Indeks Tata Kelola KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

dokumen-dokumen yang mirip
KINERJA TATA KELOLA PROVINSI SUMATERA SELATAN

KINERJA TATA KELOLA PROVINSI GORONTALO

KINERJA TATA KELOLA PROVINSI SULTENG

KINERJA TATA KELOLA PROVINSI DIY

KINERJA TATA KELOLA PROVINSI BANTEN

KINERJA TATA KELOLA PROVINSI JAWA TIMUR

KINERJA TATA KELOLA PROVINSI SULAWESI SELATAN

KINERJA TATA KELOLA PROVINSI PAPUA

KINERJA TATA KELOLA PROVINSI BALI

KINERJA TATA KELOLA PROVINSI BENGKULU

KINERJA TATA KELOLA PROVINSI DKI JAKARTA

KINERJA TATA KELOLA PROVINSI ACEH

KOMISI KEPOLISIAN NASIONAL Jl. Tirtayasa VII No. 20 Kebayoran Baru Jakarta Selatan 12160, Telp , , Fax.

KINERJA TATA KELOLA PROVINSI PAPUA BARAT

KOMISI KEPOLISIAN NASIONAL Tirtayasa VII No. 20 Kebayoran Baru Jakarta Selatan 12160, Telp , , Fax

INDEKS TENDENSI KONSUMEN (ITK) PROVINSI PAPUA TRIWULAN IV-2016

INDEK TATA KELOLA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

INDEKS TENDENSI KONSUMEN (ITK) PROVINSI PAPUA TRIWULAN I-2017

STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (SOP) BAG OPS POLRES PARIAMAN

INSTRUMEN ITK KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

WORKSHOP (MOBILITAS PESERTA DIDIK)

POTRET PENDIDIKAN PROVINSI JAWA TENGAH (Indikator Makro)

BAB V SIMPULAN, SARAN, DAN KETERBATASAN. Berdasarkan hasil analisis data yang sudah dilakukan, maka penulis

INDEKS TENDENSI KONSUMEN PROVINSI LAMPUNG TRIWULAN I-2016 DAN PERKIRAAN TRIWULAN II-2016

INDEKS TENDENSI KONSUMEN PROVINSI LAMPUNG TRIWULAN III-2015 DAN PERKIRAAN TRIWULAN IV-2015

INDEKS TENDENSI KONSUMEN (ITK) PROVINSI PAPUA TRIWULAN I-2016

6. Tanggung jawab terhadap kebenaran alokasi yang tertuang dalam DIPA Induk sepenuhnya berada pada Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran.

Yang Terhormat: 1. Menteri Kelautan RI / Eselon 1 di KKP. 2. Kepala Staf Kantor Kepresidenan. 3. Ketua Satgas IUU Fishing

Disabilitas. Website:

POTRET PENDIDIKAN PROVINSI SULAWESI BARAT (Indikator Makro)

1. Perkembangan Indeks Demokrasi Indonesia Provinsi Sulawesi Selatan 2016

INDEKS TENDENSI KONSUMEN PROVINSI LAMPUNG TRIWULAN IV-2016 DAN PERKIRAAN TRIWULAN I-2017

PEMBANGUNAN ZONA INTEGRITAS MENUJU WBK DAN WBBM

POTRET PENDIDIKAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU (Indikator Makro)

INDEKS TENDENSI KONSUMEN PROVINSI LAMPUNG TRIWULAN II-2017 DAN PERKIRAAN TRIWULAN III-2017

BAB 1 BISNIS PROSES DALAM REFORMASI BIROKRASI. A. Pendahuluan

Konstitusionalitas dan Problematika Alokasi Kursi DPR RI Pemilu Indonesia

INDEKS TENDENSI BISNIS DAN INDEKS TENDENSI KONSUMEN TRIWULAN I-2013

PEMETAAN DAN KAJIAN CEPAT

Lampu Kuning Negara Hukum Indonesia

PANDUAN PENGGUNAAN Aplikasi SIM Persampahan

INDEKS TENDENSI KONSUMEN

BAB II PERENCANAAN KINERJA

INDEKS TENDENSI KONSUMEN PROVINSI LAMPUNG TRIWULAN I-2017 DAN PERKIRAAN TRIWULAN II-2017

PERATURAN MENTERI PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA DAN REFORMASI BIROKRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 38 TAHUN 2012

I. PENDAHULUAN. pengukuran kinerja pada capacity building yang mengikuti pola reinventing

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. Sejak bergulirnya era reformasi di Indonesia yang dimulai pada tahun 1998,

INSPEKTORAT SEKRETARIAT KABINET REPUBLIK INDONESIA

INDEKS TENDENSI BISNIS DAN INDEKS TENDENSI KONSUMEN TRIWULAN I-2015

BAB I PENDAHULUAN. mendorong terjadinya perubahan serta akselerasi dalam berbagai bidang. Perubahan

STANDARD OPERASIONAL PROSEDUR TENTANG TIPIRING

Memahami Arti Penting Mempelajari Studi Implementasi Kebijakan Publik

INDEKS TENDENSI KONSUMEN PROVINSI LAMPUNG TRIWULAN II-2016 DAN PERKIRAAN TRIWULAN III-2016

PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2007 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA LEMBAGA PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN

ROAD MAP REFORMASI BIROKRASI

Setyanta Nugraha Inspektur Utama Sekretariat Jenderal DPR RI

KATA PENGANTAR. Bandung, Januari 2015 KEPALA BADAN PENANAMAN MODAL DAN PERIJINAN TERPADU PROVINSI JAWA BARAT

KESELAMATAN TRANSPORTASI DARAT Disampaikan dalam rangka Rapat Koordinasi Teknis Direktorat Jenderal Perhubungan Darat Tahun 2013

BAB I PENDAHULUAN. Kepolisian Republik Indonesia dalam upaya memenuhi kebutuhan

Assalamu alaikum Wr. Wb.

RENCANA STRATEGIS (RENSTRA)

INDEKS TENDENSI KONSUMEN PROVINSI LAMPUNG TRIWULAN III-2016 DAN PERKIRAAN TRIWULAN IV-2016

TARGET KINERJA DAN PENDANAAN POLRES BIMA KOTA TAHUN

PEMANTAUAN CAPAIAN PROGRAM & KEGIATAN KEMENKES TA 2015 OLEH: BIRO PERENCANAAN & ANGGARAN JAKARTA, 7 DESEMBER 2015

VIII. PROSPEK PERMINTAAN PRODUK IKAN

EVALUASI KURIKULUM DIKLAT BERBASIS KOMPETENSI DALAM MENINGKATKAN SOFT COMPETENCY PELAKSANA KEMENTERIAN KEUANGAN:

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA SEKRETARIAT INSPEKTORAT JENDERAL TAHUN 2016

BPS PROVINSI SUMATERA SELATAN INDEKS DEMOKRASI INDONESIA (IDI) PROVINSI SUMSEL 2015

2012, No BAB I PENDAHULUAN

STANDART OPERASIONAL PROSEDUR (SOP) SATUAN SABHARA

I. PENDAHULUAN. tinggi (Katz, dalam Moeljarto 1995). Pembangunan nasional merupakan

I. PENDAHULUAN. Reformasi di bidang kinerja pemerintahan tidak akan membuahkan hasil optimal

INDEKS TENDENSI KONSUMEN (ITK) PROVINSI BENGKULU TRIWULAN IV TAHUN 2015

Partnership Governance Index

ProfilAnggotaDPRdan DPDRI Pusat Kajian Politik Departemen Ilmu Politik FISIP UniversitasIndonesia 26 September 2014

- 1 - PERATURAN GUBERNUR SUMATERA BARAT NOMOR 62 TAHUN 2017 TENTANG PIAGAM AUDIT INTERN DI LINGKUNGAN PEMERINTAH DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT

DOKUMEN RENCANA STRATEGIS TAHUN PENGADILAN AGAMA KOTABUMI

KERANGKA ACUAN KEGIATAN (ToR) RtR

BERITA RESMI STATISTIK

Mekanisme Pelaksanaan Musrenbangnas 2017

DATA INSPEKTORAT JENDERAL

KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA SAMBUTAN PADA PEMBUKAAN MUSRENBANG POLRI TAHUN 2015 TANGGAL 25 MEI 2015

LAPORAN MINGGUAN DIREKTORAT PERLINDUNGAN TANAMAN PANGAN PERIODE 18 MEI 2018

POTRET PENDIDIKAN PROVINSI JAWA TIMUR (Indikator Makro)

INDONESIA Percentage below / above median

Dr. Ir. Kemas Danial, MM Direktur Utama

Evaluasi Kegiatan TA 2016 dan Rancangan Kegiatan TA 2017 Ditjen Prasarana dan Sarana Pertanian *)

SURAT PENGESAHAN DAFTAR ISIAN PELAKSANAAN ANGGARAN (SP-DIPA) INDUK TAHUN ANGGARAN 2017 NOMOR : SP DIPA /2017

Independensi Integritas Profesionalisme

KATA PENGANTAR. Inspektur Jenderal. M. Sakri Widhianto

4. Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor PER/18/M.PAN/11/2008 tentang Pedoman Organisasi Unit Pelaksana Teknis Kementerian dan

Langkah selanjutnya adalah terbitnya UU Kepolisian yang baru yaitu UU No 2 Tahun Karena reformasi sudah berjalan 8 (delapan) tahun, dan UU

BAB I PENDAHULUAN. Sejak tahun 1970-an telah terjadi perubahan menuju desentralisasi di antara negaranegara,

AKSES PELAYANAN KESEHATAN. Website:

Sekretariat Jenderal KATA PENGANTAR

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

2015, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepoti

PENINGKATAN TRANSPARANSI DAN AKUNTABILITAS APARATUR DALAM KERANGKA REFORMASI BIROKRASI

Laporan Eksekutif. Indeks Tata Kelola Polri Tingkat Polres/Polresta/Polrestabes/Polres Metro

KINERJA TATA KELOLA PROVINSI RIAU

Transkripsi:

KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Laporan Eksekutif Indeks Tata Kelola KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DALAM RANGKA REFORMASI TATA KELOLA MEWUJUDKAN APARATUR POLRI YANG BERSIH DAN BEBAS DARI KKN, MENINGKATNYA KUALITAS PELAYANAN PRIMA KEPOLISIAN SERTA PENINGKATAN KAPASITAS DAN AKUNTABILITAS KINERJA.

