PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 1954 TENTANG URUSAN REKONSTRUKSI NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

dokumen-dokumen yang mirip
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 1951 TENTANG TUGAS DEWAN DAN BIRO REKONSTRUKSI NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DEWAN KEAMANAN NASIONAL Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1954 Tanggal 27 Pebruari 1954 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1954 TENTANG PENAMPUNGAN BEKAS ANGGOTA ANGKATAN PERANG DAN PEMULIHAN MEREKA KE DALAM MASYARAKAT

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 1954 TENTANG DEWAN KEAMANAN NASIONAL. Presiden Republik Indonesia,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 1957 TENTANG DEWAN EKONOMI DAN PEMBANGUNAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Tentang: TANDA KEHORMATAN SEWINDU ANGKATAN PERANG REPUBLIK INDONESIA. Indeks: TANDA KEHORMATAN SEWINDU ANGKATAN PERANG REPUBLIK INDONESIA.

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1955 TENTANG DEWAN KEAMANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1955 TENTANG DEWAN KEAMANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 1958 TENTANG BADAN KOORDINASI PENYALURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 1952 TENTANG STAF KEAMANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1954 TENTANG TANDA KEHORMATAN SEWINDU ANGKATAN PERANG REPUBLIK INDONESIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Presiden Republik Indonesia, Menimbang: perlu mengatur kembali pemberian Honorarium kepada para penjabat pada Pengadilan/Kejaksaan Ketentaraan;

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 1960 TENTANG DEWAN PENERBANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, MEMUTUSKAN :

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : Bahwa perlu disempurnakan usaha-usaha untuk menjamin keamanan di daerahdaerah di mana berlaku Peraturan S.O.B.;

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Presiden Republik Indonesia,

Presiden Republik Indonesia

PEMERINTAH DAERAH (Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1959 Tanggal 7 September 1959) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 1960 TENTANG DEWAN PENERBANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 1952 TENTANG SUSUNAN DAN PIMPINAN KEMENTERIAN-KEMENTERIAN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1955 TENTANG DEWAN PENERBANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Mengingat pula : Keputusan Dewan Menteri dalam rapatnya yang ke-26 pada tanggal 1O Agustus 1951; MEMUTUSKAN:

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG DARURAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 1958 TENTANG TANDA-TANDA PENGHARGAAN UNTUK ANGGOTA ANGKATAN PERANG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG (PERPU) NOMOR 21 TAHUN 1960 (21/1960)

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 1956 TENTANG PEMBENTUKAN KOORDINASI PEMERINTAHAN SIPIL. Presiden Republik Indonesia,

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 1959 TENTANG FRONT NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1946 TENTANG PEMBENTUKAN PUSAT PERKEBUNAN NEGARA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1959 TENTANG PEMBENTUKAN BADAN PENGAWAS KEGIATAN APARATUR NEGARA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

GUBERNUR MILITER IBU KOTA. PENCABUTAN KEMBALI. PENETAPAN SEBAGAI UNDANG-UNDANG.

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 29 TAHUN 1960 TENTANG POKOK-POKOK PENYELENGGARAAN TRANSMIGRASI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG NO.7 TAHUN 1967 TENTANG VETERAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PJ. PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2003 TENTANG TANDA KEHORMATAN SATYALANCANA DHARMA NUSA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 1954 TENTANG PERMINTAAN DAN PELAKSANAAN BANTUAN MILITER PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Tentara Nasional Indonesia (TNI) pada dasarnya lahir dalam kancah

DEWAN PERANCANG NEGARA Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1952 Tanggal 7 Januari 1952 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 1954 TENTANG JAMINAN YANG BERUPA PENSIUN DARI PEMERINTAH BAGI GURU SEKOLAH RAKYAT NEGERI

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1957 TENTANG SUSUNAN KEMENTERIAN PERTAHANAN. Presiden Republik Indonesia,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 49 TAHUN 1960 TENTANG PENYELENGGARAAN SENSUS PENDUDUK 1961 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 1960 TENTANG DEWAN PENERBANGAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 1955 TENTANG GABUNGAN KEPALA-KEPALA STAF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1949 TENTANG KEWAJIBAN BERBAKTI BAGI PELAJAR PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 8 TAHUN 1953 TENTANG PENGUASAAN TANAH-TANAH NEGARA

