BAB I PENDAHULUAN. berinteraksi dengan masyarakat secara wajar. Istilah narkoba muncul sekitar

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Peredaran gelap narkotika di Indonesia menunjukkan adanya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Narkotika diperlukan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Permasalahan mengenai penggunaan Narkotika semakin hari

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembangunan nasional Indonesia bertujuan mewujudkan manusia

PENDAHULUAN. penyalahgunaan, tetapi juga berdampak sosial, ekonomi dan keamanan nasional,

BAB I PENDAHULUAN. hukum seperti telah diatur dalam Pasal 12 Undang-Undang No. 35 Tahun

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi

I. PENDAHULUAN. Narkotika selain berpengaruh pada fisik dan psikis pengguna, juga berdampak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Peredaran narkotika semakin mengkhawatirkan di Indonesia karena

BAB I PENDAHULUAN. sosial dimana mereka tinggal.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. manusia dalam pergaulan di tengah kehidupan masyarakat dan demi kepentingan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Penyalahgunaan narkotika pada akhir-akhir tahun ini dirasakan

BAB I PENDAHULUAN. peradilan negara yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk mengadili

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN TENTANG PELAKSANAAN WAJIB LAPOR PECANDU NARKOTIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. Adanya ketidakseimbangan antara perlindungan korban kejahatan dengan pelaku

PERATURAN BERSAMA KEPALA BADAN NARKOTIKA NASIONAL REPUBLIK INDONESIA TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, dan

I. PENDAHULUAN. pengobatan dan pelayanan kesehatan. Namun, dengan semakin berkembangnya zaman, narkotika

BAB I PENDAHULUAN. bermanfaat bagi pengobatan, tetapi jika dikonsumsi secara berlebihan atau tidak. rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan.

BAB I PENDAHULUAN. dan pengembangan ilmu pengetahuan. Indonesia dan negara-negara lain pada

PERATURAN KEPALA BADAN NARKOTIKA NASIONAL NOMOR 11 TAHUN 2014 TENTANG

REHABILITASI MEDIS DAN SOSIAL TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA. (STUDI KASUS PUTUSAN NOMOR 22/PID.B/2014/PN.

BAB I PENDAHULUAN. penyakit kronik (sulit disembuhkan) yang berulang kali kambuh yang hingga

BAB I PENDAHULUAN. pidana yang diancamkan terhadap pelanggaran larangan 1. Masalah pertama

REHABILITASI BAGI PENYALAHGUNA TINDAK PIDANA NARKOTIKA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA

II. TINJAUAN PUSTAKA. perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PELAKSANAAN SISTEM PEMIDAAN MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. yaitu masalah pidana yang diancamkan terhadap pelanggaran tertentu 2. Topik

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan perubahan tersebut ditegaskan bahwa ketentuan badan-badan lain

KEBIJAKAN NARKOTIKA, PECANDU DALAM SISTEM HUKUM DI INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2011 TENTANG PELAKSANAAN WAJIB LAPOR PECANDU NARKOTIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. dalam kesatuan langkah menuju tercapainya tujuan pembangunan tersebut.

BAB I PENDAHULUAN. kejahatan yang bersifat trans-nasional yang sudah melewati batas-batas negara,

BAB I PENDAHULUAN. Di Indonesia telah lahir beberapa peraturan perundang-undangan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia adalah salah satu Negara yang sangat menentang tindak

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah negara hukum ( rechtstaats), maka setiap orang yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Indonesia adalah negara berdasarkan UUD 1945 sebagai konstitusi

BUPATI JEMBER SALINAN PERATURAN BUPATI JEMBER NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG

persepsi atau mengakibatkan halusinasi 1. Penggunaan dalam dosis yang 2

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2011 TENTANG PELAKSANAAN WAJIB LAPOR PECANDU NARKOTIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

I. TINJAUAN PUSTAKA. suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis

BAB I PENDAHULUAN. faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia adalah Negara hukum, sebagaimana tertuang dalam

BAB I PENDAHULUAN. perbuatan menyimpang yang ada dalam kehidupan masyarakat. maraknya peredaran narkotika di Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. Internasional. Tidak mustahil peredaran narkotika yang sifatnya telah

2017, No Mengingat : 1. Undang - Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 77, Tam

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2011 TENTANG PELAKSANAAN WAJIB LAPOR PECANDU NARKOTIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

BAB I PENDAHULUAN. Pembukaan Undang-Undang Dasar tahun 1945 yaitu melindungi segenap