Laporan Eksekutif Indeks Tata Kelola KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DALAM RANGKA REFORMASI TATA KELOLA MEWUJUDKAN APARATUR POLRI YANG BERSIH DAN BEBAS DARI KKN, MENINGKATNYA KUALITAS PELAYANAN PRIMA KEPOLISIAN SERTA PENINGKATAN KAPASITAS DAN AKUNTABILITAS KINERJA.

LAPORAN EKSEKUTIF Indeks Tata Kelola KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Penyusun: Tim Peneliti ITK Layout: ASTANA communication Cetakan Pertama, Oktober 2015 ISBN 978-602-1616-50-5 Diterbitkan oleh: Kemitraan Bagi Pembaruan Tata Pemerintahan (The Partnership For Governance Reform) Jl. Wolter Monginsidi No.3, Kebayoran Baru Jakarta Selatan, 12110 Telp. 021-7279 9566, Fax. 021-7205 260/7204 916 Website: www.kemitraan.or.id Didukung oleh : Australian Government, Departemen of Foreign Affairs and Trade

iii LAPORAN EKSEKUTIF Kata Pengantar Dalam sebuah negara yang sedang melakukan transisi demokrasi seperti Indonesia, aturan hukum menjadi salah satu faktor penting berhasil tidaknya demokrasi dijalankan. Oleh karenanya, Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) sebagai salah satu institusi yang diberi kewenangan untuk menegakan aturan hukum di Indonesia dituntut untuk dapat menegakkan hukum dan keadilan. Selain itu, UU Kepolisian juga memberi amanat kepada Polri yakni pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat (Harkamtibmas), serta perlindungan, pengayoman, dan pelayanan (Linyomyan) kepada masyarakat. Guna mengoptimalkan fungsi-fungsi tersebut, Polri menerjemahkannya ke dalam program Reformasi Birokrasi Polri (RBP) dengan tiga fokus utama, yakni (1) Aspek struktural; (2) Aspek instrumental; dan (3) Aspek kultural. Tiga aspek tersebut selain bertujuan untuk dapat mengoptimalkan fungsi Polri sesuai UU, juga menciptakan personel Polri yang humanis, anti Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN), serta professional. Program RBP telah berjalan dua tahap, dan hasilnya menunjukkan terjadinya serangkaian perubahan pada aspek struktural dan instrumental lembaga Polri yang dapat dilihat langsung oleh publik. Namun demikian, perubahan secara kultural yang menitikberatkan pada culture set dan mind set sebagai upaya mengubah kebiasaan, anggapan, persepsi, perilaku, motif bekerja ataupun keyakinan yang salah selama ini belum dapat dirasakan secara langsung oleh rakyat. Salah satu penyebabnya karena belum ada alat ukur yang dapat digunakan untuk melihat sejauh mana ketiga aspek tersebut, khususnya kultural telah mengalami perbaikan, sehingga publik menganggap reformasi kultural di tubuh Polri belum terjadi.

iv INDEKS TATA KELOLA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Indeks Tata Kelola Kepolisian Negara Republik Indonesia (ITK) mencoba mengukur sejauh mana reformasi kultural di tubuh Polri telah bergulir, sehingga perubahan demi perubahan yang telah terjadi dapat dilihat secara jelas berdasarkan fakta data, serta persepsi publik pengguna jasa Polri. Partisipasi publik dengan latar belakang yang beragam menjadi hal penting dalam pengukuran ini. Laporan ini merupakan ringkasan hasil pengukuran ITK di 31 Polda di seluruh Indonesia yang dilaksanakan oleh Polri bersama Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan di Indonesia Partnership for Governance Reform in Indonesia, dengan dukungan dari Australia Indonesia Partnership for Justice (AIPJ). Selain menunjukkan tren kinerja Satuan Kerja Polri pada 9 Satuan Kerja (Satker), diantaranya Pembinaan Masyarakat (Binmas), Lalu Lintas (Lantas), Intelijen Keamanan (Intelkam), Polisi Perairan (Polair), Reserse Kriminal Umum (um), Reserse Kriminal Khusus ( Sus), Reserse Narkoba (Res Narkoba), Samapta Bhayangkara (Sabhara), Sumber Daya Manusia (SDM) di seluruh Polda, laporan ini juga menunjukkan peringkat per Polda secara keseluruhan, dalam hal pelayanan publik, serta capaian kinerja 31 Polda pada 3 fungsi utama, yakni Penegakan hukum, Harkamtibmas dan Linyomyan Masyarakat. Upaya perubahan yang sedang harapannya akan terus dilakukan oleh Polri dan jajarannya penting untuk dikawal oleh publik, termasuk diantaranya memberikan kritik yang membangun. ITK dapat menjadi pintu masuk bagi publik untuk terus memberikan dukungan sekaligus kritik berdasarkan hasil kajian yang dapat dipertanggungjawabkan. Dengan ini, diharapkan Polri dapat melanjutkan Reformasi Polri tahap selanjutnya. Monica Tanuhandaru Direktur Eksekutif

v LAPORAN EKSEKUTIF Kata SAMBUTAN Assalamu alaikum Wr.Wb Benih-benih keterbukaan telah dirintis sejak reformasi 1998 yang menuntut adanya praktik tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) dan bersih dari praktik-praktik KKN (clean government). Seluruh elemen masyarakat menuntut pemerintah untuk menjadi lebih transparan dan menginginkan agar mereka diikutsertakan dalam proses perencanaan, pengambilan keputusan, dan pengawasan pemerintahan. Momentum reformasi nasional ini juga membawa perubahan paradigm dilingkungan kepolisian menuju Polri sipil yang mandiri, profesional, modern, humanis, dan anti KKN. Perubahan paradigm Polri dilakkan melalui program reformasi birokrasi Polri yang menyasar pada delapan area perubahan, yang meliputi penataan dan penguatan organisasi, penguatan tata laksana, penataan peraturan perundang-undangan, peningkatan kualitas pelayanan publik, penataan sistem manajemen SDM aparatur, manajemen perubahan, penguatan pengawasan, dan penguatan akuntabilitas kinerja. Reformasi Birokrasi Kepolisian adalah upaya untuk melakukan pembaharuan dan perubahan mendasar terhadap sistem pemolisian, dimana sasaran reformasi birokrasi adalah mengubah pola pikir (mind set) dan budaya kerja (culture set) serta sistem manajemen kepolisian. Kelemahan reformasi birokrasi selama ini adalah terlalu makro, selalu diasosiasikan sebagai perubahan kesisteman/ organisasional, dan bukan pembenahan komponen-komponen mikro birokrasi. Disamping itu, reformasi yang ada selama ini juga lebih banyak berasal dari luar, serta dilakukan oleh aktor di luar birokrasi itu sendiri. Akibatnya, proses reformasi kurang sesuai dengan kebutuhan riil dan kurang dapat diimplementasikan secara optimal. Polri mengikuti self assessment dari Kemenpan dan RB secara cascading melakukan pengukuran Indeks Tatakelola Kepolisian (ITK) dengan mengajak Partnership for Governance Reform (Kemitraan) sebagai mitra peneliti. ITK

vi INDEKS TATA KELOLA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA yang dikembangkan bersama Polri dan Kemitraan merupakan instrument yang mengukur kinerja dan capaian program reformasi birokrasi dengan menggunakan prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik yang bersifat obyektif dan komprehensif berdasarkan bukti (evident based), sebagai tolok ukur kemajuan yang dicapai secara obyektif, fair, dan akurat dan menciptakan iklim kompetitif yang sportif antar Kepolisian Daerah. Dengan ITK akan diperoleh manfaat berupa potret kinerja dan capaian Reformasi Birokrasi Kepolisian pada sembilan arena/satker di 32 Polda, yang secara universal diyakini berkontribusi dalam implementasi ITK. Kesembilan arena/satker tersebut adalah Sabhara, Umum, Khusus, Narkoba, Lalu Lintas, Intelkam, Binmas, Polair, dan Sumber Daya Manusia. Adapun hasil dari pengukuran Indeks Tata Kelola Kepolisian, disajikan kepada para pembaca sekalian. Semoga apa yang kami kerjakan selalu mendapat limpahan rahmat dan hidayah dari Allah Yang Maha Kuasa. Wassalamu alaikum Wr.Wb. M. NAUFAL YAHYA, M.Sc.Eng BRIGADIR JENDERAL POLISI Kepala Biro Reformasi Birokrasi Polri selaku Pimpinan Proyek