SATYALANCANA "SEROJA" Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 1978 Tanggal 6 Pebruari 1978 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1957 TENTANG LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

MILITERISASI KEPOLISIAN NEGARA Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1959 Tanggal 8 April 1959 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL (Penetapan Presiden Nomor 12 Tahun 1963 Tanggal 24 Desember 1963) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

SYARAT-SYARAT DAN PENYEDERHANAAN KEPARTAIAN (Penetapan Presiden Nomor 7 Tahun 1959 Tanggal 31 Desember 1959) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1958 TENTANG PENEMPATAN TENAGA ASING *) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 67 TAHUN 1951 TENTANG PERATURAN PEMBAGIAN BERAS UNTUK PEGAWAI NEGERI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1952 TENTANG DAFTAR SUSUNAN PANGKAT DAN KENAIKAN PANGKAT PEGAWAI NEGERI SIPIL

UNDANG-UNDANG (UU) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 36 TAHUN 1953 (36/1953) 18 DESEMBER 1953 (JAKARTA) Sumber: LN 1953/86; TLN NO.

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1958 TENTANG DEWAN BAHAN MAKANAN. Presiden Republik Indonesia,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1959 TENTANG PEMBENTUKAN BADAN NASIONALISASI PERUSAHAAN BELANDA. Presiden Republik Indonesia,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA SERIKAT

UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN PEMBUKAAN ( P r e a m b u l e )

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 80 TAHUN 1958 TENTANG DEWAN PERANCANG NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1960 TENTANG SUSUNAN DEWAN MARITIM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 1956 TENTANG PEMBENTUKAN DAERAH OTONOM PROPINSI IRIAN BARAT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT NOMOR 10 TAHUN 2008 TENTANG SUSUNAN ORGANISASI PERANGKAT DAERAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 1956 TENTANG DEWAN DAN MAJELIS-MAJELIS PERNIAGAAN DAN PERUSAHAAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1957 TENTANG POKOK-POKOK PEMERINTAHAN DAERAH *) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1964 TENTANG PEMBERIAN PENGHARGAAN/TUNJANGAN KEPADA PENRINTIS PERGERAKAN KEBANGSAAN/KEMERDEKAAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 60 TAHUN 1948 TENTANG SUSUNAN DAN TUGAS KEWAJIBAN KEMENTERIAN KEHAKIMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 1980 TENTANG ORGANISASI DAN TATAKERJA PENYELENGGARAAN LANDREFORM

Mengingat : Pasal 98 Undang-undang Dasar Sementara Republik Indonesia;

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1951 TENTANG PEMBERIAN TUNJANGAN LUAR-BIASA KEPADA PARA PEGAWAI BANGSA ASING.

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2003 TENTANG TANDA KEHORMATAN SATYALANCANA DHARMA NUSA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

2 2. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 156, Tambahan Lembaran Negara

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 75 TAHUN 1957 TENTANG VETERAN PEJUANG KEMERDEKAAN REPUBLIK INDONESIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Indeks: PETA. RAAD EN DIRECTORIUM VOOR HET MEET EN KAARTEERWEZEN DEWAN DAN DIREKTORIUM PENGUKURAN DAN PENGGAMBARAN PETA. PEMBUBARAN. PEMBENTUKAN.

UNDANG-UNDANG DARURAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 1955 TENTANG BANK NEGARA INDONESIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 64 TAHUN 1958 TENTANG PEMBENTUKAN DAERAH-DAERAH TINGKAT I BALI, NUSA TENGGARA BARAT DAN NUSA TENGGARA TIMUR

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 1954 (LN 1954/96; TLN NO. 692) TENTANG PENUNJUKAN PENGUASA-PENGUASA MILITER

Tentang: VETERAN PEJUANG KEMERDEKAAN REPUBLIK INDONESIA *) VETERAN PEJUANG KEMERDEKAAN REPUBLIK INDONESIA.

