TINDAK PIDANA PEMBERONTAKAN BERDASARKAN PASAL 108 KUH PIDANA 1 Oleh : Hendrick Winatapradja 2

dokumen-dokumen yang mirip
KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

Lex Crimen Vol. VI/No. 7/Sep/2017

PENGGUNAAN KEKERASAN SECARA BERSAMA DALAM PASAL 170 DAN PASAL 358 KUHP 1 Oleh : Soterio E. M. Maudoma 2

Lex Crimen Vol. V/No. 1/Jan/2016. Pangemanan, SH, MH; M.G. Nainggolan, SH, MH, DEA. 2. Mahasiswa pada Fakultas Hukum Unsrat, NIM,

Lex Crimen Vol. VI/No. 9/Nov/2017

LINGKUP DAN PERAN DELIK TERHADAP KEAMANAN NEGARA DALAM PASAL 107A 107F KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA 1 Oleh: Aldo Pinontoan 2

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PENADAHAN. dasar dari dapat dipidananya seseorang adalah kesalahan, yang berarti seseorang

Kata kunci: Perintah, Jabatan, Tanpa Wewenang

KEMAMPUAN BERTANGGUNGJAWAB DALAM PASAL 44 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA 1 Oleh: Stedy R. Punuh 2

HAKIKAT DAN PROSEDUR PEMERIKSAAN TINDAK PIDANA RINGAN 1 Oleh: Alvian Solar 2

atau catatan itu tidak dapat diperlihatkan aslinya. Kata kunci: Tindak Pidana, Pengurus Dan Komisaris, Perseroan Terbatas, Pailit, Hukum Pidana.

Lex Crimen Vol. VI/No. 4/Jun/2017

KAJIAN TENTANG PERINTAH JABATAN YANG DIATUR PASAL 51 KUH PIDANA 1 Oleh: Ines Butarbutar 2

Lex Privatum Vol. V/No. 6/Ags/2017

Lex Crimen Vol. V/No. 2/Feb/2016

Lex Crimen Vol. III/No. 4/Ags-Nov/2014. Kata kunci: Pelanggaran, Hak-hak Tersangka.

Lex Privatum Vol. V/No. 6/Ags/2017

Lex Crimen Vol. VI/No. 5/Jul/2017

TAWURAN DARI SUDUT PASAL 170 DAN PASAL 358 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA 1 Oleh: Hendy Pinatik 2

BAB I PENDAHULUAN. faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita

Lex Crimen Vol. II/No. 4/Agustus/2013

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

Lex Crimen Vol. III/No. 2/April/2014

BAB I PENDAHULUAN. melalui media massa maupun media elektronik seperti televisi dan radio.

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK PIDANA PENIPUAN (STUDI KASUS PADA PENGADILAN NEGERI DI SURAKARTA)

Lex Privatum, Vol. IV/No. 7/Ags/2016

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai Negara hukum, Pasal 28 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan Negara hukum, hal ini telah dinyatakan dalam

BAB III PENGANIAYAAN YANG BERAKIBAT LUKA BERAT DALAM KUHP

EKSISTENSI TINDAK PIDANA PELANGGARAN KESUSILAAN DI DEPAN UMUM (PASAL 281 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA) 1 Oleh: Grant P.

Bab I : Kejahatan Terhadap Keamanan Negara

SUATU TINJAUAN TERHADAP PEMBUKTIAN DALAM UNDANG UNDANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DR. WEMPIE JH. KUMENDONG, SH, MH NIP. :

MENGHALANGI PENYIDIKAN DAN PENUNTUTAN UNTUK KEPENTINGAN ORANG LAIN MENURUT PASAL 221 AYAT (1) KUHPIDANA 1 Oleh : Rendy A. Ch.

Lex Administratum, Vol. IV/No. 3/Mar/2016

I. PENDAHULUAN. Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi

Delik-Delik Di Dalam Kodifikasi

Berlin Nainggolan: Hapusnya Hak Penuntutan Dalam Hukum Pidana, 2002 USU Repository

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. sebagaimana diuraikan dalam bab sebelumnya dapat dikemukakan kesimpulan

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan

BAB I PENDAHULUAN. landasan konstitusional bahwa Indonesia adalah negara yang berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN. pencurian tersebut tidak segan-segan untuk melakukan kekerasan atau. aksinya dinilai semakin brutal dan tidak berperikemanusiaan.

BAB II LANDASAN TEORI

Lex Privatum, Vol. IV/No. 3/Mar/2016. PENAHANAN DITINJAU DARI ASPEK YURUDIS DAN HAK ASASI MANUSIA 1 Oleh : Muhamad Arif 2

I. PENDAHULUAN. hukum serta Undang-Undang Pidana. Sebagai suatu kenyataan sosial, masalah

PEMBUNUHAN DENGAN RENCANA DAN PASAL 340 KUHP

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH

Lex Privatum Vol. V/No. 3/Mei/2017

BAB I PENDAHULUAN. kekuasaan tertinggi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Konsep Negara

BAB I PENDAHULUAN. Meningkatnya aktivitas manusia tersebut harus didukung oleh fasilitas pendukung

BAB I PENDAHULUAN. kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan bimbingan dan

Lex Crimen Vol. VI/No. 6/Ags/2017

Lex et Societatis, Vol. III/No. 9/Okt/2015

TINDAK PIDANA MENYEMBUNYIKAN PELAKU KEJAHATAN 1 Oleh : Abdul R. H. Lalelorang 2

BAB I PENDAHULUAN. adanya kehendak untuk memenuhi kebutuhan hidup dengan cara yang

BAB I PENDAHULUAN. penjajahan mencapai puncaknya dengan di Proklamasikan Kemerdekaan. kita mampu untuk mengatur diri sendiri. 1

ANALISIS TERHADAP VOORGEZETTE HANDELING

BAB II TINDAK PIDANA DESERSI YANG DILAKUKAN OLEH ANGGOTA TNI. mengenai fungsi, tugas dan tanggungjawab mereka sebagai anggota TNI yang

BAB I PENDAHULUAN. yaitu, pleger, doen pleger, medepleger, uitlokker. Suatu penyertaan. dilakukan secara psikis maupun pisik, sehingga harus dicari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada

PENERAPAN PASAL 285 KUHP TENTANG PELAKU TINDAK PIDANA PERKOSAAN DOORTJE D. TURANGAN, SH, MH

PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA PEMALSUAN MATA UANG DOLLAR. Suwarjo, SH., M.Hum.

