDESAAN DAN PERKOTAAN.

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TEMANGGUNG NOMOR 19 TAHUN 2012 TENTANG PAJAK PARKIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TEMANGGUNG,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Salah satu usaha untuk mewujudkan kemandirian suatu bangsa dalam

SUSUNAN DALAM SATU NASKAH UNDANG-UNDANG PERPAJAKAN

BAB II LANDASAN TEORI. untuk pencapaian tujuan yang telah dirumuskan. Implementasi merupakan tahap

BAB II LANDASAN TEORI. melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak dengan menegur atau

NOMOR 19 TAHUN 1997 TENTANG PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2007 TENTANG

Undang-Undang KUP dan Peraturan Pelaksanaannya

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Dengan Persetujuan DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN :

SUSUNAN DALAM SATU NASKAH UNDANG-UNDANG PERPAJAKAN

BUPATI MALANG PERATURAN BUPATI MALANG NOMOR 45 TAHUN 2013 TENTANG TATA CARA PEGHAPUSAN PIUTANG PAJAK BUMI DAN BANGUNAN PERDESAAN DAN PERKOTAAN

Transkripsi:

BAB II KAJIAN TEORITIS 1.1 Kajian Teoritis 1.1.1 Sistem Pemungutan Pajak Ada beberapa sistem pemungutan pajak menurut Purwono (2010: 12). Lebih lanjut dijelaskan sebagai berikut. 1. Self Assessment Sistem merupakan sistem pemungutan pajak dimana Wajib Pajak diberi kepercayaan untuk melaksanakan kegotongroyongan nasional melalui sistem menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri kemudian membayar pajak yang terutang sesuai dengan peraturan yang berlaku. 2. Official Assessment Sistem, melalui sistem ini, besarnya pajak ditentukan oleh fiskus dengan mengeluarkan Surat Ketetapan Pajak (SKP Rampung). Jadi dapat dikatakan Wajib Pajak bersifat pasif. Tahapan-tahapan dalam menghitung dan memperhitungkan pajak yang terutang ditetapkan oleh fiskus yang tertuang dalam SKP. Selanjutnya Wajib Pajak baru aktif ketika melakukan penyetoran pajak terutang berdasarkan SKP tersebut. 3. Withholding Sistem Wewenang pemungutan pajak pada sistem ini diberikan pada pihak ketiga yaitu orang atau badan yang bukan merupakan badan publik yang sebenarnya tidak mempunyai wewenang untuk memungut pajak. Pihak ketiga tersebut harus melaporkan hasil pemungutan pajak tersebut ke kas negara dalam jangka waktu tertentu sesuai Undang- undang. 10 Untuk sementara ini, sistem ini tercermin pada pelaksanaan pengenaan Pajak Penghasilan Dan Pajak Pertambahan Nilai.

1.1.2 Hambatan Pemungutan Pajak Hambatan terhadap pemungutan pajak dapat dikelompokkan menjadi dua (Wahono, 2012:13) yaitu : 1. Perlawanan enggan (pasif) membayar pajak yang dapat disebabkan antara lain: 1) Perkembangan intelektual dan moral masyarakat. 2) Sistem perpajakan yang (mungkin) sulit dipahami masyarakat. 3) Sistem kontrol tidak dapat dilakukan atau dilaksanakan dengan baik. 2. Perlawanan aktif Perlawanan aktif meliputi semua usaha dan perbuatan yang secara langsung ditujukan kepada fiskus dengan tujuan menghindari pajak. Bentuknya antara lain : 1) Tax avoidance yaitu usaha meringankan beban pajak dengan tidak melanggar undang-undang. 2) Tax evasion yaitu meringankan beban pajak dengan cara yang melanggar undang-undang (menggelapkan pajak) 1.1.3 Penagihan Secara Umum Penagihan pajak menurut pasal 1 angka 9 Undang-undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang No. 19 Tahun 2000 sebagai berikut. Penagihan pajak adalah serangkaian tindakan agar Penanggung pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan Surat Paksa, mengusulkan pencegahan, melakukan penyitaan, melaksanaan penyanderaan, menjual barang yang telah disita.

Tujuan dari penagihan pajak adalah agar penanggung pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak. Agar tujuan penagihan pajak tersebut tercapai, maka teguran atau sejenisnya, penyampaian Surat Paksa, penyampaian surat perintah melakukan penyitaan dan tindakan penyitaan, penjualan barang hasil penyitaan, sampai tindakan tersebut tidaklah harus tuntas dilakukan semuanya, namun urut-urutan tindakan hanya dilakukan jika Penanggung Pajak tidak melunasi utang pajaknya. Misalnya jika suatu utang pajak telah dilakukan tindakan penagihan sampai dengan surat paksa dan Penanggung Pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihannya, maka kegiatan penagihan selesai sampai pada tindakan penyampaian Surat Paksa. Pejabat Direktorat Jenderal Pajak selanjutnya disebut pejabat adalah pejabat yang berwenang mengangkat dan memberhentikan jurusita Pajak, serta menerbitkan Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus, Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, Surat Pencabutan Sita, Pengumuman Lelang, Surat Penentuan Harga Limit, Pembatakan Lelang, Surat Perintah Penyanderaan, dan surat lain yang diperlukan untuk penagihan pajak, sehubungan dengan Penanggung Pajak tidak melunasi sebagian atau seluruh utang pajak menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. 1.1.4 Dasar Hukum Penagihan Pajak Sesuai Pasal 18 ayat 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007, perubahan ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, bahwa Surat Ketepatan maupun Surat Keputusan yang menjadi dasar penagihan pajak seperti berikut ini.