BAB I PENDAHULUAN. Anak merupakan amanat dari Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia adalah adalah mahluk sosial yang dianugrahkan suatu kebebasan

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. Tercatat 673 kasus terjadi, naik dari tahun 2011, yakni 480 kasus. 1

BAB I PENDAHULUAN. Penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat- zat adiktif lainnya (NAPZA)

BAB I PENDAHULUAN. Penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat- zat adiktif lainnya (NAPZA)

BAB I PENDAHULUAN. pengembangan, pendidikan, dan pengajaran 1. Penggunaannya diluar pengawasan dokter atau dengan kata lain

BAB I PENDAHULUAN. legal apabila digunakan untuk tujuan yang positif. Namun

BAB III PENERAPAN REHABILITASI BAGI PECANDU NARKOTIKA DAN KORBAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA. 3.1 Penempatan Rehabilitasi Melalui Proses Peradilan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keadaan saat ini dimana moralitas masyarakat telah dihegomoni oleh perkembangan budaya negatif yang

PEMERINTAH PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 13 TAHUN 2010 TENTANG

I. PENDAHULUAN. kita mengetahui yang banyak menggunakan narkoba adalah kalangan generasi muda

BAB I PENDAHULUAN. Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945

BUPATI BULUNGAN PROPINSI KALIMANTAN UTARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 12 TAHUN 2014 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

2011, No sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2

UPAYA PENEGAKAN HUKUM NARKOTIKA DI INDONESIA Oleh Putri Maha Dewi, S.H., M.H Dosen Fakultas Hukum Universitas Surakarta

BAB I PENDAHULUAN. Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, telah ditegaskan bahwa

BAB I PENDAHULUAN. makmur yang merata materiil dan spirituil berdasarkan Pancasila dan Undang-

PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA DITINJAU DARI UNDANG- UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN. sebanyak orang dan WNA sebanyak 127 orang 1.

BAB I PENDAHULUAN. terbendung lagi, maka ancaman dahsyat semakin mendekat 1. Peredaran

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat yang adil dan makmur, materil spiritual berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

adalah penerapan pidana yang tidak sama terhadap tindak pidana yang

BAB I PENDAHULUAN. dalam proses pembiusan sebelum pasien dioperasi. Seiring dengan perkembangan

Institute for Criminal Justice Reform

S A L I N A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PROBOLINGGO,

BAB I PENDAHULUAN. Setiap tahun kenakalan anak selalu terjadi. Apabila dicermati

PERATURAN KEPALA BADAN NARKOTIKA NASIONAL NOMOR 4 TAHUN 2015 TENTANG TATA CARA PENINGKATAN KEMAMPUAN LEMBAGA

BAB I PENDAHULUAN. langsung merugikan keuangan Negara dan mengganggu terciptanya. awalnya muncul Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang

2017, No Medis dan Lembaga Rehabilitasi Sosial bagi Pecandu dan Korban Penyalahgunaan Narkotika; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN NARKOTIKA NASIONAL REPUBLIK INDONESIA,

~ 1 ~ BUPATI KAYONG UTARA PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KAYONG UTARA NOMOR 14 TAHUN 2015 TENTANG

Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Kurir Narkotika. (Study Putusan No. 14/Pid.Sus Anak/2015/PN. Dps) Siti Zaenab

2017, No d. bahwa untuk belum adanya keseragaman terhadap penyelenggaraan rehabilitasi, maka perlu adanya pengaturan tentang standar pelayanan

BAB I PENDAHULUAN. nasional, tetapi sekarang sudah menjadi masalah global (dunia). Pada era

BAB I PENDAHULUAN. berhak untuk mendapat perlakuan yang sama di hadapan hukum (equality before

I. PENDAHULUAN. terpuruknya sistem kesejahteraan material yang mengabaikan nilai-nilai

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 8 TAHUN 2015 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN PENYALAHGUNAAN DAN PEREDARAN GELAP NARKOBA (P4GN) DI KABUPATEN BANYUWANGI

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PELAKSANAAN WAJIB LAPOR PECANDU NARKOTIKA

BAB I PENDAHULUAN. sebagai negara hukum. Negara hukum yang dimaksud adalah negara yang

BAB I PENDAHULUAN. menentukan secara tegas bahwa negara Indonesia adalah negara hukum.

BAB I PENDAHULUAN. ketidakadilan yang dilakukan oleh hakim kepada pencari keadilan. Disparitas. hakim dalam menjatuhkan suatu putusan.

