BAB III APLIKASI PEMANFAATAN BAND YANG BERBEDA PADA INSAR

dokumen-dokumen yang mirip
BAB V TINJAUAN MENGENAI DATA AIRBORNE LIDAR

1. BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN

BAB IV ANALISIS IV.1 Analisis Data

PEMANFAATAN INTERFEROMETRIC SYNTHETIC APERTURE RADAR (InSAR) UNTUK PEMODELAN 3D (DSM, DEM, DAN DTM)

BAB III TEKNOLOGI LIDAR DALAM PEKERJAAN EKSPLORASI TAMBANG BATUBARA

BAB II RADAR APERTUR SINTETIK INTERFEROMETRI. (Interferometric Synthetic Aperture Radar INSAR)

BAB 3 PENGOLAHAN DATA

BAB III PENGOLAHAN DATA Proses Pengolahan Data LIDAR Proses pengolahan data LIDAR secara umum dapat dilihat pada skema 3.1 di bawah ini.

BAB II DASAR TEORI. 2.1 DEM (Digital elevation Model) Definisi DEM

Phased Array Type L-Band Synthetic Aperture Radar (PALSAR)

BAB III PENGOLAHAN DATA ALOS PRISM

BAB II DAERAH PENELITIAN & BAHAN

Gambar 4.1. Kemampuan sensor LIDAR untuk memisahkan antara permukaan tanah dengan vegetasi di atasanya [Karvak, 2007]

Pengertian Sistem Informasi Geografis

BAB V ANALISIS. V.1 Analisis Data

BAB IV STUDI KASUS GUNUNG API BATUR - BALI

SISTEM INFORMASI SUMBER DAYA LAHAN

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Data 3.3 Tahapan Pelaksanaan

BAB III PENGOLAHAN DATA. Pada bab ini akan dibahas tentang aplikasi dan pelaksanaan penelitian yang dilakukan dalam tugas akhir ini.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Tujuan. Model Data pada SIG. Arna fariza. Mengerti sumber data dan model data spasial Mengerti perbedaan data Raster dan Vektor 4/7/2016

PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN

Bab III Pelaksanaan Penelitian. Penentuan daerah penelitian dilakukan berdasarkan beberapa pertimbangan, diantaranya adalah :

3/17/2011. Sistem Informasi Geografis

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. bentuk spasial yang diwujudkan dalam simbol-simbol berupa titik, garis, area, dan

ANALISIS KETINGGIAN MODEL PERMUKAAN DIGITAL PADA DATA LiDAR (LIGHT DETECTION AND RANGING) (Studi Kasus: Sei Mangkei, Sumatera Utara)

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB III METODA. Gambar 3.1 Intensitas total yang diterima sensor radar (dimodifikasi dari GlobeSAR, 2002)

Pengolahan Fasa untuk Mendapatkan Model Tinggi Permukaan Dijital (DEM) pada Radar Apertur Sintetik Interferometri (INSAR) Data Satelit

IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi

BAB IV PENGOLAHAN DATA

PRESENTASI TUGAS AKHIR

III. BAHAN DAN METODE

PENGGUNAAN CITRA SATELIT RESOLUSI TINGGI UNTUK PEMBUATAN PETA DASAR SKALA 1:5.000 KECAMATAN NGADIROJO, KABUPATEN PACITAN

LAPORAN PRAKTIKUM MATA KULIAH PENGOLAHAN CITRA DIGITAL

BAB VII ANALISIS. Airborne LIDAR adalah survey untuk mendapatkan posisi tiga dimensi dari suatu titik

BAB IV PENGUKURAN DAN ANALISIS

INFORMASI GEOGRAFIS DAN INFORMASI KERUANGAN

Karena tidak pernah ada proyek yang dimulai tanpa terlebih dahulu menanyakan: DIMANA?

