KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR : 04 TAHUN 2001 TENTANG KRITERIA BAKU KERUSAKAN TERUMBU KARANG MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

dokumen-dokumen yang mirip
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR : 04 TAHUN 2001 TENTANG KRITERIA BAKU KERUSAKAN TERUMBU KARANG

Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 4 Tahun 2001 Tentang : Kriteria Baku Kerusakan Terumbu Karang

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2001 TENTANG

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

PENGENDALIAN KERUSAKAN DAN ATAU PENCEMARAN LINGKUNGAN HIDUP YANG BERKAITAN DENGAN KEBAKARAN HUTAN DAN ATAU LAHAN

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2002 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENGAWASAN PENGUSAHAAN PASIR LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2002 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENGAWASAN PENGUSAHAAN PASIR LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

JAKARTA (22/5/2015)

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 1999 Tentang : Pengendalian Pencemaran Dan/Atau Perusakan Laut

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 33 ayat (2)

BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG

GUBERNUR MALUKU PERATURAN DAERAH PROVINSI MALUKU NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN TELUK DI PROVINSI MALUKU

MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP.33/MEN/2002 TENTANG ZONASI WILAYAH PESISIR DAN LAUT UNTUK KEGIATAN PENGUSAHAAN PASIR LAUT

BUPATI BANGKA TENGAH

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 150 TAHUN 2000 TENTANG PENGENDALIAN KERUSAKAN TANAH UNTUK PRODUKSI BIOMASSA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 150 TAHUN 2000 TENTANG PENGENDALIAN KERUSAKAN TANAH UNTUK PRODUKSI BIOMASSA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENGENALAN EKOSISTEM DI LAUT DANGKAL (Biologi(

Keputusan Kepala Badpedal No. 47 Tahun 2001 Tentang : Pedoman Pengukuran Kondisi Terumbu Karang

BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 19 TAHUN 2012 TENTANG

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER. 14/MEN/2009 TENTANG MITRA BAHARI

Industri dan Rantai Perdagangan

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 2 TAHUN 2006 TENTANG PENGELOLAAN KUALITAS AIR DAN PENGENDALIAN PENCEMARAN AIR

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR: 51 TAHUN 2004 TENTANG BAKU MUTU AIR LAUT MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 97 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA STRATEGIS WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL TAHUN

PETUNJUK TEKNIS PENGAWASAN PENCEMARAN PERAIRAN

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM Nomor 09/PRT/M/2010 Tentang PEDOMAN PENGAMANAN PANTAI MENTERI PEKERJAAN UMUM,

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar dengan jumlah pulaunya yang

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : 14 TAHUN 2006

BUPATI SUKAMARA PERATURAN BUPATI SUKAMARA NOMOR 18 TAHUN 2008 T E N T A N G

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 82 TAHUN 2001 TENTANG PENGELOLAAN KUALITAS AIR DAN PENGENDALIAN PENCEMARAN AIR


BUPATI BANGKA TENGAH

PEMERINTAH KABUPATEN SITUBONDO

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : 6 TAHUN 2014 PERATURAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : 6 TAHUN 2014 TENTANG

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP.38/MEN/2004 TENTANG PEDOMAN UMUM PENGELOLAAN TERUMBU KARANG MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN,

EKOSISTEM LAUT DANGKAL EKOSISTEM LAUT DANGKAL

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERDANG BEDAGAI NOMOR 20 TAHUN 2012 TENTANG

PEMERINTAH KABUPATEN MALANG

GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 2 TAHUN 2006 TENTANG PENGELOLAAN KUALITAS AIR DAN PENGENDALIAN PENCEMARAN AIR

PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 01 TAHUN 2010 TENTANG TATA LAKSANA PENGENDALIAN PENCEMARAN AIR MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN ALOR TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA LINGKUNGAN HIDUP KAWASAN PESISIR DAN LAUT DI KABUPATEN ALOR

