TINJAUAN PUSTAKA. Indonesia, untuk tujuan memperoleh keuntungan dan atau laba (Pasal 1 Undang-Undang No. 3

dokumen-dokumen yang mirip
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

I. PENDAHULUAN. dimana manusia cenderung untuk saling mengungguli dalam banyak hal. Dari banyaknya

Ethics in Market Competition. Mery Citra.S,SE.,MSi Business Ethics #7

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT [LN 1999/33, TLN 3817]

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999

UU 5/1999, LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

MAKALAH. Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Aspek Hukum. Dosen Pengampu : Ahmad Munir, SH., MH. Disusun oleh : Kelompok VII

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 1998 TENTANG PENGGABUNGAN, PELEBURAN, DAN PENGAMBILALIHAN PERSEROAN TERBATAS

II. TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pengertian dan Dasar Hukum Persaingan Usaha. unggul dari orang lain dengan tujuan yang sama (Kamus Besar Bahasa Indonesia.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

TINJAUAN PUSTAKA. Persaingan dalam dunia bisnis merupakan salah satu bentuk perbuatan yang dapat

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Badan Usaha Agribisnis. Rikky Herdiyansyah SP., MSc

Bab 2 Badan usaha dalam kegiatan bisnis. MAN 107- Hukum Bisnis Semester Gasal 2017 Universitas Pembangunan Jaya

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 1998 TENTANG PENGGABUNGAN, PELEBURAN, DAN PENGAMBILALIHAN PERSEROAN TERBATAS

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 1 TAHUN 1995 (1/1995) Tanggal: 7 MARET 1995 (JAKARTA)

BAB IV KETENTUAN PENGECUALIAN PASAL 50 HURUF a UU NOMOR 5 TAHUN 1999 DALAM KAITANNYA DENGAN MONOPOLI ATAS ESSENTIAL FACILITY

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 1998 TENTANG PENGGABUNGAN, PELEBURAN, DAN PENGAMBILALIHAN PERSEROAN TERBATAS

PENUNJUK UNDANG-UNDANG PERSEROAN TERBATAS

ANGGARAN DASAR PT TRIMEGAH SECURITIES TBK

BUPATI BANGKA TENGAH

BUPATI WONOSOBO PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN WONOSOBO NOMOR 8 TAHUN 2014 TENTANG

PEMERINTAH KOTA PROBOLINGGO

6. PENGUMPULAN DATA DAN ASPEK HUKUM

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARANGASEM NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG PENDIRIAN PERSEROAN TERBATAS KARANGASEM SEJAHTERA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DRAFT AWAL DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

Adapun...

PERATURAN NOMOR IX.J.1 : POKOK-POKOK ANGGARAN DASAR PERSEROAN YANG MELAKUKAN PENAWARAN UMUM EFEK BERSIFAT EKUITAS DAN PERUSAHAAN PUBLIK

NAMA DAN TEMPAT KEDUDUKAN. Pasal 1

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG

TANGGUNG JAWAB YURIDIS PENYELENGGARAAN DAFTAR PEMEGANG SAHAM MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN1995

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA nomor 1 tahun 1995 tentang PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Peraturan Perundang-undangan lainnya yang terkait Peraturan Pelaksanaan (PP dst.)

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 1999 TENTANG MERGER, KONSOLIDASI DAN AKUISISI BANK PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN DAERAH KOTA SURAKARTA TAHUN 2007 NOMOR 10 PEMERINTAH KOTA SURAKARTA PERATURAN DAERAH KOTA SURAKARTA NOMOR 10 TAHUN 2007

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG LARANGAN PRAKTIK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

Terobosan Peningkatan Kapasitas Nasional dalam Industri Hulu Migas ditinjau dari Perspektif Persaingan Usaha

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dalam Pasal 1618 menyebutkan bahwa,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG LARANGAN PRAKTIK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG LARANGAN PRAKTIK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