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang

PERANAN CITRA SATELIT ALOS UNTUK BERBAGAI APLIKASI TEKNIK GEODESI DAN GEOMATIKA DI INDONESIA

BAHAN DAN METODE. Gambar 1 Peta Lokasi Penelitian

BAB III PERANCANGAN ANTENA DAN METODOLOGI PENGUKURAN

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

SISTEM INFORMASI GEOGRAFI. Data spasial direpresentasikan di dalam basis data sebagai vektor atau raster.

Bab III Pelaksanaan Penelitian

Spektrum Gelombang. Penginderaan Elektromagnetik. Gelombang Mikro - Pasif. Pengantar Synthetic Aperture Radar

SISTEM INFORMASI SUMBERDAYA LAHAN (Kuliah ke 12)

BAB 4 HASIL PENGUKURAN DAN ANALISIS ANTENA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Gambar 7. Lokasi Penelitian

BAB III METODE PENELITIAN

BAB IV PENGUKURAN DAN ANALISIS

BAB II DASAR TEORI. II.1 Penginderaan Jauh (Remote Sensing)

III. BAHAN DAN METODE

BAB III METODE PENELITIAN

III. BAHAN DAN METODE

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN

Nilai Io diasumsikan sebagai nilai R s

PENGUKURAN GROUND CONTROL POINT UNTUK CITRA SATELIT CITRA SATELIT RESOLUSI TINGGI DENGAN METODE GPS PPP

III. BAHAN DAN METODE

BAB II DASAR TEORI II.1 Sistem referensi koordinat

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN

BAB 3 LIDAR DAN PENDETEKSIAN POHON

BAB III PENGUKURAN DAN PENGOLAHAN DATA. Penelitian dilakukan menggunakan gravimeter seri LaCoste & Romberg No.

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian

Abstrak PENDAHULUAN.

3.3.2 Perencanaan Jalur Terbang Perencanaan Pemotretan Condong Perencanaan Penerbangan Tahap Akuisisi Data...

Sistem Infornasi Geografis, atau dalam bahasa Inggeris lebih dikenal dengan Geographic Information System, adalah suatu sistem berbasis komputer yang

BAB I PENDAHULUAN. Geofisika adalah bagian dari ilmu bumi yang mempelajari bumi

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB II PROPAGASI GELOMBANG MENENGAH

BAB III IMPLEMENTASI METODE CRP UNTUK PEMETAAN

Perbandingan Penentuan Volume Suatu Obyek Menggunakan Metode Close Range Photogrammetry Dengan Kamera Non Metrik Terkalibrasi Dan Pemetaan Teristris

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB IV PENGOLAHAN DATA

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang memiliki wilayah yang sangat luas, kekayaan alam yang

Jupi Nurul Azkiya Retnadi Heru Jatmiko

Transformasi Datum dan Koordinat

BAB 3 PERANCANGAN ANTENA MIKROSTRIP ARRAY

Gambar 2. Peta Batas DAS Cimadur

BAB 4 ANALISIS. 4.1 Analisis Kemampuan Deteksi Objek

Pemetaan Situasi dengan Metode Koordinat Kutub di Desa Banyuripan, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten

PENGGUNAAN METODE INSAR DIFERENSIAL UNTUK PEMANTAUAN DEFORMASI ERUPSI GUNUNG MERAPI PADA TAHUN 2010

Sistem Informasi Geografis (SIG) Geographic Information System (SIG)

Pengukuran Kekotaan. Lecture Note: by Sri Rezki Artini, ST., M.Eng. Geomatic Engineering Study Program Dept. Of Geodetic Engineering

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

Hasil klasifikasi citra ALOS PALSAR filterisasi Kuan. dengan ukuran kernel size 9x dengan ukuran kernel size 3x

III METODOLOGI. 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

III METODE PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN

SISTEM KOORDINAT SISTEM TRANSFORMASI KOORDINAT RG091521

LAMPIRAN 1 GRAFIK PENGUKURAN PORT TUNGGAL

Bab I Pendahuluan. I.1 Latar Belakang

Transkripsi:

BAB III APLIKASI PEMANFAATAN BAND YANG BERBEDA PADA INSAR III.1 Model Tinggi Digital (Digital Terrain Model-DTM) Model Tinggi Digital (Digital Terrain Model-DTM) atau sering juga disebut DEM, merupakan suatu penggambaran relief bumi dengan sebuah model secara digital. Model tinggi digital dapat dipandang sebagai salah satu unsur dari peta digital. Selain itu, model tinggi digital juga dapat didefinisikan sebagai representasi statistik permukaan tanah dari titik-titik yang diketahui koordinat X, Y, dan Z nya pada suatu sistem koordinat tertentu (Petrie & Kennie, 1991). Dari dua definisi di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa model tinggi digital merupakan bentuk pemodelan permukaan bumi ke dalam suatu model digital permukaan tanah tiga dimensi dari titik-titik yang mewakili permukaan tanah tersebut. Teknik pengumpulan data untuk model tinggi digital dapat dibedakan dalam pengukuran secara langsung (terestris), pengukuran model obyek (fotogrametris), dan peta analog (digitasi). Teknik pembentukan model tinggi digital selain terestris, fotogrametris, dan digitasi adalah dengan pengukuran pada model obyek. Hal ini dapat dilakukan apabila ada sepasang citra yang mencakup wilayah yang sama dan dapat direkontruksikan dalam bentuk model stereo. Kualitas dari model tinggi digital dapat dilihat pada tingkat akurasi dan presisinya. Akurasi adalah nilai ketinggian titik Z yang diberikan oleh model tinggi digital, berbanding dengan nilai sebenarnya yang dianggap benar. Presisi adalah banyaknya informasi yang dapat diberikan oleh model tinggi digital dan bergantung pada jumlah dan sebaran titik-titik sample dan ketelitian titik sampel sebagai input bagi pembentukan model tinggi digital dan juga sebagai metode interpolasi untuk mendapatkan ketinggian titik-titik pembentuk model tinggi 26

digital. Titik-titik sampel yang dipilih untuk digunakan harus dapat mewakili bentuk permukaan secara keseluruhan sesuai dengan kebutuhan penggunaannya. Model tinggi yang merupakan hasil pengolahan dari interferometri dapat berupa DSM (Digital Surface Model-Model Permukaan Digital) dan model tinggi digital. Munculnya model permukaan digital dan model tinggi digital disebabkan karena ada perbedaan band atau panjang gelombang yang digunakan pada saat pencitraan. Model tinggi digital dapat diperoleh jika sistem radar menggunakan band-p pada saat pencitraan. Gambar III.1 menunjukkan pemakaian antena untuk band-p pada wahana pesawat terbang. Gambar III.1 Posisi Antena untuk Band-P III.2 Model Permukaan Digital (Digital Surface Model-DSM) Penurunan model tinggi digital dengan metode INSAR sangat membantu dalam pembuatan peta kontur, peta kemiringan tanah, pemodelan jalan, simulasi banjir, dan sebagainya. Di samping itu dengan memanfaatkan band-x, dapat diturunkan model permukaan digital. Gambar III.2 Posisi Antena untuk Band-X 27

Model permukaan digital merupakan gambaran permukaan obyek yang diperoleh dari band-x pada pencitraan sistem radar atau merupakan permukaan pertama yang tercitrakan dari tutupan lahan, seperti tinggi dari bangunan pada suatu area atau kanopi pohon-pohon pada suatu area vegetasi. Model permukaan digital ini dapat dipakai untuk pemodelan tiga dimensi, karena bila dikombinasikan dengan model tinggi digital yang diperoleh dari band-p, akan didapatkan nilai ketinggian dari vegetasi yang terdapat di area tersebut. Hasil kombinasi tersebut dapat digunakan untuk mengetahui ketebalan hutan yang bisa dipakai sebagai bahan analisis tingkat kesehatan dan produktivitas hutan. Gambar III.2 menunjukkan posisi antena band-x pada wahana pesawat udara, sedangkan gambar III.3 menunjukkan perbedaan antara model permukaan digital dan model permukaan digital. Gambar III.3 Perbedaan Model Permukaan Digital dan Model Tinggi Digital III.3 Pembentukan Model Permukaan Digital dan Model Tinggi Digital Pada bab sebelumnya telah dibahas tahapan mengenai proses pembentukan model tinggi digital yang secara umum dapat dilihat pada diagram III.1. 28