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07/PRT/M/2015 TENTANG PENGAMANAN PANTAI

PERATURAN PEMERINTAH NO. 82/2001 TENTANG PENGELOLAAN KUALITAS AIR DAN PENGENDALIAN PENCEMARAN AIR PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17/PERMEN-KP/2013

I. PENDAHULUAN pulau dengan luas laut sekitar 3,1 juta km 2. Wilayah pesisir dan. lautan Indonesia dikenal sebagai negara dengan kekayaan dan

PERATURAN DAERAH KOTA MALANG NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN AIR DI KOTA MALANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MALANG,

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG

BUPATI KEBUMEN PERATURAN BUPATI KEBUMEN NOMOR 87 TAHUN 2008 TENTANG

PEMERINTAH PROVINSI MALUKU PERATURAN DAERAH PROVINSI MALUKU NOMOR 10 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN EKOSISTEM TERUMBU KARANG

PEMERINTAH KABUPATEN BANYUWANGI KECAMATAN PESANGGARAN DESA SUMBERAGUNG JALAN SUKAMADE NOMOR 51 TELPON KP BANYUWANGI

SURAT KEPUTUSAN KEPALA DESA TEJANG PULAU SEBESI NOMOR : 140/ /KD-TPS/16.01/ /2002 TENTANG DAERAH PENGAMANAN LAUT

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.30/MEN/2010 TENTANG RENCANA PENGELOLAAN DAN ZONASI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TABALONG TAHUN 2008 NOMOR

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PENGAWASAN SUMBER DAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR: KEP.59/DJ-PSDKP/2011 TENTANG

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 16 TAHUN 2016 TENTANG BAKU MUTU LINGKUNGAN HIDUP DAN KRITERIA BAKU KERUSAKAN LINGKUNGAN HIDUP

BUPATI KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN BUPATI KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 20 TAHUN 2009 TENTANG

Ketentuan Wajib Menyusun Dokumen AMDAL

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENCEGAH KERUSAKAN PANTAI, MELESTARIKAN KEANEKARAGAMAN HAYATI

Melestarikan habitat pesisir saat ini, untuk keuntungan di esok hari

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

I. PENDAHULUAN. negara Indonesia menyebabkan Indonesia memiliki kekayaan alam yang sangat

Dinas Pekerjaan Umum Pengairan

KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, NOMOR : 201 TAHUN 2004 TENTANG KRITERIA BAKU DAN PEDOMAN PENENTUAN KERUSAKAN MANGROVE

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang

GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH

PERENCANAAN DAN PERJANJIAN KINERJA. Bab II

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI BANTUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN BUPATI BANTUL NOMOR 24 TAHUN 2016 TENTANG PELESTARIAN SATWA BURUNG DAN IKAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BUPATI KEPULAUAN MERANTI PROVINSI RIAU PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN MERANTI NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17/PERMEN-KP/2013

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.08/MEN/2009 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

-2- Pasal 68 ayat huruf c dan Pasal 69 ayat UndangUndang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas

Peraturan Pemerintah No. 150 Tahun 2000 Tentang : Pengendalian Kerusakan Tanah Untuk Produksi Biomassa

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR : 16 TAHUN 2003 TENTANG PENGAMANAN PASIR, KERIKIL, DAN BATU DI LINGKUNGAN SUNGAI DAN PESISIR

PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 57 TAHUN 2016 TENTANG PELAKSANAAN PEMANTAUAN DAN PENGAWASAN LINGKUNGAN HIDUP DI ACEH DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR

VI ANALISIS DPSIR DAN KAITANNYA DENGAN NILAI EKONOMI

Transkripsi:

S A L I N A N KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR : 04 TAHUN 2001 TENTANG KRITERIA BAKU KERUSAKAN TERUMBU KARANG MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, Menimbang : a. bahwa terumbu karang merupakan sumber daya alam yang mempunyai berbagai fungsi sebagai habitat tempat berkembang biak dan berlindung bagi sumber daya hayati laut; b. bahwa dengan semakin meningkatnya kegiatan pembangunan telah menimbulkan dampak terhadap kerusakan terumbu karang, oleh karena itu perlu dilakukan berbagai upaya pengendaliannya; c. bahwa salah satu upaya untuk melindungi terumbu karang dari kerusakan tersebut dilakukan berdasarkan kriteria baku kerusakan; d. bahwa mengingat hal seperti tersebut pada huruf a, b dan c, perlu ditetapkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Kriteria Baku Kerusakan Terumbu Karang; Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 46; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3299); 2. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3419); 3. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 68; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699); 4. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 60; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839); 5. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran dan atau Perusakan Laut (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 32; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3816); 6. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 59; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3838); 7. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 54; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3952); MEMUTUSKAN : Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG KRITERIA BAKU KERUSAKAN TERUMBU KARANG. 1

BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan : 1. Terumbu Karang adalah kumpulan karang dan atau suatu ekosistem karang yang dibangun terutama oleh biota laut penghasil kapur bersama-sama dengan biota yang hidup di dasar laut lainnya serta biota lain yang hidup bebas di dalam perairan sekitarnya; 2. Kriteria Baku Kerusakan Terumbu Karang adalah ukuran batas perubahan sifat fisik dan atau hayati terumbu karang yang dapat ditenggang; 3. Status kondisi terumbu karang adalah tingkatan kondisi terumbu karang pada suatu lokasi tertentu dalam waktu tertentu yang dinilai berdasarkan kriteria baku kerusakan terumbu karang dengan menggunakan prosentase luas tutupan terumbu karang yang hidup; 4. Menteri adalah Menteri yang ditugasi untuk mengelola lingkungan hidup; 5. Gubernur adalah Kepala Daerah Propinsi; 6. Bupati/Walikota adalah Kepala Daerah Kabupaten/Kota; 7. Instansi yang bertanggung jawab adalah instansi yang bertanggung jawab di bidang pengendalian dampak lingkungan; 8. Instansi yang bertanggung jawab di daerah adalah instansi yang bertanggung jawab di bidang pengendalian dampak lingkungan atau pengelolaan lingkungan hidup daerah. BAB II KRITERIA BAKU KERUSAKAN, STATUS KONDISI, DAN PROGRAM PENGENDALIAN KERUSAKAN TERUMBU KARANG Bagian Pertama Kriteria Baku Kerusakan Terumbu Karang Pasal 2 (1) Kriteria Baku Kerusakan Terumbu Karang ditetapkan berdasarkan prosentase luas tutupan terumbu karang yang hidup. (2) Kriteria Baku Kerusakan Terumbu karang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tercantum dalam lampiran I Keputusan ini. Pasal 3 (1) Kriteria Baku Kerusakan Terumbu Karang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) merupakan salah satu cara untuk menentukan status kondisi terumbu karang yang didasarkan pada penggunaan metode Transek Garis Bentuk Pertumbuhan Karang. Bagian Kedua Status Kondisi Terumbu Karang Pasal 4 (1) Gubernur/Bupati/Walikota wajib melakukan inventarisasi terumbu karang sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun sekali untuk mengetahui status kondisi terumbu karang dan menyampaikan laporannya kepada Menteri dan instansi yang bertanggung jawab. (2) Gubernur/Bupati/Walikota menentukan status kondisi terumbu karang dari hasil inventarisasi yang dilakukan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berdasarkan Kriteria Baku Kerusakan Terumbu Karang dapat ditentukan : a. terumbu karang dalam kondisi baik; atau b. terumbu karang dalam kondisi rusak. (3) Pedoman pengukuran untuk menetapkan status kondisi terumbu karang sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan lebih lanjut dengan Keputusan Kepala instansi yang yang bertanggung jawab. Pasal 5 2