HUKUM MONOPOLI & PERSAINGAN USAHA

PERATURAN NOMOR IX.J.1 : POKOK-POKOK ANGGARAN DASAR PERSEROAN YANG MELAKUKAN PENAWARAN UMUM EFEK BERSIFAT EKUITAS DAN PERUSAHAAN PUBLIK

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG LARANGAN PRAKTIK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

2017, No Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG BADAN USAHA MILIK DAERA

BAB I PENDAHULUAN. Pelindo II (Persero) yang mana PT Pelindo II (Persero) sendiri merupakan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dalam Pasal 1618 menyebutkan bahwa, perseroan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2017 TENTANG BADAN USAHA MILIK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MATRIX KOMPARASI PERUBAHAN ANGGARAN DASAR PT GRAHA LAYAR PRIMA Tbk. NAMA DAN TEMPAT KEDUDUKAN Pasal 1

BAB I PENDAHULUAN. Mengenai definisi perusahaan dapat ditemukan dalam Undang-Undang Nomor. 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan.

PERSEROAN TERBATAS. Copyright by dhoni yusra. copyright by dhoni yusra 1

MERGER PERSEROAN TERBATAS DITINJAU DARI HUKUM PERSAINGAN USAHA

ANGGARAN DASAR PT BFI FINANCE INDONESIA Tbk. NAMA DAN TEMPAT KEDUDUKAN PASAL 1

DAFTAR ISI. Halaman Sampul... Lembar Pengesahan... Pernyataan... Kata Pengantar... Daftar Isi... Intisari... Abstract... BAB I PENDAHULUAN...

EKONOMI. Pelaku Ekonomi dalam Sistem Perekonomian

POIN-POIN PERUBAHAN ANGGARAN DASAR PT. AKR Corporindo, Tbk. (Mata Acara Kedua Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa)

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 1999 TENTANG MERGER, KONSOLIDASI DAN AKUISISI BANK PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BELITUNG TIMUR NOMOR 7 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN BADAN USAHA MILIK DAERAH PT. PEMBANGUNAN BELITUNG TIMUR

DRAFT PERUBAHAN ANGGARAN DASAR PT. ASIA PACIFIC FIBERS Tbk DALAM RANGKA PENYESUAIAN DENGAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN. Tetap. Tetap.

HOLDING BUMN: SELURUH SAHAM PEMERINTAH DI PGN DIALIHKAN KE PERTAMINA

BENTUK-BENTUK PERUSAHAAN

b. bahwa Badan Usaha Milik Negara mempunyai peranan penting dalam penyelenggaraan perekonomian nasional guna mewujudkan kesejahteraan masyarakat;

NOMOR 19 TAHUN 2003 TENTANG BADAN USAHA MILIK NEGARA

II. TINJAUAN PUSTAKA. a. Menurut E. Utrecht, badan hukum (rechtpersoon), yaitu badan yang menurut

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BUPATI BANGKA TENGAH

ANGGARAN DASAR. PT MATAHARI DEPARTMENT STORE Tbk NAMA DAN TEMPAT KEDUDUKAN. Pasal 1

b. bahwa Badan Usaha Milik Negara mempunyai peranan penting

JANGKA WAKTU BERDIRINYA PERSEROAN PASAL 2 Perseroan didirikan untuk jangka waktu tidak terbatas.

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN

KEPEMILIKAN PERUSAHAAN DODI ARIF, SE.,MM.

ASPEK HUKUM DALAM BISNIS

BAB II KETENTUAN DAN SYARAT PEMBELIAN KEMBALI SAHAM

PENGANTAR BISNIS. Bentuk-bentuk Kepemilikan Bisnis. Ryani Dhyan Parashakti, SE,.MM. Modul ke: Fakultas Ekonomi Dan Bisnis. Program Studi Manajemen

BAB II PERSEROAN TERBATAS SEBAGAI BADAN HUKUM PRIVAT. Dari kata Perseroan Terbatas dapat diartikan bahwa, kata Perseroan

Hukum Persaingan Usaha

Mata Kuliah - Kewirausahaan II-

Pengantar Bisnis. Pertimbangan Menetapkan Bentuk Pemilikan Bisnis Alternatif Bentuk Pemilikan Bisnis. Amir Abdat, SE, MM.