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1959 TENTANG MILITERISASI KEPOLISIAN NEGARA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

b.bahwa peraturan+peraturan yang termaktub dalam undang+undang darurat tersebut perlu ditetapkan sebagai undang+undang;

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 1957 TENTANG BANTUAN PEMERINTAH KEPADA MASYARAKAT DESA DALAM RENCANA PEMBANGUNAN 5 TAHUN

UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 1948 TENTANG SUSUNAN DAN KEKUASAAN BADAN-BADAN KEHAKIMAN DAN KEJAKSAAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 1955 TENTANG CARA PENGGUNAAN UANG OPSENTEN ATAS BEA-KELUAR ATAS KARET RAKYAT

Transkripsi:

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 1954 TENTANG URUSAN REKONSTRUKSI NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Pemerintah berhasrat akan mempercepat penyelesaian masalah bekas pejoang bersenjata dengan mengarahkan penyelesaian itu kepada pembangunan dan kesejahteraan Negara pada umumnya; b. bahwa organisasi usaha rekonstruksi yang dijalankan oleh Dewan dan Biro Rekonstruksi Nasional berdasarkan atas Peraturan Pemerintah No.1 tahun 1952 (Lembaran Negara 1952 No.3) telah tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan para bekas pejoang serta perkembangan kesadaran masyarakat; c. bahwa untuk menyesuaikan organisasi usaha rekonstruksi dengan perkembangan keadaan itu, perlu dirobah Peraturan Pemerintah No.1 tahun 1952 tersebut, sehingga titik berat rekonstruksi itu beralih kepada daerah; d. bahwa dengan perobahan sedemikian ini peranan Badan Penyelenggara Urusan Rekonstruksi Nasional yang dipimpin oleh Kepala Daerah dalam menyelenggarakan urusan rekonstruksi akan lebih sesuai dengan keadaannya, sehingga dapat diharapkan perhatian yang memuaskan dari Kepala Daerah dan dinas-dinas teknik di daerah terhadap usaha-usaha rekonstruksi itu; e. bahwa selanjutnya dengan cara demikian ini penyelenggaraan rekunstruksi lambat laun tidak akan merupakan usaha penampungan belaka sehingga perkembangannya dapat disesuaikan dengan usaha pembangunan Pemerintah pada umumnya. Mengingat: Peraturan-peraturan Pemerintah No.15 tahun 1950 (Lembaran Negara 1950 No.44), No. 12 tahun 1951 (Lembaran Negara 1951 No.22), No. 20 tahun 1951 (Lembaran Negara 1951 No.32) dan No.1 tahun 1952 (Lembaran Negara 1952 No.3). Mengingat pula: Undang-undang No.14 tahun 1953 (Lembaran Negara 1953 No. 44) dan Peraturan Pemerintah No. 6 tahun 1954 (Lembaran Negara 1954 No. 14). Mendengar: Dewan Menteri dalam rapat-rapatnya yang ke 7 pada tanggal 14 September 1953, ke 20 pada tanggal 13 Nopember 1953, ke 22 pada tanggal 24 Nopember 1953 dan ke 34 pada tanggal 9 Pebruari 1954). MEMUTUSKAN: 1 / 8

Dengan mencabut Peraturan Pemerintah No. 1 tahun 1952 tentang susunan dan tugas Dewan serta Biro Rekonstruksi Nasional (Lembaran negara tahun 1952 No. 3). Menetapkan: PERATURAN PEMERINTAH TENTANG URUSAN REKONSTRUKSI NASIONAL Pasal 1 (1) urusan Rekonstruksi Nasional diserahkan kepada Menteri Dalam Negeri. (2) Di Kementerian Dalam Negeri diadakan Biro Rekonstruksi Nasional yang terdiri dari seorang Direktur sebagai Pemimpin dan sebuah staf, di dalam mana duduk seorang wakil dari Kementerian-kementerian yang oleh Menteri Dalam Negeri dianggap ada hubungan kewajiban dalam usaha rekonstruksi Nasional. (3) Oleh Menteri Dalam Negeri jika dianggap perlu, di tiap-tiap Propinsi dan di daerah lain dapat didirikan Cabang dan Anak Cabang Biro Rekonstruksi Nasional yang menjadi bagian dari Kantor Kepala Daerah. (4) Cabang dan Anak Cabang Biro Rekonstruksi Nasional di suatu daerah dapat dihapuskan oleh Menteri Dalam Negeri. Pasal 2 (1) Di tiap-tiap Propinsi dan di daerah-daerah lain di mana ada Cabang atau Anak Cabang Biro Rekonstruksi Nasional, pula di daerah-daerah yang tidak ada Cabang atau Anak Cabang Biro Rekonstruksi Nasional, dapat dibentuk suatu Badan Penyelenggara Urusan Rekonstruksi yang dipimpin oleh Kepala Daerah selaku Ketua merangkap anggota. (2) Susunan serta peraturan bekerja Badan Penyelenggara Urusan Rekonstruksi Nasional tersebut dalam ayat 1 pasal ini ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri. Pasal 3 Tugas Biro Rekonstruksi Nasional adalah membantu Menteri Dalam Negeri dalam melaksanakan urusan rekonstruksi. Pasal 4 Tugas Badan Penyelenggara Urusan Rekonstruksi adalah: a. memajukan usul-usul kepada Menteri Dalam Negeri dalam lapangan rekonstruksi nasional; b. mengatur dan mengawasi usaha-usaha rekonstruksi yang dikerjakan didaerahnya; c. menyelenggarakan usaha-usaha rekonstruksi. Pasal 5 (1) Rekonstruksi Nasional yang dimaksudkan dalam Peraturan Pemerintah ini adalah pelaksanaan maksud Pemerintah untuk membuka jalan bagi para tenaga bekas pejoang bersenjata yang belum mendapat pekerjaan dalam masyarakat, untuk hidup dengan mata pencaharian yang layak. (2) Maksud Pemerintah tersebut dalam ayat 1 pasal ini ditujukan kepada Program Pemerintah mengenai 2 / 8