BAB II PENGATURAN TERHADAP PERLINDUNGAN HUKUM PECANDU NARKOTIKA. Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtstaat) dan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Program rehabilitasi narkotika merupakan serangkaian upaya yang terkoordinasi dan terpadu, terdiri atas upaya-upaya medik, bimbingan mental, psikososial, keagamaan, pendidikan dan latihan vokasional untuk meningkatkan kemampuan penyesuaian diri, kemandirian dan menolong diri sendiri serta mencapai kemampuan fungsional sesuai dengan potensi yang dimiliki, baik fisik, mental, sosial dan ekonomi. Pada akhirnya mereka diharapkan dapat mengatasi masalah penyalahgunaan narkoba dan kembali berinteraksi dengan masyarakat secara wajar. Istilah narkoba muncul sekitar tahun 1998 karena banyaknya penggunaan atau pemakaian barang-barang yang termasuk narkotika dan obat-obat terlarang maka untuk memudahkan menyebutnya orang berkomunikasi dengan menggunakan kata-kata narkotika dan obat-obat terlarang yang disingkat menjadi narkoba 1. Ada beberapa alasan mengapa bangsa Indonesia harus serius dalam Pemberantasan tindak kejahatan narkoba yang semakin hari semakin 1 Aspek Yuridis, Sosiologis dan Psikologis Tentang narkoba, Makalah yang disampaikan pada pendidikan dan pelatihan pengenalan psikotropika, (Jakarta : Kanwil Dep. Hukum dan HAM M. Tavip : Pelaksanaan Therapeutic Community Dan Rehabilitasi Terpadu Bagi Narapidana Narkotika DanPsikotropika Di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Medan Dihubungkan Dengan Tujuan Sistem Pemasyarakatan,2009, hlm. 31 1

2 memprihatinkan: 2 1. Pemerintah Indonesia belum optimal dalam menanggulangi kasus-kasus penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba. Hal ini mengisyaratkan kepada kita untuk lebih peduli dan memperhatikan secara lebih khusus untuk menanggulanginya. 2. Secara yuridis, instrumen hukum yang mengaturnya baik berupa peraturan perundang-undangan maupun konvensi yang sudah diratifikasi, sebenarnya sudah cukup memadai sebagai dasar pemberantasan dan penyalahgunaan peredaran gelap narkoba. 3. Mengingat peredaran gelap narkoba sekarang ini begitu merebak, maka upaya menanggulanginya tidak dapat semata-mata dibebankan kepada pemerintah dan aparat penegak hukum saja, dengan memberlakukan peraturan dan penjatuhan sanksi pidana kepada para pelanggar hukum, melainkan tugas dan tanggung jawab kita bersama. Dengan adanya upaya terpadu (integrated) dari semua pihak, seperti keluarga, sekolah, masyarakat, ulama, LSM dan pemerintah termasuk BNN diharapkan dapat menanggulangi dan meminimalisir kasus tindak pidana narkoba. Pasal 1 angka 1 UU No. 35 Tahun 2009 menyebutkan Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tananam atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke 2 Pemberantasan Tindak Kejahatan Narkotika di Indonesia Badan Narkotika Nasional, Jakarta,,200, hlm. 6

3 dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam undang-undang ini. Pasal 1 angka 13 UU No. 35 tahun 2009 juga menjelaskan tentang pengertian pecandu narkotika, yaitu orang yang menggunakan atau menyalahgunakan narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada Narkotika, baik secara fisik maupun psikis. Dalam Pasal 1 angka 14 UU No. 35 tahun 2009 juga dijelaskan tentang ketergantungan narkotika, yaitu kondisi yang ditandai oleh dorongan untuk menggunakan narkotika secara terus-menerus dengan takaran yang meningkat agar menghasilkan efek yang sama dan apabila penggunaannya dikurangi dan atau dihentikan secara tibatiba, menimbulkan gejala fisik dan psikis yang khas. Kasus penyalahgunaan Narkotika sendiri seringkali ditemukan di kota-kota besar, salah satunya di Yogyakarta. Yogyakarta memiliki potensi besar sebagai tempat peredaran narkotika karena, kota ini memiliki banyak pusat pendidikan mulai dari SMP hingga Perguruan Tinggi ini. Berhimpunnya begitu banyak siswa dan mahasiswa untuk menuntut ilmu di kabupaten ini seringkali membuat mereka menjadi sasaran empuk bagi beredarnya narkotika. Ditambah lagi banyak pendatang dari luar seperti mahasiswa yang melanjutkan studinya di propinsi ini. Kedatangan mereka seringkali dapat dibarengi dengan obat-obatan terlarang yang digunakan sebagai lahan bisnis bahkan sebagai pintu gerbang masuk dalam peredaran narkoba. Penegakan hukum terhadap kejahatan di Indonesia, khususnya dalam hal pemidanaan, seharusnya merujuk pada pendekatan norma hukum yang