SUATU TINJAUAN TERHADAP TERHADAP PERKOSAAN MENURUT PASAL 285 KUHPIDANA DR. WEMPIE JH. KUMENDONG, SH, MH NIP. :

BAB I PENDAHULUAN. mahluk sosial dan sebagai mahluk individu. Dalam kehidupan sehari-harinya

BAB 1 PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun (selanjutnya disebut UUD 1945) menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah

BAB IV KOMPARASI HUKUM POSITIF DAN HUKUM PIDANA ISLAM MENGENAI HUKUMAN PELAKU TINDAK PIDANA TERORISME

Lex Crimen Vol. VI/No. 8/Okt/2017

BAB II PENGATURAN HUKUM MENGENAI TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN. A. Tindak Pidana Pembunuhan dan Pembunuhan Berencana

KAJIAN JURIDIS TERHADAP PEMERIKSAAN TAMBAHAN DEMI KEPENTINGAN PENYIDIKAN OLEH JAKSA PENUNTUT UMUM

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3)

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi dan Subjek Hukum Tindak Pidana

peradilan dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa, mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Dalam hal ini, untuk

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana positif saat ini

Lex Crimen Vol. V/No. 2/Feb/2016. PENJATUHAN PIDANA TERHADAP PERBUATAN PERCOBAAN MELAKUKAN TINDAK PIDANA 1 Oleh: Magelhaen Madile 2

TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana pencurian diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

II. TINJAUAN PUSTAKA. perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatu, fungsi

BAB II PIDANA TAMBAHAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI YANG BERUPA UANG PENGGANTI. A. Pidana Tambahan Dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Berupa Uang

PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MEMUTUSKAN PERKARA TINDAK PIDANA PENGGELAPAN SECARA BERLANJUT (Studi Kasus No. 55/Pid.B/2010/PN. Palu)

BAB III MENYURUHLAKUKAN TINDAK PIDANA DALAM PASAL55 KUHP DAN MENURUT HUKUM ISLAM. A. Delik Menyuruh lakukan Tindak Pidana Menurut Hukum Pidana

BAB I PENDAHULUAN. lazim disebut norma. Norma adalah istilah yang sering digunakan untuk

Lex Crimen Vol. V/No. 5/Jul/2016

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana. Belanda yaitu strafbaar feit yang terdiri dari tiga kata, yakni straf

FUNGSI DAN KEDUDUKAN SAKSI A DE CHARGE DALAM PERADILAN PIDANA

KEMUNGKINAN PENYIDIKAN DELIK ADUAN TANPA PENGADUAN 1. Oleh: Wempi Jh. Kumendong 2 Abstrack

BAB III PENCURIAN DENGAN KEKERASAN MENURUT HUKUM POSITIF. Menyimpang itu sendiri menurut Robert M.Z. Lawang penyimpangan perilaku

BAB I PENDAHULUAN. Hidup tenteram, damai, tertib serta berkeadilan merupakan dambaan setiap

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEMBUNUHAN BERENCANA. tertentu tanpa menyebutkan wujud dari tindak pidana. Unsur-unsur yang dapat

BAB II LANDASAN TEORI

KEJAHATAN DAN PELANGGARAN TERHADAP NYAWA DAN TUBUH ORANG

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Negara Indonesia sebagai negara yang berdasarkan Pancasila dan

KAJIAN PEMBUKTIAN PERKARA TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Surakarta)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia merupakan negara hukum, sesuai Pasal 1 ayat (3)

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban pidana didasarkan pada asas kesalahan (culpabilitas), yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. umur harus dipertanggungjawabkan. Dalam hukum pidana konsep responsibility

HAK MANTAN NARAPIDANA SEBAGAI PEJABAT PUBLIK DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA

Transkripsi:

TINDAK PIDANA PEMBERONTAKAN BERDASARKAN PASAL 108 KUH PIDANA 1 Oleh : Hendrick Winatapradja 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan bertujuan untuk mengetahui bagaimana tindak pidana pemberontakan dalam Pasal 108 Kitab Undangundang Hukum Pidana dan bagaimana sebaiknya pengaturan tindak pidana pemberontakan dalam KUHP Nasional yang akan dating. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Perbuatan makar mempunyai tujuan tertentu yang jelas, sedangkan untuk pemberontakan hanya disyaratkan tujuan bersifat sangat umum. Yang penting dalam tindak pidana pemberontakan adalah cara melakukannya atau alat yang digunakan, yaitu perlawanan itu dilakukan dengan menggunakan senjata. Untuk tindak pidana makar tidak disyaratkan penggunaan senjata. Sudah merupakan tindak pidana makar apabila orang melakukan unjuk rasa (demonstrasi) besar-besaran dengan maksud misalnya menggulingkan pemerintah (Pasal 107 KUHPidana). 2. Rumusan tindak pidana pemberontakan yang disusun oleh Panitia Penyusun Rancangan Undang-undang KUHP (1991/1992) memiliki beberapa kelemahan dalam perumusan, yaitu: Dalam rumusan tersebut digunakannya kata-kata melawan.. dengan mengangkat senjata, di mana katakata mengangkat senjata ini kata-kata yang tidak tegas artinya sehingga dapat mengaburkan maksud yang sebenarnya. Dalam rumusan digunakan kata-kata pemerintah yang sah, di mana pencantuman kata yang sah ini akan dapat menimbulkan persoalan pembuktian tentang keabsahan dari pemerintah yang ada. Kata kunci: Tindak pidana, pemberontakan, Pasal 108 KUHP. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penulisan Sejak proklamasi kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia telah 1 Artikel Skripsi. Dosen Pembimbing : Refly Singal, SH, MH; Fonny Tawas, SH, MH; Yumy Simbala, SH, MH. 2 Mahasiswa pada Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi. NIM. 080711435 mengalami banyak cobaan, baik berupa upaya untuk menyampingkan tujuan-tujuan negara sebagaimana yang ditentukan dalam Pembukaan UUD 1945 maupun berupa upaya untuk merubah dasar falsafah negara, sedangkan caranya adalah baik dengan jalan politik maupun sampai pada melakukan perlawanan bersenjata. Cobaan yang menjadi perhatian penulis dalam pembahasan skripsi ini adalah upaya-upaya yang berupa melakukan perlawanan dengan senjata atau perlawanan bersenjata, yang disebut juga dengan istilah : pemberontakan, baik dalam percakapan seharihari maupun dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Contoh yang dapat dikemukakan mengenai perlawanan bersenjata ini antara lain adalah pada tanggal 18 September 1948 di bawah pimpinan Suprapto alias Muso secara resmi menyatakan pemberontakan di Madiun. Contoh-contoh lainnya adalah ketika Kartosuwirjomemproklamasikan berdirinya suatu negara baru, yaitu Negara Islam Indonesia, dan diproklamasikan berdirinya Republik Maluku Selatan pada tanggal 25 April 1950. Perbuatan-perbuatan tersebut di atas dapat dicakup oleh ketentuan pidana Pasal 108 Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang mengatur tentang tindak pidana pemberontakan, yang menurut terjemahan yang dikerjakan oleh Tim Penerjemah Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman berbunyi selengkapnya sebagai berikut, (1) Barang siapa bersalah karena pemberontakan, diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun : 1. Orang yang melawan Pemerintah Indonesia dengan senjata. 2. Orang yang dengan maksud melawan Pemerintah Indonesia menyerbu bersama-sama atau menggabungkan diri pada gerombolan yang melawan Pemerintah dengan senjata. (2) Para pemimpin dan para pengatur pemberontakan diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama dua puluh tahun. 3 Secara 3 Tim Penerjemah Badan Pembinaan Hukum Nasional, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Sinar Harapan, Jakarta, 1983, hal. 52. 150

yuridis dapat dipertanyakan seberapa luaskah cakupan dari rumusan Pasal 108 KUHP ini atau perbuatan-perbuatan apakah yang dapat didakwa berdasarkan ketentuan pasal ini. Dengan perkataan lain, di manakah batas perbedaan antara pasal 108 KUHP ini dengan tindak-tindak pidana lain, terutama tindak-tindak pidana makar (aanslag) dalam Buku II Bab I KUHP, yaitu pasal 104, 106 dan 107. Hal lainnya yang menarik perhatian adalah kaitan Pasal 108 KUHP dengan persoalan hakhak asasi manusia (human rights). Sebagaimana diketahui, upaya-upaya untuk mendorong pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia merupakan gerakan yang dewasa ini sangat kuat baik di dunia internasional maupun di dalam negara Indonesia sendiri. Dengan demikian dapat dipertanyakan, apakah dilakukannya pemberontakan merupakan perwujudan dari hak-hak asasi manusia atau apakah pemberontakan dapat dibenarkan dari sudut hak-hak asasi manusia. Berdasarkan latar belakang sebagaimana diuraikan di atas maka dalam rangka penulisan skripsi penulis berkehendak membahasnya di bawah judul Tindak pidana pemberontakan dalam pasal 108 Kitab Undang-undang Hukum Pidana. B. Perumusan Masalah 1. Bagaimana tindak pidana pemberontakan dalam Pasal 108 Kitab Undang-undang Hukum Pidana? 2. Bagaimana sebaiknya pengaturan tindak pidana pemberontakan dalam KUHP Nasional yang akan datang? C. Metode yang Digunakan Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yang dipergunakan dalam usaha menganalisis bahan hukum dengan mengacu kepada norma-norma hukum yang dituangkan dalam peraturan perundang-undangan. Prosedur identifikasi dan inventarisasi bahan hukum yang mencakup bahan hukum primer, yaitu peraturan perundang-undangan, bahan hukum sekunder, yaitu literatur dan karya ilmiah hukum. Bahan hukum tersier, terdiri dari; kamus hukum. Bahan hukum yang diperoleh, diinventarisasi dan diidentifikasi kemudian dianalisis secara kualitatif. PEMBAHASAN A. Rumusan Pasal 108 KUHP Butir ke-1 dan ke-2 dari Pasal 108 ayat (1) KUHP sebenarnya lebih merupakan pemberian arti tentang apa yang dimaksudkan dengan pemberontakan; sedangkan dalam Pasal 108 ayat (2) diatur ancaman hukum bagi para pemimpin dan pengatur pemberontakan. Berikut ini ketiga tindak pidana tersebut akan dibahas satu persatu. 1. Tindak pidana pemberontakan dalam Pasal 108 ayat (1) ke-1 KUHP Dengan memperhatikan keempat terjemahan tersebut maka sebagai unsur-unsur dari Pasal 108 ayat (1) ke-1 KUHP adalah : 1. Barangsiapa/orang; 2. Melawan dengan senjata/melakukan perlawanan bersenjata; 3. Terhadap Pemerintah Indonesia (Tim Penerjemah Badan Pembinaan Hukum Nasional), pemerintah yang sah di Indonesia (S.R. Sianturi), atau kekuasaan yang telah ada di Indonesia (Lamintang dan Samosir) atau kekuasaan yang telah berdiri di Negara Indonesia (R. Soesilo). Kata barangsiapa atau orang menunjuk pada subyek tindak pidana. Oleh karena sistem KUHP hanya mengenal manusia sebagai subyek tindak pidana, dan belum menerima badan hukum (rechtspersoon) sebagai subyek tindak pidana, maka yang dimaksudkan dengan barangsiapa atau orang dalam Pasal 108 KUHP adalah manusia. Dapatkah pemberontakan dilakukan oleh hanya 1 (satu) orang saja. S.R. Sianturi menulis, Oleh karena itu pelaku dari delik ini hanya dapat dibayangkan jika dilakukan oleh banyak orang.berapa orang tepatnya tiada suatu ketentuan, namun mereka itu tergabung dalam suatu organisasi betapapun kecilnya.sudah tentu bahwa organisasi ini tidak harus merupakan suatu organisasi yang resmi.ini tidak berarti bahwa jika dua atau tiga orang telah meningkatkan keresahannya dengan perlawanan bersenjata, seluruh anggota organisasi itu 151

