NILAI KEADILAN DALAM PENGHENTIAN PENYIDIKAN Oleh Wayan Rideng 1

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. dapat lagi diserahkan kepada peraturan kekuatan-kekuatan bebas dalam

BAB I PENDAHULUAN. pengadilan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. pemeriksaan di sidang pengadilan ada pada hakim. Kewenangan-kewenangan

MEKANISME PENYELESAIAN KASUS KEJAHATAN KEHUTANAN

I. PENDAHULUAN. Indonesia. Penerapan hukum dengan cara menjunjung tinggi nilai-nilai yang

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

1. HUKUM ACARA PIDANA ADALAH hukum yang mempertahankan bagaimana hukum pidana materil dijalankan KUHAP = UU No 8 tahun 1981 tentang hukum acara

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

Fungsi Dan Wewenang Polri Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Hak Asasi Manusia. Oleh : Iman Hidayat, SH.MH. Abstrak

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

BAB II HUBUNGAN KUHP DENGAN UU NO. 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II PENAHANAN DALAM PROSES PENYIDIKAN TERHADAP TERSANGKA ANAK DIBAWAH UMUR. penyelidikan yang merupakan tahapan permulaan mencari ada atau tidaknya

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pendahuluan sebelum pemeriksaan sidang di pengadilan. 1 Istilah praperadilan

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

BAB I PENDAHULUAN. Penyelidikan merupakan bagian yang tidak dapat di pisahkan dari. penyidikan, KUHAP dengan tegas membedakan istilah Penyidik dan

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. yang telah tercakup dalam undang-undang maupun yang belum tercantum dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan

BAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat.

ALUR PERADILAN PIDANA

Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual

BAB I PENDAHULUAN. melakukan penyidikan tindak pidana tertentu berdasarkan undang- undang sesuai

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3)

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum.

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan dan teknologi, mengakibatkan kejahatan pada saat ini cenderung

KEMUNGKINAN PENYIDIKAN DELIK ADUAN TANPA PENGADUAN 1. Oleh: Wempi Jh. Kumendong 2 Abstrack

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkembangan tindak pidana dalam kehidupan masyarakat di

BAB I PENDAHULUAN. dalam tahap pemeriksaan penyidikan dan atau penuntutan. 1

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan

PERLUNYA NOTARIS MEMAHAMI PENYIDIK & PENYIDIKAN. Dr. Widhi Handoko, SH., Sp.N. Disampaikan pada Konferda INI Kota Surakarta, Tanggal, 10 Juni 2014

I. PENDAHULUAN. pengeledahan, penangkapan, penahanan dan lain-lain diberi definisi dalam. Berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP),

BAB III PENUTUP. serta pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa peranan hakim adalah

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Bagian Kedua Penyidikan

Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis)

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN

TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Tentang Tugas, Wewenang Hakim Dalam Peradilan Pidana

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

II. TINJAUAN PUSTAKA. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana

Pemeriksaan Sebelum Persidangan

TINJAUAN HUKUM TERHADAP TUNTUTAN GANTI KERUGIAN KARENA SALAH TANGKAP DAN MENAHAN ORANG MUHAMMAD CHAHYADI/D Pembimbing:

MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan

BAB I PENDAHULUAN. penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi. pidana atau tidak yang dilakukan terdakwa.

dikualifikasikan sebagai tindak pidana formil.

I. PENDAHULUAN. Tindak pidana korupsi merupakan salah satu kejahatan yang merusak moral

BAB I PENDAHULUAN. negara harus berlandaskan hukum. Dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

Undang Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang : Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana

BAB I PENDAHULUAN. Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, telah ditegaskan bahwa

BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017

GUBERNUR BANTEN PERATURAN GUBERNUR BANTEN

NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER

Jurnal Ilmiah Universitas Batanghari Jambi Vol.16 No.3 Tahun 2016

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 8 TAHUN 1981 (8/1981) Tanggal: 31 DESEMBER 1981 (JAKARTA)

BAB 4 PENGAWASAN TERHADAP PELAKSANAAN UPAYA PAKSA MENURUT KONSEP PRAPERADILAN DI DALAM KUHAP DAN KONSEP HAKIM KOMISARIS MENURUT RUU KUHAP