Gubernur/Bupati/Walikota wajib mempertahankan status kondisi terumbu karang yang dinyatakan dalam kondisi baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf a. Bagian Ketiga Program Pengendalian Kerusakan Terumbu Karang Pasal 6 (1) Gubernur/Bupati/Walikota wajib menyusun program pengendalian kerusakan terumbu karang yang dinyatakan dalam kondisi rusak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf b. (2) Program pengendalian terumbu karang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi pencegahan, penanggulangan, dan pemulihan. (3) Pedoman tentang tata cara pencegahan, penanggulangan, dan pemulihan kerusakan terumbu karang sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tercantum dalam lampiran II Keputusan ini. Pasal 7 Dalam rangka pelaksanaan program pengendalian kerusakan terumbu karang Gubernur/Bupati/Walikota wajib melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap kondisi terumbu karang sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun sekali dan menyampaikan laporannya kepada Menteri, instansi yang berwenang di bidang kehutanan, instansi yang berwenang di bidang kelautan dan perikanan serta instansi yang bertanggung jawab. Pasal 8 Menteri menetapkan kebijakan nasional mengenai pengendalian kerusakan terumbu karang. BAB III PENGAWASAN DAN PELAPORAN Pasal 9 (1) Gubernur/Bupati/Walikota melakukan pengawasan terhadap usaha dan atau kegiatan yang diperkirakan dapat menimbulkan kerusakan terhadap terumbu karang. (2) Dalam hal pengawasan tersebut dilakukan di kawasan konservasi wajib dikoordinasikan dengan instansi yang berwenang di bidang kehutanan, instansi yang berwenang di bidang kelautan dan perikanan serta instansi yang bertanggung jawab. Pasal 10 (1) Setiap orang yang menduga atau mengetahui kerusakan atau perusakan terumbu karang, wajib segera melaporkan kepada pejabat daerah terdekat. (2) Pejabat daerah terdekat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri dari Kepala Desa, Lurah, Camat, Kepolisian, Bupati, Walikota atau Gubernur terdekat. (3) Pejabat daerah terdekat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang menerima laporan wajib mencatat : a. identitas pelapor; b. tanggal pelaporan; c. waktu dan tempat kejadian; d. lokasi terjadinya kerusakan; e. sumber yang menjadi penyebab terjadinya kerusakan terumbu karang dan atau pelaku perusakan. Pasal 11 Pejabat daerah terdekat yang menerima laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 wajib segera melakukan verifikasi laporan terjadinya kerusakan atau perusakan terumbu karang. Pasal 12 Apabila hasil verifikasi menunjukkan telah terjadi kerusakan atau perusakan terumbu karang, Bupati, Walikota atau Gubenur setempat wajib segera melakukan langkah penanganannya. 3

BAB IV PEMBIAYAAN Pasal 13 Biaya sebagaimana dimaksud dalam : a Pasal 4 ayat (3), Pasal 8, dan Pasal 9 ayat (2) dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan atau sumber dana lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. b. Pasal 4 ayat (1), Pasal 5, Pasal 6 ayat (1), Pasal 7, Pasal 9, Pasal 11, dan Pasal 12 dibebankan pada Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) dan atau sumber dana lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. BAB V KETENTUAN PENUTUP Pasal 14 Ditetapkan di : Jakarta pada tanggal : 23 Pebruari 2001 Menteri Negara Lingkungan Hidup, ttd. Dr. A. Sonny Keraf. Salinan sesuai dengan aslinya Deputi III MENLH Bidang Hukum Lingkungan, Ttd. Prof. Dr. Sudharto P. Hadi, MES. 4