vii LAPORAN EKSEKUTIF DAFTAR ISI KATA PENGANTAR KATA SAMBUTAN DAFTAR SINGKATAN iii v viii I. PENDAHULUAN 1 1. Umum 1 2. Maksud dan tujuan 3 3. Pengertian-pengertian 4 II. HASIL YANG DICAPAI 6 4. Tren Nasional Kinerja di 31 Polda 6 5. Identifikasi Kekuatan dan Kelemahan Tata Kelola Kinerja Polri 8 LAMPIRAN METODOLOGI ITK 28 Latar Belakang 28 Kenapa Indeks? 29 ITK sebagai Pelengkap Sistem Evaluasi Internal 30 Cakupan Indeks 30 Kerangka Pengukuran 31 Pemilihan Indikator 34 Sumber dan Jenis Data 35 Proses Data Menjadi Indeks 36 Bobot Penilaian Per Satker 37 LAMPIRAN INDEKS TATA KELOLA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA 40

viii INDEKS TATA KELOLA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DAFTAR SINGKATAN POLRI : Kepolisian Republik Indonesia MABES : Markas Besar POLDA : Kepolisian Daerah BINMAS : Pembinaan Masyarakat LANTAS : Lalu Lintas RESKRIM : Reserse Kriminal POLAIR : Polisi Air SABHARA : Satuan Bhayangkara INTELKAM : Intelejen dan Keamanan SDM : Sumber Daya Manusia DSPP : Daftar Susunan Personel dan Perlengkapan PILUN : Piranti Lunak/ SOP Kesbanglinmas : Kesejahteraan Pembangunan dan Perlindungan Masyarakat KPK : Komisi Pemberantasan Korupsi KemenPAN : Kementrian Pendayagunaan Aparatur Negara LSM : Lembaga Swadaya Masyarakat

1 LAPORAN EKSEKUTIF I. PENDAHULUAN 1. Umum Momentum reformasi nasional tahun 1998 menjadi tonggak dimulainya gelombang reformasi periode pertama. Terdapat keinginan kuat dari masyarakat luas untuk melakukan perubahan demi terwujudnya pemerintahan yang demokratis dan terciptanya kesejahteraan rakyat sebagaimana amanat pembukaan UUD 1945. Selanjutnya moment tersebut menjadi titik awal dimulainya reformasi Polri secara menyeluruh menuju Polri yang profesional dan mandiri, sesuai tuntutan dan harapan masyarakat. Kepolisian telah mencanangkan reformasi secara gradual yang meliputi reformasi bidang instrumental, struktural dan kultural. Keseluruhan tahapan reformasi dituangkan dalam Grand Strategy Polri 2005 2025 yang terbagi menjadi 3 tahap. Lima tahun pertama 2005 2009 dikenal dengan Trust Building, tahap kedua tahun 2010 2014 partnership building, tahap ketiga tahun 2015 2024 strive for excellent yang terbagi dalam dua kegiatan yaitu tahun 2015 2019 strive for excellent dan tahun 2020-2024 adalah excellent sebagai wujud pelayanan prima Kepolisian. Seiring program nasional bidang Reformasi Birokrasi, sejak tahun 2004 sampai dengan tahun 2009 Polri melaksanakan program Reformasi Birokrasi gelombang pertama. Yaitu meliputi 5 area perubahan bidang kelembagaan, budaya organisasi, ketatalaksanaan, regulasi-deregulasi dan SDM. Kemudian dilanjutkan Reformasi Birokrasi gelombang kedua tahun 2011-2014 dengan 8 (delapan) area perubahan bidang Organisasi, Tata Laksana, Peraturan Perundang-undangan, SDM Aparatur, Pengawasan, Akuntabilitas, Pelayanan Publik dan Mind Set dan Culture Set Aparatur. Dalam sepuluh tahun implementasi Grand Strategy, Polri telah berhasil mencapai kemajuan dan perbaikan dalam kinerjanya. Terbukti pada tahun 2010 Tim independen Reformasi Birokrasi Nasional (RBN) telah melakukan

2 INDEKS TATA KELOLA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA penilaian terhadap pelaksanaan Reformasi Birokrasi Polri (RBP) gelombang pertama, terhadap 4 (empat) unsur pokok area perubahan, yaitu: quick wins, kelembagaan, ketatalaksanaan, dan sumber daya manusia. Hasil rangkuman penilaian tim independen ini menunjukkan bahwa secara rata-rata nilai Polri adalah Baik yaitu sebesar 3.63, dengan kesimpulan bahwa Polri telah siap untuk melaksanakan Reformasi Birokrasi. Penilaian berdasarkan masing-masing unsur, didapati bahwa program quick wins Polri memperoleh nilai yang paling baik, yaitu 3,88, dibandingkan dengan 3 (tiga) unsur yang lainnya (kelembagaan 3,66; SDM 3,55; dan tatalaksana 3,42). Hal ini menunjukkan upaya Polri dalam melakukan program quick wins dapat berdampak nyata dan membuahkan hasil serta dirasakan oleh masyarakat. Program quick wins ini, terutama terkait dengan peningkatan pelayanan quick respons Sabhara, transparansi pelayanan di bidang SIM, STNK dan BPKB, transparansi pelayanan di bidang penyidikan dan transparansi pelayanan di bidang rekruitmen anggota Polri. Tentu semua itu perlu untuk terus ditingkatkan. Sebagai wujud nyata kesiapan Polri melaksanakan program Reformasi Birokrasi, Pemerintah memberikan tunjangan kinerja. Sedangkan penilaian RBP dengan sistem Penilaian Mandiri Pelaksanaan Reformasi Birokrasi (PMPRB) oleh KemenPANRB pada tahun 2015 diperoleh nilai 67,23 kategori B. Hasil penilaian ini diikuti dengan persetujuan penyesuaian tunjangan kinerja terhitung mulai 1 Mei 2015, berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 89/VII/2015 tanggal 31 Juli 2015 tentang Tunjangan Kinerja Pegawai di Lingkungan Polri. Selain itu hasil pemeriksaan BPK RI, mendapat predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dan meningkatnya nilai AKIP Polri tahun 2014 yang berkategori Baik dibandingkan tahun 2013 yang masih berkategori CC. Namun demikian masih banyak gejala dalam masyarakat yang menunjukkan rendahnya kepercayaan publik terhadap Polri. Padahal seharusnya mendapat kepercayaan masyarakat merupakan tujuan dari reformasi di tahap pertama dan harus sudah dicapai tahun 2010. Indikasi kurangnya kepercayaan masyarakat terhadap Polri juga terlihat dari tren semakin meningkatnya jumlah pelanggaran hukum; penggunaan slogan-slogan yang memojokkan Polri; keburukan yang terjadi terhadap Polri baik institusi maupun personel kerap diekspos media masa secara masif, sehingga memperburuk citra Polri. Untuk itu, diperlukan pengukuran yang komprehensif, yang mampu menggambarkan pencapaian tugas pokok Polri. Tugas pokok Polri ini selaku pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat, memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat serta penegakan hukum. Dalam mewujudkan aparatur

3 LAPORAN EKSEKUTIF Polri yang bersih dan bebas dari KKN, peningkatan kualitas pelayanan prima kepolisian dan peningkatan kapasitas dan akuntabilitas kinerja Polri, diperlukan pengukuran terhadap aspek tata kelola secara spesifik yang menunjukkan fungsifungsi yang bermasalah guna perbaikan. Untuk menjawab kebutuhan tersebut diperlukan Indeks Tata Kelola Kepolisian Negara Republik Indonesia (ITK) yang bersifat obyektif dan komprehensif. ITK ini sekaligus dapat digunakan sebagai landasan untuk pengambilan kebijakan berdasarkan bukti (evident based), sebagai tolok ukur kemajuan yang dicapai, dan sebagai alat untuk memperbandingkan kinerja secara obyektif, fair, dan akurat. Untuk itu, Polri berinisiatif menggandeng Kemitraan berdasarkan Nota Kesepahaman Nomor: B/55/XII/2014 Nomor: 005/MoU/Des/2014 tanggal 16 Desember 2014 tentang Penyusunan Indeks Tata Kelola Kepolisian Negara Republik Indonesia Dalam Rangka Pengukuran Kinerja Pelaksanaan Reformasi Birokrasi. Implementasinya, pada bulan Februari - Maret 2015 telah dilaksanakan pengukuran kinerja di 31 Polda, berdasarkan tujuh prinsip tata kelola kepolisian yang baik (good governance) yaitu kompetensi, responsif, perilaku, transparan, keadilan, efektivitas dan akuntabilitas. Tujuh prinsip tersebut mengukur kinerja Polri terhadap sembilan arena/ fungsi yang secara universal diyakini berkontribusi dalam implementasi ITK. ITK diimplementasikan sebagai upaya pencapaian sasaran Reformasi Birokrasi dan tugas pokok Polri dalam memberikan pelayanan prima secara internal dan eksternal yaitu pada fungsi Sabhara, (Umum, Khusus, Narkoba), Lantas, Intelkam, Binmas, Polair dan SDM. Dengan menggunakan tujuh prinsip tersebut diperoleh 142 sub indikator dan enam isu/ indikator utama. Enam isu/ indikator utama ini meliputi bidang sumber daya manusia, sarana prasarana, anggaran, pengawasan, sistem metoda dan inovasi, terhadap pelaksanaan fungsi Satker Binmas, Lalulintas, Intelkam, Polair, (Umum, Khusus, Narkoba), Sabhara dan Sumber Daya manusia. 2. Maksud dan tujuan Maksud dan tujuan disusunnya laporan eksekutif Indeks Tata Kelola Polri dalam rangka reformasi tata kelola di lingkungan Polri untuk mewujudkan aparatur Polri yang bersih dan bebas dari KKN, meningkatnya kualitas pelayanan prima kepolisian dan peningkatan kapasitas dan akuntabilitas kinerja, adalah:

4 INDEKS TATA KELOLA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA a. Memberikan gambaran sementara profil kinerja tata kelola dan kinerja Polri secara umum, profil kinerja tata kelola dan kinerja Polri di 31 Polda, peringkat tata kelola dan kinerja di 31 Polda; b. Mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan tata kelola kinerja Polri; c. Memberikan rekomendasi di 31 Polda secara utuh sehingga dapat mengoptimalkan performance sesuai dengan tugas dan fungsi yang dimiliki dalam meningkatkan capaian pelaksanaan RBP. Hal ini juga dapat dijadikan sebagai alat untuk memperbandingkan kinerja Polri secara obyektif, fair, dan akurat antar Polda di jajaran Polri. 3. Pengertian-pengertian a. Indeks Tata Kelola Kepolisian Negara Republik Indonesia (ITK) adalah instrumen untuk mengukur kinerja dan capaian program RBP dengan menggunakan 7 prinsip-prinsip tata kelola Kepolisian yang baik (good governance) yaitu kompetensi, responsif, perilaku, transparan, keadilan, efektivitas dan akuntabilitas yang bersifat obyektif dan komprehensif yang dapat digunakan sebagai landasan untuk pengambilan kebijakan berdasarkan bukti (evident based), sekaligus sebagai tolok ukur kemajuan yang dicapai, dan sebagai alat untuk memperbandingkan kinerja secara obyektif, fair, dan akurat; b. Prinsip kompetensi meliputi kapasitas dan kemampuan anggota pada Satker di tingkat Polda untuk dapat menjalankan tugasnya dengan baik. Data ini terdapat pada data obyektif (jumlah personel : DSP dan Riil), Dikjur, sarpras/ peralatan, anggaran s.d. realisasi dan piranti lunak); c. Prinsip responsif merupakan daya tanggap Satker di tingkat Polda dalam menjalankan tugasnya. Data ini terdapat pada data kuisoner internal dan ekternal; d. Prinsip perilaku mencakup sikap dan tindakan yang menjunjung tinggi nilainilai kebenaran Satker di tingkat Polda dalam menjalankan tugasnya. Data ini terdapat pada data obyektif pelanggaran kode etik, disipilin, pidana, data persepsi/ questioner ekternal/internal al: integritas; e. Prinsip transparan merupakan kondisi dimana informasi Satker di Polda dapat diakses oleh publik. Data ini diperoleh dari data obyektif uji kepatutan/ assesment, rekruitmen (ekternal yang terlibat dalam proses), uji akses, observasi pelayanan publik;

5 LAPORAN EKSEKUTIF f. Prinsip fairness (keadilan) merupakan kondisi dimana implementasi tugas oleh Satker di tingkat Polda berlaku adil kepada seluruh stakeholder tanpa terkecuali. Data ini terdapat pada data obyektif (data laki-laki/perempuan, penugasan dan sprin); g. Prinsip efektifitas merupakan ketercapaian target dan tujuan sesuai dengan perencanaan Satker di tingkat Polda. Data ini terdapat pada data yang membandingkan data-data obyektif misal anggaran penyelesaian kasus dengan anggota yang ada dll; h. Prinsip akuntabilitas merupakan pertanggungjawaban kinerja dan proses pelaksanaan tugas oleh Satker di tingkat Polda terhadap publik. Data ini terdapat pada data hasil LAKIP, Sprin dan hasil pelaksanaan tugas, jumlah sarpras yang terdaftar di SIMAK BMN.

6 INDEKS TATA KELOLA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA II. HASIL YANG DICAPAI 4. Tren Nasional Kinerja di 31 Polda Skala penilaian ITK berkisar dari angka 1 (sangat buruk) sampai dengan angka 10 (sangat baik). Ada tiga cara untuk memaknai suatu angka indeks dalam ITK. Pertama secara normatif, yaitu angka tersebut dilihat posisinya dalam skala 1-10 dengan nilai tengah 5,50. Capaian suatu Polda dapat dimaknai mengikuti skala ini. Kedua, secara kategorial, capaian suatu Polda mengikuti kelompok kategori. Dengan demikian, capaian sekitar 5,50 (tepatnya antara 4,86 6,14) adalah capaian sedang-; capaian di atas 3,57 sampai dengan 4,86 adalah cenderung buruk; sedangkan di atas 6,14 sampai dengan 7,43 adalah capaian yang cenderung baik. Berikut penjelasannya dalam gambar: Ketiga, secara relatif, yaitu menandai posisi suatu Polda diantara keseluruhan Polda yang dinilai. Pembandingnya adalah angka rata-rata nasional. Dengan demikian suatu Polda bisa disebut di atas rata-rata Nasional atau dibawah ratarata Nasional.

7 LAPORAN EKSEKUTIF Peringkat Nasional ITK Polda Jabar Polda Aceh Polda Banten Polda Kalbar Polda Jateng Polda Sulteng Polda Riau Polda Kalsel Polda Bali Polda Sumsel Polda Kepri Polda DIY Polda Sulut Polda Sulsel Polda Bengkulu Polda Metro Jaya Polda Jambi Polda Kaltim Polda Kalteng Polda NTB Polda Gorontalo Polda Sumut Polda Maluku Polda Sumbar Polda Lampung Polda Jatim Polda Sultra Polda NTT Polda Babel Polda Malut Polda Papua 5.021 5.008 4.943 4.836 4.782 5.398 5.324 5.244 5.225 5.159 5.786 5.767 5.735 5.732 5.588 5.555 5.499 6.619 Kategori 6.387 Cenderung Baik 6.218 6,141-7,430 6.141 6.123 6.119 6.042 6.024 6.008 5.915 5.855 5.830 5.819 6.767 Kategori Sedang 4,860 6,140 Rata-rata Nasional 5.693 Kategori Cenderung Buruk 3,571-4,860 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

8 INDEKS TATA KELOLA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA 5. Identifikasi Kekuatan dan Kelemahan Tata Kelola Kinerja Polri a. Temuan Menata Kebijakan Mabes Polri Melalui ITK Hasil ITK dengan menggunakan 142 indikator di sembilan Satuan Kerja (Satker) menunjukkan kinerja tata kelola Polda diseluruh Indonesia masih berada pada angka merah, rata-rata 5.69 (dari skala 1-10). Hal ini menunjukkan bahwa masih banyak yang harus diperbaiki oleh institusi Polri sebagai pembuat kebijakan maupun pembina, dan satuan kewilayahan itu sendiri (Polda) sebagai pelaksana maupun pembuat kebijakan yang sesuai dengan konteks lokal. Terlepas dari rendahnya nilai rata-rata yang diperoleh, inisiatif Polri untuk membuka dan mengevaluasi diri patut diapreasiasi. Sejak Kepolisian Republik Indonesia berdiri tahun 1946, ITK menjadi suatu upaya dalam mengevaluasi kinerja manajemen internal Polri secara menyeluruh. Sekaligus yang pertama kali dalam hal pelibatan pihak eksternal dalam jumlah yang cukup besar. Beberapa temuan utama yang diperoleh dari proses pengukuran ITK menguak titik-titik perbaikan di tubuh Polri yang selama ini mungkin tidak menjadi prioritas. Diantaranya meliputi evaluasi fungsi, evaluasi kinerja berdasarkan tujuh prinsip tata kelola kepolisian, dan kinerja antar Polda. b. Analisa Fungsi Menggalakkan Fungsi Pencegahan Untuk Efektivitas Fungsi Penindakan Dalam menjalankan fungsinya, Polri memiliki dua macam pendekatan yaitu pencegahan dan penindakan. Dalam rangka pencegahan, fungsi Polri adalah untuk memelihara keamanan, ketertiban, serta memberikan perlindungan dan pengayoman kepada masyarakat. Sedangkan dalam rangka penindakan, Polri diberi kewenangan untuk melakukan penegakaan hukum seperti yang ditentukan dalam undang-undang. Namun, sejatinya fungsi penindakan terjadi salah satunya akibat dari belum optimalnya fungsi pencegahan. Dengan memperbaiki fungsi pencegahan, maka tingkat kriminalitas dan penyimpangan hukum dapat ditekan atau menurun. Berdasarkan hasil ITK, skor rata-rata paling tinggi adalah fungsi perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat (Linyomyan) dengan skor 5.92, diikuti dengan fungsi pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat (Kamtibmas) dengan skor 5.63, dan di posisi terakhir fungsi penegakan hukum

