BAGIAN KEEMPAT PEDOMAN PEMBUATAN TANAMAN REHABILITASI HUTAN MANGROVE GERAKAN REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN BAB I PENDAHULUAN

dokumen-dokumen yang mirip
Teknik Merehabilitasi Hutan Bakau

BAGIAN KELIMA PEDOMAN PEMBUATAN TANAMAN HUTAN RAKYAT GERAKAN NASIONAL REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN BAB I PENDAHULUAN

KUESIONER. 1. No. :.. 2. Jenis Kelamin :.. 3. Kelas : Umur : Pilihlah jawaban yang tepat dan kemudian beri tanda X

PEMANFAATAN DAK BIDANG KEHUTANAN

SISTEM PENDUKUNG KEPUTUSAN UNTUK MENGANALISA KESESUAIAN JENIS VEGETASI MANGROVE MENGGUNAKAN ANALYTIC HIERARCHY PROCESS (AHP)

SISTEM PENDUKUNG KEPUTUSAN UNTUK MENGANALISA KESESUAIAN JENIS VEGETASI MANGROVE MENGGUNAKAN ANALYTIC HIERARCHY PROCESS (AHP)

BAGIAN KEDUA PEDOMAN PEMBUATAN TANAMAN REBOISASI HUTAN LINDUNG DAN HUTAN PRODUKSI GERAKAN NASIONAL REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN BAB I PENDAHULUAN

SUMBERDAYA ALAM WILAYAH PESISIR

Kata kunci: rehabilitasi, mangrove, silvofhisery

PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN CILACAP

PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAROS NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG PELESTARIAN, PENGELOLAAN DAN PEMANFAATAN HUTAN MANGROVE

BAB I PENDAHULUAN. pantai sekitar Km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat potensial.

Rehabilitasi dan Restorasi Hutan Mangrove di Kalimantan Selatan. Wawan Halwany Eko Priyanto

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P. 3/Menhut-II/2009 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PENGGUNAAN DANA ALOKASI KHUSUS BIDANG KEHUTANAN

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem mangrove adalah suatu sistem yang terdiri atas berbagai

Bibit yang berkualitas merupakan salah satu faktor utama yang mampu menunjang keberhasilan

TINJAUAN PUSTAKA. A. Mangrove. kemudian menjadi pelindung daratan dan gelombang laut yang besar. Sungai

BAB I PENDAHULUAN. ekologis yaitu untuk melakukan pemijahan (spawning ground), pengasuhan (nursery

FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS NEGERI MEDAN 2010

Avicenia sp. ( Api-Api ) Rhizophora sp( Bakau ) Nypa sp. ( Nipah ) Bruguiera sp. ( Lacang ) Sonneratia sp. ( Pedada )

9. PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BULUNGAN,

Inti dari kegiatan rehabilitasi adalah menanam bibit di lapangan. Apabila penanaman dilakukan dengan

ANALISIS VEGETASI EKOSISTEM HUTAN MANGROVE KPH BANYUMAS BARAT

Teknologi penanaman jenis mangrove dan tumbuhan pantai pada tapak khusus

BAB I PENDAHULUAN. wilayah perbatasan antara daratan dan laut, oleh karena itu wilayah ini

BAB I. PENDAHULUAN. pulau-nya dan memiliki garis pantai sepanjang km, yang merupakan

LEMBAR INFORMASI. Analisis dan Rekomendasi Teknis Program Rehabilitasi Mangrove. Pendahuluan. Desa Taat. Edisi 5: Maret 2017

BAB I PENDAHULUAN. batas pasang surut air disebut tumbuhan mangrove.

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PERATURAN BERSAMA ANTARA DIREKTUR JENDERAL PENGENDALIAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DAN HUTAN LINDUNG DAN DIREKTUR JENDERAL PENDIDIKAN DASAR

VI. SIMPULAN DAN SARAN

ISLAM NOMOR : P.7/PDASHL-SET/2015 NOMOR : DJ:II/555 TAHUN 2015 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. yaitu mendapatkan makanan, suhu yang tepat untuk hidup, atau mendapatkan

REPORT MONITORING MANGROVE PADA KAWASAN TAMAN NASIONAL WAKATOBI KABUPATEN WAKATOBI

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PENGENDALIAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DAN HUTAN LINDUNG NOMOR : P.8/PDASHL-SET/2015 TENTANG