Oleh : Arie.Muhyiddin. SH., MH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 1999 TENTANG MERGER, KONSOLIDASI DAN AKUISISI BANK PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERUSAHAAN MENURUT MAHKAMAH AGUNG (HOGE RAAD) : PERUSAHAAN ADALAH SESEORANG YG MEMPUNYAI PERUSAHAAN JIKA IA BERHUBUNGAN DGN KEUNTUNGAN KEUANGAN DAN

Pengantar Bisnis. Pertimbangan Menetapkan Bentuk Pemilikan Bisnis Alternatif Bentuk Pemilikan Bisnis. Fatmah Amir Abdat, SE, MM.

LEMBARAN DAERAH KOTA CILEGON

- 1 - PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG BADAN USAHA MILIK DAERAH

Transkripsi:

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Perusahaan 1. Definisi Perusahaan adalah setiap bentuk usaha yang menjalankan setiap jenis usaha yang bersifat terusmenerus dan yang didirikan, bekerja serta berkedudukan dalam wilayah negara Republik Indonesia, untuk tujuan memperoleh keuntungan dan atau laba (Pasal 1 Undang-Undang No. 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan). 2. Bentuk Usaha Bentuk usaha adalah organisasi usaha atau badan usaha yang menjadi wadah penggerak setiap jenis usaha, yang disebut bentuk hukum perusahaan. Bentuk-bentuk hukum perusahaan yaitu: a. Perusahaan Perseorangan Perusahaan perseorangan adalah perusahaan swasta yang didirikan dan dimiliki oleh pengusaha perseorangan. Perusahaan perseorangan dapat mempunyai bentuk hukum menurut bidang usahanya, yaitu perusahaan industri, perusahaan dagang dan perusahaan jasa (Abdulkadir Muhammad, 2002:47). b. Perusahaan Bukan Badan Hukum

Perusahaan bukan badan hukum adalah perusahaan swasta yang didirikan dan dimiliki oleh beberapa orang pengusaha secara kerja sama. Perusahaan bukan badan hukum adalah perusahaan persekutuan yang dapat menjalankan usaha dalam semua bidang perekonomian, yaitu bidang industri, dagang dan jasa. Perusahaan persekutuan dapat mempunyai bentuk hukum Firma dan Perusahaan Komanditer (CV) (Abdulkadir Muhammad, 2002:47). c. Perusahaan Badan Hukum Perusahaan badan hukum terdiri dari perusahaan swasta yang didirikan dan dimiliki oleh beberapa orang pengusaha secara kerja sama dan perusahaan negara yang didirikan dan dimiliki oleh negara. Perusahaan badan hukum dapat menjalankan usaha dalam semua bidang perekonomian. Perusahaan badan hukum mempunyai bentuk hukum Perseroan Terbatas (PT) dan koperasi yang dimiliki oleh pengusaha swasta, Perusahaan Umum (perum) dan Perusahaan Perseroan (persero) yang dimiliki negara (Abdulkadir Muhammad, 2002:47). 3. Pengaturan Bentuk Hukum Perusahaan Bentuk-bentuk hukum perusahaan ada yang sudah diatur dan ada yang belum diatur dalam perundang-undangan (Abdulkadir Muhammad, 2002:48). a. Bentuk Hukum Perusahaan yang Sudah Diatur Dalam UU (1) Bentuk hukum perusahaan swasta (a) Firma (Fa) dan Persekutuan Komanditer (CV) diatur dalam KUHD (b) Perseroan Terbatas (PT) diatur dalam UU No. 1 Tahun 1995. (c) Badan usaha koperasi diatur dalam UU No. 25 Tahun 1992. (2) Bentuk Hukum Perusahaan Negara (BUMN)