Citra 1 Citra 2 Koregistrasi Pembentukan Interferogram Phase Unwrapping Konversi Fasa Menjadi Tinggi DTM Geocoding DTM Absolut (bergeoreferensi) Diagram III.1 Proses Umum Pembentukan Model Permukaan Digital dan Model Tinggi Digital III.3.1 Konversi Fasa Menjadi Tinggi Dengan menggunakan dua antena radar (A1 dan A2), pemantauan secara simultan dilakukan pada permukaan yang sama dan kedua antena itu terpisah sebesar baseline (B) dan membentuk sudut sebesar α terhadap horizontal. Gambar III.4 Geometri INSAR dengan Single Pass (Dowman, 2003) 29

Pada gambar III.4, salah satu antena melakukan dua fungsi yaitu memancarkan dan menerima sinyal radar, namun antena yang lainnya hanya menerima sinyal saja. Beda fasa berpengaruh terhadap geometri pencitraan dan ketinggian permukaan yang dicitrakan (Z) di atas ketinggian referensi (H=0), dengan catatan kita dapat menentukan ambiguitas 2π dalam pengukuran fasa tersebut. Dari gambar di atas, hubungan geometri pencitraan dengan tinggi dapat dijelaskan melalui persamaan (Dixon, 1995): Z(y) = H ρ.cosφ (3.1) dimana: φ incidence angle Z(y) tinggi permukaan Z H tinggi wahana ρ jarak antena A1 terhadap Z Dengan menerapkan hukum cosinus (c² = a² + b²- 2ab.cos(C) ), maka akan didapat persamaan: (ρ + δρ)² = ρ² + B² - 2ρB.cos(φ + 90 - α) = ρ² + B² - 2ρB.sin(φ - α) = ρ² + B² - 2ρB.sin(α - φ) (3.2) Persamaan (3.2) dapat disusun menjadi bentuk persamaan berikut: sin ( α ϕ) ( ρ + δρ) 2 2 2 ρ B = (3.3) 2ρB Beda fasa yang terukur antara kedua antena yang berbanding lurus dengan δρ, dengan konstanta perbandingan sebesar 2π/λ (Dixon, 1995), maka: λδφ δρ = (3.4) 2π Persamaan (3.4) dapat disubtitusikan ke persamaan (3.3) untuk menyatakan topografi Z(y) yang belum diketahui dengan fasa dan parameter yang dapat diamati menjadi: 30

2 2 ( λφ / 2π ) B ( α ϕ) ( λφ / 2π ) Z ( y) = H cosϕ (3.5) 2B.sin III.3.2 Geocoding Dari diagram III.1, terdapat proses geocoding yang bertujuan agar model tinggi digital yang terbentuk bergeoreferensi. Pemilihan datum dan sistem proyeksi sudah ditentukan pada tahap awal, namun apabila sistem referensinya tidak sesuai, maka dapat disesuaikan pada tahap ini. Hasil yang didapat pada tahap ini adalah semua titik dalam koordinat kartesian X, Y, dan Z (geosentrik) dan hasil ini kemudian ditransformasikan ke dalam sistem koordinat geodetik (φ, λ, h). Dengan menggunakan koefisien-koefisien pada Earth Gravitional Model 1996 (NIMA), dilakukan hitungan untuk mendapatkan harga undulasi (N) untuk setiap titik tersebut (Ismullah, 2002). Tahap berikutnya adalah melakukan transformasi dari sistem koordinat geodetik menjadi sistem koordinat UTM. Dengan menggunakan titik-titik kontrol, dilakukan transformasi konform tiga dimensi dan perataannya, didapat semua titik dalam sistem koordinat UTM dengan tinggi orthometris. III.4 Data Citra Citra yang digunakan untuk studi pada tugas akhir ini adalah citra Hutan Amazon, Negara Bagian Par a ~ Brasilia, Amerika Selatan. Pencitraan dilakukan dengan wahana pesawat terbang (airborne). Gambar III.5 memperlihatkan wahana yang digunakan untuk pencitraan Hutan Amazon tersebut. Spesifikasi parameter terbang: Wahana : Turbo Commander Kecepatan rata-rata : 100 m/s Ketinggian : 17000 kaki Tanggal : Oktober Desember 2006 31