1. Surat Tagihan Pajak (STP) Surat Tagihan Pajak adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan/atau sanksi administrasi berupa bunga dan/atau denda. Surat Tagihan Pajak mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan Surat Ketetapan Pajak. Pajak yang tidak atau kurang bayar dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% per bulan paling lama 24 bulan, dihitung sejak terutangnya pajak atau Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Tagihan Pajak. 2. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) adalah surat ketetapan yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi, dan jumlah yang masih harus dibayar. 3. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT) Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT) adalah surat ketetapan pajak yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan. 4. Surat Keputusan Pembetulan Surat Keputusan Pembetulan adalah surat keputusan yang membetulkan kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan yang terdapat dalam surat ketetapan pajak, Surat Tagihan Pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat

Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak, atau Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga. 5. Surat Keputusan Keberatan Surat Keputusan Keberatan adalah surat keputusan atas keberatan terhadap surat ketetapan pajak atau terhadap pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga yang diajukan oleh Wajib Pajak. 6. Putusan Banding Putusan Banding adalah putusan badan peradilan pajak atas banding terhadap Surat Keputusan Keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak. 1.1.5 Tindakan Penagihan Menurut Suandy (2008:173) dalam Marduati (2012) penagihan pajak dapat dikelompokkan menjadi 2 yaitu sebagai berikut. 1. Penagihan pajak pasif Penagihan pajak pasif dilakukan dengan menggunakan STP, SKPKB, SKPKBT, SK Pembetulan, SK Keberatan, Putusan Banding yang menyebabkan pajak terutang menjadi lebih besar. Jika dalam jangka waktu 30 hari belum dilunasi maka 7 hari setelah jatuh tempo akan diikuti dengan penagihan pajak secara aktif yang dimulai dengan menerbitkan Surat Teguran. 2. Penagihan pajak aktif Penagihan pajak aktif merupakan kelanjutan dari penagihan pajak pasif, dimana dalam upaya penagihan ini fiskus lebih berperan aktif dalam arti tidak hanya mengirim STP atau SKP tetapi akan diikuti dengan tindakan sita dan dilanjutkan dengan pelaksanaan lelang. Pelaksanaan penagihan aktif dijadwalkan berlangsung

selama 58 hari yang dimulai dengan penyampaian Surat Teguran, Surat Paksa, surat perintah melaksanakan penyitaan, dan pengumuman lelang. Gambar 2: Tahap dan Jadwal Waktu Pelaksanaan Penagihan Pajak 1.1.6 Penagihan Seketika dan Sekaligus Peraturan Menteri Keuangan No. 24/PMK.03/2008 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan No. 85/PMK.03/2010 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Penagihan Dengan Surat Paksa dan Pelaksanaan Penagihan Seketika dan Sekaligus menyatakan bahwa Penagihan Seketika Dan Sekaligus adalah tindakan penagihan pajak yang dilaksanakan oleh Juru Sita Pajak kepada Penanggung Pajak tanpa menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran, yang meliputi seluruh utang pajak dari semua jenis pajak, Masa Pajak dan Tahun Pajak. Penagihan seketika dan sekaligus dilakukan apabila : 1. Penanggung Pajak akan meninggakan Indonesia untuk selama-lamanya atau berniat untuk itu.

2. Penanggung Pajak memindahtangankan barang yang dimiliki atau yang dikuasai dalam rangka menghentikan atau mengecilkan kegiatan perusahaan atau pekerjaan yang dilakukannya di Indonesia. 3. Terdapat tanda-tanda bahwa Penanggung Pajak akan membubarkan badan usaha atau menggabungkan atau memekarkan usaha, atau memindahtangankan perusahaan yang dimiliki atau yang dikuasainya, atau melakukan perubahan bentuk lainnya. 4. Badan usaha akan dibubarkan oleh negara. 5. Terjadi penyitaan atas barang Penangung Pajak oleh pihak ketiga atau terdapat tanda-tanda kepailitan. Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus diterbitkan sebelum Surat Paksa. 1.1.7 Penagihan Dengan Surat Teguran Langkah awal dalam tindakan penagihan adalah penerbitan Surat Teguran (Pasal 8 ayat (1) PMK 24/2008 sttd PMK 85/2010. Dalam Pasal 1 angka 10 Undang- Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 menyatakan Surat Teguran atau dapat disebut juga Surat Peringatan atau surat lain yang sejenis adalah surat yang diterbitkan oleh Pejabat untuk menegur atau memperingatkan kepada Wajib Pajak untuk melunasi utang pajaknya. Langkah ini diambil sebagai peringatan agar penanggung pajak segera melunasi utang pajaknya untuk menghindari dilakukannya tindakan penagihan. Surat Teguran juga dimaksudkan agar Penanggung