TINJAUAN PUSTAKA. A. Perencanaan Lanskap. berasal dari kata land dan scape yang artinya pada suatu lanskap terdapat

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan Negara kepulauan dengan garis pantai sepanjang

TINJAUAN PUSTAKA. kestabilan pantai, penyerap polutan, habitat burung (Bismark, 1986). Kemampuan mangrove untuk mengembangkan wilayahnya ke arah laut

1. Pengantar A. Latar Belakang

KAJIAN TINGKAT PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE DI KAWASAN TELUK PANGPANG-BANYUWANGI

KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

Bab III Karakteristik Desa Dabung

PERATURAN DAERAH KOTA TARAKAN NOMOR 04 TAHUN 2002 TENTANG LARANGAN DAN PENGAWASAN HUTAN MANGROVE DI KOTA TARAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

KAJIAN PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE DI TELUK YOUTEFA KOTA JAYAPURA ABSTRAK

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Secara keseluruhan daerah tempat penelitian ini didominasi oleh Avicennia

BAB I PENDAHULUAN. saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi

Laporan Utama PROFIL BALAI PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE WILAYAH II

PENDAHULUAN. Indonesia memiliki hutan mangrove yang terluas di dunia. Hutan

BAB I PENDAHULUAN. baik bagi pesisir/daratan maupun lautan. Selain berfungsi secara ekologis,

BAB I PENDAHULUAN. atas pulau, dengan garis pantai sepanjang km. Luas laut Indonesia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. berlangsungnya kehidupan yang mencerminkan hubungan timbal balik antara

Keanekaragaman Jenis dan Indeks Nilai Penting Mangrove di Desa Tabulo Selatan Kecamatan Mananggu Kabupaten Boalemo Provinsi Gorontalo

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

LAMPIRAN. Lampiran 1. Peta Pola Ruang Kabupaten Lampung Selatan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. secara tradisional oleh suku bangsa primitif. Secara terminologi, etnobotani

sangat penting saat ini. Fakta akan pentingnya ekosistem mangrove dan ancaman yang

PENDAHULUAN. garis pantai sepanjang kilometer dan pulau. Wilayah pesisir

Struktur Dan Komposisi Vegetasi Mangrove Di Pulau Mantehage

PERATURAN DAERAH KOTA TARAKAN NOMOR 12 TAHUN 2004 TENTANG PERLINDUNGAN HUTAN DAN HASIL HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TARAKAN,

PEMANFAATAN PERSEMAIAN BERTINGKAT UNTUK PRODUKSI BIBIT DALAM KERANGKA REHABILITASI HUTAN MANGROVE SPESIFIK LOKASI. Bau Toknok 1 Wardah 1 1

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.9/Menhut-II/2013 TENTANG

BAGIAN KESEMBILAN PEDOMAN PEMBUATAN TANAMAN DENGAN SISTIM SILVIKULTUR INTENSIF GERAKAN NASIONAL REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN BAB I PENDAHULUAN

4 KERUSAKAN EKOSISTEM

PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE UNTUK EKOWISATA DI KECAMATAN KUTA RAJA KOTA BANDA ACEH Syifa Saputra1, Sugianto2, Djufri3 1 ABSTRAK

PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE UNTUK EKOWISATA DI KECAMATAN KUTA RAJA KOTA BANDA ACEH Syifa Saputra1, Sugianto2, Djufri3 1 ABSTRAK

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kata mangrove dilaporkan berasal dari kata mangal yang menunjukkan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEHUTANAN. REHABILITASI. Hutan Dan Lahan. Rencana Tahunan.

BAGIAN KEENAM PEDOMAN PEMBUATAN TANAMAN PENGHIJAUAN KOTA GERAKAN NASIONAL REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN BAB I PENDAHULUAN

Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang. berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur. Komunitas vegetasi ini

KUESIONER DI LAPANGAN

BAB I PENDAHULUAN. dilaporkan sekitar 5,30 juta hektar jumlah hutan itu telah rusak (Gunarto, 2004).