dapat dipandang sebagai pelaku perlawanan bersenjata. 4 Unsur berikutnya adalah melawan dengan senjata atau perlawanan bersenjata.hal ini pertama-tama berarti bahwa untuk dapat disebut sebagai pelaku tindak pidana pemberontakan ini maka yang bersangkutan harus melakukan perlawanan dengan mempergunakan senjata. Oleh S.R. Sianturi dikatakan bahwa yang dimaksudkan dengan senjata tidak terbatas pada senjata-senjata mutakhir saja, tetapi dapat dilakukan dengan senjata tajam atau runcing. 5 Jadi, istilah senjata tidaklah harus diartikan sebagai senjata api. Semua jenis senjata yang menurut sifatnya dapat digunakan untuk melakukan perlawanan terhadap kekuasaan yang ada Indonesia, misalnya pisau, tombak, panah, bambu runcing, dan lain sebagainya, adalah senjata yang dalam arti pasal ini. Perbedaan dalam menerjemahkan adalah terhadap unsur yang ketiga, yang teks resminya berbunyi in Indonesia gevestigde gezag. Lamintang dan Samosir telah menerjemahkannya, secara kata perkatasebagai kekuasaan yang telah ada di Indonesia. Terjemahan yang mirip adalah terjemahan dari R. Soesilo, yaitu kekuasaan yang telah berdiri di Negara Indonesia. Tim Penerjemah Badan Pembinaan Hukum Nasional membuat terjemahan yang berbeda, yaitu hanya mengatakannya sebagai Pemerintah Indonesia, sedangkan S.R. Sianturi menerjemahkannya pemerintah yang sah di Indonesia.Dalam kedua terjemahan terakhir ini telah terkandung penafsiran terhadap kata-kata in Indonesia gevestigde gezag. Terjemahan menurut kata demi kata, misalnya menerjemahkan gezag sebagai kekuasaan, sebagaimana yang dilakukan oleh Lamintang & Samosir dan R. Soesilo, sebenarnya lebih selayaknya dilakukan. Menerjemahkan gezag sebagai pemerintah, telah mengandung penafsiran, 4 Ibid. 5 Ibid. padahal orang dapat berbeda dalam menafsirkan sesuatu. Terjemahan kata demi kata adalah lebih baik, terbukti dari contoh yang diberikan oleh Satochid Kartanegara. Menurut beliau, cakupan Pasal 108 KUHP tidaklah hanya bagi mereka yang jelas-jelas telah melakukan perlawanan bersenjata terhadap kekuasaan pusat seperti yang dahulu pernah dilakukan dalam beberapa pemberontakan, seperti pemberontakan Republik Maluku Selatan, melainkan juga bagi orang-orang yang misalnya datang berduyunduyun ke suatu pos polisi, kantor telepon, gedung pemancar radio dan lain sebagainya dengan maksud untuk merampas dan menduduki bagunan-bangunan tersebut, apabila untuk mencapai maksud mereka, mereka telah dianggap melakukan pemberontakan dengan senjata. Demikian pula pendapat Lamintang dan Samosir yang mengatakan bahwa kata-kata kekuasaan yang ada di Indonesia haruslah ditafsirkan sebagai kekuasaan yang ada di pusat, maupun yang ada di daerah. 6 Berbeda halnya apabila digunakan terjemahan Pemerintah Indonesia.Kata-kata ini memberikan kesan bahwa perlawanan bersenjata yang dilakukan harus ditujukan pada Pemerintah Indonesia sebagai keseluruhan. Menurut pendapat ahli-ahli hukum yang disebutkan di atas, perlawanan bersenjata yang dilarang dalam Pasal 108 KUHP bukanlah hanya perlawanan bersenjata terhadap Pemerintah Indonesia secara keseluruhan semata-mata, melainkan juga mencakup perbuatan melakukan perlawanan bersenjata terhadap suatu kekuasaan umum, baik di pusat maupun di daerah, seperti kepolisian setempat, kejaksaan setempat, dan sebagainya. Terjemahan S.R. Sianturi, pemerintah yang sah di Indonesia, akan menimbulkan pertanyaan : apakah pemerintah terhadap siapa orang melakukan perlawanan bersenjata itu merupakan pemerintah yang sah atau tidak? Jaksa Penuntut Umum mau tidak mau harus memberikan pembuktian tentang keabsahan pemerintah yang ada. Dikaitkan dengan keadaan pada tahun 1998, di mana ada sejumlah ahli hukum yang menolak keabsahan Presiden B.J. Habibie 6 Lamintang. Samosir, Loc.cit. 152