pembangunan dan kesejahteraan Negara pada umumnya, yang lambat laun harus dapat menghilangkan sifat penampungan daripada usaha rekonstruksi nasional ini, dengan menitikberatkan kepada usaha transmigrasi dan pendidikan-pendidikan kejuruan yang sesuai dengan kemampuan para bekas pejoang guna mempermudah mendapat mata pencaharian yang layak. Pasal 6 (1) Yang dimaksud dengan tenaga bekas pejoang bersenjata adalah bekas anggota badan-badan perjoangan bersenjata yang turut serta memperjoangkan Kemerdekaan Nasional dengan mempergunakan senjata diwaktu perang aksi militer kedua. (2) Syarat-syarat untuk membuktikan apa yang dimaksud dengan tenaga bekas pejoang bersenjata dapat diatur oleh Menteri Dalam Negeri. Pasal 7 Untuk membiayai usaha Rekonstruksi Nasional ini diadakan pembedaan antara: a. Biaya yang khusus untuk personil dan meteriil Biro Rekonstruksi Nasional; biaya ini dalam anggaran belanja Negara diberatkan kepada Kementerian Dalam Negeri; b. Biaya untuk menjalankan rencana-rencana Rekonstruksi Nasional; biaya ini dalam anggaran belanja Negara diberatkan kepada Kementerian-kementerian yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan atas usul Menteri Dalam Negeri setelah mendengar Direktur Biro Rekonstruksi Nasional serta staf interdepartemental tersebut dalam pasal 1 ayat 1b. Pasal 8 Persiapan-persiapan serta pengoperan pembiayaan rencana-rencana Rekonstruksi kepada anggaran belanja Kementerian-kementerian yang bersangkutan, begitu pula pengoperan pegawai-pegawai tehnis kepada Kementerian-kementerian yang bersangkutan diatur dan dilaksanakan berangur-angsur dan sedemikian rupa sehingga usaha rekonstruksi nasional dapat berjalan terus. Pasal 9 Aturan peralihan: (1) Terhitung mulai berlakunya Peraturan Pemerintah ini: a. Dewan Rekonstruksi Nasional yang dibentuk menurut pasal 1 ayat 1a, Peraturan Pemerintah No 1 tahun 1952 (Lembaran Negara 1952 No.3) ditiadakan dan tugas dan kekuasaannya beralih kepada Menteri Dalam Negeri; b. Biro Rekonstruksi Nasional yang dibentuk menurut pasal 1 ayat 1 b, Peraturan Pemerintah No. 1 tahun 1952 (Lembaran Negara 1952 No.3) menjadi Biro dari Kementerian Dalam Negeri, sehingga Direktur Biro Rekonstruksi Nasional serta Staf interdepartemental yang menurut pasal tersebut memberi bantuan kepadanya, menjadi pembantu daripada Menteri Dalam Negeri. (2) Cabang dan Anak Cabang Biro Rekonstruksi Nasional jika dianggap perlu, dapat dihapuskan oleh Menteri Dalam Negeri. (3) Cabang dan Anak Cabang Biro Rekonstruksi Nasional yang tidak dihapuskan menjadi bagian dari Kantor Kepala Daerah. 3 / 8