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.63/Menhut-II/2011

TINJAUAN PUSTAKA. Kata mangrove diduga berasal dari bahasa Melayu manggi-manggi, yaitu

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL LEMBAR PENGESAHAN KATA PENGANTAR LEMBAR PERSEMBAHAN ABSTRAK DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR

PENDAMPINGAN DESA ALO ALO MELALUI KEGIATAN REHABILITASI MANGROVE DAN PENYUSUNAN PERATURAN DESA

PENGARUH UMUR BIBIT TERHADAP PERTUMBUHAN BAKAU (Rhizophora mucronata Lam) PADA LAHAN TAMBAK DI DELTA MAHAKAM

KERAPATAN HUTAN MANGROVE SEBAGAI DASAR REHABILITASI DAN RESTOCKING KEPITING BAKAU DI KABUPATEN MAMUJU PROVINSI SULAWESI BARAT

MODEL IMPLENTASI KEBIJAKAN PENGELOLAAN MANGROVE DALAM ASPEK KAMANAN WILAYAH PESISIR PANTAI KEPULAUAN BATAM DAN BINTAN.

MANGROVE DAN PENGEMBANGAN SILVOFISHERY DI WILAYAH PESISIR DESA ARAKAN KECAMATAN TATAPAAN KABUPATEN MINAHASA SELATAN SEBAGAI IPTEK BAGI MASRAKAT

REHABILITASI MANGROVE SECARA SWADAYA: BELAJAR DARI MASYARAKAT SINJAI. Oleh: Setiasih Irawanti Kuncoro Ariawan. Ringkasan

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Mangrove

TINJAUAN PUSTAKA. merupakan salah satu peran penting mangrove dalam pembentukan lahan baru. Akar mangrove mampu mengikat dan menstabilkan substrat

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. dalam 3 zona berdasarkan perbedaan rona lingkungannya. Zona 1 merupakan

PROPOSAL PENELITIAN PENYIAPAN PENYUSUNAN BAKU KERUSAKAN MANGROVE KEPULAUAN KARIMUNJAWA

DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE UNTUK EKOWISATA DI KECAMATAN KUTA RAJA KOTA BANDA ACEH Syifa Saputra 1, Sugianto 2, Djufri 3 ABSTRAK

PENANAMAN MANGROVE BERSAMA MASYARAKAT

BAB I PENDAHULUAN. yang tidak dapat pulih (seperti minyak bumi dan gas serta mineral atau bahan

WORKSHOP ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM

BAB I PENDAHULUAN. tertentu dan luasan yang terbatas, 2) Peranan ekologis dari ekosistem hutan

TINJAUAN PUSTAKA. aktivitas marin. Dengan demikian daerah pantai terdiri dari perairan pantai dan

BAB VI DAMPAK KONVERSI MANGROVE DAN UPAYA REHABILITASINYA

Transkripsi:

LAMPIRAN I. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.03/MENHUT-V/2004 TANGGAL : 22 JULI 2004 BAGIAN KEEMPAT PEDOMAN PEMBUATAN TANAMAN REHABILITASI HUTAN MANGROVE GERAKAN REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Hutan mangrove merupakan jalur hijau daerah pantai yang mempunyai fungsi ekologis dan sosial ekonomi. Berdasarkan hasil identifikasi tahun 1997-2000 luas potensial habitat mangrove di Indonesia + 8,6 juta ha yang terdiri 3,8 juta ha dalam kawasan hutan dan 4,8 juta ha diluar kawasan. Pada saat ini 1,7 juta ha atau 44,73 % dari hutan mangrove yang berada dalam kawasan hutan dan 4,2 juta ha atau 87,50 % dari hutan mangrove yang berada di luar kawasan hutan dalam kondisi rusak. Kerusakan tersebut pada umumnya disebabkan oleh tindakan manusia dalam mendayagunakan sumber daya alam wilayah pantai tidak memperhatikan kelestariannya, seperti penebangan untuk keperluan kayu bakar yang berlebihan maupun perubahan fungsi untuk kepentingan penggunaan lahan lainnya seperti tambak, pemukiman, industri dan pertambangan. Menyadari akan pentingnya hutan mangrove bagi kehidupan masyarakat baik langsung maupun tidak langsung, maka melalui Gerakan Rehabilitasi Hutan dan lahan (GN RHL/Gerhan), direncanakan rehabilitasi terhadap sumberdaya tersebut sesuai dengan urutan prioritasnya, dengan menggunakan jenis tanaman yang sesuai dengan kondisi biofisik dan sosial ekonomi masyarakat setempat. Berkaitan dengan upaya tersebut, untuk kesamaan persepsi dan memberikan panduan teknis dalam pelaksanaannya dilapangan bagi para pihak, perlu disusun pedoman kegiatan rehabilitasi hutan mangrove dalam rangka GN RHL/Gerhan IV-1