sebagai Presiden, maka diikutinya terjemahan S.R. Sianturi akan menimbulkan perbantahan yang panjang di pengadilan. Hal ini tidak akan perlu terjadi jika diikuti terjemahan kata demi kata, yaitu kekuasaan yang telah ada di Indonesia. 2. Tindak pidana pemberontakan dalam Pasal 108 ayat (1) ke-2 KUHP Dengan memperhatikan keempat terjemahan tersebut maka sebagai unsur-unsur dari Pasal 108 ayat (1) ke-2 KUHP adalah : 1. Barangsiapa; 2. Dengan maksud; 3. melawan Pemerintah Indonesia (Tim Penerjemah Badan Pembinaan Hukum Nasional), atau menentang Pemerintah Indonesia (S.R. Sianturi), atau melawan kekuasaan yang telah ada di Indonesia Lamintang & Samosir), atau menentang kepada kekuasaan yang telah berdiri di Negara Indonesia (R. Soesilo); 4. Menyerbu bersama-sama (Tim Penerjemah Badan Pembinaan Hukum Nasional), atau melakukan gerakan bersama-sama (S.R., Sianturi), atau ikut serta bersama (Lamintang & Samosir), atau melawan (R. Soesilo); atau, 5. Menggabungkan diri ; 6. Pada gerombolan yang melawan Pemerintah dengan senjata (Tim Penerjemah Badan Pembinaan Hukum Nasional), dengan suatu satuan pemberontak yang melakukan perlawanan bersenjata terhadap pemerintah tersebut (S.R. Sianturi), pada suatu gerombolan yang melawan dengan senjata terhadap kekuasaan tersebut (Lamintang & Samosir), pada gerombolan orang bersenjata yang melawan kekuasaan itu (R. Soesilo). Unsur barangsiapa telah dijelaskan di atas dan berlaku juga untuk tindak pidana ini. Unsur dengan maksud yang diterjemahkan dari kata oogmerk merupakan unsur subyektif, yaitu berkenaan dengan sikap batin pelaku. Unsur dengan maksud merupakan unsur kesengajaan. Dalam doktrin dan yurisprudensi dikenal adanya tiga bentuk kesengajaan, yaitu : - sengaja sebagai maksud; - sengaja dengan kesadaran tentang keharusan; dan, - sengaja dengan kesadaran tentang kemungkinan atau dolus eventualis. Bentuk kesengajaan dengan maksud berarti pelaku sepenuhnya menghendaki dan mengetahui apa yang dilakukannya. Karena unsur dengan maksud ini diletakkan di depan unsur-unsur yang lain, berarti unsur-unsur yang lain tersebut diliputi oleh unsur dengan maksud. Dengan demikian harus dibuktikan bahwa pelaku memang bermaksud untuk melawan kekuasaan yang telah ada di Indonesia; untuk itu si pelaku : - menyerbu bersama-sama dengan/ikut serta dengan gerombolan orang bersenjata yang melawan kekuasaan yang ada itu; atau, - menggabungkan diri pada gerombolan orang bersenjata yang melawan kekuasaan yang ada itu. Seperti diketahui suatu organisasi yang melakukan perlawanan bersenjata di dalamnya dapat tergabung pasukan tempur, staf, cadangan dan lain sebagainya. Ordonans yang menerima dan membawa berita dari suatu bagian ke bagian lainnya, kendati ia tak bersenjata, termasuk juga pelaku dari pemberontakan. Lebih tegas lagi hal ini ditentukan di sub ayat kedua yang mengkualifikasikan sebagai pelaku pemberontakan, mereka yang bergerak bersama-sama suatu satuan pemberontakan, kendati mereka itu tidak bersenjata.demikian pula mereka yang menggabungkan diri pada satuan pemberontak itu dikualifikasikan sebagai pelaku pemberontakan. 7 3. Tindak pidana dalam Pasal 108 ayat (2) KUHP Dalam ayat (1) ditentukan ancaman pidana terhadap para pemimpin dan para pengatur pemberontak. Jika pelaku pemberontak dalam pasal 108 ayat (1) KUHP diancam dengan pidana penjara selama-lamanya 15 (lima belas) tahun, maka para pemimpin dan para pengatur pemberontak diancam dengan pidana maksimum yang lebih tinggi, yaitu diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau 7 S.R. Sianturi, Op.cit., hal. 22. 153