Pasal 10 Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada hari diundangkan. Agar setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan Di Jakarta, Pada Tanggal 27 Pebruari 1954 WAKIL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Ttd. MOHAMMAD HATTA WAKIL PERDANA MENTERI II, Ttd. ZAINUL ARIFIN Diundangkan, Pada Tanggal 13 Maret 1953 MENTERI DALAM NEGERI, Ttd. HAZAIRIN MENTERI KEHAKIMAN, Ttd. DJODY GONDOKUSUMO LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1954 NOMOR 29 4 / 8

PENJELASAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 1954 TENTANG URUSAN REKONSTRUKSI NASIONAL Telah lama terasa bahwa organisasi usaha rekonstruksi yang dijalankan oleh Dewan dan Biro Rekonstruksi Nasional itu tidak dapat bekerja sebagai yang diharapkan. Dewan Rekonstruksi Nasional yang terdiri dari 8 Menteri terbukti sangat "log" dan tidak dapat bekerja semestinya. Oleh karena itu DRN dihapuskan dan kekuasaannya beralih kepada seorang Menteri sehingga BRN menjadi Biro biasa yang tidak lagi bernaung di bawah suatu Dewan, akan tetapi di bawah suatu Kementerian. Dengan hilangnya sifat keistimewaan dari BRN itu yang sekarang hanya merupakan suatu biro (jawatan) biasa yang menjalankan penyelenggaraan (uitvoering), maka sukar untuk melangsungkan BRN itu tetap di bawah Perdana Menteri (Wakil Perdana Menteri), yang pada hakekatnya tidak memegang sesuatu Kementerian. Dalam waktu yang lampau pun telah terbukti bahwa Wakil Perdana Menteri tidak dapat mengadakan pengawasan yang tepat terhadap BRN karena Kabinet Perdana Menteri itu tidak dilengkapi dengan perlengkapan untuk memegang suatu jawatan yang mempunyai penyelenggaraan. Karena BRN mempunyai sifat penampungan (sociale instelling) maka pada hakekatnya BRN dapat bernaung di bawah Kementerian Sosial. Akan tetapi berhubung dengan yang menyelenggarakan usaha rekonstruksi di daerah-daerah itu adalah Badan Penyelenggara Urusan Rekonstruksi yang diketuai oleh Kepala Daerah maka sebaiknya BRN dinaungkan di bawah Kementerian Dalam Negeri. Perubahan ini adalah sesuai dengan sifat usaha-usaha rekonstruksi pada umumnya dan sifat BRN pada khususnya, ialah bahwa adanya BRN itu hanya untuk waktu yang terbatas ("van aflopendeaard"). Karena itu sifat keistimewaan dari BRN harus lambat-laun dapat dihilangkan dan titik-berat daripada usaha rekonstruksi ini dapat dialihkan kepada daerah sehingga peranan Badan Penyelenggara Urusan Rekonstruksi akan lebih nampak karenanya dan usaha-usahanya akan dapat lebih disesuaikan dengan keadaan yang sebenarnya di daerah. Sifat rekonstruksi harus mulai dirubah pula sehingga sifat penampungan (sociale instelling) harus dapat dihilangkan. Terbukti bahwa banyak usaha rekonstruksi (misalnya proefbedrijven) yang memakai biaya berjutajuta tidak memuaskan hasilnya, bahkan sebaliknya, sebab perlakuan-perlakuan yang serba istimewa, oleh Pemerintah terhadap mereka itu lambat laun terbukti tidak "opvoedend", sehingga kemudian mereka dalam persaingan hidup dalam masyarakat sehari-hari tidak dapat mempertahankan diri. Karena itu sifat penampungan (sociale instelling) dan keistimewaan-keistimewaan dalam usaha rekonstruksi ini harus lebih cepat dihilangkan dan sifat rekonstruksi harus lebih cepat ditujukan kepada soal pemecahan pengangguran dan pengurangan kepadatan penduduk pada umumnya, dengan menitikberatkan kepada usaha transmigrasi dan pendidikanpendidikan kejuruan yang sesuai dengan kemampuan para bekas pejuang guna mempermudah mendapat mata pencaharian hidup. Oleh karena itu soal rekonstruksi ini tidak dapat dipisahkan daripada program pembangunan dan kesejahteraan Negara pada umumnya, yang penyelenggaraannya harus sesuai dengan keadaan di daerahdaerah. Perkembangan BRN pada waktu belakang ini terasa kurang sehat dan makin lama merupakan perkembaran (doublures) dari hampir semua usaha lain-lain Kementerian. Misalnya BRN mempunyai usaha-usaha Perindustrian, Pertanian, Kehewanan, Perikanan, Pendidikan dan sebagainya, bahkan mempunyai Pamong Praja dan Kepolisian sendiri. Dalam Peraturan Pemerintah yang baru ini diambil sebagai pedoman bahwa usaha-usaha yang teknis dipimpin oleh Jawatan-jawatan dari Kementerian-kementerian yang bersangkutan seperti halnya dalam yang ditentukan dahulu oleh Peraturan Pemerintah No. 12 tahun 1951. Pengoperan tugas-tugas yang teknis ini tidak perlu dijalankan sekaligus, akan tetapi sejalan dengan perubahan jiwa (mentale omschakeling) para ex-pejuang dan setelah dibicarakan dengan staf interdepartemental dapat dikerjakan berangsur-angsur dan sedemikian rupa 5 / 8