Pajak mempunyai kesempatan sampai dengan jangka waktu 21 (dua puluh satu) hari, sebelum dilakukan upaya paksa dengan diterbitkannya Surat Paksa. Dalam ketentuan Pasal 27 ayat (5) PP 80 Tahun 2008 sttd PP No. 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Perpajakan diatur bahwa dalam hal Wajib Pajak tidak melunasi jumlah pajak yang masih harus dibayar dalam waktu yang telah ditentukan, pajak yang masih harus dibayar tersebut ditagih dengan terlebih dahulu menerbitkan Surat Teguran. Surat Teguran tersebut diterbitkan lewat 7 hari dari tanggal jatuh tempo pembayaran. Dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 24/PMK.03/2008 sttd Peraturan Menteri Keuangan No. 85/PMK.03/2010 diatur bahwa mengenai saat penerbitan Surat Teguran, tergantung dari ada tidaknya sengketa seperti berikut ini. 1. Dalam hal Wajib Pajak tidak menyetujui sebagian atau seluruh jumlah pajak yang masih harus dibayar dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan (PAHP) atau Pembahasan Akhir Hasil Verifikasi (PAHV) dan Wajib Pajak tidak mengajukan keberatan atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), kepada Wajib Pajak disampaikan Surat Teguran, setelah 7 hari sejak jatuh tempo pengajuan keberatan. 2. Dalam hal Wajib Pajak tidak menyetujui sebagian atau seluruh jumlah pajak yang masih harus dibayar dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan atau Pembahasan Akhir Hasil Verifikasi, dan Wajib Pajak tidak mengajukan permohonan banding atas keputusan keberatan sehubungan dengan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), atau Surat Ketetapan Pajak setelah 7 (tujuh) hari sejak tanggal jatuh tempo pengajuan banding.

3. Dalam hal Wajib Pajak tidak menyetujui sebagian atau seluruh jumlah pajak yang masih harus dibayar dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan atau Pembahasan Akhir Hasil Verifikasi, dan Wajib Pajak mengajukan permohonan banding atas keputusan keberatan sehubungan dengan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), kepada Wajib Pajak disampaikan Surat Teguran setelah 7 (tujuh) hari sejak tanggal jatuh tempo pelunasan pajak yang masih harus dibayar berdasarkan Putusan banding. 4. Dalam hal Wajib Pajak menyetujui seluruh jumlah pajak yang masih harus dibayar dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan atau Pembahasan Akhir Hasil Verifikasi, kepada Wajib Pajak disampaikan Surat Teguran setelah 7 (tujuh) hari sejak jatuh tempo pelunasan. 5. Dalam hal Wajib Pajak mencabut pengajuan keberatan atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT) setelah tanggal jatuh tempo pelunasan tapi sebelum tanggal diterima surat pemberitahuan untuk hadir oleh Wajib Pajak, kepada Wajib Pajak disampaikan Surat Teguran setelah 7 (tujuh) hari sejak tanggal pencabutan pengajuan keberatan tersebut. 1.1.7.1 Tata Cara Penerbitan Surat Teguran Penerbitan Surat Teguran dilakukan pada seksi Penagihan, dengan prosedur sebagai berikut. 1. Pelaksana pada seksi penagihan meneliti Surat Ketetapan Pajak (SKP)/Surat Tagihan Pajak (STP)/ Surat Tagihan Bea (STB) yang harus diterbitkan Surat

Teguran dalam Sistem Administrasi Perpajakan dan meminta persetujuan Kepala Seksi dan kemudian diteruskan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak melalui sistem informasi DJP. 2. Kepala Kantor Pelayanan Pajak memeriksa usulan penerbitan Surat Teguran dan memberikan persetujuan penerbitan melalui Sistem Informasi DJP. 3. Pelaksana melihat Sistem Informasi DJP dan memeriksa persetujuan penerbitan Surat Teguran dari Kepala Kantor Pelayanan Pajak, mencetak Surat Teguran dan menyampaikannya kepada Kepala Seksi Penagihan. 4. Kepala Seksi Penagihan meniliti, memaraf Surat Teguran, dan menugaskan kepada Pelaksana untuk menyampaikannya kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak. 5. Kepala Kantor Pelayanan Pajak meniliti, menandatangi Surat Teguran, dan meneruskan kepada pelaksana untuk disampaikan kepada Wajib Pajak. 6. Pelaksana meneliti Surat Teguran yang telah ditandatangani Kepala Kantor Pelayanan Pajak, menatausahakan, dan menyampaikannya kepada Wajib Pajak melalui Subbag Umum. 1.1.8 Penagihan Dengan Surat Paksa Surat Paksa adalah surat perintah membayar utang pajak dan biaya Penagihan Pajak (Pasal 1 angka12 UU PPSP). Surat Paksa diterbitkan dalam hal berikut ini. 1. Penanggung Pajak tidak melunasi utang pajak sampai dengan tanggal jatuh tempo pembayaran dan kepadanya telah diterbitkan Surat Teguran atau Surat Peringatan atau surat lain yang sejenis.