I. PENDAHULUAN. mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian tindak pidana dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 44/PUU-XIII/2015 Objek Praperadilan

BAB II PERANAN POLISI SEBAGAI PENYIDIK DALAM MELAKUKAN PENANGANAN TEMPAT KEJADIAN PERKARA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik pelaksanaan hukum

BAB I PENDAHULUAN. penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I LATAR BELAKANG. yang diajukan oleh warga masyarakat. Penyelesaian perkara melalui

BAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA. diatur secara eksplisit atau implisit dalam Undang-undang Dasar 1945, yang pasti

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG LARANGAN PENINJAUAN KEMBALI PUTUSAN PRAPERADILAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam Penjelasan Undang Undang Dasar 1945, telah dijelaskan

BAB I PENDAHULUAN. Hukum adalah sesuatu yang sangat sulit untuk didefinisikan. Terdapat

PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DI LUAR PENGADILAN TERHADAP DUGAAN KEJAHATAN PASAL 359 KUHP DALAM PERKARA LALU LINTAS

PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DI LUAR PENGADILAN TERHADAP DUGAAN KEJAHATAN PASAL 359 KUHP DALAM PERKARA LALU LINTAS

II. TINJAUAN PUSTAKA

V. PENUTUP. 1. Alasan yang menjadi dasar adanya kebijakan formulasi Hakim Komisaris. dalam RUU KUHAP Tahun 2009 atau hal utama digantinya lembaga pra

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Penyelidikan dan Penyidikan. Pengertian penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mencari dan

HUKUM ACARA PIDANA Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tanggal 31 Desember 1981 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II TINJAUN PUSTAKA. Hukum acara pidana di Belanda dikenal dengan istilah strafvordering,

I. PENDAHULUAN. kekuasaan manapun (Pasal 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002). Sebagai lembaga

I. PENDAHULUAN. manapun (Pasal 3 Undang -Undang Nomor 30 Tahun 2002). Sebagai lembaga independen,

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara

BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA

BAB I PENDAHULUAN. kekerasan. Tindak kekerasan merupakan suatu tindakan kejahatan yang. yang berlaku terutama norma hukum pidana.

BAB I PENDAHULUAN. perundang-undangan yang berlaku. Salah satu upaya untuk menjamin. dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana ( KUHAP ).

Lex et Societatis, Vol. IV/No. 2/Feb/2016/Edisi Khusus

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan

PERATURAN LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PENDAMPINGAN SAKSI LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

Kekuatan Keterangan Saksi Anak Dibawah Umur dalam Pembuktian Perkara Pidana

TINJAUAN PUSTAKA. tersebut, khususnya mengenai kepentingan anak tentunya hal ini perlu diatur oleh

BAB I PENDAHULUAN. pada tahap interogasi / penyidikan sering terjadi tindakan sewenang-wenang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Transkripsi:

NILAI KEADILAN DALAM PENGHENTIAN PENYIDIKAN Oleh Wayan Rideng 1 Abstrak: Nilai yang diperjuangkan oleh hukum, tidaklah semata-mata nilai kepastian hukum dan nilai kemanfaatan bagi masyarakat, tetapi juga nilai keadilan. Secara simultan norma hukum harus mendukung ketiga nilai ini. Berkenaan dengan penghentian penyidikan suatu perkara pidana, sering dipertanyakan nilai keadilannya, khususnya keadilan bagi korban dan masyarakat luas. Terlebih banyak yang mengganggap bahwa penghentian penyidikan hanya didasarkan pada kewenangan yang dimiliki oleh penyidik. Secara normatif, penghentian penyidikan hanya dapat dilakukan berdasarkan tiga alasan, yaitu: karena tidak cukup bukti, perkaranya bukan merupakan perkara pidana, atau dihentikan demi hukum. Terhadap penghentian penyidikan, yang dianggap tidak sesuai dengan ketentuan tersedia upaya hukum melalui lembaga praperadilan. Ketentuan yang membatasi alasan, yang menetapkan prosedur yang harus dipenuhi, serta kemungkinan untuk melakukan perlawanan terhadap penghentian penyidikan pada dasarnya untuk mengakomodasi kemungkinan terabaikannya nilai keadilan. Kata kunci: Keadilan, penghentian penyidikan, dan praperadilan. 1) Wayan Rideng adalah staf edukatif pada Fakultas Hukum (FH) Universitas Panji Sakti Singaraja. Pendahuluan Dalam pelaksanaan Hukum Pidana, khususnya Hukum Acara Pidana, sering menjadi wacana di masyarakat mengenai keadilan dalam penghentian penyidikan. Banyak kalangan yang menaruh kekhawatiran bahwa pelaksanaan penghentian penyidikan lebih banyak ditentukan oleh kepentingan penegak hukum yang terlibat di dalamnya, khususnya penyidik. Aparat penegak hukum dengan menggunakan wewenang yang dimiliki, dianggap dapat sekehendaknya dengan memanipulasi keadaan dan/atau ketentuan menetapkan suatu penyidikan dihentikan atau diteruskan. 53