pidana penjara sementara selama-lamanya 20 (dua puluh) tahun. Tindak pidana pemberontakan (opstand) mempunyai perbedaan yang khas dengan tindak-tindak pidana makar (aanslag) yang diatur dalam Pasal 104, 106 dan 107 KUHP. Pasal 104 KUHP mengancamkan pidana terhadap makar yang dilakukan dengan maksud akan menghilangkan nyawa atau kemerdekaan Presiden atau Wakil Presiden atau dengan maksud akan menjadikan mereka itu tidak cakap memerintah; Pasal 106 KUHP mengancamkan pidana terhadap makar dengan maksud supaya seluruh atau sebagian wilayah negara jatuh ketangan musuh atau memisahkan sebagian wilayah negara dari yang lain; Pasal 107 mengancamkan pidana terhadap makar yang dilakukan untuk menggulingkan pemerintah. Perbedaan antara tindak pidana pemberontakan dengan tindak-tindak pidana makar adalah : 1. Perbuatan makar mempunyai tujuan tertentu yang jelas, yaitu : menghilangkan nyawa atau kemerdekaan Presiden atau Wakil Presiden atau akan menjadikan mereka itu tidak cakap memerintah (Pasal 104), supaya seluruh atau sebagian wilayah negara jatuh ke tangan musuh atau memisahkan sebagian wilayah negara dari yang lain (Pasal 106), atau untuk menggulingkan pemerintah (Pasal 107 KUHP). Di lain pihak, untuk pemberontakan hanya disyaratkan tujuan bersifat sangat umum, yaitu melawan kekuasaan yang telah ada di Indonesia. Yang penting dalam tindak pidana pemberontakan adalah cara melakukannya atau alat yang digunakan, yaitu perlawanan itu dilakukan dengan menggunakan senjata. 2. Sebagaimana telah disebutkan di atas, untuk tindak pidana makar tidak disyaratkan penggunaan senjata. Sudah merupakan tindak pidana makar apabila orang melakukan unjuk rasa (demonstrasi besarbesaran) dengan maksud untuk misalnya menggulingkan pemerintah yang ada (Pasal 107 KUHP). Apakah pemberontakan dapat dikatakan merupakan perwujudan dari hak asasi manusia (human rights), yaitu kemerdekaan? Dengan kata lain apakah pemberontakan dapat dibenarkan dari sudut pertimbangan hak asasi manusia? Pasal 108 Kitab Undang-undang Hukum Pidana adalah hukum normatif; sedangkan hak asasi manusia, pada umumnya, kecuali apabila telah dituangkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan, lebih merupakan hukum yang dicita-citakan atau bentuk yang ideal dari hukum. Sebagai hukum normatif, Pasal 108 KUHP, tetap dapat digunakan oleh pengadilan sebagai dasar yuridis untuk menyatakan pelaku pemberontakan bersalah.pembelaan dari sudut hak asasi manusia, yaitu keinginan untuk merdeka dari pemerintah yang ada, pada umumnya bukanlah alasan pembenar atau alasan pemaaf yang bersifat yuridis untuk pemberontakan.ini karena pemerintah suatu negara berkewajiban menjaga keutuhan negara dan kewibawaan pemerintah. Rumusan hak-hak asasi yang dikenal juga tidak ada yang menegaskan adanya hak memberontak dari pemerintah yang ada. Pengecualiannya hanyalah apabila pemberontakan itu merupakan pemberontakan dari suatu bangsa untuk bebas dari penjajahan bangsa lain. Dalam alinea pertama Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 ditegaskan bahwa kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan. Pembenaran lainnya adalah apabila pihak yang memberontak itu menggerakkan suatu revolusi yang pada akhirnya menang dan kemudian kemenangan itu diterima umum. L.J. van Apeldoorn, dalam Bab V : Hukum dan Kekuasaan dari bukunya tentang pengantar ilmu hukum, menulis, acapkali terbentuk tata tertib hukum yang baru oleh revolusi, karena di sinipun kekuasaan menciptakan hukum dan menciptakan hukum yang baru. Revolusi dapat disertai atau tidak oleh pemakaian alat-alat kekuasaan materiil, kekerasan. Akan tetapi kekuasaan revolusi hanya menciptakan hukum, jika ia bersandar pada pertimbangan susila dari sesuatu bangsa, dan bila hukum yang ada itu telah kehilangan sandaran itu maka hukum itu kehilangan sifat hukumnya dan diturunkan hingga derajat kekuasaan belaka. Karena 154