4 bersifat menghukum pelaku kejahatan sehingga dapat memberikan efek jera. Dalam sistem pemasyarakatan fungsi pemidanaan tidak lagi sekedar memberi efek jera, tetapi juga merupakan suatu usaha rehabilitasi dan reintegrasi sosial warga binaan pemasyarakatan. Pembinaan berarti upaya Negara untuk memelihara kebutuhan dan kepentingan para warga Negara secara bersama-sama atau secara sendiri-sendiri yang tidak seluruhnya dapat dilakukan oleh warga Negara itu sendiri. Jadi jika seorang warga Negara dirugikan oleh orang lain dan ia sendiri tidak boleh melakukan pembalasan, maka kebutuhan dan kepentingan tadi diwakili atau dijalankan oleh negara 3. Dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum, sehingga meskipun perbuatannya memenuhi rumusan delik dalam undang-undang dan tidak dibenarkan, namun hal tersebut belum memenuhi syarat untuk penjatuhan pidana. Pemidanaan masih memerlukan adanya syarat bahwa orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah. Asasnya adalah tiada pidana tanpa kesalahan (geen sraf zonder schuld). Peran unsur kesalahan sebagai syarat untuk penjatuhan pidana terlihat dengan adanya asas mens rea yaitu subjektif guilt yang melekat pada si pembuat, subjektif guilt ini merupakan kesengajaan atau kealpaan yang melekat pada si pembuat 4. 3 Harsono H.S, sistem Baru Pembinaan Narapidana, (Jakarta : Djambatan, 1995), hlm 45. 4 Tindak Pidana (Strafbaar feit) dan Pertanggungjawaban Pidana.http://toya2007.wordpress.com. Diakses pada 25 Oktober 2010

5 Dalam hal ini Hakim harus bersikap bijak dalam memutuskan putusan yang tepat bagi mereka yang terjerat kasus Narkoba. Hakim harus memilah mana saja yang dapat dikategorikan atau digolongkan dapat diadili sebagai pengguna atau ketergantungan. Hakim juga harus bisa memahami mengenai syarat-syarat putusan rehabalitasi. Untuk menentukan apakah seorang penyalahguna narkoba sebagai korban harus melalui sidang pengadilan karena rehabilitasi adalah bentuk lain dari hukuman (vonis). Apabila seorang pecandu narkotika telah divonis bersalah oleh hakim atas tindak pidana narkotika yang dilakukannya, untuk memberikan kesempatan kepada yang bersangkutan agar terbebas dari kecanduannya, hakim dapat memutuskan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan / atau perawatan. Begitu pula, apabila pecandu narkotika tidak terbukti bersalah atas tuduhan melakukan tindak pidana narkotika, hakim dapat menetapkan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan / atau perawatan seperti yang disebut pada Pasal 103 ayat (2) yang menentukan bahwa masa menjalani pengobatan dan/atau perawatan bagi Pecandu Narkotika sebagaimana dimaksud pada Pasal 103 ayat (1) huruf a diperhitungkan sebagai masa menjalani hukuman. Pasal 103 (1) UU Nomor 35 Tahun 2009 menentukan hakim yang memeriksa perkara Pecandu Narkotika dapat : a. Memutus untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan atau perawatan melalui rehabilitasi jika pecandu Narkotika tersebut terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika; atau

6 b. Menetapkan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan atau perawatan melalui rehabilitasi jika pecandu Narkotika tersebut tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika. Rancangan KUHP Tahun 2008 dalam Pasal 110 juga telah mengatur mengenai tindakan rehabilitasi tersebut yaitu: 1. Tindakan rehabilitasi dikenakan kepada pembuat tindak pidana yang : a. Kecanduan alkohol, narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya: dan / atau. b. Mengidap kelainan seksual atau yang mengidap kelainan jiwa. 2. Rehabilitasi dilakukan di lembaga rehabilitasi medis atau sosial, baik milik pemerintah maupun swasta. Perbedaan pengaturan tentang rehabilitasi terhadap pecandu narkotika dalam RUU KUHP tahun 2008 dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 adalah di dalam Undang-Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 berkaitan dengan kewenangan hakim dalam menjatuhkan bentuk putusan rehabilitasi terhadap pecandu narkotika, sedangkan RUU KUHP tahun 2008 mengatur mengenai sanksi tindakan dapat dikenakan kepada pembuat tindak pidana kecanduan narkotika. Dalam UU Nomor 35 Tahun 2009 Pasal 54 ditentukan Pecandu Narkotika dan korban penyalahgunaan Narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial dan Pasal 55 ayat (1) menentukan bahwa Orang tua atau wali dari Pecandu Narkotika yang belum cukup umur wajib melaporkan kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial sedangkan Pasal 55 ayat