Gambar III.5 Turbo Commander Spesifikasi dari penggunaan band pada Turbo Cammander ini adalah: Tabel III.1 Konfigurasi Radar Keterangan Band-X Band-P Frekuensi pembawa 9.6 GHz 0.4 GHz Panjang gelombang 3.1 cm 75 cm Band gelombang 100 MHz 100 MHz Polarisasi HH HH/HV/VH/VV Kekuatan maksimal 10 kw 2 kw Kekuatan rata-rata 110 W 45 W PRF 2.777 KHz 2.777 KHz Incidence angle 45 45 Mode akuisisi single-pass two-pass Baseline 0.3 m 43 m Resolusi range 0.4 m 1.5 m Resolusi azimuth 0.5 m 1 m Sapuan 7 km 7 km Resolusi horizontal 2.5 m 2.5 m Akurasi vertikal 1.5 m 2.5 m 32

III.4.1 Citra Model Permukaan Digital Gambar III.6 Citra Model Permukaan Digital Citra model permukaan digital (gambar III.6) ini merupakan hasil yang didapat dari pencitraan SAR dengan menggunakan band-x. Deskripsi citra: Resolusi Format Datum horizontal : (2,5 X 2,5) m : Geotiiff 32 bits : SAD-69, UTM, Zona 21 S 33

III.4.2 Citra Model Tinggi Digital Gambar III.7 Citra Model Tinggi Digital Citra model tinggi digital (gambar III.7) ini merupakan hasil yang didapat dari pencitraan SAR dengan menggunakan band-p. Deskripsi citra: Resolusi Format Datum horizontal : (2,5 X 2,5) m : Geotiiff 32 bits : SAD-69, UTM, Zona 21 S III.5 Penghitungan Volume Biomass III.5.1 Studi Biomass Biomass adalah volume kehidupan per satuan luas atau materi organik yang terdiri dari tumbuhan dan binatang, baik yang masih hidup ataupun sudah mati. Biomass tumbuhan terdiri dari tumbuhan yang bersifat kayu (woody) dan tidak bersifat kayu (non-woody) seperti daun dan dapat identifikasi lebih lanjut untuk 34

mengetahui keberadaannya, di bagian atas tanah, bagian bawah tanah, atau total keseluruhan biomass. III.5.2 Studi Proses Pengolahan Data Citra yang digunakan untuk studi ini merupakan potongan atau cropping (pojok kiri atas dan pojok kanan bawah) dari citra model permukaan digital dan model tinggi digital yang tersedia. Studi pengolahan data ini menggunakan perangkat lunak (software) ArcView 3.3, Global Mapper 8, Microsoft Excel 2003, dan Matlab 7. Tahapan studi pengolahan data: 1. Memotong (cropping) citra model permukaan digital dan model tinggi digital menjadi ukuran (4 X 4) km dengan perangkat lunak ArcView 3.3. Gambar III.8a dan gambar III.8b memperlihatkan lokasi pemotongan citra yang dijadikan sebagai daerah studi. Gambar III.8a Pemotongan Model Permukaan Digital Area A 35