B. Tujuan Pedoman Pembuatan Tanaman Rehabilitasi Hutan Mangrove bertujuan untuk memberikan panduan kepada pelaksana di lapangan, agar kegiatan pembuatan tanaman rehabilitasi hutan mangrove dalam rangka GN RHL/Gerhan dapat dilaksanakan dengan baik sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan, untuk memulihkan fungsi hutan mangrove dalam menjaga ekosistem pantai dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar pantai. C. Pengertian 1. Hutan Mangrove adalah hutan yang tumbuh pada tanah aluvial di daerah pantai dan sekitar muara sungai yang dipengaruhi pasang surut air laut dan dicirikan oleh jenis-jenis pohon (Avicennia, Soneratia, Rhizophora, Bruguiera, Lumnitzera excoecaria, Xylocarpus dan nipa) 2. Rehabilitasi hutan mangrove adalah upaya mengembalikan fungsi hutan mangrove yang mengalami degradasi, kepada kondisi yang dianggap baik dan mampu mengemban fungsi ekologis dan ekonomis 3. Sistem tumpang sari tambak adalah suatu teknik pembuatan tanaman hutan mangrove yang dalam pelaksanaannya pada areal tersebut juga diusahakan untuk usaha perikanan. 4. Sistem penanaman murni yaitu penanaman dengan menggunakan satu jenis tanaman atau lebih pada lokasi tertentu yang ditujukan untuk perlindungan atau produksi kayu. D. Sasaran Sasaran lokasi kegiatan pembuatan tanaman rehabilitasi hutan mangrove dalam rangka GN RHL/Gerhan adalah hutan mangrove kritis (terdegradasi) yang berada di dalam dan di luar kawasan hutan dalam wilayah DAS Prioritas. E. Ruang Lingkup Ruang lingkup yang diuraikan dalam pedoman pembuatan tanaman rehabilitasi hutan mangrove meliputi perencanaan teknis, pembuatan tanaman, pengelolaan serta pembinaan dan pengendalian. IV-2

BAB II PERENCANAAN TEKNIS A. Rencana Teknik Tahunan Pembuatan tanaman rehabilitasi hutan mangrove dalam rangka GN RHL/Gerhan dilaksanakan berdasarkan Rencana Teknik Tahunan (RTT). RTT Pembuatan Tanaman Rehabilitasi Hutan Mangrove merupakan rencana indikatif yang menunjukkan lokasi, jenis dan volume kegiatan tahunan dalam satuan wilayah administratif Kabupaten/Kota pada DAS Prioritas, yang digunakan sebagai dasar penyusunan rancangan setiap kegiatan pada setiap lokasi. B. Rancangan Kegiatan Rancangan pembuatan tanaman rehabilitasi hutan mangrove disusun dengan mengacu kepada RTT Pembuatan Tanaman Rehabilitasi Hutan Mangrove. Rancangan pembuatan tanaman rehabilitasi hutan mangrove disusun 1 (satu) tahun sebelum pelaksanaan (T-1), namun dalam kondisi tertentu dapat dilaksanakan pada tahun berjalan (T-0). Penyusunan rancangan dilaksanakan berdasarkan hasil orientasi lapangan, pengukuran dan pemetaaan calon lokasi serta wawancara dengan masyarakat setempat. Rancangan kegiatan pembuatan tanaman rehabilitasi hutan mangrove memuat rancangan teknis dan biaya serta rancangan kelembagaan, yang secara operasional digunakan sebagai dasar untuk melaksanakan kegiatan pembuatan tanaman rehabilitasi hutan mangrove. Tata cara penyusunan rancangan kegiatan diatur tersendiri di dalam Pedoman Penyusunan Rancangan Kegiatan Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan. IV-3