Lampiran I : Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : KEP- /MENLH/ /2001 Tanggal : 23 Februari 2001 KRITERIA BAKU KERUSAKAN TERUMBU KARANG PARAMETER KRITERIA BAKU KERUSAKAN TERUMBU KARANG (dalam %) Rusak Buruk 0-24,9 Prosentase Luas Tutupan Terumbu Karang yang Hidup Sedang 25-49,9 Baik 50-74,9 Baik Baik sekali 75-100 Keterangan : Prosentase Luas Tutupan Terumbu Karang yang Hidup yang dapat ditenggang : 50-100% Salinan sesuai dengan aslinya Deputi III MENLH Bidang Hukum Lingkungan, ttd. Prof. Dr. Sudharto P. Hadi, MES. Menteri Negara Lingkungan Hidup, ttd. Dr. A. Sonny Keraf. 5

Lampiran II : Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : KEP- /MENLH/ /2001 Tanggal : 23 Februari 2001 PEDOMAN TATA CARA PENCEGAHAN, PENANGGULANGAN DAN PEMULIHAN KERUSAKAN TERUMBU KARANG A. Pendahuluan. Terumbu karang merupakan rumah bagi 25 % dari seluruh biota laut dan merupakan ekosistem di dunia yang paling rapuh dan mudah punah. Oleh karena itu pengelolaan ekosistem terumbu karang demi kelestarian fungsinya sangat penting. Terumbu karang Indonesia menurut Tomascik, 1997 mempunyai luas kurang lebih 85.707 Km 2, yang terdiri dari fringing reefs 14.542 km 2, barrier reefs 50.223 km 2, oceanic platform reefs 1.402 km 2, dan attols seluas 19.540 km 2. Terumbu karang telah dimanfaatkan oleh masyarakat melalui berbagai cara. Akhir-akhir ini penangkapan biota dengan cara merusak kelestarian sumberdaya, seperti penggunaan bahan peledak atau zat kimia beracun (potassium sianida) telah terjadi di seluruh perairan Indonesia. Masyarakat di sekitar kawasan terumbu karang merupakan kalangan yang paling berkepentingan dalam pemanfaatannya, sebaliknya, kalangan ini pula yang akan menerima akibat yang timbul dari kondisi baik maupun buruknya ekosistem ini. Oleh karena itu pengendalian kerusakan terumbu karang sangat diperlukan untuk menjaga kelestarian fungsi ekosistem yang sangat berguna bagi masyarakat pesisir. B. Penyebab Kerusakan Terumbu Karang. 1. Sedimentasi. Konstruksi di daratan dan sepanjang pantai, penambangan atau pertanian di daerah aliran sungai ataupun penebangan hutan tropis menyebabkan tanah mengalami erosi dan terbawa melalui aliran sungai ke laut dan terumbu karang. Kotoran-kotoran, lumpur ataupun pasir-pasir ini dapat membuat air menjadi kotor dan tidak jernih lagi sehingga karang tidak dapat bertahan hidup karena kurangnya cahaya. Hutan mangrove dan padang lamun yang berfungsi sebagai penyaring juga menjadi rusak dan menyebabkan sedimen dapat mencapai terumbu karang. Penebangan hutan mangrove untuk keperluan kayu bakar dapat merubah area hutan mangrove tersebut menjadi pantai terbuka. Dengan membuka tambak-tambak udang dapat merusak tempat penyediaan udang alami. 2. Penangkapan dengan Bahan Peledak. Penggunaan bahan peledak untuk penangkapan ikan oleh nelayan akan mengakibatkan penangkapan ikan secara berlebihan, sehingga menyebabkan tangkapan ikan akan berkurang di masa berikutnya. Penggunaan Kalium Nitrat (sejenis pupuk) sebagai bahan peledak akan mengakibatkan ledakan yang besar, sehingga membunuh ikan dan merusak karang di sekitarnya. 3. Aliran drainase. Aliran drainase yang mengandung pupuk dan kotoran yang terbuang ke perairan pantai mendorong pertumbuhan algae yang akan menghambat pertumbuhan polip karang, mengurangi asupan cahaya dan oksigen. Penangkapan secara berlebihan membuat masalah ini bertambah buruk karena ikan-ikan yang biasanya makan algae juga ikut tertangkap. 4. Penangkapan ikan dengan Sianida. Kapal-kapal penangkap ikan seringkali menggunakan sianida dan racun-racun lain untuk menangkap ikan-ikan karang yang berharga. Metode ini acap digunakan untuk menangkap ikan-ikan tropis untuk akuarium dan sekarang digunakan untu menangkap ikan-ikan sebagai konsumsi restoran-restoran yang memakai ikan hidup. 5. Pengumpulan dan Pengerukan. Pengambilan karang untuk digunakan sebagai bahan baku konstruksi atau dijual untuk cindera mata juga merusak terumbu karang. Demikian pula pengerukan dan pengeboman karang untuk konstruksi di daerah terumbu karang. 6