(a) Perusahaan jawatan (perjan) diatur dalam Indonesische Berdrijvenwet (Stb. No. 12 Tahun 1927). (b) Perusahaan Umum (perum) diatur dalam UU No. 19 Tahun 1960. (c) Perusahaan Perseroan (persero) diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 12 Tahun 1969. b. Bentuk Hukum Perusahaan yang Belum Diatur UU Bentuk hukum perusahaan yang belum diatur UU, adalah perusahaan perseorangan, tetapi keberadaannya diakui oleh pemerintah dalam praktik perusahaan. Pengakuan tersebut dapat dibuktikan dengan identitas yang digunakan, yaitu: (1) Nama tertentu yang dipakai sebagai nama perusahaan (2) Legalitas perusahaan B. Bentuk Usaha Perseroan Terbatas (PT) 1. Pengertian Perseroan Terbatas yang selanjutnya disebut perseroan adalah badan hukum yang didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha degan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham, dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang ini, serta peraturan pelaksananya (Pasal 1 angka (1) Undang-Undang No. 1 tentang Perseroan Terbatas). 2. Unsur-Unsur Perseroan Terbatas a. Badan Hukum

Pada Pasal 1 angka (1) UU No. 5/1999 jelas bahwa perseroan adalah badan hukum. b. Didirikan Berdasarkan Perjanjian Setiap perseroan terbatas didirikan berdasarkan perjanjian, artinya harus ada sekurangkurangnya dua orang yang sepakat mendirikan perseroan yang dibuktikan secara tertulis yang tersusun dalam bentuk anggaran dasar, kemudian dimuat dalam akta pendirian yang dibuat di muka Notaris. Setiap pendiri wajib mengambil bagian saham pada saat perseroan didirikan (Abdulkadir Muhammad, 2002:70). c. Melakukan Kegiatan Usaha Kegiatan dalam bidang perekonomian (industri, dagang, jasa, dan pembiayaan) yang mempunyai tujuan untuk mendapatkan keuntungan atau laba. d. Modal Dasar Menurut ketentuan Pasal 25 UU No. 1/1995 tentang Perseroan Terbatas, modal dasar perseroan sekurang-kurangnya Rp. 20.000.000,- (dua puluh juta rupiah). Namun undang-undang atau peraturan pelaksanaannya yang mengatur bidang usaha tertentu, dapat menentukan jumlah minimum modal dasar perseroan yang berbeda dari ketentuan minimal tersebut (I.G. Rai Widjaya, 2005:25). 3. Organ Perseroan Menurut ketentuan Pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas, organ perseroan adalah Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), Direksi, dan Komisaris.

a. Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) RUPS adalah organ perseroan yang memegang kekuasaan tertinggi dalam perseroan dan memegang segala wewenang yang tidak diserahkan kepada Direksi atau Komisaris (Pasal 1 angka (3) UU No. 1 Tahun 1995 tenang Perseroan Terbatas). (1) Hak dan Wewenang RUPS berhak memperoleh segala keterangan yang berkaitan dengan kepentingan perseroan dari Direksi dan Komisaris. RUPS mempunyai segala wewenang yang tidak diberikan kepada Direksi dan Komisaris (Pasal 1 angka 93) U No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas). (2) Tempat Kedudukan dan Tempat RUPS Diadakan Tempat kedudukan perseroan adalah tempat di mana kantor pusatnya berada atau tempat perseroan melakukan kegiatan usahanya. (3) Macam-macam RUPS RUPS tahunan, diadakan dalam waktu paling lambat 6 (enam) bulan setelah tahun buku, dan RUPS tahunan tersebut harus diajukan semua dokumen perseroan. RUPS lainnya dapat diadakan sewaktu-waktu berdasarkan kebutuhan. (4) Penyelenggara RUPS Penyelenggara RUPS adalah Direksi. Direksi menyelenggarakan RUPS tahunan dan untuk kepentingan perseroan, ia berwenang menyelenggarakan RUPS lainnya, atau dapat juga dilakukan atas permintaan satu pemegang saham atau lebih yang sama-sama mewakili 1/10 bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara yang sah, atau suatu jumlah yang lebih kecil sebagaimana ditentukan dalam anggaran dasar perseroan yang