2. Terhadap Penanggung Pajak telah dilaksanakan penagihan seketika dan sekaligus; atau 3. Penanggung Pajak tidak memenuhi ketentuan sebagaimana tercantum dalam keputusan persetujuan angsuran atau penundaan pembayaran pajak. Surat Paksa diterbitkan untuk memerintahkan dengan paksa kepada Penanggung Pajak untuk melunasi utang pajak beserta biaya penagihan. Surat Paksa dibuat dengan kepala surat Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Kepala surat ini sama seperti kepala surat yang tercantum dalam Keputusan Hakim Pengadilan. Hal ini menunjukan bahwa Surat Paksa telah memiliki kekuatan eksekutorial dan memilik kedudukan hukum yang sama dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Ini berarti bahwa jurusita sebagai petugas pelaksana Surat Paksa dapat melakukan eksekusi langsung (parate executie) atas barang-barang milik penanggung pajak, jika penanggung pajak tidak melakukan perintah yang dimaksud dalam Surat Paksa tersebut. Dalam Surat Paksa terdapat 2 (dua) perintah. Perintah pertama ditujukan kepada Penanggung Pajak agar melakukan pelunasan utang pajak dan biaya penagihan dalam jangka waktu 2 x 24 jam. Dan kepada Jurusita yang melaksanakan Surat Paksa untuk melakukan penyitaan atas barang-barang milik Wajib Pajak/ Penanggung Pajak apabila dalam waktu 2 (dua) kali dua puluh empat jam Surat Paksa ini tidak dipenuhi. 1.1.8.1 Prosedur Penerbitan Surat Paksa Penerbitan Surat Paksa yang dilakukan di seksi Penagihan dilaksanakan dengan prosedur sebagai berikut.

1. Pelaksana Seksi Penagihan mengiventarisasi Penunggak Pajak yang harus dikirim Surat Paksa, meniliti dengan melihat data tunggakan beserta pelunasan (SSP/STTS/SSB/bukti pbk) atau pengurangan (keputusan pembetulan/keputusan keberatan/keputusan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi), membuat konsep Surat Paksa dan menyampaikannya kepada kepala seksi penagihan. 2. Kepala seksi penagihan meneliti, menyetujui dan memaraf konsep Surat Paksa, serta menyampaikannya kepada kepala kantor pelayanan pajak. 3. Kepala Kantor Pelayanan Pajak meneliti, menyetujui dan menandatangani Surat Paksa dan meneruskan kepada Kepala Seksi Penagihan. 4. Kepala Seksi Penagihan menerima Surat Paksa, menugaskan Pelaksana untuk menatausahakan, dan meneruskan kepada Juru sita Pajak. 5. Pelaksana menatausahakan Surat Paksa dan meneruskan kepada Juru Sita untuk ditindaklanjuti. 6. Juru Sita Pajak menyampaikan Surat Paksa kepada Penunggak Pajak/ Penanggung Pajak atau pihak yang mewakilinya dan membuat Berita Acara Penyampaian Surat Paksa yang ditandatangani Penanggung Pajak atau pihak yang mewakilinya sebagai bukti bahwa Surat Paksa, telah disampaikan, membuat konsep Laporan Pelaksanaan bukti bahwa Surat Paksa telah disampaikan, membuat konsep Laporan Pelaksanaan Surat Paksa, dan menyampaikannya kepada Kepala Seksi Penagihan melalui pelaksana.

7. Kepala Seksi Penagihan meniliti, menyetujui dan menandatangani Laporan Pelaksanaan Surat Paksa, serta menugaskan Pelaksana untuk menatausahakannya. 8. Pelaksana menerima Laporan Pelaksanaan Surat Paksa dan menatausahakan Laporan Pelaksanaan Surat Paksa, salinan Surat Paksa dan Berita Acara Penyampaian Surat Paksa ke dalam berkas penagihan Wajib Pajak. 1.1.8.2 Tata Cara Penyampaian Surat Paksa Surat Paksa diberitahukan oleh Jurusita Pajak dengan pernyataan dan penyerahan Surat Paksa kepada Penanggung Pajak. Dengan Pernyataan artinya Surat Paksa harus dinyatakan dengan cara dibacakan di depan Penanggung Pajak, dan Salinan Surat Paksa tersebut diserahkan kepada Penanggung Pajak. Tata cara ini sama seperti tata cara penyampaian keputusan Hakim Pengadilan yang di memiliki kekuatan eksekutorial. Surat Paksa mempunyai kekuatan eksekutorial dan kedudukan hukum yang sama dengan grosse akte, yaitu putusan pengadilan perdata yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, maka pemberitahuan kepada Penanggung Pajak oleh Jurusita Pajak dilaksanakan dengan cara membacakan isi Surat Paksa dan kedua belah pihak menandatangani Berita Acara sebagai pernyataan bahwa Surat Paksa telah diberitahukan. Selanjutnya salinan Surat Paksa diserahkan kepada Penanggung Pajak, sedangkan Surat Paksa yang asli disimpan di kantor pejabat. Pemberitahuan Surat Paksa diatur dalam Pasal 10, 17 & 18 UU PPSP serta PMK No. 24/PMK.03/2008 sttd PMK No. 85/PMK.03/2010. Jika Penanggung Pajak adalah orang pribadi, maka Surat Paksa diberitahukan oleh jurusita kepada:

1. Penanggung Pajak di tempat tinggal, tempat usaha atau tempat lain yang memungkinkan. 2. Orang dewasa yang bertempat tinggal bersama ataupun yang bekerja di tempat usaha Penanggung Pajak, apabila Penanggung Pajak yang bersangkutan tidak dapat dijumpai. 3. Salah seorang ahli waris atau pelaksana wasiat atau yang mengurus harta peninggalannya, apabila Wajb Pajak telah meninggal dunia dan harta warisan belum dibagi; atau 4. Terhadap Wajib Pajak yang meninggal dunia dan meninggalkan warisan yang telah dibagi, Surat Paksa diterbitkan dan diberitahukan kepada masing-masing ahli waris. Surat Paksa dimaksud memuat, antara lain jumlah tunggakan utang pajak yang telah dibagi sebanding dengan besarnya warisan yang diterima oleh masingmasing ahli waris. Dalam hal ahli waris belum dewasa, Surat Paksa diserahkan kepada wali atau pengampunya. Dalam hal Wajib Pajak badan Surat Paksa diberitahukan kepada : 1) Pengurus, kepala perwakilan, kepala cabang, penanggung jawab, pemilik modal baik di tempat kedudukan badan yang bersangkutan, di tempat tinggal mereka maupun di tempat lain yang memungkinan. Yang dimaksud pengurus, misalnya: a. Untuk perseroan terbatas pengurus meliputi Direksi, Komisaris, pemegang saham tertentu, dan orang yang nyata-nyata mempunyai wewenang ikut menentukan kebijaksanaan dan atau mengambil keputusan dalam menjalankan perseroan. Pengertian komisaris meliputi komisaris sebagai

orang yang lazim disebut Dewan Komisaris dan komisaris sebagai orang perseroan yang lazim disebut sebagai anggota Komisaris. Yang dimaksud dengan pemegang saham tertentu adalah pemegang saham pengendali atau pemegang saham mayoritas dari perseroan terbatas terbuka maupun tertutup. b. Untuk Badan Usaha Tetap kepada kepala perwakilan, kepala cabang, atau penanggung jawab. c. Untuk badan usaha lainnya seperti kontrak investasi kolektif, persekutuan, firma, persekutuan komanditer adalah direktur pemilik modal atau orang yang ditunjuk untuk melaksanakan dan mengendalikan serta bertanggung jawab atas perusahaan yang dimaksud. d. Untuk yayasan adalah ketua dan orang yang melaksanakan dan mengendalikan serta bertanggung jawab atas yayasan yang dimaksud. e. Termasuk dalam pengertian pengurus adalah orang yang nyata-nyata mempunyai wewenang ikut menentukan kebijaksanaan dan atau mengambil keputusan, sedangkan yang dimaksud dengan pemegang saham adalah pemegang saham mayoritas. f. Pegawai tetap di tempat kedudukan atau tempat usaha badan yang bersangkutan apabila jurusita pajak tidak dapat menjumpai salah seorang sebagaiman yang dimaksud dalam angka (1), yang dimaksud pegawai tetap adalah pegawai perusahaan yang membidangi keuangan, pembukuan, perpajakan, personalia, hubungan masyarakat, atau bagian umum dan bukan pegawai harian.

1.1.9 Penyitaan Monetary Assest Penunggak Pajak Peraturan Pemerintah No.135 Tahun 2000 menyebutkan bahwa Penyitaan adalah tindakan Jurusita Pajak untuk menguasai barang Penanggung Pajak, guna dijadikan jaminan untuk melunasi utang pajak menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Jurusita Pajak adalah pelaksana tindakan penagihan pajak yang meliputi penagihan seketika dan sekaligus, pemberitahuan Surat Paksa, penyitaan dan penyanderaan. Penyitaan terhadap barang milik Penanggung Pajak dilaksanakan oleh Jurusita Pajak berdasarkan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan yang diterbitkan oleh Pejabat. Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan adalah surat perintah yang diterbitkan oleh Pejabat untuk melaksanakan penyitaan. Yang menjadi Objek Sita adalah barang Penanggung Pajak yang dapat dijadikan jaminan utang pajak. Barang dalam hal ini adalah tiap benda atau hak yang dapat dijadikan objek sita. Adapun tata cara penyitaan Penunggak Pajak adalah sebagai berikut. 1. Penyitaan Terhadap kekayaan Penanggung Pajak yang berupa Piutang dilaksanakan sebagai berikut. 1) Jurusita Pajak melakukan inventarisasi dan membuat rincian tentang jenis dan jumlah piutang yang disita dalam suatu daftar yang merupakan lampiran Berita Acara Pelaksanaan Sita; 2) Jurusita Pajak membuat Berita Acara Pelaksanaan Sita; 3) Jurusita Pajak membuat Berita Acara Persetujuan Pengalihan Hak Menagih Piutang dari Penanggung Pajak kepada Pejabat dan salinannya disampaikan kepada Penangung Pajak dan pihak yang berkewajiban membayar utang.