Gambar III.8b Pemotongan Model Tinggi Digital Area A 2. Pemotongan juga dilakukan pada model permukaan digital dan model tinggi digital area B yang mayoritas terdiri dari perairan, sehingga menghasilkan citra A dan B. Gambar III.9 memperlihatkan hasil potongan area A dan area B yang dijadikan sebagai daerah studi. Area A itu merupakan daerah studi ujung kiri atas, sedangkan area B berada di ujung kanan bawah. Area A (4x4)km Area B Gambar III.9 Area A dan Area B (4x4)km 36

3. Mengubah (export) format citra, geotiff menjadi format xyz sehingga data koordinat titik-titik pada kedua citra tersebut dapat diketahui secara langsung pada susunan X, Y, dan Z. Proses ini dilakukan pada perangkat lunak Global Mapper 8. 4. Titik-titik yang dimunculkan pada format xyz mempunyai interval jarak yang sebelumnya sudah ditentukan pada saat melakukan export data. Untuk studi kali ini, interval jarak yang digunakan adalah sebesar 25 m. Jadi masingmasing (area A dan area B) potongan citra tersebut terdiri dari: 4000m 25m = 161 161 X 161 = 25921 titik 5. Menghitung selisih tinggi (Z) antara model permukaan digital dan model tinggi digital pada area A dan area B dengan menggunakan perangkat lunak Microsoft Excel 2003. 6. Melakukan proses perataan untuk mendapatkan tinggi rata-rata antara model permukaan digital dan model tinggi digital dengan tingkat kepercayaan 95% serta melihat sebaran titik koreksi dengan menggunakan Matlab 7. 7. Menghitung volume akhir biomass pada area A dan area B. III.5.3 Data Tinggi Dari hasil pengurangan titik Z pada model permukaan digital dan model tinggi digital, maka didapatkan selisih atau tinggi antara permukaan model permukaan digital dan model tinggi digital. Teknik perataan sangat diperlukan dalam penentuan tinggi rata-rata dari selisih dua permukaan tersebut, mengingat banyaknya titik yang ada. Untuk area A, selisih tinggi rata-rata antara model permukaan digital dan model tinggi digital adalah 15,101 m. Sedangkan untuk area B, tinggi rata-rata antara model permukaan digital dan model tinggi digital adalah 14,456 m. Dua selisih tinggi rata-rata ini menerapkan tingkat kepercayaan sebesar 95% (±1,96σ). 37

III.5.4 Penghitungan Volume Tinggi yang didapatkan dari proses perataan di atas, dapat digunakan untuk mengitung volume dari biomass yang terdapat pada area tersebut. Volume adalah fungsi dari luas dan jarak vertikal (selisih tinggi model permukaan digital dan model tinggi digital) dari bentuk geometrik ruang. Pengertian volume ini bila diterapkan pada bentuk geometrik ruang yang sederhana yaitu kubus, maka akan diperoleh rumus pokok hitungan volume. Rumus tersebut dapat dituliskan sebagai: dimana: V : volume biomass L : luas area yang dihitung V = L. h (3.6) h : beda tinggi rata-rata antara model permukaan digital dan model tinggi digital Area A Luas area yang digunakan untuk studi ini adalah sebesar (4 x 4) km atau seluas 16 juta m², sedangkan tinggi rata-ratanya adalah 15,101 m. Jadi, volume yang didapatkan berdasarkan persamaan (3.6) adalah: V = 16 jt m². 15,101 m = 241616000 m³ Area B Luas area yang digunakan untuk studi ini adalah sebesar (4 x 4) km atau seluas 16 juta m², namun dikarenakan ada penghilangan titik ±20% dari 16 juta m², maka luas daerah studi pun menjadi 12800000 m². Tinggi rata-rata yang digunakan adalah beda tinggi rata-rata pada area bervegetasi padat saja, yaitu 14,456 m. Jadi, volume yang didapatkan berdasarkan persamaan (3.6) adalah: V = 12800000 m². 14,456 m = 185036800 m³ 38