9 LAPORAN EKSEKUTIF (Gakkum) dengan skor 5.53. Adapun pencapaian ini diperoleh dari gabungan skor rata-rata Satker-satker antara lain: Pendekatan Fungsi Satker Pelaksana Pencegahan (antisipasi) Penindakan/ Penanggulangan (mitigasi) 1. Fungsi Harkamtibmas (Pemeliharaan, Keamanan dan Ketertiban Masyarakat) 2. Fungsi Linyomyan (Perlindungan, Pengayoman dan Pelayanan) 3. Fungsi Gakkum (Penegakan Hukum) Satker Binmas, Polair dan Intelkam. Lantas, Sabhara dan SDM. Umum, Khusus dan Narkoba. Kamtibmas: Ketimpangan Sumber Daya Sesuai UU Kepolisian, pasal 14 ayat (1) huruf c, Polri mempunyai tugas untuk membina masyarakat dalam rangka meningkatkan partisipasi, kesadaran, serta kepatuhan masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan. Untuk men jalankan fungsi ini, kerjasama antara Polri dengan masyarakat sangat dibutuhkan. Namun hasil pengukuran menunjukan sampai saat ini cakupan pelayanan Kamtibmas belum mencapai kondisi ideal. Salah satunya soal jumlah personel yang belum sesuai standar internasional. Menurut Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), rasio Polisi yang ideal adalah 1:400. Sementara rasio polisi di Indonesia masih berkisar 1:613 (data per Januari 2012). Kondisi demikian sangat berdampak pada Satker Binmas. Sebagai salah satu ujung tombak fungsi Harkamtibmas, kehadiran anggota Bhayangkara Pembina Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Bhabinkamtibmas) di tengah-tengah masyarakat sangat dibutuhkan. Untuk membina, memberikan penyuluhan dan bimbingan untuk menumbuhkan sikap dan perilaku kesadaran taat hukum guna menciptakan situasi kondusif. Membangun kemitraan dengan masyarakat adalah salah satu strategi yang dilakukan Polri untuk mengatasi kesenjangan rasio ini. Dengan menjalankan program Perpolisian Masyarakat (Polmas) melalui konsep satu polisi satu desa/

10 INDEKS TATA KELOLA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA kelurahan yang dicetuskan sejak tahun 2008 sesuai Peraturan Kapolri Nomor 7 tahun. Selama hampir 7 tahun implementasinya, target satu polisi satu desa/ kelurahan belum tercapai. Disisi lain ada Polda tertentu yang terdapat lebih dari satu personil Bhabinkamtibmas pada satu desa/kelurahan. ITK menemukan adanya ketimpangan alokasi jumlah anggota di 15 Polda (50%) dari total jumlah 31 Polda. Beberapa rasio ekstrim terjadi di Polda Aceh, Sumut, Bengkulu, Gorontalo dan Maluku Utara, dimana 1 personil Bhabinkamtibmas harus memantau 4 desa. Sementara di Jawa Timur berlaku sebaliknya, 4 personil Bhabinkamtibmas untuk 1 desa atau 34,033 personil untuk 8,579 desa. Ketimpangan jumlah Bhabinkamtibmas diperburuk dengan adanya implementasi rangkap tugas. Contohnya yang terjadi pada Polda Banten, dimana anggota Polri di unit reserse misalnya, diberi tambahan untuk Skor Capaian Fungsi menjalankan fungsi Bhabinkamtibmas di satu atau dua desa. Hal ini tentu sangat menyulitkan anggota pada saat menjalankan fungsi masing-masing. Intelkam, sebagai Satker yang anggotanya memiliki talenta khusus, intelegensi tinggi, serta berfungsi untuk melakukan deteksi dini membutuhkan sarana dan prasarana untuk menunjang operasionalnya. Namun ITK menemukan kebutuhan dasar anggota Intelkam belum terpenuhi. Sarana dan prasarana disini bukan hanya kendaraan roda 2, roda 4 atau lebih, namun juga kebutuhan akan peralatan teknologi canggih dan pelatihan untuk peningkatan kapasitas. Terdapat tren bahwa jarang anggota Polri yang mau menjadi Intel karena dianggap hasil kerja tidak terlihat dan kering dibandingkan Lantas dan satuan lain yang cenderung basah. Pandangan seperti ini harus diperbaiki Polda Jabar Polda Aceh Polda Kalbar Polda Banten Polda Jateng Polda Sulteng Polda Sumsel Polda Bali Polda DIY Polda Jambi Polda Kalsel Polda Riau Polda Sulut Polda Gorontalo Polda Metro Jaya Polda Kepri Polda Sulselbar Polda Kalteng Polda NTB Polda Kaltim Polda Maluku Polda Bengkulu Polda Lampung Polda Sumut Polda Sumbar Polda Papua Polda Babel Polda Sultra Polda NTT Polda Maluku Polda Malut Utara Polda Jatim Harkamtibmas 7.234 6.747 6.457 6.408 6.173 6.145 6.099 6.080 6.079 6.061 5.975 5.902 5.874 5.729 5.712 5.678 5.647 5.566 5.565 5.562 5.552 5.545 5.232 5.193 5.067 4.800 4.724 4.639 4.625 4.397 4.146 1 3 5 7 9

11 LAPORAN EKSEKUTIF dengan cara memberikan sarana dan prasarana agar tugasnya berjalan dengan maksimal dan mampu meningkatkan Kamtibmas di Indonesia. Nasib serupa dialami oleh Polair, yang memiliki peran penting, terutama dalam menjaga Harkamtibmas untuk mensukseskan pembangunan sektor maritim yang sedang menjadi fokus pemerintah Indonesia saat ini. Salah satu sarana dan prasarana yang harus dimiliki oleh Satker Polair adalah kapal patroli perairan. Tetapi ITK menemukan bahwa sejauh ini belum ada benchmark jumlah kapal yang harus dimiliki oleh Satker Polair, baik di Polda tipe darat maupun Polda perairan yang identik dengan laut atau perairan lebih luas dibanding darat. Demikian juga dengan realisasi dukungan anggaran, dimana seharusnya Polda dengan perairan lebih luas dan pelabuhan lebih banyak mendapatkan dukungan anggaran lebih besar. Misalnya antara Polda Maluku Utara yang memiliki 27 pelabuhan dan perairan seluas 106.952,79 Km2, dengan Polda Metro Jaya yang hanya memiliki 6 pelabuhan dan luas perairan 6.977,5 Km2. Dengan wilayah perairan dua kali lebih luas, anggaran Polair Polda Maluku Utara tahun 2014 sebanyak Rp. 9.437.737.522, sementara di tahun yang sama Polda Metro Jaya mendapat anggaran Rp. 17.310.277.095. Tidak heran jika pencuri dengan leluasa menjarah Ikan Napoleon yang dilindungi, dan tidak khawatir tertangkap oleh patroli Polair. Sebab sekali patroli mengejar hingga ke samudra lepas, mereka belum tentu dapat kembali akibat kehabisan bahan bakar. Linyomyan: Integritas dan Kompetensi Tugas yang tidak kalah penting dari Polri adalah Perlindungan, Pengayoman dan Pelayanan Masyarakat (Linyomyan), karena langsung berhadapan dan melayani kebutuhan masyarakat. Karenanya, citra Polri sangat dipengaruhi oleh kinerja Satker yang paling dominan dalam menyumbang kinerja fungsi ini, seperti Lantas dan Sabhara. Ironisnya, berdasarkan persepsi baik internal anggota Polri maupun masyarakat di 27 dari 31 Polda seluruh Indonesia menempatkan nilai integritas anggota Lantas di urutan terbawah diantara 9 Satker yang diukur. Hanya Polda Sulawesi Tenggara, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Sulawesi Selatan dan Barat yang nilai integritas anggota lantasnya tidak berada di bawah, namun juga belum menjadi yang tertinggi.

12 INDEKS TATA KELOLA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Skor Capaian Fungsi Linyomyan Polda Jabar Polda Aceh Polda Riau Polda Sumsel Polda Kepri Polda Kalsel Polda Banten Polda Bengkulu Polda Sulteng Polda Jateng Polda Kalbar Polda DIY Polda Sulsel Polda Kaltim Polda Sulut Polda Bali Polda Metro Jaya Polda NTT Polda Kalteng Polda NTB Polda Gorontalo Polda Maluku Polda Malut Utara Polda Maluku Polda Jatim Polda Sumut Polda Sumbar Polda Sultra Polda Babel Polda Jambi Polda Lampung Polda Papua 7.098 6.666 6.449 6.379 6.353 6.352 6.339 6.317 6.290 6.289 6.125 6.084 6.057 6.042 6.013 5.871 5.815 5.804 5.793 5.727 5.685 5.594 5.594 5.577 5.567 5.457 5.412 5.381 5.331 5.261 4.724 1 3 5 7 9 Temuan ini menjadi pekerjaan rumah bagi Satker Lantas untuk segera dibenahi, agar secara bertahap kepercayaan masyarakat terhadap Polri kembali tinggi. Rendahnya nilai integritas salah satunya dipengaruhi oleh maraknya kasus-kasus penyimpangan yang dilakukan oleh anggota ketika menjalankan fungsinya di tengah masyarakat. Sementara itu, dengan komposisi jumlah anggota terbanyak diantara Satker yang diukur, Sabhara seharusnya dapat diandalkan oleh institusi Polri untuk mendapatkan simpati publik. Namun kenyataannya, mereka justru kerap bermasalah. Tingginya jumlah anggota yang terbukti melakukan pelanggaran, baik disiplin, kode etik maupun pidana menjadi bukti adanya masalah di masing-masing anggota Sabhara yang harus segera dibenahi. Salah satu yang harus dibenahi adalah kompetensi anggota. Hal ini berdasarkan hasil temuan ITK yang menunjukan bahwa rata-rata kurang dari setengah jumlah anggota Sabhara di Polda yang pernah mengikuti pendidikan kejuruan/pendidikan spesialis. Baik Dikjur Turjawali, Dikjur Tipiring, Dikjur Dalmas, Dikjur TPTKP, maupun Dikjur SAR. Di sisi lain, mutasi anggota tanpa terlebih dahulu ditunjang latar belakang keikutsertaan Dikjur, juga berpotensi semakin memperburuk citra Sabhara. Karena, anggota Sabhara yang tidak dilengkapi dengan keahlian tertentu berpotensi besar melakukan pelanggaran. Karena dalam pelaksanaan tugasnya, mereka langsung berinteraksi dengan masyarakat, misalnya dalam patroli, penertiban tindak pidana ringan, maupun pengamanan demonstrasi.