Hukum Pidana sebagai bagian dari hukum secara keseluruhan, tidaklah hanya merupakan institusi ketertiban. Prodjodikoro (1982: 18) menyatakan Hukum Pidana mempunyai tujuan primer maupun sekunder. Tujuan primer dari Hukum Pidana adalah untuk memenuhi rasa keadilan. Maka dapat dikatakan bahwa pelaksanaan Hukum Pidana (termasuk di dalamnya Hukum Acara Pidana) haruslah mencerminkan nilai keadilan. Sejalan dengan hal ini, dalam konsideran Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (selanjutnya dalam tulisan ini disebut KUHAP) dinyatakan bahwa pembangunan hukum nasional di bidang Hukum Acara Pidana adalah agar masyarakat menghayati hak dan kewajibannya dan untuk meningkatkan pembinaan sikap para pelaksana penegak hukum sesuai dengan fungai dan wewenang masing-masing ke arah tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia, ketertiban, serta kepastian hukum demi terselenggaranya negara hukum sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945. Dengan demikian tujuan Hukum Pidana pada dasarnya tidaklah berbeda dengan tujuan hukum secara umum. Tujuan hukum sebagai suatu pranata sosial sering dihubungkan dengan tuntutan terhadap hukum untuk memenuhi berbagai nilai dasar/karya yang menurut Radbruch disebut sebagai nilai-nilai dasar hukum (Raharjo, 2006: 19). Nilai dasar itu adalah nilai keadilan yang berkaitan dengan keabsahan berlaku secara filosofis, nilai kegunaan berkaitan dengan keabsahan berlaku secara sosiologis, dan nilai kepastian hukum berkaitan dengan keabsahan berlaku secara yuridis. Nilai-nilai inilah yang ditempatkan sebagai tujuan yang harus diarah oleh hukum. Dalam praktik, keberadaan ketiga unsur tersebut hanya akan berlaku sebagaimana adanya dan bukan sebagaimana seharusnya, bila didukung dengan adanya hukum formal (Hukum Acara) yang baik sebagai usaha mempertahankan hukum materiil (Waluyadi, 1999: v). Pada dasarnya masalah penghentian penyidikan bukanlah masalah teknis penyidikan semata-mata. Di dalamnya terkait rasa keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan bagi masyarakat terbanyak. Jika penghentian penyidikan dilakukan semata-mata untuk kepentingan tersangka, atau kepentingan aparat karena telah menerima sesuatu dari tersangka, maka rasa keadilan korban, keluarga korban, atau masyarakat dapat terabaikan. Maka dengan demikian pada tempatnya jika penghentian penyidikan dilakukan dengan memperhatikan dan mempertimbangkan segala sesuatunya agar tujuan Hukum Acara Pidana untuk menegakkan keadilan, ketertiban, dan penghargaan terhadap harkat dan martabat kemanusiaan tidak terabaikan. Menjadi pertanyaan apakah penghentian penyidikan dapat dilakukan oleh penyidik berdasarkan pada kewenangan yang dimilikinya? Adakah ketentuan yang 54