sehingga usaha rekonstruksi dapat berjalan terus. Dengan dikeluarkannya para Anggota Angkatan Perang di luar susunan organik dan bekas Anggota Angkatan Perang (ps. 6 (2) a. PP No.1 tahun 1952) dari urusan rekonstruksi ini (Keputusan DRN No. 1 tahun 1953 dan Kabinet pada tgl. 24 Nopember 1953) dan dengan selesainya urusan rekonstruksi terhadap para bekas pejuang bersenjata yang memenuhi panggilan Pemerintah tgl. 14 Nopember 1950 (ps. 6 (2) b. PP No. 1 tahun 1952) maka tinggallah urusan rekonstruksi terhadap bekas anggota badan-badan perjuangan lain-lain (ps. 6 (2) c) yang masih harus diselesaikan sehingga sifat BRN, yang "van aflopende aard" itu sudah mulai kelihatan. Soalnya sekarang lebih jelas lagi dengan keluarnya PP No. 6 tahun 1954 sebagai pelaksanaan dari Undangundang No. 14 tahun 1953 yang dalam pasal 1 ayat 2 b menyatakan bahwa penampungan anggota-anggota Tentara Nasional Indonesia yang pada waktu pembentukan Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat ternyata tidak masuk formasi tentara, akan dilakukan oleh "Biro Penampungan Bekas Anggota Tentara". Lagi pula percampuran penampungan bekas gerombolan-gerombolan sebagai tindakan pemulihan keamanan oleh Pemerintah tidak akan terjadi lagi, karena untuk keperluan itu disediakan biaya dan organisasi sendiri oleh Pemerintah. Untuk sekarang memberi ketentuan siapa yang dimaksud dengan bekas pejuang bersenjata itu perlu ditinjau lagi perkembangan dari badan-badan perjuangan bersenjata sejak 17 Agustus 1945 (proklamasi kemerdekaan) hingga 27 Desember 1949 (penyerahan kedaulatan). Setelah proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 maka di mana-mana berdirilah badan-badan keamanan rakyat (BKR) di dalam mana tergabung pemuda-pemuda yang sudah mempunyai didikan militer (bekas Heiho, bekas Peta, bekas KNIL dan sebagainya). Di samping BKR ini timbul pula laskar-laskar, barisanbarisan serta organisasi-organisasi rakyat yang tujuannya sama dengan BKR itu. Dengan dekrit Presiden tgl. 5 Oktober 1945 BKR menjelma menjadi TKR, Tentara Keamanan Rakyat, yang kemudian pada tgl. 7 Januari 1946 menjadi Tentara Keselamatan Rakyat dan pada tgl. 24 Januari 1946 menjelma menjadi TRI Tentara Republik Indonesia. Dalam pada itu pada tgl. 23 Pebruari 1946 dibentuk Panitia Besar Penyelenggaraan Organisasi Tentara yang diberi tugas memperbaiki susunan Angkatan Perang dan Kementerian Pertahanan dan menentukan kedudukan laskar-laskar dan barisan-barisan bersenjata. Pada tgl. 24 Mei 1946 dibentuklah "Biro Perjuangan" dalam Kementerian Pertahanan yang akan melebur badan-badan itu dalam tentara. Kemudian pada tgl. 5 Mei 1947 keluarlah Penetapan Presiden yang mempersatukan Tentara Republik Indonesia dengan laskar-laskar bersenjata menjadi Tentara Nasional Indonesia, TNI. Jelaslah bahwa setelah itu tidak ada lagi badan-badan serta organisasi-organisasi rakyat bersenjata. Semua ini telah dimasukkan dalam organisasi Tentara. Setelah aksi militer yang pertama TNI mengadakan konsolidasi secara reorganisasi dan rasionalisasi yang dipercepat oleh timbulnya peristiwa Madiun. Dengan timbulnya aksi militer kedua maka muncullah lagi badan-badan perjuangan bersenjata yang dulunya sudah tidak ada. Berdasarkan uraian di atas maka jelaslah bahwa yang dimaksud dengan bekas pejuang bersenjata dalam Peraturan Pemerintah ini adalah bekas anggota badan-badan perjuangan bersenjata yang turut serta memperjuangkan Kemerdekaan Nasional dengan mempergunakan senjata di waktu perang aksi militer kedua. PENJELASAN PASAL DEMI PASAL Pasal 1 BRN tetap terdiri dari seorang Direktur sebagai pemimpin dan sebuah staf yang terdiri dari wakil-wakil Kementerian-kementerian yang dianggap ada hubungan kewajiban dalam usaha rekonstruksi nasional. Bedanya dengan yang dulu ialah bahwa BRN sekarang bernaung di bawah Kementerian Dalam Negeri. 6 / 8