4) Dalam hal Penangggung Pajak menolak untuk menandatangani Berita Acara Persetujuan Pengalihan Hak Menagih Pajak kepada Pejabat, Wajib Pajak atau Penanggung Pajak tidak diketahui tempat tinggal, tempat usaha atau tempat kedudukannya atau Wajib Pajak dan atau Penanggung Pajak patut diduga melakukan tindak pidana di bidang perpajakan, penyitaan tetap dapat dilaksanakan dan Jurusita Pajak membuat Acara Pelaksanaan Sita. 2. Penyitaan terhadap harta kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan pada bank adalah sebagai berikut. 1) Jurusita Pajak setelah menerima berita acara pemblokiran memerintahkan kepada Penanggung Pajak untuk memberi kuasa kepada Bank agar memberitahukan saldo kekayaannya yang tersimpan pada bank tersebut kepada Jurusita Pajak; 2) Dalam hal penanggung pajak tidak memberi kuasa kepada bank sebagaimana yang dimaksud dalam angka (1), maka Pejabat meminta Gubernur Bank Indonesia Melalui Menteri Keuangan untuk memerintahkan bank memberitahukan saldo kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan pada bank dimaksud kepada Pejabat; 3) Setelah saldo kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan pada bank diketahui, Jurusita Pajak melaksanakan penyitaan; 4) Jurusita Pajak membuat Berita Acara Pelaksanaan Sita, dan ditandatangani oleh Jurusita Pajak, saksi-saksi, pimpinan bank atau pejabat bank yang ditunjuk;

5) Jurusita Pajak menyampaikan salinan Berita Acara Pelaksanaan Sita kepada Penanggung Pajak dan pimpinan bank yang bersangkutan. 3. Tata cara pemblokiran rekening Penunggak Pajak di bank. 1) Pemblokiran diajukan oleh Kepala KPP kepada Pimpinan Bank tempat harta kekayaan Penanggung Pajak tersimpan disertai dengan: a. Salinan Surat Paksa; dan b. Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan 2) Pimpinan Bank atau pejabat bank yang ditunjuk wajib melaksanakan pemblokiran terhadap harta kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan di bank secara seketika setelah menerima permohonan pemblokiran dari Kepala KPP tersebut. 3) Pimpinan bank atau pejabat bank yang ditunjuk membuat Berita Acara Pemblokiran, dan menyampaikan tindasnya kepada: a. Penanggung Pajak b. Kepala KPP yang meminta pemblokiran. 4) Sebelum dilakukan penyitaan atas harta kekayaan Penanggung Pajak yang diblokir, Penanggung Pajak dapat mengajukan pemohonan kepada Kepala KPP menggunakan harta yang diblokir tersebut untuk melunasi biaya penagihan dan utang pajak. Penyitaan dilaksanakan oleh Jurusita Pajak dengan disaksikan oleh sekurangkurangnya 2 (dua) orang yang telah dewasa, penduduk Indonesia, dikenal oleh Jurusita Pajak dan dapat dipercaya. Dalam melaksanakan penyitaan, Jurusita Pajak harus: 1. memperlihatkan kartu tanda pengenal Jurusita Pajak

2. memperlihatkan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan; dan 3. memberitahukan tentang maksud dan tujuan penyitaan. 1.1.10 Pelelangan/ Penjualan Aset Sitaan Apabila utang pajak dan/atau biaya penagihan pajak tidak dilunasi setelah dilaksanakan penyitaan, Pejabat berwenang melaksanakan penjualan secara lelang terhadap barang yang disita melalui Kantor Lelang (Pasal 25 ayat (1) UU PPSP). Sekalipun Penanggung Pajak telah melunasi utang pajak, tetapi belum melunasi biaya penagihan pajak, penjualan secara lelang terhadap barang yang telah disita tetap dapat dilaksanakan. Namun sesuai dengan ketentuan dalam peraturan lelang, setiap penjualan secara lelang harus didahului dengan Pengumuman Lelang (Penjelasan Pasal 26 ayat (1) UU PPSP). Dalam Pasal 1 angka 17 UU PPSP disebutkan bahwa Lelang adalah setiap penjualan barang di muka umum dengan cara penawaran harga secara lisan dan/atau melalui usaha pengumpul peminat atau calon pembeli. Sedangkan kantor yang berwenang melakukan penjualan secara lelang disebut Kantor Lelang (Pasal 1 angka 18 UU PPSP). Penjualan secara lelang terhadap barang sita dilaksanakan paling singkat 14 (empat belas) hari setelah pengumuman lelang melalui media massa (Pasal 26 ayat (1) UU PPSP), sedangkan pengumuman lelang dilaksanakan paling singkat 14 (empat belas) hari setelah penyitaan. 1.1.11 Daluwarsa Penagihan Pajak