13 LAPORAN EKSEKUTIF Satker yang memiliki kontribusi besar dalam mutasi dan pengembangan kompetensi anggota yang ada di Polda adalah satker SDM, bahkan dari proses rekrutmen hingga penempatan anggota pada jabatan-jabatan strategis. Untuk meminimalisasi kecurangan pada setiap prosesnya, Polri telah mengeluarkan peraturan diantaranya melalui Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 13 Tahun 2010 tentang pengawasan eksternal penerimaan calon anggota Polri. Hasil ITK menunjukan bahwa mayoritas (20 dari 31) Polda telah menjalankan Perkap tentang jumlah pengawas eksternal dalam proses rekruitmen brigadir dan perwira. Namun, 11 Polda diantaranya masih belum sepenuhnya patuh. Dari mulai jumlah pengawas eksternal yang tidak sesuai dengan aturan (yakni maksimal 5 pengawas), hingga tidak melibatkan pengawas eksternal sama sekali, contohnya Polda Papua, Sumbar, dan Jambi. Dalam hal penempatan anggota, Polri juga telah membuat sebuah mekanisme seputar uji kepatutan dan kelayakan melalui assessment center di setiap Polda. Dengan adanya mekanisme ini, diharapkan dapat melibatkan semakin banyak anggota yang memiliki kualifikasi untuk mendaftar. Dengan demikian bisa didapatkan personel yang benar-benar kompeten untuk menduduki jabatan tersebut. Namun demikian, sejauh ini hanya Polda Yogyakarta dan Jawa Barat yang telah memiliki inovasi untuk mempublikasikan informasi uji kepatutan dan kelayakan di website, agar dapat diakses oleh internal Polri yang berminat maupun publik secara luas. Survei Tambahan: Kinerja Prosedural Layanan Publik Bersamaan dengan proses rangking ITK, diadakan pula Survei Layanan Publik menggunakan instrumen yang ada pada Permenpan No.38/2012 tentang Kinerja Layanan Publik. Instrumen ini dianggap mampu menangkap standar minimum pelayanan secara procedural. Terdapat 31 indikator dalam survei ini, memakai skala nilai berbeda dengan ITK yaitu 0-1000 pada masing-masing layanan. Instrumen ini digunakan untuk melihat ketersediaan informasi dasar sesuai prosedur di loket pelayanan, SOP, sarana dan hasil evaluasi IKM. Berikut adalah tabel rangking keseluruhan kinerja Satker pelayanan publik di Satker Lantas untuk pelayanan SIM, STNK, BPKB, serta Intelkam untuk SKCK.

14 INDEKS TATA KELOLA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Grafik Kinerja Layanan Publik di Lantas dan Intelkam Polda Sumsel (1) Polda Metro Jaya (2) Polda Kalbar (3) Polda Aceh (4) Polda Jabar (5) Polda Jateng (6) Polda Kaltim (7) Polda Riau (8) Polda Sumut (9) Polda Sulselbar (10) Polda Sumbar (11) Polda Banten (12) Polda Sulteng (13) Polda Jatim (14) Polda Bali (15) Polda Bengkulu (16) Polda Kalteng (17) Polda Gorontalo (18) Polda Sulut (19) Polda DIY (20) Polda Kalsel (21) Polda Lampung (22) Polda Sultra (23) Polda NTB (24) Polda Jambi (25) Polda Babel (26) Polda Malut (27) Polda Kepri (28) Polda Maluku (29) Polda Papua (30) Polda NTT (31) 3827 3522 3349 3320 3217 3175 3079 2891 2891 2841 2819 2818 2817 2710 2686 2681 2588 2572 2533 2524 2514 2427 2419 2341 2328 2163 2124 1981 1836 1824 1661 0 500 1000 1500 2000 2500 3000 3500 4000

15 LAPORAN EKSEKUTIF Grafik Kinerja Layanan Publik SIM Polda Sumsel (1) Polda Metrojaya (2) Polda Jateng (3) Polda Jabar (4) Polda Jatim (5) Polda Kalbar (6) Polda Aceh (7) Polda Bengkulu (8) Polda Sulsel (9) Polda NTBN (10) Polda Bali (11) Polda Kaltim (12) Polda Sumut (13) Polda Sulteng (14) Polda Bantenn (15) Polda Sultra (16) Polda Riau (17) Polda Gorontalo (18) Polda Lampung (19) Polda Sumbar (20) Polda Sulut (21) Polda Malut (22) Polda Kalsel (23) Polda Kalteng (24) Polda DIY (25) Polda Kepri (26) Polda Jambi (27) Polda Babel (28) Polda NTT (29) Polda Papua (30) Polda Maluku (31) 975 940 930 930 860 852 835 800 742 717 707 697 697 695 687 675 665 655 635 620 612 610 560 552 547 535 527 512 462 427 385 Untuk layanan SIM, tiga Polda yang menduduki peringkat teratas adalah Sumatera Selatan, Metro Jaya dan Jawa Tengah dengan nilai rata-rata lebih dari 900. Hal ini menandakan bahwa ketiga Polda tersebut telah memenuhi persyaratan minimal ketersediaan info dan prosedur pelayanan publik. Sedangkan tiga Polda terbawah yaitu Nusa Tenggara Timur, Papua dan Maluku mendapatkan skor rata-rata kurang dari 500. Hal ini menunjukkan ketiadaan prosedur minimal pelayanan publik.

16 INDEKS TATA KELOLA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Grafik Kinerja Layanan Publik STNK Polda Kalbar (1) Polda Sumsel (2) Polda Metrojaya (3) Polda Kaltim (4) Polda Jabar (5) Polda Bali (6) Polda Kalteng (7) Polda Sumut (8) Polda Aceh (9) Polda Banten (10) Polda Riau (11) Polda Jateng (12) Polda Kalsel (13) Polda Bengkulu (14) Polda DIY (15) Polda Sultra (16) Polda Sulsel (17) Polda Sumbar (18) Polda Jambi (19) Polda Jatim (20) Polda Sulteng (21) Polda Lampung (22) Polda Malut (23) Polda NTB (24) Polda Sulut (25) Polda Gorontalo (26) Polda Papua (27) Polda Babel (28) Polda Maluku (29) Polda Kepri (30) Polda NTT (31) 990 990 980 960 955 945 937 877 850 847 847 785 780 762 750 747 747 737 702 695 685 645 622 615 607 605 557 552 542 537 500 Untuk layanan STNK, tiga Polda yang menduduki peringkat teratas adalah Kalbar, Sumsel dan Metro Jaya dengan nilai rata-rata hampir sempurna. Skor ini menunjukkan bahwa ketiga Polda tersebut sudah siap menuju ke layanan lebih professional dan berorientasi pada peningkatan tingkat kepuasan pengguna. Sedangkan tiga posisi terbawah diduduki oleh Polda Maluku, Kepulauan Riau dan NTT. Skor rendah ini disumbang oleh ketiadaan standarisasi ISO, Sistem pengaduan, IKM, dan penetapan target kinerja pelayanan.

17 LAPORAN EKSEKUTIF Grafik Kinerja Layanan Publik BPKB Polda Kalbar (1) Polda Sumsel (2) Polda Metrojaya (3) Polda Sulteng (4) Polda Sumbar (5) Polda Riau (6) Polda Aceh (7) Polda Sumut (8) Polda Jabar (9) Polda Sulsel (10) Polda Kaltim (11) Polda Jatim (12) Polda Jateng (13) Polda DIY (14) Polda Bengkulu (15) Polda Kalteng (16) Polda Sulut (17) Polda Gorontalo (18) Polda Lampung (19) Polda Bali (20) Polda Banten (21) Polda Jambi (22) Polda Kalsel (23) Polda Malut (24) Polda Sultra (25) Polda NTB (26) Polda Papua (27) Polda Babel (28) Polda Maluku (29) Polda NTT (30) Polda Kepri (31) 837 835 802 785 775 775 770 760 750 737 712 692 635 625 612 602 597 592 587 565 557 480 477 412 412 397 1000 990 987 950 947 Untuk Layanan BPKB, posisi teratas diduduki oleh Polda Kalbar, Sumsel dan Metrojaya dengan skor nyaris sempurna. Disini Kalbar bahkan mendapatkan nilai sempurna yang menandakan bahwa Kalbar siap untuk mengevaluasi kinerja sendiri dari pihak eksternal dan peningkatan mutu pelayanan. Sedangkan posisi tiga terbawah adalah Polda Maluku, NTT dan Kepri dengan perolehan skore kurang dari 450.