bersakungkutan. Permintaan tersebut diajukan kepada Direksi atau Komisaris dengan surat tercatat disertai alasannya. b. Direksi Direksi adalah organ perseroan yang bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan Anggaran Dasar. (Pasal 1 angka (4) UU No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas). c. Komisaris Komisaris adalah organ perseroan yang bertugas melakukan pengawasan secara umum dan atau khusus serta memberikan nasehat kepada Direksi dalam menjalankan perseroan (Pasal 1 angka (5) UU No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas). C. Saham Saham adalah surat berharga yang dikeluarkan oleh sebuah perusahaan yang berbentuk Perseroan Terbatas (PT) atau yang biasa disebut emiten. Saham menyatakan bahwa pemilik saham tersebut adalah juga pemilik sebagian perusahaan itu. Dengan demikian kalau seorang investor membeli saham, maka ia pun menjadi pemilik atau pemegang saham perusahaan (Sawadji Widianto, 2004:39).

Surat saham dipandang sebagai barang bergerak (Pasal 511 ayat (4) KUHPdt), jadi pemegang saham yang memiliki saham mempunyai hak kebendaan terhadap saham tersebut dan hak tersebut dapat dipertahankan terhadap setiap orang. Dalam Pasal 54 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1995 juga dinyatakan bahwa saham merupakan benda bergerak dan memberikan hak kepemilikan kepada pemegangnya. 1. Klasifikasi Saham Saham dapat diklasifikasikan menurut cara pengalihan dan dari segi manfaat. a. Cara pengalihan (1) Saham atas nama, adalah saham yang cara pengalihannya dengan balik nama. Nama yang tertera pada saham atas nama adalah orang yang berhak atas saham tersebut (Nindyo Pramono, 2001:81). (2) Saham atas tunjuk, adalah saham yang cara pengalihannya dengan cara penyerahan langsung. Sehingga seorang yang secara nyata memegang sepucuk saham atas tunjuk maka oleh hukum ia adalah yang berhak atas saham tersebut (Nindyo Pramono, 2001:81). b. Segi manfaat (1) Saham biasa Saham biasa adalah saham yang dapat dimiliki oleh masyarakat yang mempunyai manfaat mendapatkan deviden (bagian keuntungan yang diperoleh dari usaha suatu PT dan berhak atas pembagian yang seimbang dari sisa harta kekayaan perseroan sesudah PT itu bubar) dan mendapatkan hak suara atau ikut bersuara dan menentukan jalannya perusahaan melalui RUPS. (2) Saham preferen

Saham preferen adalah saham yang mempunyai manfaat dan diberikan kepada orang tertentu dalam jumlah yang sedikit. Jadi, saham preferen tidak dapat menentukan seseorang sebagai pemilik saham mayoritas pada suatu perusahaan. (a) Saham preferent atau saham prioritas. Pemegang saham ini biasanya berbeda dengan pemegang saham biasa. Pemegang saham ini mempunyai hak-hak istimewa dalam pembagian keuntungan atau hak lain. Biasanya saham-saham prioritas diterbitkan atas nama dan diberikan kepada para pendiri atau orang-orang yang dianggap berjasa dalam PT. (b) Saham preferent kumulatif, yaitu saham yang memberi hak kepada pemegangnya untuk mendapatkan bagian pada tahun berikutnya, jika pada suatu tahun tertentu PT tidak membagi deviden karena mengalami kerugian. (c) Saham bonus, yaitu saham yang diberikan kepada pemegang saham lama tanpa penyetoran ke kas PT. Penerbitan saham bonus dilakukan untuk menjaga keseimbangan antara modal perseroan dengan kekayaan perseroan. (d) Saham pendiri, yaitu saham yang diberikan kepada orang yang berjasa ikut mendirikan PT sebagai wujud penghargaan. Pemegang saham ini tidak diharuskan membayar harga nominalnya ke dalam kas perseorangan. 2. Pemilikan Saham a. Perseorangan Pemilik saham dapat berupa perorangan. b. Badan Hukum Pemilik saham dapat berupa badan hukum (publik atau privat).