harus dipatuhi dalam penhentian penyidikan? Adakah upaya hukum yang dapat dilakukan terhadap penghentian penyidikan yang dianggap bertentangan dengan nilai keadilan dan kepatutan? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini perlu diketahui jawabannya. Jawaban secara normatif, setidaknya dapat menghasilkan simpulan bahwa di tingkat aturan, secara normatif telah terdapat rambu-rambu yang harus diikuti dalam penghentian penyidikan agar tidak bertentangan dengan nilai keadilan dan jika rambu-ranbu itu dilanggar terdapat upaya yang dapat ditempuh untuk memperbaikinya. Tata Cara Penghentian Penyidikan Jika terdapat informasi dengan alasan yang cukup bahwa telah terjadi suatu peristiwa pidana, petugas kepolisian akan melakukan penyelidikan tentang hal itu. Penyelidikan ini akan dilanjutkan dengan penyidikan apabila ada indikasi kuat bahwa tindakan yang terjadi adalah tindak pidana. Pengertian penyidikan dapat ditemukan pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (selanjutnya dalam tulisan ini disebut KUHAP). Dalam Pasal 1 ayat (2) KUHAP dinyatakan bahwa penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu dibuat terang tindak pidana yang terjadi untuk menemukan tersangkanya. Merujuk pada Pasal 1 Kuhap tersebut, penyidikan dilakukan oleh penyidik. Dalam Pasal 7 KUHAP dinyatakan bahwa penyidik karena kewajibannya mempunyai wewenang: a. menerima-laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana, b. melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian, c. menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka, d. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan, e. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat, f. mengambil sidik jari dan memotret seorang, g. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi, h. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara, i. mengadakan penghentian penyidikan, dan j. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. Dalam proses penyelesaian suatu perkara pidana, penyidikan dapat ditempatkan sebagai pemeriksaan pendahuluan sebelum perkara tersebut diperiksa di sidang 55

pengadilan. Pencarian bukti-bukti dalam penyidikan harus dilakukan secara sistematis, melalui tiga proses, yaitu: 1. informasi, yaitu menyidik dan mengumpulkan keterangan-keterangan serta bukti-bukti oleh polisi biasa disebut mengolah tempat kejadian, 2. interogasi, yaitu memeriksa dan mendengar orang-orang yang dicurigai dan saksi-saksi yang biasanya dapat diperoleh di tempat kejahatan, dan 3. instrumentarium, yaitu pemakaian alat-alat teknik untuk penyidikan perkara, seperti fotografi, mikroskop, dan lain-lainnya. Dalam ketiga proses ini penyidik senantiasa berusaha: a. mendapatkan bukti-bukti dalam perkara pidana yang berhubungan dengan kejahatan yang telah terjadi (corpora delicti) dan alat-alat yang telah dipakai melakukan kejahatan (instrumenta delicti), b. berusaha menemukan cara atau metode yang telah dipakai penjahat waktu berbuat kejahatan (metode operandi), misalnya saja dalam hal pencurian apakah penjahat mencuri dengan memanjat, membongkar, mencongkel, memakai kunci palsu dan lain sebagainya, dalam hal kejahatan seks bagaimana cara penjahat memperkosa korban, dan sebagainya, dan c. berusaha menemukan siapakah (identitas) penjahatnya. Sesudahnya perkara itu selesai diurus oleh penyidik maka berkas perkaranya (berita acara hasil pemeriksaan) disampaikan kepada jaksa yang sebagai penuntut umum yang akan mengusut lebih lanjut apakah terhadap orang yang didakwa melakukan tindak pidana itu ada bukti cukup untuk diadakan penuntutan pidana di muka pengadilan negeri. Jika ternyata ada cukup bukti, perkara tersebut diajukan ke pengadilan untuk diperiksa oleh hakim dalam sidang pengadilan negeri, kemudian diputus, bila terdakwa terbukti bersalah dihukum, jika tidak akan dibebaskan. Penyidikan atas suatu perkara pidana, dapat tidak dilanjutkan (dihentikan) apabila hasil penyidikan yang telah dilakukan mengharuskan untuk itu. Penghentian penyidikan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan tentang hurif i Pasal 7 KUHAP, di antaranya diatur dalam Pasal 109 KUHAP sebagai berikut. (1) Dalam hal penyidik telah mulai melakukan penyidikan suatu peristiwa yang merupakan tindak pidana, penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum. (2) Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum, maka penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum, tersangka atau keluarganya. (3) Dalam hal penghentian tersebut dilakukan oleh penyelidik pemberitahuan mengenai hal itu segera disampaikan kepada penyidik dan penuntut umum. 56