18 INDEKS TATA KELOLA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Skor Survey Layanan Publik SKCK Polda Sumsel (1) Polda Aceh (2) Polda Jateng (3) Polda Banten (4) Polda Gorontalo (5) Polda Kaltim (6) Polda Sulut (7) Polda Babel (8) Polda Metrojaya (9) Polda Kalsel (10) Polda Sulsel (11) Polda Jabar (12) Polda Riau (13) Polda Lampung (14) Polda Sumbar (15) Polda Sumut (16) Polda Kepri (17) Polda Kalbar (18) Polda Jambi (19) Polda Maluku (20) Polda Sulteng (21) Polda DIY (22) Polda NTB (23) Polda Sultra (24) Polda Bali (25) Polda Kalteng (26) Polda Jatim (27) Polda Bengkulu (28) Polda Papua (29) Polda Malut (30) Polda NTT (31) 700 682 677 647 622 622 615 582 577 547 542 522 515 515 512 507 502 497 487 477 452 432 422 387 385 382 360 305 287 872 800 Untuk layanan SKCK yang berada dibawah Satker Intelkam, posisi teratas diduduki oleh Sumsel, Aceh dan Jateng dengan perolehan nilai rata-rata 850. Skor ini menunjukkan bahwa terdapat ruang perbaikan bagi polda untuk memperbaiki sistem dan prosedur dasar layanan publik. Tiga posisi terbawah diduduki oleh Papua, Maluku Utara dan NTT dengan skor kurang dari 400. Hal ini menunjukkan bahwa belum adanya informasi dasar, saranan dan prasarana untuk layanan publik.

19 LAPORAN EKSEKUTIF Fungsi Penegakan Hukum yang Tertatih Skor Capaian Fungsi Gakkum Polda Aceh Polda Banten Polda Bali Polda Kalbar Polda Riau Polda Jabar Polda Jateng Polda Sulteng Polda Jambi Polda Kalsel Polda Metro Jaya Polda Jatim Polda Sulsel Polda Kepri Polda Sulut Polda Kaltim Polda Sumsel Polda Bengkulu Polda Sumut Polda Kalteng Polda DIY Polda NTB Polda Sumbar Polda Lampung Polda Gorontalo Polda Sultra Polda Maluku Polda Papua Polda Babel Polda NTT Polda Maluku Polda Malut Utara 6.443 6.415 6.120 6.073 6.007 5.970 5.962 5.934 5.815 5.799 5.775 5.769 5.754 5.713 5.603 5.592 5.547 5.495 5.435 5.405 5.403 5.373 5.207 5.184 5.083 5.011 4.828 4.821 4.723 4.597 4.516 1 3 5 7 9 Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Indonesia, Lima Daerah Paling Rawan Kriminalitas di Indonesia yang dirilis tahun 2015 antara lain; DKI Jakarta, Sumatra Utara, Sumatera Selatan, Jawa Tengah dan Sumatera Barat. Data tersebut seolah memperkuat hasil temuan ITK pada fungsi Gakkum, dimana rangking kelima Polda tersebut cenderung memiliki skor yang rendah dan berada di peringkat tengah dan bawah. Jika dilihat secara utuh, belum maksimalnya upaya pencegahan yang ada pada dua fungsi sebelumnya juga berkontribusi menjadikan kinerja Gakkum rendah. Namun, secara spesifik faktor yang menurunkan nilai Gakkum adalah rendahnya perolehan prinsip akuntabilitas, kompetensi dan keadilan di tiga Satker Reserse. Sebagai hasil dari rendahnya kinerja ketiga prinsip tersebut, tingkat efektitas penegakkan hukum menjadi rendah. Hal ini tercermin pada jumlah berkas kasus yang berhasil dipersidangkan (P21) tergolong masih rendah, rata-rata untuk Krimum adalah 56% dari total kasus 19.670 kasus (tanpa data NTT), sedangkan Krimsus, 32% dari total 4.329 kasus tahun 2014. Secara keseluruhan, efektifitas fungsi penegakan hukum menjadi rendah karena kasus yang masuk dan bisa ditindaklanjuti hanya berkisar 44% dari total kasus yang masuk. Untuk Resnarkoba, total kasus kejahatan Narkoba adalah 14.653 kasus, hanya 4.135 kasus yang ditangani dan 3.906 yang lanjut ke proses persidangan. Lebih jauh, rendahnya keadilan di ketiga Satker tersebut dipengaruhi oleh terbatasnya jumlah penyidik perempuan dibanding laki-laki di seluruh Polda. Jumlah penyidik perempuan pada Satker um tahun 2014 yang diterima oleh peneliti yang tertinggi hanya 32% di Polda Bali dan paling rendah 0% di

20 INDEKS TATA KELOLA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA antaranya Polda NTT. Tapi anehnya, penyidik perempuan pada Res Narkoba di Polda NTT menjadi yang terbanyak dengan 50% dan terendah 0%, di antaranya Polda Kalbar. Pun demikian dengan Polda Kalbar yang menjadi pemilik penyidik perempuan tertinggi dengan 40% di sus dan terendah 0%, di antaranya Polda Aceh. 45% 40% 35% 30% 25% 20% 15% 10% 5% 0% Polda Kalbar Polda Lampung Polda Riau Polda Jateng Polda Metro Jaya Polda Maluku Polda Jatim Polda Bali Polda Sulut Rasio Jumlah Anggota Penyidik Perempuan Polda Kaltim Polda Bengkulu Polda Jabar Polda Sumut Polda NTB Polda Sulsel Polda Sulteng Polda Kalsel Polda Aceh Polda Sumsel Polda Sumbar Polda Sultra Polda Papua Polda NTT Polda Maluku Polda Malut Utara Polda Kepri Polda Kalteng Polda Jambi Polda Gorontalo Polda DIY Polda Banten Polda Babel Dalam menjalankan fungsinya, rata-rata rasio jumlah penyidik laki-laki dan perempuan sangat timpang. Hanya tiga polda yaitu Polda Kalbar, Lampung dan Riau yang memiliki penyidik perempuan lebih dari 30%. Selebihnya yaitu 13 Polda hanya memiliki rata-rata 10%, bahkan terdapat 13 Polda yang sama sekali tidak memiliki penyidik perempuan. Penambahan jumlah penyidik perempuan menjadi langkah kongkrit yang harus segera dilakukan oleh ketiga Satker. Hal ini mengingat tren kejahatan terhadap perempuan maupun yang melibatkan perempuan semakin tinggi. Salah satu contohnya adalah data Komnas Perempuan yang menunjukkan bahwa dalam tiga tahun terakhir angka kekerasan terutama seksual terhadap perempuan meningkat, dari 119.107 kasus di tahun 2011, menjadi dua kali lipat di tahun 2012 yakni 216.156 kasus, dan di tahun 2013 sebanyak 279.760 kasus. Jika tidak segera dilakukan, maka akan menghambat fungsi penegakan hukum. Lebih lanjut bahkan menambah trauma pada korban perempuan, terutama pada kasus-kasus seperti Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), perkosaan dan sejenisnya.

21 LAPORAN EKSEKUTIF Arena ANALISA PRINSIP TREN NASION AL INDEKS TATA KELOLA KEPOLISIAN 2015 SKOR RATA-RATA PER PRINSIP Indeks Total Per Satker Prinsip Tata Kelola Kepolisian Kompetensi Responsif Perilaku Transparansi Keadilan Efektivitas Akuntabilitas Binmas 6,17 4,93 5,81 7,77 4,72 6,06 6,53 4,81 Lalu Lintas 6,71 5,03 7,32 8,27 9,02 4,41 5,02 4,78 Intelkam 5,52 5,43 6,50 7,19 6,23 4,31 3,69 4,79 Polair 5,20 2,83 5,98 7,06 5,06 7,14 6,13 4,77 um 5,24 4,87 5,79 7,56 4,58 4,88 4,09 4,74 sus 5,74 5,00 6,34 7,63 5,45 5,05 5,53 4,75 Narkoba 5,60 4,33 6,30 7,62 5,45 4,85 5,18 4,78 Sabhara 5,39 4,51 7,09 7,46 5,06 3,43 2,54 4,79 SDM 5,65 5,16 5,55 7,87 6,72 4,76 4,78 5,01 Rata-rata 5,69 4,68 6,30 7,60 5,81 4,99 4,83 4,80 Nasional Catatan: ITK menggunakan 90% data objektif dan 10% data persepsi dn observasi. Data bersumber dari seluruh Polda tahun 2014 Tren Nasional Indeks Tata Kelola Kepolisian 2015 dapat dilihat dari dua sisi, yaitu berdasarkan prinsip tata kelola dan Tren Nasional Per berdasarkan performance Satker. Satker Berdasarkan tujuh prinsip tata kelola kepolisian, tiga prinsip yang mendapatkan skor rata-rata tertinggi adalah Perilaku (7,6), Responsif (6,3) dan Transparansi (5,81), sedangkan prinsip dengan skor terendah adalah Kompetensi (4,68), Akuntabilitas (4,8), Efektivitas (4,83), dan Keadilan (4,99). Bila kita memberi batasan skor dibawah 5 mendapat nilai merah, maka prinsip akuntabilitas merupakan Lalu Lintas Binmas sus SDM Intelkam Sabhara um Polair 6.71 6.17 5.74 5.65 5.60 5.52 5.39 5.24 5.20 1 3 5 7 9