3. Saham Mayoritas Saham mayoritas dapat dimiliki oleh para pelaku usaha dengan cara, yaitu: a. Pembelian di Bursa Efek Bursa Efek sebenarnya adalah sama dengan pasar-pasar lainnya, yakni tempat bertemunya pembeli dan penjual barang, bedanya di Bursa Efek barang yang diperdagangkan adalah Efek atau surat-surat berharga berupa saham, rights issue, waran, obligasi konversi dan sebagainya (Sawidji Widoatmodjo, 2004:2). b. Penggabungan, Peleburan dan Pengambilalihan Penggabungan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu perseroan atau lebih untuk menggabungkan diri dengan perseroan lain yang telah ada dan selanjutnya perseroan yang menggabungkan diri menjadi bubar. Peleburan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh dua perseroan atau lebih untuk meleburkan diri dengan cara membentuk satu perseroan baru dan masing-masing perseroan yang meleburkan diri menjadi bubar. Pengambilalihan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh badan hukum atau orang perseorangan untuk mengambilalih baik seluruh ataupun sebagian besar saham perseroan yang dapat mengakibatkan beralihnya pengendalian terhadap perseroan tersebut (Pasal 28 UU No. 5/1999). D. Perjanjian-Perjanjian dan Kegiatan-Kegiatan yang Dilarang Pada UU No.5/1999 diatur mengenai perjanjian-perjanjian dan kegiatan-kegiatan yang dilarang, dan hal-hal yang dikecualikan. 1. Perjanjian-perjanjian yang Dilarang

Perjanjian yang dilarang adalah suatu persetujuan yang tertulis untuk mengikatkan dirinya yang dilakukan satu atau lebih pelaku usaha dengan satu atau lebih pelaku usaha lainnya dan mentaati apa yang disepakati dalam persetujuan itu dimana isi perjanjian tersebut melanggar undangundang yang telah ditetapkan oleh Pemerintah (Rachmadi Usman, 2004:37). Pasal 4 sampai dengan pasal 16 UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat menetapkan jenis-jenis perjanjian yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat sehingga pengusaha dengan pengusaha lainnya atau pengusaha pesaingnya dilarang membuatnya. Perjanjian tersebut meliputi: a. Pengusaha produksi dan atau pemasaran pada pasar bersangkuan yang sama (perjanjian oligopoli) b. Penetapan harga atas konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama (perjanjian penetapan harga). c. Pembagian wilayah pemasaran atau alokasi pasar terhadap barang dan atau jasa (perjanjian pembagian wilayah). d. Penghalangan untuk melakukan usaha yang sama baik untuk tujuan pasar dalam negeri maupun luar negeri. e. Pengaturan produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa untuk mempengaruhi harga (perjanjian kartel). f. Pembentukan gabungan perusahaan atau perseroan yang lebih besar dengan tetap menjaga atau mempertahankan kelangsungan hidup masing-masing perusahaan atau perseroan

anggotanya yang bertujuan untuk mengontrol produksi dan atau pemasaran atas barang dan jasa (perjanjian trust). g. Penguasaan produksi sejumlah produk yang termasuk ke dalam rangkaian produksi barang dan atau jasa tertentu yang mana setiap rangkaian produksi barang dan atau jasa tertentu yang mana setiap rangkaian produksi merupakan hasil pengolahan atau proses lanjutan, baik dalam suatu rangkaian langsung maupun tidak langsung (perjanjian vertikal). h. Perjanjian yang memuat persyaratan-persyaratan tertentu kepada pihak yang menerima barang atau jasa (perjanjian tertutup). i. Perjanjian dengan pihak luar negeri yang memuat ketentuan yang dapat mengakibatkan terjadinya monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat (perjanjian dengan pihak luar negeri). 2. Kegiatan-kegiatan yang Dilarang Pasal 17 sampai dengan Pasal 24 UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat menetapkan jenis-jenis kegiatan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat sehingga pengusaha dengan pengusaha lainnya atau pengusaha pesaingnya dilarang membuatnya. Kegiatan-kegiatan tersebut adalah; a. Penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa (kegiatan monopoli). b. Penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal atau barang dan atau jasa dalam pasar bersangkutan (kegiatan monopsoni). c. Penolakan atau penghalangan pengusaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar yang bersangkutan (kegiatan penguasaan pasar).

