BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap manusia pasti mengalami tahapan-tahapan perkembangan dalam kehidupannya. Mulai dari masa bayi, masa kanak-kanak, masa remaja, masa dewasa awal, dewasa tengah, serta dewasa akhir. Masa dewasa akhir merupakan tahap terakhir dari perkembangan manusia. Dalam istilah sehari-hari tahapan ini dikenal sebagai masa lanjut usia. Masa usia lanjut ini terbagi menjadi beberapa kategori, menurut Dunkle (dalam Santrock, 2011) usia lanjut terbagi menjadi younger older adults (65-84 tahun) dan oldest old (85 tahun ke atas). Menurut Undang Undang (UU) no.13 tahun 1998, lanjut usia adalah individu yang telah mencapai usia 60 tahun keatas (http:// hukum.unsrat.ac.id/uu/ uu_13_1998.htm). Jumlah lansia saat ini mengalami peningkatan yang sangat tinggi. Hal ini dikarenakan adanya fenomena baby booming yaitu fenomena tingkat kelahiran sangat tinggi pada tahun 1946 sampai dengan 1964. Generasi baby boomers mencapai usia dewasa akhir pada tahun 2010 dimana mereka kebanyakan akan pensiun dan mulai memasuki masa lansia (Santrock, 2011). Jumlah lansia yang sangat besar ini jumlah kelahiran, jumlah dewasa yang aktif, serta jumlah lansia hampir sama banyaknya (Santrock, 2011). Di Indonesia jumlah penduduk secara umum mengalami peningkatan yang signifikan dari tahun ke tahun. Menurut sensus penduduk tahun 2000, laju pertumbuhan penduduk pada tahun 1990-2000 adalah 1,49%, dengan jumlah penduduk sebesar ±205 juta 1
2 jiwa (BPS, 2002). Pada tahun 2010, tercatat laju pertumbuhan penduduk dari tahun 2000-2010 sebesar 1,49% dengan jumlah penduduk sebesar ±237 juta jiwa (Badan Pusat Statistik, 2010). Jumlah lansia di Indonesia mengalami peningkatan yang cukup besar, terlihat pada tahun 2000 jumlah penduduk dengan kelompok umur 60-64 tahun sebesar 5.321.019 jiwa, sedangkan pada tahun 2010, jumlah penduduk dengan kelompok umur 60-64 tahun adalah 6.058.761 jiwa. Kelompok umur 65-69 tahun pada tahun 2000 sejumlah 3.564.926 jiwa, sedangkan pada tahun 2010 meningkat menjadi 4.693.031 jiwa. Peningkatan jumlah lansia yang signifikan ini terlihat pula dampaknya bagi mereka yang tidak tinggal bersama keluarganya atau tinggal di panti wreda. Panti wreda menurut Dinas Sosial Provinsi DIY (2015) merupakan panti sosial yang mempunya tugas memberikan bimbingan dan pelayanan bagi lanjut usia agar dapat hidup secara baik dan terawat dalam kehidupan masyarakat baik yang berada di dalam maupun di luar panti. Seiring dengan peningkatan jumlah penduduk yang memasuki usia lanjut, terjadi pula peningkatan pada jumlah penghuni panti wreda. Di Sumatra Barat misalnya, terjadi peningkatan penghuni yang sangat signifikan antara tahun 2003-2008, dimana penghuni awal hanya berjumlah 2-3 orang, di tahun 2008 meningkat menjadi 50 orang (www.antarasumbar.com/eng/news/provinsi/d/1/1261/penghuni-panti-jompo-sumbarmeningkat.html). Kasus lainnya adalah panti wreda yang penghuninya melebihi kapasitas sehingga penghuni harus tinggal di selasar. Kapasitas yang maksimal hanya 85 orang, ternyata sampai dihuni oleh 93 orang (Kapasitas Panti Wredha Penuh Penghuni Terpaksa Ditempatkan di Selasar, 2009). Selain peningkatan jumlah penduduk, gaya hidup masyarakat saat ini ternyata juga mendukung peningkatan jumlah penghuni di panti wreda. Hal ini terlihat dengan maraknya