22 INDEKS TATA KELOLA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA pemilik skor merah terbanyak. Tetapi bila melihat skor rata-rata Nasional terkecil yaitu kompetensi dengan skor rata-rata hanya 4,68. Dengan demikian, yang dapat menjadi perhatian bagi Polri dalam program prioritasnya adalah peningkatan Kompetensi, Akuntabilitas, Efektivitas, dan Keadilan. Berdasarkan Performance Satker (kinerja satker), menggunakan skala penilaian indeks, kinerja satker secara Nasional (antara 5,20 sampai 6,71) hanya masuk diantara Skala Sedang dan Cenderung Baik. Sementara kinerja Satker yang memperoleh skor di atas rata-rata nasional adalah Lantas, Binmas dan sus. Selebihnya berada dibawah nilai rata-rata nasional. Perilaku vs Akuntabilitas: Tantangan Membudayakan Integritas Skor prinsip rata-rata nasional tertinggi diperoleh pada prinsip Perilaku Polda. Prinsip Perilaku memiliki skor rata-rata tertinggi yaitu 7,60. Sedangkan yang terendah yaitu Prinsip Kompetensi (4,68). Namun bila melihat prinsip yang memiliki skor merah terbanyak yaitu Prinsip Akuntabilitas. Meskipun Prinsip Perilaku memiliki rata-rata skor tertinggi, namun indikator penyusunnya yaitu integritas mendapatkan nilai yang lebih rendah dibanding indikator personel yang melakukan pelanggaran. Bahkan ada temuan menarik yang perlu mendapat perhatian. Di dalam Prinsip Perilaku, Satker Lantas memperoleh skor tertinggi (8,27). Tetapi berdasarkan hasil survei ditemukan tren di 27 Polda yang menunjukan skor indikator integritas Satker Lantas terendah diantara Satker lainnya. Padahal indikator integritas merupakan sub dari Prinsip Perilaku. Hal ini menjadi peringatan bagi jajaran pengambil keputusan Polri bahwa wajah Polri ditentukan oleh Satker-Satker yang berada di ujung tombak pelayanan publik. Jika Satker bersangkutan berperilaku buruk, usaha apapun secara internal tidak dapat ditangkap oleh publik. Karenanya sangat penting untuk memahami cara pengukuran prinsip ini. Data yang digunakan adalah data objektif jumlah pelanggaran terdokumentasi dan survei integritas (persepsi responden) internal dan eksternal Polri. Dalam hal ini, jumlah responden internal mendapat porsi lebih besar dikarenakan Polri berinisiatif untuk membangun budaya evaluasi internal. Pengukuran perilaku menggunakan hasil rata-rata survei persepsi 58 narasumber terpilih per Polda dengan komposisi 36 staf Polda (62%), 17 perwakilan masyarakat

23 LAPORAN EKSEKUTIF (29%) dan 5 narapidana (9%). Di dalam kuesioner persepsi terdapat 84 item yang mengukur toleransi masyarakat, penyalahgunaan wewenang, sikap anggota polri terhadap tindakan korupsi, dan pengalaman pihak eksternal terhadap pelayanan dan perilaku anggota Polri. Total responden yang mengisi kuesioner integritas secara keseluruhan sebanyak 1.649 narasumber (1.039 internal dan 610 eksternal) yang tersebar di 31 provinsi. Temuan yang menarik adalah Lantas mendapatkan nilai terbaik karena disumbang oleh penilaian perilaku Lantas di Polda diluar Ibukota, sedangkan untuk daerah Ibukota yaitu Polda Metro Jaya (DKI Jakarta) justru mendapatkan skor terendah yaitu 4.63. Beberapa satker lain di Polda Metro Jaya yang mendapatkan nilai merah adalah Sus (5.88), Sabhara (4.90) dan Narkoba (4.88). Hal ini dipersepsikan oleh pihak internal dan eksternal, karena sarat dengan praktik penyuapan, penyalahgunaan wewenang dan kekerasan. Untuk indikator pelanggaran (etika, disiplin dan pidana), temuan berdasarkan hasil FGD terdapat fenomena menarik yaitu perlakuan bagi personel Polda yang melakukan pelanggaran dalam bidang apa pun, pada umumnya akan dipindahkan ke Satker Sabhara. Karenanya angka pelanggaran cenderung tinggi di Sabhara dan cenderung rendah di Satker lainnya. Ketika berbicara tentang akuntabilitas, kita berbicara tentang kumpulan perilaku dengan integritas tinggi guna menciptakan spirit de corps Polri yang diterjemahkan menjadi standar kerja yang berbasis sistem dan data. Dalam hal ini, prinsip akuntabilitas mendapatkan nilai rendah, padahal hanya berisikan satu indikator dasar yaitu Nilai AKIP (Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah) Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara & Reformasi Birokrasi (KemenPANRB). Adapun bobot yang berlaku antara lain kualitas Perencanaan (35%), Pengukuran (20%), Pelaporan (15%), evaluasi (10%) dan Capaian (20%). Dalam implementasinya, mengingat karakteristik institusi Polri yang cenderung bekerja di lapangan, sisi manajemen cenderung dikorbankan. Karenanya sifat dan penghargaan terhadap peran-peran koordinasi internal dan tertib administrasi dikesampingkan. Padahal dengan karakteristik komando dan wewenang yang besar, diperlukan sistematisasi budaya kerja yang dapat dipertanggungjawabkan. Disini ditemukan bahwa akuntabilitas Polda masih rendah karena kurangnya kualitas perencanaan, tidak adanya mekanisme dan SOP pengawasan dan evaluasi serta sistem pelaporan yang baik. Dengan adanya ITK, tertib administrasi dan manajerial dapat mulai digalakkan.

24 INDEKS TATA KELOLA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Kompetensi dan Efektivitas: Menjalankan Fungsi dengan Kompetensi Minimal Hal lain yang menjadi temuan utama ITK adalah Polri berfungsi dengan standar kompetensi yang minimal. Hal ini terlihat dari rata-rata skor nasional terendah ada pada Prinsip Kompetensi (4,68). Bahkan tidak ada satu pun satker yang memiliki skor diatas angka 6. Pada prinsip ini, tiga satker dengan skor tertinggi pada prinsip Kompetensi adalah Satker Intelkam (5.43), SDM (5.16) dan um (4.87), sedangkan Satker dengan nilai terendah antara lain Sabhara (4.51), Narkoba (4.33) dan Polisi Air (2.83). Dengan menganalisa capaian skor ITK prinsip kompetensi, ditemukan bahwa satker-satker dengan skor komptensi rendah dipengaruhi oleh beberapa indikator penyumbangnya antara lain; jumlah personil yang lebih dari Daftar Susunan Personel dan Perlengkapan (DSPP), tidak lengkapnya bukti pendidikan kejuruan dari pihak Polda, prosentase jumlah prasarana (kendaraan roda 4 dan 2) yang tidak memadai dan kurangnya kepatuhan menjalankan piranti lunak (Pilun) Mabes Polri serta rendahnya pilun insiatif Polda. Temuan ini sejalan dengan isu prioritas kepolisian yaitu isu Sumber Daya Manusia. Karenanya strategi perbaikan tata kelola kepolisian haruslah dimulai dari peningkatan kualitas manusianya. Sejalan dengan Kebijakan Nasional yaitu berjayanya kemaritiman nasional, visi ini sangatlah sulit dicapai dengan kompetensi Polisi Air yang menduduki nilai terendah indeks yaitu 2,83. Angka yang sangat rendah ini mengindikasikan bahwa Satker ini membutuhkan perhatian yang serius dalam pengembangan SDM dan fasilitas sarana prasarananya. Rasio kapal Polisi Air dibanding luas wilayah perairan operasional yang menjadi tanggung jawab Polda sangat tidak memadai. Dengan berbekal kapal yang sudah berusia tua, Polair harus menempuh ribuan kilometer untuk patroli dan seringkali tidak dapat mengejar oknum pelaku kejahatan di laut seperti yang sudah dijelaskan di bagian fungsi di atas. Rata-rata tren jumlah kejahatan di laut yang bisa dideteksi oleh Polair hanya 20 kasus per tahun per Polda. Kasus ekstrim kurangnya fasilitas sarana dan prasana ditemukan di pulau-pulau dengan wilayah operasional yang luas. Seperti di Polda Sumsel (24 kasus) dengan wilayah air lebih dari 99.000 km 2 dengan fasilitas Polair hanya 14 kapal, Kepri (40 kasus) dengan luas wilayah air lebih dari 575.000 km 2 dengan fasilitas Polair hanya 13 kapal, dan NTT (19 kasus) dengan luas wilayah air 191.000 km 2 dengan 13 kapal.