itulah revolusi berarti kemenangan kekuasaan susila atau kekuasaan fisik; maka barulah kemenangannya mungkin menjadi kekal. Karena itu dapatlah dikatakan bahwa revolusi dapat dibenarkan jika ia sungguhsungguh berhasil, dan bahwa kekuasaan yang dapat bertahan itu akhirnya menjadi hukum. 8 Pembenaran yang dikemukakan di atas adalah pembenaran terhadap pemberontakan yang merupakan suatu revolusi yang berlandaskan nilai-nilai kesusilaan tertentu untuk menggulingkan suatu pemerintah yang telah kehilangan nilai-nilai susila dari bangsa tersebut. Pembenaranpun dari aspek yuridis hanya dapat dicapai jika revolusi itu pada akhirnya menang dan kemudian diterima secara umum. Kemungkinan pembenaran lainnya adalah sebagaimana dikemukakan oleh Thomas Aquinas yang mengajarkan bahwa, pemberontakan terhadap pemerintah tiranik hanya dapat dibenarkan, jika ia memuat harapan akan berhasil. 9 Dalam pandangan Thomas Aquinas pembenaran suatu pemberontakan hanya dapat dibenarkan jika dilakukan terhadap pemerintah tiranik dan mempunyai harapan untuk menang. Baik dalam pandangan L.J. van Apeldoorn maupun Thomas Aquinas untuk kemenangan mempunyai peran penting. Dengan kemenangan barulah terbuka kemungkinan untuk pembenaran yuridis. Dari pendapat-pendapat di atas, tidak ada yang sampai pada membenarkan pemberontakan yang dilakukan oleh suatu kelompok orang terhadap pemerintah dari bangsanya sendiri (bukan penjajah) semata-mata dengan hanya dilatar belakangi oleh keinginan untuk merdeka saja. B. Tindak Pidana Pemberontakan Di Masa Mendatang Apakah pemberontakan dapat dikatakan merupakan perwujudan dari Hak Asasi Manusia (human rights), yaitu hak atas kemerdekaan? Dengan kata lain, apakah pemberontakan dapat dibenarkan dari sudut pertimbangan Hak 8 L.J. van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, terjemahan : Oetaid Sadino, Pradnya Paramita, Jakarta, cet.ke-22, 1985, hal. 76. 9 Ibid. Asasi Manusia? Pasal 108 Kitab Undangundang Hukum Pidana adalah hukum normatif; sedangkan Hak Asasi Manusia, pada umumnya lebih merupakan hukum yang dicita-citakan atau bentuk yang ideal dari hukum.pengecualiannya hanyalah apabila telah dituangkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan.apabila telah dituangkan dalam peraturan perundang-undangan, barulah rumusan Hak Asasi Manusia tersebut menjadi hukum normatif. Sebagai hukum normatif, Pasal 108 KUHPidana, tetap dapat digunakan oleh pengadilan sebagai dasar yuridis untuk menyatakan pelaku pemberontakan bersalah.pembelaan dari sudut hak asasi manusia, yaitu keinginan untuk merdeka dari pemerintah yang ada, pada umumnya bukanlah alasan pembenar atau alasan pemaaf yang bersifat yuridis untuk pemberontakan.ini karena pemerintah suatu negara berkewajiban menjaga keutuhan negara dan kewibawaan pemerintah. Rumusan Hak Asasi Manusia yang dikenal juga tidak ada yang menegaskan adanya hak memberontak dari pemerintah yang ada. Pengecualiannya hanyalah apabila pemberontakan itu merupakan pemberontakan dari suatu bangsa untuk bebas dari penjajahan bangsa lain. Dalam alinea pertama Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 ditegaskan bahwa kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan. Pembenaran lainnya adalah apabila pihak yang melakukan pemberontakan itu menggerakkan suatu revolusi yang pada akhirnya berhasil menang dan kemudian kemenangan itu diterima umum. L.J. van Apeldoorn, dalam Bab V : Hukum dan Kekuasaan dari bukunya tentang Pengantar Ilmu Hukum, menulis sebagai berikut, acapkali terbentuk tata tertib hukum yang baru oleh revolusi, karena di sinipun kekuasaan menciptakan hukum dan menciptakan hukum yang baru. Revolusi dapat disertai atau tidak oleh pemakaian alat-alat kekuasaan materiil, kekerasan. Akan tetapi kekuasaan revolusi hanya menciptakan hukum, jika ia bersandar pada 155

pertimbangan susila dari sesuatu bangsa, dan bila hukum yang ada itu telah kehilangan sandaran itu maka hukum itu kehilangan sifat hukumnya dan diturunkan hingga derajat kekuasaan belaka. Karena itulah revolusi berarti kemenangan kekuasaan susila atau kekuasaan fisik; maka barulah kemenangannya mungkin menjadi kekal. Karena itu dapatlah dikatakan bahwa revolusi dapat dibenarkan jika ia sungguhsungguh berhasil, dan bahwa kekuasaan yang dapat bertahan itu akhirnya menjadi hukum. 10 Pembenaran yang dikemukakan di atas adalah pembenaran terhadap pemberontakan yang merupakan suatu revolusi yang berlandaskan nilai-nilai kesusilaan tertentu untuk menggulingkan suatu pemerintah yang telah kehilangan nilai-nilai susila dari bangsa tersebut. Pembenaranpun dari aspek yuridis hanya dapat dicapai jika revolusi itu pada akhirnya menang dan kemudian diterima umum. Kemungkinan pembenaran lainnya adalah sebagaimana dikemukakan oleh Thomas Aquinas yang mengajarkan bahwa, pemberontakan terhadap pemerintah tiranik hanya dapat dibenarkan, jika ia memuat harapan akan berhasil. 11 Dalam pandangan Thomas Aquinas, suatu pemberontakan hanya dapat dibenarkan jika dilakukan terhadap pemerintah tiranik dan mempunyai harapan untuk menang. Dengan demikian ada dua unsur yang harus dipenuhi, yaitu: (1) pemberontakan itu dilakukan terhadap pemerintah yang tiranik atau sewenangwenang; dan (2) pemberontakan itu mempunyai harapan untuk menang. Baik dalam pandangan L.J. van Apeldoorn maupun Thomas Aquinas, segi kemenangan mempunyai peran penting dalam pembenaran dari suatu pemberontakan. Dengan kemenangan barulah terbuka kemungkinan untuk pembenaran yuridis. Dari pendapat-pendapat di atas, tidak ada yang sampai pada membenarkan pemberontakan yang dilakukan oleh suatu 10 L.J. van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum,terjemahan : Oetaid Sadino, Pradnya Paramita, Jakarta, cet.ke-22, 1985, hal. 76. 11 Ibid. kelompok orang terhadap pemerintah dari bangsanya sendiri (bukan penjajah) sematamata dengan hanya dilatar belakangi oleh keinginan untuk merdeka saja. Uraian di atas jelas bahwa keberadaan ancaman pidana terhadap pemberontakan masih tetap diperlukan. Dalam naskah Kitab Undang-undang Hukum Pidana (Baru) Buku Kesatu, Buku Kedua yang disusun oleh Panitia Penyusun Rancangan Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (1991/1992), dan telah disempurnakan oleh Tim Kecil sampai dengan 13 Maret 1993, tindak pidana pemberontakan diatur sebagai berikut (pasal 107 (01.07) : (1) Dipidana dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun dan paling rendah tiga belas tahun karena pemberontakan : Ke-1 barangsiapa melawan pemerintah yang sah. Dengan mengangkat senjata; Ke-2 barangsiapa dengan maksud untuk melawanpemerintah yang sah bergerak bersama-atau menyatukan diri pada gerombolanyang melawan pemerintah yang sah dengan mengangkat senjata. (2) Para pemimpin dan pengatur pemberontakan dipidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama dua puluh tahun dan paling rendah lima tahun. 12 Beberapa perbedaan yang terdapat antara rumusan pasal 108 KUHP dengan naskah rancangan KUHP (Baru) adalah : 1. Kata bersalah atau salah di awal kalimat Pasal 108 ayat (1) KUHP telah dihilangkan. Ini karena dalam sistem KUHP (Baru) unsurunsur subyektif telah ditempatkan dalam Buku I (Ketentuan Umum) sehingga tidak lagi perlu diulang dalam rumusan tindak pidana. 2. Dalam Naskah digunakan kata-kata melawan dengan mengangkat senjata. Kata-kata mengangkat senjata ini adalah suatu kata bersifat kiasan yang dapat 12 Departemen Kehakiman RI, Naskah Kitab Undangundang Hukum Pidana (Baru), Buku Kesatu, Buku Kedua, fotokopi. 156