6. Pencemaran Air. Produk-produk minyak bumi dan kimia lain yang dibuang di dekat perairan pantai, pada akhirnya akan mencapai terumbu karang. Bahan-bahan pencemar ini akan meracuni polip karang dan biota laut lainnya. 7. Pengelolaan tempat rekreasi. Pengelolaan tempat rekreasi di wilayah pesisir yang tidak memperhatikan lingkungan, seperti penyewaan kapal, peralatan pemancingan dan penyelaman seringkali menyebabkan rusaknya terumbu karang. Pelemparan jangkar ke karang dapat menghancurkan dan mematahkan terumbu karang. Para wisatawan yang mengambil, mengumpulkan, menendang, dan berjalan di karang ikut menyumbang terjadinya kerusakan terumbu karang. 8. Pemanasan global. Terumbu karang juga terancam oleh pemanasan global. Pemutihan terumbu karang meningkat selama dua dekade terakhir, masa dimana bumi mengalami beberapa kali suhu terpanas dalam sejarah. Ketika suhu laut meningkat sangat tinggi, polip karang kehilangan algae simbiotik didalamnya, sehingga mengubah warna mereka menjadi putih dan akhirnya mati. Pemanasan global juga mengakibatkan cuaca ekstrim sukar diperkirakan, seperti badai tropis yang dapat mengakibatkan kerusakan fisik ekosistem terumbu karang yang sangat besar. Meningkatnya permukaan laut juga menjadi ancaman serius bagi terumbu karang dan pulau-pulau kecil maupun atol. C. Pencegahan dan Penanggulangan. 1. Peningkatan Kesadaran dan Partisipasi Masyarakat. Adalah upaya untuk meningkatkan kesadartahuan masyarakat akan pentingnya peranan terumbu karang dan mengajak masyarakat untuk berperan serta aktif dan bertanggung jawab dalam mengelola dan memanfaatkan terumbu karang secara lestari, seperti meningkatkan kesadaran mereka akan peranan penting terumbu karang, seperti sebagai tempat pengembangan wisata bahari, bahan baku obat-obatan, kosmetika, bahan makanan dan lain-lain. Penting juga untuk menanamkan arti dan manfaat terumbu karang bagi kelangsungan hidup masyarakat pesisir sejak masa kanak-kanak. 2. Pengelolaan Berbasis Masyarakat. a. Membina masyarakat untuk melakukan kegiatan alternatif seperti budidaya, pemandu wisata dan usaha kerajinan tangan yang akan meningkatkan pendapatan masyarakat setempat. Pembinaan ini disertai dengan bantuan pendanaan yang disalurkan melalui berbagai sistem yang telah ada dan tidak membebani masyarakat. b. Menerapkan pengetahuan dan teknologi rehabilitasi dan pengelolaan terumbu karang agar dapat dimanfaatkan secara lestari. 3. Pengembangan Kelembagaan. a. Memperkuat koordinasi antar instansi yang berperan dalam penanganan terumbu karang baik pengelola kawasan, aparat keamanan, pemanfaat sumber daya dan pemerhati lingkungan. b. Meningkatkan kemampuan sumber daya manusia melalui berbagai pelatihan yang berkaitan dengan pengelolaan dan teknik rehabilitasi terumbu karang. 4. Penelitian, Monitoring dan Evaluasi. Pemantauan kegiatan masyarakat yang secara langsung berhubungan dengan terumbu karang. Dalam kaitan ini akan dibentuk sistem jaringan pemantauan dan informasi terumbu karang dengan membangun simpul-simpul di beberapa propinsi. Kegiatan ini akan diawasi langsung oleh LIPI yang telah memiliki stasiun-stasiun di beberapa tempat, seperti : Biak, Ambon dan Lombok. 5. Penegakan hukum. Komponen ini dipandang sangat penting sebagai salah satu komponen kunci yang harus dilaksanakan dalam usaha mencapai tujuan program rehabilitasi dan pengelolaan terumbu karang. Masyarakat memegang peranan penting dalam mencapai tujuan komponen penegakan hukum. Salah satu peranan masyarakat dalam pengamanan terumbu karang secara langsung adalah sebagai pengamat terumbu karang atau reef watcher, dimana mereka berkewajiban meneruskan informasi kepada penegak hukum mengenai pelanggaran yang merusak terumbu karang di daerahnya. 7