Dengan demikian alasan penghentian penyidikan menurut ayat (2) Pasal 109 KUHAP dibatasi, hanya dapat dilakukan karena alasan tidak terdapat cukup bukti; atau karena peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana; atau karena dihentikan demi hukum. Keadilan dalam Penghentian Penuntutan Telah disebutkan bahwa dalam proses penyidikan dilakukan pengumpulan alat-alat bukti yang dapat digunakan untuk membuat terang suatu tindak pidana. Alatalat bukti yang dimaksud adalah alat-alat bukti yang sah, yaitu alat-alat bukti yang ada hubungannya dengan tindak pidana tersebut. Alat-alat bukti tersebut nantinya dapat digunakan sebagai bahan pembuktian, untuk menimbulkan keyakinan bagi hakim, atas kebenaran adanya suatu tindak pidana dan kesalahan yang telah dilakukan oleh terdakwa. Cukup tidaknya alat bukti yang ada dihubungkan dengan Pasal 183 KUHAP. Dalam pasal ini dinyatakan bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah diperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Jadi, baru dapat dikatakan terdapat cukup bukti bila minimal tersedia dua alat bukti yang sah ditambah dengan unsur keyakinan hakim. Adapun alat bukti yang sah telah diatur dalam Pasal 184 KUHAP, yaitu: keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Dalam praktik syarat minimal alat bukti ini disebut minimum bewijst (bukti minimal). Menurut Husein (1991: 239), cara untuk menentukan apakah suatu peristiwa merupakan tindak pidana atau bukan merupakan tindak pidana, sebenarnya sudah termasuk lingkup Hukum Pidana material. Cara praktis yang dapat ditempuh didasarkan pada pengertian tindak pidana itu sendiri. Suatu peristiwa atau perbuatan baru dikualifikasikan sebagian tindak pidana, apabila terhadap perbuatan itu, dalam undang-undang hukum pidana tedapat aturan dan ancaman pidana. Jadi, tindak pidana adalah suatu perbuatan yang diatur dan diancam dengan pidana oleh undangundang hukum pidana. Dasar pemikiran demikian, adalah ketentuan Pasal 1 ayat (1) KUHAP yang menyatakan bahwa tiada suatu perbuatan dapat dihukum kecuali didasarkan pada ketentuan pidana menurut undang-undang yang telah diadakan terlebih dahulu. Dengan demikian menurut ketentuan tersebut, suatu peristiwa atau perbuatan yang sebelumnya belum/tidak diatur dalam undang-undang pidana, bukan merupakan suatu tindak pidana. Alasan penghentian penyidikan demi hukum, umumnya dikaitkan dengan kewenangan penyidik untuk melakukan penyidikan, serta dihubungkan dengan ketentu- 57

an kemungkinan untuk dapat melanjutkan proses tersebut secara tuntas. Artinya tidak ada ketentuan hukum yang menghalangi diprosesnya perkara pidana tersebut. Dalam hal ini alasan penghentian penyidikan demi hukum dilakukan apabila: a. tindak pidana tersebut merupakan delik aduan, dan atas tindak pidana yang sedang disidik tidak terdapat pengaduan, atau pengaduan yang pernah diajukan telah dicabut kembali oleh orang yang berhak mengadu. Dalam delik aduan (tindak pidana aduan), pengaduan tersebut merupakan syarat bagi dilakukannya seluruh proses penyelesaian perkara melalui pengadilan, b. terhadap perkara tersebut telah diputuskan dengan putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Dalam hal demikian berlaku asas nebis in idem sebagaimana dimaksud Pasal 76 KUHP, c. terdakwa telah meninggal dunia (Pasal 77 KUHP), dan d. hak untuk menuntut telah gugur disebabkan lampau waktu sebagaimana diatur dalam Pasal 78 KUHP. Alasan-alasan penghentian penyidikan, sebagaimana diatur dalam KUHAP seharusnya merupakan alasan yang terukur. Dengan demikian alasan-alasan yang relatif tidak terukur dan tidak jelas, apalagi hanya sebatas alasan berdasarkan kewenangan penyidik, tidak dapat diterima. Di sinilah letak nilai keadilan dari penghentian penyidikan. Penyidikan tidak dapat dihentikan karena kepentingan salah satu pihak, tetapi hanya dapat dihentikan sesuai dengan ketentuan undang-undang berdasarkan kepentingan yang lebih luas, yaitu kepentingan nilai keadilan. Keadilan bagi siapa, tentu yang terutama kepentingan bagi para pihak yang terlibat secara langsung. Kepentingan pihak korban adalah agar pelaku dapat dihukum sesuai dengan kesalahannya. Kepentingan tersangka adalah agar terdapat perlindungan secara berkeadilan bahwa memang terdapat alasan yang cukup untuk memrosesnya dalam penyidikan dan proses lanjutannya. Jika terdapat alasan, agar yang bersangkutan segera memperoleh kepastian bahwa penyidikan dihentikan, sehingga tidak tersandera oleh kepentingan penyidikan, yang membebani secara materiil maupun psikologis. Jika pihak-pihak yang berkepentingan menganggap bahwa penghentian penyidikan yang dilakukan ternyata tidak benar, tidak berdasarkan alasan yang terukur sesuai dengan Undang-Undang khususnya KUHAP, maka dapat mengajukan upaya keberatan melalui lembaga praperadilan. Dalam Pasal 77 KUHAP ditentukan bahwa pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang: 58

1. sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan, dan 2. ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan. Ditentukan lebih lanjut bahwa pelaksanaan wewenang pengadilan negeri sebagaimana dimaksud adalah praperadilan, yang dipimpin oleh hakim tunggal yang ditunjuk oleh ketua pengadilan negeri dan dibantu oleh seorang panitera. Permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya suatu penangkapan atau penahanan diajukan oleh tersangka, keluarga atau kuasanya kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya. Permintaan untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan dapat diajukan oleh penyidik atau penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya. Siapakah pihak ketiga yang berkepentingan yang dimaksud? Menurut Harahap (2007: 11) masalah ini muncul karena jika ditinjau dari disiplin ilmu yurisprudensi perkataan pihak ketiga yang berkepentingan yang dirumuskan dalam Pasal 80 KUHAP, dikategorikan istilah yang mengandung pengertian luas (broad term) atau kurang jelas pengertiannya (unplain meaning). Menghadapi rumusan yang seperti itu, diperlukan kemampuan untuk menemukan makna yang aktual (to discover the actual meaning). Cara yang dianggap mampu memberi pengertian yang tepat dan actual, mengaitkannya dengan unsur kehendak pembuat undang-undang (legislative purpose) dan kehendak publik (public purpose). Jika tujuan mem-praperadilan-kan penghentian penyidikan atau penuntutan untuk mengoreksi atau mengawasi kemungkinan kekeliruan maupun kesewenangan atas penghentian itu secara horizontal, cukup alasan untuk berpendapat, bahwa kehendak pembuat undang-undang dan kehendak publik atas penerapan pihak ketiga yang berkepentingan, meliputi masyarakat luas yang diwakili LSM atau organisasi kemasyarakatan. Penutup Alasan penghentian penyidikan menurut KUHAP hanya dapat dilakukan karena alasan tidak terdapat cukup bukti, atau karena peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana, atau karena dihentikan demi hukum. Secara normatif alasan-alasan tersebut harus terukur, tidak didasarkan pada pelaksanaan kewenangan belaka. Apabila penghentian penyidikan oleh pihak-pihak yang berkepentingan dianggap tidak benar dan berkeadilan, maka dapat mengajukan upaya melalui lembaga 59

praperadilan. Dengan demikian diharapkan rasa keadilan bagi korban/keluarga korban, masyarakat umum, tersangka dan/atau keluarganya dapat dihargai. Daftar Pustaka Harahap, M. Yahya. 2007. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan. Jakarta: Sinar Grafika. -------. 2007. Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali. Jakarta: Sinar Grafika. Husein, Harun M. 1991. Penyidikan dan penuntutan Dalam Proses Pidana. Jakarta: Rineka Cipta. Prodjodikoro, Wirjono. 1982. Hukum Acara Pidana di Indonesia. Bandung: Sumur Bandung. Rahardjo, Satjipto. 2006. Ilmu Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti. Waluyadi. 1999. Pengetahuan Dasar Hukum Acara Pidana (Sebuah Catatan Khusus). Bandung: Mandar Maju. 60