mengaburkan maksudnya. Adalah lebih baik jika digunakan kata-kata yang sudah lazim dalam terjemahan-terjemahan KUHP sekarang, yaitu melawan dengan senjata atau perlawanan bersenjata. 3. Dalam Naskah rancangan digunakan katakata pemerintah yang sah. Sebagaimana telah dikemukakan di atas, pencantuman kata sah akan menimbulkan persoalan pembuktian tentang keabsahan pemerintah yang ada. PENUTUP A. Kesimpulan 1. Perbedaan antara tindak pidana pemberontakan dengan tindak-tindak pidana makar dalam Pasal 104, 106 dan 107 KUHPidana adalah : 1.1. Perbuatan makar mempunyai tujuan tertentu yang jelas, yaitu: menghilangkan nyawa atau kemerdekaan Presiden atau Wakil Presiden atau akan menjadikan mereka itu tidak cakap memerintah (Pasal 104 KUHPidana), supaya seluruh atau sebagian wilayah negara jatuh ke tangan musuh atau memisahkan sebagian wilayah negara dari yang lain (Pasal 106 KUHPidana), atau untuk menggulingkan pemerintah (Pasal 107 KUHPidana). Di lain pihak, untuk pemberontakan hanya disyaratkan tujuan bersifat sangat umum, yaitu melawan kekuasaan yang telah ada di Indonesia. Yang penting dalam tindak pidana pemberontakan adalah cara melakukannya atau alat yang digunakan, yaitu perlawanan itu dilakukan dengan menggunakan senjata. 1.2. Untuk tindak pidana makar tidak disyaratkan penggunaan senjata. Sudah merupakan tindak pidana makar apabila orang melakukan unjuk rasa (demonstrasi) besarbesaran dengan maksud misalnya menggulingkan pemerintah (Pasal 107 KUHPidana). 2. Rumusan tindak pidana pemberontakan yang disusun oleh Panitia Penyusun Rancangan Undang-undang KUHP (Baru) 1991/1992 memiliki beberapa kelemahan dalam perumusan, yaitu: 2.1. Dalam rumusan tersebut digunakannya kata-kata melawan dengan mengangkat senjata, di mana kata-kata mengangkat senjata ini kata-kata yang tidak tegas artinya sehingga dapat mengaburkan maksud yang sebenarnya. 2.2. Dalam rumusan digunakan kata-kata pemerintah yang sah, di mana pencantuman kata yang sah ini akan dapat menimbulkan persoalan pembuktian tentang keabsahan dari pemerintah yang ada. B. Saran 1. Karena rumusan-rumusan Hak Asasi Manusia, baik nasional maupun internasional, tidak ada yang membenarkan dilakukannya pemberontakan oleh suatu kelompok orang melawan pemerintahan oleh bangsanya sendiri, semata-mata karena keinginan untuk merdeka saja, maka tindak pidana pemberontakan dapat dan harus dipertahankan keberadaannya dalam KUHPidana Nasional yang akan datang. 2. Kata melawan dengan mengangkat senjata, sebaiknya dirubah dengan mengikuti terjemahan-terjemahan yang sudah lazim terhadap KUHPidana sekarang. Dalam KUHPidana sekarang digunakan kata-kata melawan dengan senjata atau perlawanan bersenjata. Juga penggunaan kata yang sah dari rumusan pemerintah yang sah sebaiknya ditiadakan untuk menghindari kesulitan dalam soal pembuktian. DAFTAR PUSTAKA Apeldoorn, L.J. van, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, cet.ke-22, 1985. Departemen Kehakiman, Naskah Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (Baru), Buku Kesatu, Buku Kedua, fotokopi. Lamintang, P.A.F., Samosir, C.D., Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung, cet.ke-2, 1985. 157

Prakoso, Djoko, Tindak Pidana Makar menurut KUHP, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1986. Prodjodikoro, Wirjono, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, PT Eresco, Jakarta- Bandung, 1986. ----------, Tindak-tindak Pidana Tertentu di Indonesia, PT Eresco, Jakarta-Bandung, 1967. Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), Sekretariat Negara Republik Indonesia, Jakarta, 1995 Sianturi, S.R., Tindak Pidana di KUHP, Alumni AHM-PTHM, Jakarta, 1983. Soesilo, R., KUHP Serta Komentarkomentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Politeia, Bogor, 1981. Tim Penerjemah Badan Pembinaan Hukum Nasional, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Sinar Harapan, Jakarta, 1983. Tim Pengasuh Mata Kuliah, Pengantar Ilmu Hukum, Bahan Ajar, Fakultas Hukum Unsrat, Manado, 2012. 158