3 orang yang ingin menitipkan orang tuanya walaupun hanya untuk sementara waktu di pantipanti wreda (Primartantyo, 2011). Kasus-kasus tersebut menunjukkan bahwa peningkatan jumlah lansia, serta gaya hidup masyarakat khususnya di perkotaan yang mulai berubah menyebabkan meningkatnya jumlah penghuni di panti wreda pada saat ini. Sekitar tahun 2009 peneliti mendapat kesempatan untuk berkunjung serta berbincang dengan beberapa penghuni sebuah panti wreda di Solo. Mereka menuturkan bahwa penghuni merasa sangat senang dengan kehadiran orang lain yang sekedar berkunjung dan berbincang ataupun memberikan bantuan kesana. Hal ini dikarenakan mereka seringkali tidak memiliki sanak saudara yang mengunjungi atau sekedar menengok, sehingga kehadiran orang lain sangatlah berarti bagi mereka. Ada beberapa pula penghuni panti yang masih sering dikunjungi secara rutin oleh keluarganya, namun mayoritas tidak merasakan hal tersebut. Pada kesempatan lain tahun 2014, peneliti berkunjung ke panti wreda lain di Bantul, Yogyakarta. Ketika ditanya mengenai alasan memasuki panti wreda, banyak sekali lansia yang menjawab bahwa merasa kesepian serta merasa ditelantarkan oleh anak-anak maupun keluarga terdekatnya walaupun masih dikunjungi. Terdapat pula lansia yang setelah pensiun memang memilih untuk masuk ke panti wreda agar tidak merepotkan sanak saudaranya yang lain. Kebanyakan juga telah ditinggal oleh suami/istri, sehingga perasaan sedih karena kehilangan orang yang dicintai itu menumpuk dan berakar pada kebanyakan lansia yang ada disana. Kehilangan orang yang dicintai merupakan satu dari sekian banyak hal yang dapat memicu timbulnya stres (stressor). Stres secara psikologis merupakan hubungan antara individu dengan lingkungan yang dinilai individu tersebut berpengaruh terhadap well-being atau kesejahteraannya. Stres secara psikologis akan muncul ketika permintaan atau tekanan
4 dari lingkungan tersebut melebihi sumber coping yang ada (Krohne, 2002). Menurut Pestonjee (1992), ada dua sistem yang merupakan sumber utama stres, yaitu sistem primer dan sistem sekunder. Sistem primer terdiri dari keluarga, kelompok agama, kelompok sedaerah, serta kelompok linguistik yang sama, sedangkan sistem sekunder terdiri dari masyarakat sekitar, sekolah, serta organisisasi kerja. Selain itu, penelitian Venkoba Rao & Nammalv (dalam Pestonjee, 1992) menyebutkan bahwa ada beberapa kejadian dalam hidup yang mampu menyebabkan penyakit mental. Kejadian yang dinilai paling tinggi menyebabkan penyakit mental adalah kehilangan orang yang dicinta (bereavement), hubungan keluarga dan sosial, serta pekerjaan. Manusia dalam perkembangannya akan mengalami perubahan, terutama ketika menginjak masa lansia. Perubahan-perubahan ini apabila tidak diterima serta dijalani dengan baik mampu menjadi pemicu atau stressor pada lansia yang kemudian dapat berdampak buruk bagi kesehatan fisik maupun mentalnya. Perubahan yang dialami diantaranya merupakan perubahan fungsi fisik, fungsi kognitif, serta fungsi sosio-emosionalnya. Perubahan fisik pada lansia biasanya ditandai dengan penurunan fungsi otak, penurunan sistem imun, penurunan fungsi panca indera, penurunan fungsi kardiovaskular serta paru-paru, penurunan fungsi seksual, serta perubahan fisik yang jelas terlihat seperti munculnya keriput serta kerutan pada kulit (Santrock, 2011). Penurunan fungsi fisik ini dapat pula mengakibatkan menurunnya kesehatan pada lansia yang semakin menghambat aktivitas sehari-hari. Selain fisik, perubahan juga akan dirasakan pada fungsi kognitif seperti penurunan fungsi memori jangka pendek, penurunan atensi, serta adanya kemungkinan timbul penyakit seperti dementia dan Alzheimer yang mempengaruhi fungsi kognitif individu. Perubahan
5 yang tidak kalah pentingnya adalah perubahan sosio emosional. Menurut teori Erikson (Santrock, 2011) individu pada usia ini memasuki tahapan integrity versus despair. Individu akan menilik kembali kehidupannya selama ini, apakah sudah cukup memuaskan ataukah belum. Apabila individu merasa bahwa kehidupannya sudah cukup baik maka ia akan merasa puas (integrity), namun jika ia merasa bahwa hidupnya tidak menyenangkan maka ia akan merasa tidak puas (despair). Terdapat teori-teori lain pula yang menggambarkan perubahan sosiemosional pada lansia, teori aktivitas misalnya, menyatakan bahwa semakin banyak aktivitas yang dilakukan