d. Sekongkolan dengan pihak lain untuk mengatur dan menentukan pemenang tender (kegiatan persekongkolan). 3. Hal-hal yang Dikecualikan Pasal 50 UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat menyebutkan yang dikecualikan dari perjanjian dan kegiatan yang dilarang dalam praktek monopoli dan persaingan usaha yang tidak sehat adalah; a. Perbuatan dan atau perjanjian yang bertujuan melaksanakan peraturan perundang-undangan yang berlaku. b. Perjanjian dalam rangka keagenan yang isinya tidak mengandung ketentuan untuk menjual kembali barang dan atau jasa dengan harga yang lebih rendah dari pada harga yang sebelumnya telah disepakati. c. Perjanjian kerjasama penelitian untuk peningkatan atau perbaikan standar hukum masyarakat luas. d. Perjanjian internasional yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia. e. Perjajian dan atau perbuatan yang bertujuan untuk ekspor dan yang tidak mengganggu kebutuhan dan atau pasokan pasar dalam negeri. f. Pelaku usaha yang tergolong dalam usaha kecil. g. Kegiatan usaha koperasi yang secara khusus bertujuan melayani anggotanya. Selain hal-hal yang dikecualikan di atas, Pasal 51 UU No. 5 Tahun 1999 juga menyebutkan bahwa monopoli dan atau pemusatan kegiatan yang berkaitan dengan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang menguasai hajat hidup orang banyak serta cabang-cabang

produksi yang penting bagi negara diatur dengan undang-undang dan diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara dan atau badan atau lembaga yang dibentuk atau ditunjuk oleh Pemerintah. Pasal 51 UU No. 5 Tahun 1999 ini merupakan bentuk manifestasi dari Pasal 33 angka (2) dan angka (3) Undang-Undang Dasar 1945. E. Pasar Bersangkutan Pasar bersangkutan diartikan sebagai pasar yang berkaitan dengan jangkauan atau daera pemasaran tertentu oleh pelaku usaha atas barang atau jasa yang sama atau sejenis atau substitusi dari barang atau jasa tersebut (Pasal 1 angka (10) UU No. 5 Tahun 1999). Dari pengertian ini, terdapat 2 (dua) kriteria pokok untuk pasar bersangkutan, pertama jangkauan atau daerah pemasaran tertentu, kedua barang dan atau jasa yang sama atau sejenis atau substitusi dari barang atau jasa tersebut. Pasar dapat dibedakan antara pasar pasokan ( supply market) dan pasar permintaan ( demand market) dan cara mengidentifikasi pasar tersebut adalah dari segi faktual dan geografis. Pembatasan pasar menurut pasar pasokan dan paar permintaan perlu dilakukan untuk menilai penguasaan pasar dari segi pemasok dan dari segi pembeli menurut hukum persaingan usaha. Namun, pengaturan pada Pasal 1 angka (10) UU No. 5 Tahun 1999 hanya mengasumsikan adanya pasar pasokan, sehingga tidak dapat digunakan untuk mendefinisikan pasar permintaan. 1. Pasar Produk/Pasar Faktual Penentuan pasar produk atau pasar faktual di sini agar dapat melihat sejauh mana produk bersangkutan dapat disubstitusikan atau dipertukarkan oleh produk lain karena karakteristik produk, harga dan tujuan penggunaannya. Jadi, pasar produk/pasar faktual terhenti oleh adanya