D. Pemulihan. Pemulihan kerusakan terumbu karang merupakan upaya yang paling sulit untuk dilakukan, serta memakan biaya tinggi dan waktu yang cukup lama. Upaya pemulihan yang bisa dilakukan adalah zonasi dan rehabilitasi terumbu karang. 1. Zonasi. Pengelolaan zonasi pesisir bertujuan untuk memperbaiki ekosistem pesisir yang sudah rusak. Pada prinsipnya wilayah pesisir dipetakan untuk kemudian direncanakan strategi pemulihan dan prioritas pemulihan yang diharapkan. Pembagian zonasi pesisir dapat berupa zona penangkapan ikan, zona konservasi ataupun lainnya sesuai dengan kebutuhan/pemanfaatan wilayah tersebut, disertai dengan zona penyangga karena sulit untuk membatasi zona-zona yang telah ditetapkan di laut. Ekosistem terumbu karang dapat dipulihkan dengan memasukkannya ke dalam zona konservasi yang tidak dapat diganggu oleh aktivitas masyarakat sehingga dapat tumbuh dan pulih secara alami. 2. Rehabilitasi. Pemulihan kerusakan terumbu karang dapat dilakukan dengan melakukan rehabilitasi aktif, seperti meningkatkan populasi karang, mengurangi alga yang hidup bebas, serta meningkatkan ikan-ikan karang. a. Meningkatkan populasi karang Peningkatan populasi karang dapat dilakukan dengan meningkatkan rekruitmen, yaitu membiarkan benih karang yang hidup menempel pada permukaan benda yang bersih dan halus dengan pori-pori kecil atau liang untuk berlindung; menambah migrasi melalui transplantasi, serta mengurangi mortalitas dengan mencegahnya dari kerusakan fisik, penyakit, hama dan kompetisi. b. Mengurangi alga hidup yang bebas Pengurangan populasi alga dapat dilakukan dengan cara membersihkan karang dari alga dan meningkatkan hewan pemangsa alga. c. Meningkatkan ikan-ikan karang Populasi ikan karang dapat ditingkatkan dengan meningkatkan rekruitmen, yaitu dengan meningkatkan ikan herbivora dan merehabilitasi padang lamun sebagai pelindung bagi ikan-ikan kecil; meningkatkan migrasi atau menambah stok ikan, serta menurunkan mortalitas jenis ikan favorit. Menteri Negara Lingkungan Hidup ttd. Salinan sesuai dengan aslinya Deputi III MENLH Bidang Hukum Lingkungan, ttd Dr. A. Sonny Keraf Prof. Dr. Sudharto P. Hadi, MES. 8