BAB III PELAKSANAAN A. Umum Kegiatan pembuatan tanaman rehabilitasi hutan mangrove pada dasarnya dilaksanakan berdasarkan rancangan kegiatan pembuatan tanaman rehabilitasi hutan mangrove yang telah disahkan. Tahapan pelaksanaan kegiatan pembuatan tanaman rehabilitasi hutan mangrove meliputi persiapan lapangan, persiapan bibit, pembuatan tanaman dan pemeliharaan tanaman. B. Persiapan Lapangan 1. Penyiapan kelembagaan Bagi petani nelayan/tambak yang terlibat dalam pelaksanaan kegiatan dan belum terbentuk dalam kelompok tani diarahkan untuk membetuk kelompok tani dengan pendampingan oleh LSM dan atau Petugas Lapangan. Kelompok tani diarahkan untuk mampu melaksanakan pembuatan tanaman mangrove. Untuk itu mereka dengan kesadaran sendiri harus mengikuti sosialisasii penyuluhan, menyelenggarakan pertemuan-pertemuan, menyiapkan administrasi serta menyusun perangkat aturan/kesepakatan internal kelompok tani. 2. Penyiapan areal tanamaan Setelah calon lokasi kegiatan ditetapkan sesuai dengan rancangan kegiatan pembuatan tanaman rehabilitasi hutan mangrove, kemudian pelaksanaan dimulai dengan tahapan sebagai berikut : a. Pemancangan tanda batas dan pengukuran lapangan untuk menentukan luas serta letak yang direncanakan untuk memudahkan perhitungan kebutuhan bibit. b. Pembuatan jalur tanaman dimulai dengan penentuan arah larikan tanaman melintang terhadap pasang surut. c. Pembersihan jalur tanam dari sampah, ranting pohon, dan potongan kayu serta tumbuhan liar. d. Ajir tanaman dipasang tegak lurus dan kuat pada calon lokasi penananam. Jarak antar ajir sesuai dengan jarak tanam yang sesuai dengan kondisi lapangan (5.500 batang/ha termasuk sulaman). e. Pembuatan gubuk kerja disesuaikan dengan rancangan kegiatan. f. Pembuatan papan pengenal lapangan yang memuat keterangan letak, lokasi, tahun tanam, luas tanaman, jumlah bibit yang ditanam, jenis tanaman dan sistem tanam. C. Persiapan bibit IV-4

1. Kesesuaian jenis tanaman Jenis tanaman dipilih yang paling cocok dan disesuaikan dengan kondisi fisik lapangan dan kesiapan masyarakat setempat. Sebagai rujukan dapat dipilih jenis sebagaimana tercantum dalam tabel 1. Tabel 1. Kesesuaian Beberapa jenis tanaman mangrove dengan faktor lingkungannya. Jenis Rhozophora mucronata (bakau) Salinitas (o/oo) Toleransi thd kekuatan ombak & angin Toleransi thd kandungan pasir Toleransi thd Lumpur Frequensi penggenangan 10-30 S MD S 20 hr/bln R. stylosa (tongke besar) 10-30 MD S S 20 hr/bln R. apiculata (tinjang) 10-30 MD MD S 20 hr/bln Bruguiera parvilofa (bius) 10-30 TS MD S 10-19 hr/bln B. sexangula (tancang) 10-30 TS MD S 10-19 hr/bln B.gymnorhiza (tanjang merah) Sonneratia alba (pedada bogem) 10-30 TS TS MD 10-19 hr/bln 10-30 MD S S 20 hr/bln S.caseolaris (padada) 10-30 MD MD MD 20 hr/bln Xylocarpus granatum (nyirih) Heritiera littoralis (bayur laut) Lumnitzera racemora (Tarumtum) Cerbera manghas (bintaro) 10-30 TS MD MD 9 hr/bln 10-30 STS MD MD 9 hr/bln 10-30 STS S MD Bbrp kali/thn 0-10 STS MD MD Tergenang musiman Nypa fruticans (nipah) 0-10 STS TS S 20 hr/bln Avicenia spp. (api-api) 10-30 MD TS S Keterangan : S = Sesuai, MD = Moderat, TS = Tidak Sesuai, STS = Sangat Tidak Sesuai 2. Mekanisme pengadaan bibit a. Pengadaan bibit dilaksanakan secara swakelola oleh kelompok tani yang dikoordinir oleh Balai Pengelolaan DAS setempat, namun dalam kondisi tertentu dapat dilaksanakan oleh pihak III. IV-5