kekosongan substitusi, karena hanya apabila terdapat rangkaian substitusi maka barang-barang tersebut dalam paar bersangkutan faktual. Menurut Pasal 1 angka (10) UU No. 5 Tahun 1999, pendekatan yang paling mendasar untuk menentukan produk yang dapat disubstitusikan adalah: a. Dapat ditentukan secara absolut sifat barang dan jasa atau yang sama atau sejenis. b. Berdasarkan sifat barang dan atau jasa, pembeli perlu menganggap bahwa barang dan atau jasa tersebut dapat diganti barang dan atau jasa lain. 2. Pasar Geografis Pasar geografis dapat diartikan sebagai jangkauan atau daerah pemasaran oleh penjual untuk menjalankan usahanya. Indikasi untuk menentukan wilayah, dimana pemasok barang dan atau jasa sedang mengalami persaingan: a. struktur distribusi b. biaya transportasi c. pasokan barang dan atau jasa yang terikat tempat d. kebiasaan permintaan tertentu e. kondisi akses pasar F. Konsep Dasar dalam Penerapan Hukum Persaingan Usaha Dalam penegakan hukum persaingan usaha dikenal pembedaan pendekatan yang berdasarkan pada kriteria pembuktian substantif, yaitu pendekatan per se illegal dan rule of reason. 1. Pendekatan Per Se Illegal

Per Se Ilegal adalah suatu pendekatan yang menyatakan setiap perjanjian usaha atau kegiatan usaha tertentu sebagai ilegal, tanpa perlu pembuktian lebih lanjut atas dampak yang timbul dari perjanjian atau kegiatan usaha tersebut (Arie Siswanto, 2002:65). Manfaat penggunaan metode per se illegal adalah kemudahan dan kejelasan dalam proses administratif, selain memiliki kekuatan mengikat ( self-enforcing) dari pada larangan yang masing tergantung pada evaluasi dari pengaruh pasar yang rumit. Pendekatan per se illegal menyatakan setiap perjanjian atau kegiatan usaha tertentu ilegal, tanpa pembuktian lebih lanjut atas dampak yang ditimbulkan oleh perjanjian atau kegiatan usaha tersebut. Kegiatan yang dianggap sebagai per se illegal biasanya meliputi penetapan harga secara kolusif atas produk tertentu, serta pengaturan harga penjualan kembali. 2. Pendekatan Rule Of Reason Rule of reason adalah suatu pendekatan untuk mengevaluasi akibat perjanjian atau kegiatan usaha tertentu, guna menentukan apakah suatu perjanjian atau kegiatan tersebut bersifat menghambat atau mendukung persaingan (Arie Siswanto, 2002:66). Pendekatan Rule of reason menyatakan beberapa bentuk tindakan persaingan usaha baru dianggap salah jika terbukti bahwa akibat dari tindakan tersebut merugikan pelaku usaha lain (pesaing), konsumen atau perekonomian nasional. Suatu tindakan yang meskipun terkesan anti persaingan mungkin saja dibenarkan, jika dampaknya justru menghasilkan suatu efisiensi yang menguntungkan konsumen atau perekonomian nasional (Rikrik Rizkiyana, 2006:4).

Manfaat penggunaan metode rule of reason adalah dapat mengetahui apakah suatu tindakan pelaku usaha memiliki implikasi terhadap persaingan usaha yang sehat atau tidak melalui analisis ekonomi. Pendekatan rule of reason digunakan oleh lembaga otoritas persaingan usaha untuk membuat evaluasi mengenai akibat perjanjian atau kegiatan usaha tertentu, guna menentukan apakah perjanjian atau kegiatan tersebut bersifat menghambat atau mendukung persaingan. G. Kerangka Pikir Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 Pemilik Saham Mayoritas Dilarang Dibolehkan Batasan-batasan Kasus Ciniplex 21 Agar tercipta persaingan usaha yang sehat dan wajar di Indonesia, maka dibuatlah rambu-rambu yang harus ditaati oleh semua pelaku usaha, yaitu Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Dalam undang-undang ini pada Pasal 27 mengatur tentang pemilikan saham mayoritas yang dilarang dan dibolehkan. Pemilikan saham mayoritas mempunyai batasan-batasan sehingga dapat dikatakan dilarang. Satu-satunya kasus yang melanggar pemilikan saham mayoritas yang sampai saat ini sudah diputus oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) hanya Ciniplex 21. Dengan Putusan No. 05/KPPU-L/2002.