oleh lansia, maka ia akan semakin puas dengan hidupnya (Santrock, 2011). Teori lainnya adalah activity theory yang menyebutkan, bahwa lansia akan semakin selektif dalam memilih lingkungan pergaulannya, hal ini dikarenakan lansia mengalami rasa sedih akibat isolasi sosial dari lingkungannya, sehingga ia menutup dirinya dan memfokuskan kegiatan sosialnya pada kawan-kawan ataupun keluarga yang telah dikenalnya, serta berusaha semakin mendekatkan diri pada mereka ketimbang menjalin relasi baru dengan orang lain (Santrock, 2011). Teori terakhir adalah socioemotional selectivity theory yang menyebutkan bahwa mayoritas lansia mengalami isolasi sosial dari lingkungannya (Santrock, 2011). Isolasi sosial ini biasanya terjadi karena ada stereotip tertentu mengenai lansia yang membuat kebanyakan orang menghindari atau mengisolasi baik sengaja maupun tidak. Penurunan fungsi fisik juga menyebabkan sulitnya komunikasi sosial pada lansia. Isolasi dari lingkungan ini dapat menyebabkan kesepian. Kesepian merupakan perasaan terasing, tersisihkan, dan terpencil dari orang lain (Suardiman, 2011). Ada banyak faktor pula yang mempengaruhi kurangnya kontak sosial ini menurut Suardiman, antara lain lansia ditinggalkan oleh anak-anaknya, pensiun dari pekerjaan, kurang dilibatkannya lansia dalam
6 berbagai kegiatan atau aktivitas sosial di lingkungan, serta meninggalnya pasangan hidup. Fenomena ketika anak-anak mulai meninggalkan rumah untuk memulai kehidupan baru sehingga menyebabkan terjadinya penurunan kualitas hidup dan kualitas pernikahan ini karena berkurangnya kebahagiaan yang didapatkan dari anak disebut sindroma sangkar kosong atau empty nest syndrome (Santrock, 2011). Selain kesepian, ada faktor lain yang menjadi stressor pada lansia yaitu kematian. Tidak dapat dipungkiri, seiring dengan bertambahnya usia, manusia akan semakin menyadari bahwa ia akan menghadapi kematian walaupun waktunya tidak dapat kita pastikan. Kesadaran ini muncul terutama pada usia dewasa tengah, dimana kebanyakan orang akan menghadapi kematian dari orang tua ataupun kerabat dekatnya yang telah lanjut usia. Kebanyakan orang akan sadar bahwa ia adalah generasi selanjutnya yang akan meninggal setelah kepergian orangtua ataupun sesepuh lainnya dalam keluarga (Cavanaugh & Blanchard-Fields, 2006). Pada umumnya, orang yang berada pada tahapan dewasa akhir atau lansia lebih dapat menerima kenyataan mengenai kematian jika dibandingkan dengan usia tahapan perkembangan lainnya. Pada kesempatan yang sama di tahun 2009, peneliti juga berbincang dengan beberapa lansia mengenai bagaimana ia menjalani kehidupannya, dan beliau menuturkan bahwa beliau-beliau menyadari bahwa ia akan segera menghadapi kematian. Beberapa wawancara tersebut menunjukkan bahwa para lansia menerima kenyataan bahwa mereka akan meninggal suatu saat nanti dan kenyataan ini malah membuat mereka semakin gencar dalam memperkuat ibadah dan iman, serta memperbaiki relasi dengan keluarga ataupun sahabat yang lain. Kematian ternyata membuat mereka semakin bertumbuh secara spiritual dan mental. Selain itu, peneliti menemukan kasus mengenai lansia yang merencakan
7 kematiannya sendiri karena takut ditinggalkan oleh pasangannya. Kondisi fisik keduanya yang telah menurun menyebabkan mereka takut kalau suatu saat salah satu dari mereka akan meninggal terlebih dulu. Pasangan ini kemudian meminta untuk dilakukan euthanasia atau suntik mati agar mereka dapat meninggal bersamaan. Karena permintaan tersebut tidak terkabulkan, pasangan ini juga pernah mencoba untuk mengakhiri hidup mereka dengan mencekik diri menggunakan tas plastic yang dipakaikan di kepala, sehingga nafasnya terhenti. (Pasangan Lansia Ini Minta Disuntik Mati Bersama, 2014) Ketika berhadapan dengan kematian terutama kematiannya sendiri seringkali individu tidak dapat mengelola diri dengan