Daluwarsa Penagihan merupakan suatu batasan waktu yang ditentukan oleh undang-undang yang berlaku bahwa fiskus tidak mempunyai hak lagi untuk melakukan penagihan terhadap utang pajak Wajib Pajak. Daluwarsa penagihan dimaksudkan untuk menegaskan adanya kepastian hukum bagi Wajib Pajak terhadap suatu utang pajak untuk tidak ditagih lagi. Ketentuan mengenai daluwarsa penagihan tersebut diatur dalam pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia nomor 28 tahun 2007 tentang perubahan ketiga atas Undang-Undang No. 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan Yang Berbunyi sebagai berikut. Hak untuk melakukan penagihan pajak, termasuk bunga, denda, kenaikan, dan biaya penagihan pajak, daluarsa setelah lampau 5 tahun terhitung sejak penerbitan Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar serta Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali. UU tersebut, digunakan untuk tahun pajak 2007 ke atas. Sedangkan untuk tahun pajak sebelum itu menggunakan UU No. 16 Tahun 2000 yang merupakan perubahan kedua dari UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan. Dalam UU KUP pasal 22 ayat (1) tersebut, disebutkan bahwa hak untuk melakukan penagihan pajak, termasuk bunga, denda, kenaikan, dan biaya penagihan pajak daluwarsa setelah lampau waktu 10 tahun, terhitung sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian tahun pajak, dan tahun pajak yang bersangkutan. Daluwarsa penagihan pajak akan tertangguh apabila terjadi hal-hal berikut ini. 1. Diterbitkan Surat Teguran dan Surat Paksa. 2. Ada pengakuan utang pajak dari Wajib Pajak baik langsung maupun tidak langsung.

3. Diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan. 1.1.12 Penghapusan Utang Pajak Penghapusan utang pajak dilakukan karena kondisi dari Wajib Pajak yang bersangkutan, misalnya Wajib Pajak dinyatakan bangkrut oleh pihak-pihak yang berwenang. Penyebab penghapusan piutang pajak orang pribadi menurut Peraturan Menteri Keuangan No. 68/PMK.03/2012 tentang Tata Cara Penghapusan Pajak dan Penetapan Besarnya Penghapusan adalah sebagai berikut. 1. Wajib Pajak meninggal dunia dengan tidak meninggalkan harta warisan dan tidak mempunyai ahli waris, atau ahli waris tidak dapat diketemukan. 2. Wajib Pajak tidak mempunyai harta kekayaan lagi yang dibuktikan berdasarkan surat keterangan dari Pemerintah Daerah setempat. 3. Wajib Pajak tidak dapat diketemukan lagi atau dokumen tidak dapat ditemukan lagi disebabkan keadaan yang tidak dapat dihindarkan seperti kebakaran, bencana alam, dan sebagainya. 4. Dokumen sebagai dasar penagihan pajak tidak ditemukan dan telah dilakukan penelusuran secara optimal sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di bidang perpajakan; atau 5. Hak negara untuk melakukan penagihan pajak tidak dapat dilaksanakan karena kondisi tertentu sehubungan dengan adanya Perubahan kebijakan dan/atau berdasarkan pertimbangan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Penyebab penghapusan utang Wajib Pajak badan adalah sebagai berikut.

1. Wajib Pajak bubar, likuidasi, atau pailit dan Penanggung Pajak tidak dapat ditemukan. 2. Hak untuk melakukan penagihan pajak sudah daluwarsa. 3. Dokumen sebagai dasar penagihan pajak tidak ditemukan dan telah dilakukan penelusuran secara optimal sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di bidang perpajakan; atau 4. Hak negara untuk melakukan penagihan pajak tidak dapat dilaksanakan karena kondisi tertentu sehubungan dengan adanya Perubahan kebijakan dan/atau berdasarkan pertimbangan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan. 1.1.13 Efektivitas Mahmudi (2010: 86) mengatakan bahwa efektivitas terkait dengan hubungan antara hasil yang diharapkan dengan hasil yang sesungguhnya dicapai. Masih dalam bukunya, disebutkan efektivitas merupakan hubungan antara output dengan tujuan. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Ndraha (2005:163) Efektivitas (effectiveness) yang didefinisikan secara abstrak sebagai tingkat pencapaian tujuan, diukur dengan rumus hasil dibagi dengan (per) tujuan. Tujuan yang bermula pada visi yang bersifat abstrak itu dapat dideduksi sampai menjadi kongkrit, yaitu sasaran (strategi). Sasaran adalah tujuan yang terukur, Konsep hasil relatif, bergantung pada pertanyaan, pada mata rantai mana dalam proses dan siklus pemerintahan, hasil didefinisikan. Jadi, bisa disimpulkan bahwa Mardiasmo (2009:134) dalam Erwis (2012) mengatakan bahwa efektivitas adalah ukuran berhasil tidaknya suatu organisasi mencapai tujuannya. Dimana apabila suatu organisasi berhasil mencapai tujuan, maka organisasi