b. Bibit diperiksa oleh Balai Pengelolaan DAS sesuai dengan spesifikasi yang telah ditetapkan. 3. Spesifikasi bibit a. Distribusi lokasi dari berbagai jenis tanaman yang paling sesuai menurut tingkat ketinggian air/ zonasi dan ketahanan terhadap pasang surut adalah : zone Avicennia, zone Rhizophora, zone Bruguiera, dan zone kering dan nipah b. Kualitas bibit siap tanam adalah : 1) Bibiki normal yaitu bibit yang sehat, berbatang tunggal dan leher berkayu 2) Kenampakan fisiologis yang baik ditandai : - Tinggi berkisar 20 55 cm, - Media kompak, - Jumlah helai daun berkisar 4 6 helai. c. Untuk mendapatkan bibit dengan kondisi tersebut diperlukan pembibitan selama (berumur) 3 4 bulan untuk jenis Bruguiera gymnorhiza dan Xylocarpus granatum, berumur 4 5 bulan untuk jenis Rhizophora mucronata dan Rhizopohora apiculata, serta berumur 5 7 bulan untuk jenis Ceriop tagal dan Soneratia alba. Tabel 2. Syarat bibit siap tanam Jenis Tinggi minimal (cm) Rhizophora mucronata (bakau) 55 Rhizophora apiculata (tinjang) 30 B. gymnorrhiza (tanjang merah) 35 Ceriop tagal (tengar) 20 Avicennia marina (api-api) 30 Soneratia alba (pedada bogem) 15 Xylocarpus granatum (nyirih) 40 D. Pembuatan Tanaman Pelaksanaan penanaman direkomendasikan untuk dimulai pada musim ombak tenang atau dimulai dari yang terdekat dengan darat agar terhindar dari ombak besar. Cara menanam tanaman mangrove di dalam dan di luar kawasan hutan tidak berbeda. Ada 2 (dua) sistem penanaman yang dapat dilaksanakan adalah penanaman murni (dengan sistem banjar harian) dan sistem tumpang sari tambak (sylvofishery) yaitu : IV-6

1. Penanaman murni dengan sistem banjar harian Teknik penanaman murni dengan sistem banjar harian dilaksanakan sebagai berikut : a. Jarak tanam disesuaikan dengan kondisi lapangan dengan jumlah bibit 5.500 batang/ha. (termasuk sulaman dalam gambar 2 a) b. Di dekat ajir dibuat lubang tanam sebesar kantong plastik bibit. c. Bibit dalam kantong plastik disobek bagian bawahdengan hati-hati supaya tanah tetap kompak dan perakaran tidak rusak. d. Ditanam dekat ajir, dan apabila tanahnya sangat lunak atau mudah hanyut sebaiknya diikatkan dengan tali pada ajir agar bibit tidak roboh. (gamabr 1a dan 1 b) e. Pada tapak berombak besar disarankan ditanami dengan jenis Rhizophora sp dengan pola selang seling, anakan diikat pada tiang pancang/bambu serta dibuat penghalang ombak (gambar 2 b) f. Penanaman pada tapak berlumpur dalam sebaiknya menggunakan jenis Rhizophora mucronata. AJIR AJIR tal i Bagian bawah kantong plastik dibuka/disobek Bagian bawah kantong plastik dibuka/disobek Gb. 1a Cara menanan, dengan ajir tanpa tali Gb.1b Cara menanam, dengan ajir yang diikatkan pada bibit IV-7

- - - - - - - l - a u t - - - - - - X X X X X X X X X X X X X X X X X X X X X X X X X X X X X X X X X X X Strip Strip - - - - - - l - a - u t - - - - - - X X X X X X X X X X X X X X X X X X A. Pola Merata B. Pola Strip (Jalur) Gambar. 2 Alternatif Pola Tanam (5500 bibit/ha) 2. Sistem Tumpangsari Tambak a. Penanaman tumpang sari tambak dilaksanakan seperti halnya dengan sistem banjar harian akan tetapi dikombinasikan dengan kegiatan pertambakan. Penananam selain pada jalur tanam juga dapat dilakukan di pelataran tambak. b. Jarak tanam disesuaikan dengan kondisi lapangan dengan jumlah bibit 2.200 batang/ha termasuk sulaman c. Pola tumpang sari tambak terdiri dari 4 (empat) macam pola yaitu pola empang parit tradisional, pola komplangan, empang parit terbukla dan pola kao-kao. Macam-macam kombinasi dapat dilihat pada gambar berikut (Gambar 3) IV-8

EMPANG EMPANG EMPANG PARIT TRADISONAL KOMPLANGAN EMPANG EMPANG KAO-KAO EMPANG PARIT TERBUKA Keterangan : = parit = tanaman mangrove Gambar 3. Macam-macam pola tumpang sari tambak IV-9