Cukup jelas. Pasal 2 Pasal 3 Menteri Dalam Negeri lah yang sekarang bertanggung jawab atas urusan rekonstruksi nasional. Pasal 4 Dengan sendirinya usul-usul kepada Menteri Dalam Negeri itu di Kementerian melalui BRN karena sekarang BRN adalah Biro dari Kementerian Dalam Negeri. Pasal 5 Ayat (1) Cukup jelas; tidak berbeda dengan definisi yang lama. Ayat (2) Cukup dijelaskan dalam penjelasan umum. Pasal 6 Ayat (1) Telah dijelaskan dalam penjelasan umum. Ayat (2) Menteri Dalam Negeri dapat membuat peraturan bahwa mereka yang ditampung oleh BRN itu harus dapat membuktikan bahwa mereka dalam aksi militer kedua turut serta berjuang dengan mempergunakan senjata, misalnya dengan surat-surat keterangan dari bekas pemimpinnya, KODM, Pamong Praja dan syarat-syarat lainnya, dan jika perlu dapat pula mengadakan registrasi para ex-pejuang. Pasal 7 Perkembangan BRN yang merupakan perkembangan (doublures) dari hampir semua usaha Pemerintah dirasakan kurang sehat. Pun juga karena negara kita masih kekurangan tenaga-tenaga teknis, sehingga pembagian tenaga-tenaga ahli itu dianggap kurang efficient. Lagi pula sekarang telah mulai terasa kesulitankesulitan kedudukan pegawai-pegawai specifik (ahli) yang berada di BRN. Oleh karena itu sekarang diambil sebagai pedoman bahwa usaha-usaha yang teknis itu dipimpin oleh Jawatan-jawatan dari Kementeriankementerian yang bersangkutan. Pasal 8 Pedoman tersebut dalam pasal 7 itu tentunya tidak dapat dilaksanakan begitu saja. Karena itu dalam pasal ini ditentukan bahwa pelaksanaannya dapat dijalankan berangsur-angsur sehingga pekerjaan rekonstruksi tidak terganggu. Dalam melaksanakan pedoman ini tidak dapat ditinggalkan permufakatan dengan Kementeriankementerian yang bersangkutan dan dalam soal ini anggota-anggota staf interdepartemental dari BRN akan 7 / 8

mempunyai peranan yang aktif. Pasal ini merupakan aturan peralihan. Pasal 9 TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 535 8 / 8