tersebut dikatakan telah berjalan efektif. Pengertian efektivitas secara umum menunjukan sampai seberapa jauh tercapainya suatu tujuan yang terlebih dahulu ditentukan. Hal yang perlu dicatat bahwa efektivitas tidak menyatakan tentang berapa besar biaya yang telah dikeluarkan untuk mencapai tujuan tersebut, efektivitas hanya melihat apakah suatu program atau kegiatan telah mencapai tujuan yang telah ditetapkan. 1.2 Penelitian Terdahulu Berikut ini adalah beberapa penelitian terdahulu yang dijadikan sebagai acuan dalam penelitian ini. Tabel 3: Penelitian Terdahulu Peneliti Judul Metode Hasil Penelitian Derlina Tunas (2013) Velayati, Rizkika dkk. (2013) Juniarty, Sy. (2013) Sutria Mala Efektivitas Penagihan Tunggakan Pajak Dengan Menggunakan Surat Paksa Pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Manado Analisis Efektivitas Dan Kontribusi Tindakan Penagihan Aktif Dengan Surat Teguran dan Surat Paksa Sebagai Upaya Pencairan Tunggakan Pajak (Studi Pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Batu Tahun 2010-2012). Efektivitas Penagihan Terhadap Pencairan Tunggakan Pajak Dengan Surat Teguran Dan Surat Paksa Pada Kantor Deskriptif Kuantitatif Deskriptif Kuantitatif penerimaan pajak di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Manado dalam hal pembayaran tunggakan pajak dengan Surat Paksa bisa dikategorikan efektif karena penerimaan tunggakan pajak tahun 2011 ke tahun 2012 mengalami peningkatan. Efektivitas Surat Teguran tergolong tidak efektif. Efektivitas Surat Paksa pada tahun 2010 dan 2012 tergolong tidak efektif tetapi di tahun 2011 dikategorikan sangat efektif. Penilaian tingkat kontribusi dengan menggunakan Rasio Penerimaan Tunggakan Pajak (RPTP) kategori sangat kurang. Efektivitas Penagihan Tunggakan Terhadap Pencairan Piutang Pajak masih belum efektif.

Nana Erwis (2012) Adriana Pelayanan Pajak Pratama Pontianak Efektivitas Penagihan Pajak Dengan Surat Teguran dan Surat Paksa Terhadap Penerimaan Pajak Pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Makassar Selatan Deskriptif Kuantitatif Penagihan pajak di KPP Pratama Makassar Selatan tergolong tidak efektif. Kontribusi penagihan pajak dengan Surat Teguran dan Surat Paksa terhadap penerimaan pajak tergolong sangat kurang. 1.3 Kerangka Pemikiran Sistem Self Assestment yang tidak didukung penuh dengan kesadaran dan kepatuhan Wajib Pajak akan menimbulkan kelalaian terhadap kewajiban perpajakan. Salah satu bentuk kelalaian Wajib Pajak yang sangat marak di Indonesia adalah penunggakan pajak. Hal ini, ditunjukan dengan adanya jumlah tunggakan pajak yang besar terhadap negara setiap tahunnya. Tunggakan Pajak yang tidak kunjung dilunasi 7 (tujuh) hari setelah tanggal jatuh tempo pelunasan akan ditegur atau diperingati. Hal tersebut sesuai dengan Undang- Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa atau biasa disebut dengan UU PPSP. Dalam pasal 8 ayat (2) UU PPSP disebutkan apabila Wajib Pajak tidak melunasi jumlah pajak yang masih harus dibayar sampai dengan tanggal jatuh tempo pelunasan, maka pajak yang masih harus dibayar tersebut ditagih dengan terlebih dahulu menerbitkan Surat Teguran, Surat Peringatan, atau Surat lain yang sejenis. Setelah itu, jika Surat Teguran atau Surat lain yang sejenis tidak diindahkan oleh Penunggak Pajak maka dalam kurun waktu 21 hari dapat diterbitkan Surat Paksa. Sesuai dengan penjelasan Pasal 7 ayat (1) UU PPSP dikatakan bahwa agar tercapai efektivitas dan efisiensi penagihan pajak yang didasari oleh Surat Paksa, ketentuan ini memberi kekuatan eksekutorial serta memberi kedudukan hukum yang sama dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap

kepada Surat Paksa. Dengan demikian, Surat Paksa langsung dapat dilaksanakan tanpa bantuan putusan pengadilan lagi dan tidak dapat diajukan banding. Selain itu, Penagihan dengan surat paksa juga bisa dilakukan sampai pada proses penyitaan, dimana paling cepat dalam waktu 2 24 jam sudah dapat diterbitkan Surat Perintah Melakukan Penyitaan. Hal tersebut sesuai dengan apa yang tertuang dalam UU PPSP Pasal 1 angka 14. Serangkaian kegiatan penagihan aktif yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak ini diharapkan dapat mengupayakan pencairan tunggakan pajak dengan cara menimbulkan efek jera (detterent effect) terhadap Penunggak Pajak yang lalai terhadap kewajibannya. Oleh karena itu dalam Strategi Penerimaan Pajak oleh Direktorat Jenderal Pajak dari tahun ke tahun Kegiatan Penagihan dianggap sebagai kegiatan extra effort yang diyakini mampu memberikan sumbangan pemasukan bagi Kas Negara (Siaran Pers DJP). Sebagai kegiatan extra effort yang terus menerus digalangkan oleh Direktorat Jenderal Pajak, maka keefektivan kegiatan penagihan aktif merupakan tolak ukur, berhasil tidaknya tindakan penagihan tersebut dalam meningkatkan penerimaan pajak. Berikut merupakan gambar yang menjabarkan kerangka pemikiran peneliti untuk menjawab masalah dalam penelitian ini.

Gambar 3: Kerangka Pemikiran