E. Pemeliharaan Tanaman 1. Penyiangan Penyiangan dimaksudkan untuk membebaskan tanaman pokok mangrove dari tanaman pengganggu. Pada areal genangan atau daerah pasang surut umumnnya tidak perlu dilaksanakan penyiangan, akan tetapi pada areal yang kering perlu dilakukan penyiangan sampai tanaman berumur 2 tahun. 2. Penyulaman a. Penyulaman dilakukan dengan mengganti tanaman yang mati/merana, dan diusahakan menggunakan bibit sejenis b. Pemeriksanaan tanaman dilakukan 15 hari setetah penananam, dan dilakukan penyulaman apabila prosentase tumbuh dibawah 90 %. Pelaksanaan penyulaman pada tahun berjalan dilaksanakan 15-30 hari setelah penanaman. c. Pemeliharaan Tahun Pertama (Pemeliharaan I) dapat dilaksanakan apabila persentase tumbuh > 55 % dan Pemeliharaan Tahun Kedua (Pemeliharaan II) dapat dilaksanakan apabila persentase tumbuh mencapai > 75 % dengan jenis kegiatan meliputi penyulaman, penyiangan dan pemberantasan hama serta gulma. 3. Pengendalian hama/gulma Hama tananam yang sering ditemui dan menyerang pada tanaman mangrove (jenis Rhizophora spp), baik di persemaian maupun setelah ditanam adalah yuyu/ketam (Crustacea sp) dan ulat daun dan batang, serta gulma (biasanya lumut). F. Organisasi Pelaksana 1. Pelaksana kegiatan adalah Dinas kabupaten/kota dengan melibatkan kelompok tani nelayan/tambak setempat melalui perjanjian kerjasama (SPKS). 2. Pendampingan kelembagaan adalah LSM setempat yang ditunjuk. 3. Pendampingan teknis oleh Penyuluh Kehutanan Lapangan. G. Hasil Kegiatan Hasil kegiatan pembuatan tanaman rehabilitai hutan mangrove berupa tanaman hutan mangrove pada lokasi dan dengan luasan tertentu sesuai target yang tercantum dalam rancangan dan dokumen kegiatan (anggarannya). IV-10

BAB IV PEMBINAAN DAN PENGENDALIAN A. Pembinaan Yang dimaksud pembinaan meliputi pemberian pedoman/juklak/juknis, bimbingan, pelatihan, arahan dan supervisi. Pembinaan tersebut diarahkan untuk pembinaan teknis dan administrasi. Pembinaan teknis menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan ketentuan teknis pelaksanaan kegiatan, sedangkan pembinaan adminsitrasi menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan ketentuan administrasi keuangan. Pembinaan dilaksanakan sebagai berikut : 1. Menteri Kehutanan c.q Direktur Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial dibantu oleh Kepala Balai Pengelolaan DAS setempat, melaksanakan pembinaan teknis. 2. Kepala Dinas Propinsi yang membidangi Kehutanan, melaksanakan pembinaan teknis. 3. Bupati/Walikota dibantu Dinas Kabupaten/Kota yang membidangi Kehutanan, melaksanakan pembinaan teknis dan administrasi. B. Pengendalian Yang dimaksud pengendalian meliputi pemantauan, evaluasi, pelaporan dan pengawasan. Pengendalian tersebut diarahkan untuk pengendalian perencanaan dan pelaksanaan kegiatan. Pengendalian dilaksanakan sebagai berikut : 1. Pemantauan, evaluasi dan pelaporan a. Menteri Kehutanan c.q Direktur Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial dibantu oleh Kepala Balai Pengelolaan DAS setempat, melaksanakan pemantauan, evaluasi dan pelaporan. b. Gubernur dibantu Kepala Dinas Propinsi yang membidangi Kehutanan, melaksanakan pemantauan, evaluasi dan pelaporan. c. Bupati/Walikota dibantu Kepala Dinas Kabupaten/Kota yang membidangi Kehutanan melaksanakan pemantauan, evaluasi dan pelaporan. 2. Pengawasan Pengawasan dilakukan baik oleh Instansi Pengawasan Fungsional Departemen Kehutanan, Pemerintah Propinsi maupun Pemerintah Kabupaten/Kota. IV-11

BAB V PENUTUP Pedoman ini merupakan acuan dalam pelaksanaan pembuatan tanaman rehabilitasi hutan mangrove dalam rangka GN RHL/Gerhan. Diharapkan pedoman ini dapat digunakan dengan sebaik-baiknya oleh semua pihak yang terkait guna kelancaran dan mencapai keberhasilan. MENTERI KEHUTANAN MUHAMMAD PRAKOSA IV-12