baik dalam proses menghadapi kematian tersebut. Hal ini menimbulkan apa yang disebut dengan death anxiety. Kecemasan menghadapi kematian merupakan hal yang natural, dimana kita mengalami ketidaknyamanan karena kita tidak dapat mengerti mengenai detail dari kematian (Cavanaugh & Blanchard-Fields, 2006). Seperti pada kasus di atas, pasangan lansia tersebut tidak tahu apa yang akan mereka hadapi selanjutnya setelah salah satu dari mereka meninggal, apakah mereka dapat bertahan hidup tanpa pasangannya atau tidak, karena itu mereka memutuskan untuk meninggal bersama. Kecemasan ini dapat ditimbulkan oleh banyak faktor seperti faktor emosi, kognitif, sosiokultural, perkembangan, serta pengalaman (Stein & Lehto, 2009). Kecemasan terhadap kematian ini dapat ditimbulkan oleh stressor seperti kematian pasangan, anak, atau keluarga dekat lainnya, serta karena kondisi fisik dan kesehatan yang menurun drastis. Stres atau tekanan yang dialami oleh lansia dapat menimbulkan kecemasan. Kecemasan ini ditimbulkan oleh hal-hal seperti kematian orang terdekat, penurunan kondisi fisik dan kesehatan, serta salah satunya adalah kematian. Kecemasan menghadapi kematian
8 memiliki dampak positif dan negatif tergantung bagaimana cara menghadapinya. Untuk menghadapi stres menghadapi kematian maka dibutuhkan strategi-strategi koping yang baik. Koping menurut Folkman & Lazarus (dalam Krohne, 2002) adalah usaha secara kognitif maupun behavioral untuk menguasai, menoleransi atau mengurangi permintaan serta konflik eksternal maupun internal dalam diri. Ada berbagai macam strategi koping yang dapat digunakan untuk mengatasi stres, namun ada beberapa strategi yang biasa digunakan dalam mengatasi kecemasan menghadapi kematian menurut Hoelterhoff & Chung(2013) seperti meningkatkan self-efficacy, yaitu kepercayaan individu mengenai kemampuan mereka menghasilkan performa yang dapat mempengaruhi kehidupan mereka (Bandura, 1994) serta koping religius, yaitu berpegang pada ajaran agama dalam mengatasi situasi atau trauma yang dialami. Seperti yang telah dipaparkan di atas, kebanyakan lansia yang tinggal di panti wreda tidak merasakan kehangatan keluarga serta relasi ataupun kontak sosial seperti lansia yang tinggal bersama keluarganya. Selain itu, mereka mengalami kesepian dan merasa tidak bahagia karena merasa ditelantarkan oleh keluarganya. Ketika salah seorang dari penghuni panti meninggal pun, terkadang tidak ada keluarga yang datang dan mengurusnya, hanya ada pengurus panti serta penghuni lainnya. Apakah hal ini menimbulkan stres yang berdampak pada kecemasan menghadapi kematian pada penghuni lain? Bagaimanakah penghuni panti wreda memandang kematian? Apa saja cara yang dilakukan lansia penghuni panti wreda untuk mengatasi stres dan kecemasan tersebut? Hal tersebut yang ingin peneliti teliti lebih lanjut lagi melalui penelitian ini.
9 B. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bentuk koping yang dilakukan oleh lansia untuk menghadapi kecemasan dalam menghadapi kematian. C. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan memiliki manfaat baik bagi peneliti maupun bagi masyarakat luas serta kalangan akademisi dalam kaitannya dengan coping kecemasan pada lansia. 1. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi serta memperkaya ilmu Psikologi khususnya di bidang perkembangan yang berkaitan dengan kecemasan lansia. 2. Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi praktisi serta masyarakat luas dalam memahami kecemasan lansia dalam menghadapi kematian, baik di lembaga-lembaga sosial ataupun dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu penelitian ini juga dapat dikembangkan lagi untuk menjalankan hospice care (perawatan pada lansia dan pasien penderita sakit secara intensif sehingga mereka dapat meninggal dengan layak) yang selama ini belum ada di Indonesia.