7 (2) menentukan Pecandu Narkotika yang sudah cukup umur wajib melaporkan diri atau dilaporkan oleh keluarganya kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan / atau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Pasal 55 ayat (3) menegaskan Ketentuan mengenai pelaksanaan wajib lapor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Penjelasan Pasal 55 ayat (1) menentukan bahwa untuk membantu pemerintah dalam menanggulangi masalah dan bahaya penyalahgunaan narkotika, khususnya untuk pecandu narkotika, maka diperlukan keikutsertaan orangtua / wali, serta masyarakat, guna meningkatkan tanggung jawab pengawasan dan bimbingan terhadap anak-anaknya. Yang dimaksud dengan belum cukup umur dalam ketentuan ini adalah seorang yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun. Menurut Pasal 1 KUHAP hakim adalah pejabat peradilan Negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili. Hakim dalam proses persidangan berkedudukan sebagai pemimpin. Kedudukan ini memberi hak untuk mengatur jalannya persidangan dan mengambil tindakan ketika terjadi ketidaktertiban di dalam sidang. Guna keperluan keputusan hakim berhak dan harus menghimpun keterangan-keterangan dari semua pihak terutama dari saksi dan terdakwa termasuk penasehat hukumnya. Hakim yang berkedudukan sebagai pimpinan dalam proses persidangan

8 dalam usaha penerapan hukum demi keadilan harus menyadari tanggung jawabnya sehingga bila ia berbuat dan bertindak tidaklah sekedar menjatuhkan putusan, melainkan juga bahwa dari keseluruhan perbuatannya itu senantiasa diarahkan guna mewujudkan keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Inilah yang harus diwujudkan hakim dalam sidang pengadilan yang sekaligus sebagai realisasi dari tanggung jawabnya. Bertolak dari Latar belakang di atas, penulis ingin melakukan penulisan hukum tentang penerapan Pasal 103 oleh seorang Hakim dalam perkara tindak pidana penyalahgunaan narkotika, hakim dapat memerintahkan dan atau memutus agar seorang Pencadu Narkotika menjalani pengobatan dan / atau perawatan melalui rehabilitasi, dengan judul : TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA DENGAN REHABILITASI BERDASARKAN UU NO. 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA DI KOTA YOGYAKARTA B. Rumusan masalah Berdasarkan uraian dalam latar belakang di atas maka permasalahan dalam penulisan hukum ini dapat dirumuskan sebagai berikut : Bagaimana Tinjauan Yuridis berdasarkan putusan rehabilitasi terhadap UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dalam Penanggulangan Penyalahgunaan Narkotika Di Kota Yogyakarta?

9 C. Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan yang telah diutarakan, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui efektifitas putusan rehabilitasi dalam penanggulangan penyalahgunaan narkotika berdasarkan UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika di Kota Yogyakarta D. Manfaat Penelitian Sesuai dengan permasalahan yang dibahas, maka manfaat dari penelitian ini adalah : 1. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan berguna untuk memberikan sumbangan pemikiran dan memperkaya pengembangan ilmu hukum pidana dan kriminologi khususnya tentang tindakan Rehabilitasi dan pembinaannya terhadap narapidana kasus narkotika 2. Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat yang besar untuk kepentingan penegakan hukum baik bagi pemerintah, panti rehabilitasi, aparat penegak hukum, atau masyarakat dalam memberantas peredaran gelap narkoba secara efektif guna mewujudkan ketertiban hukum dalam masyarakat. E. Batasan Konsep Dalam penulisan hukum ini batasan konsep diperlukan untuk memberikan batasan dari berbagai pendapat yang ada mengenai konsep

10 tentang pengertian Narkotika, Pecandu Narkotika, Ketergantungan Narkotika, Rehabilitasi medis, Rehabilitasi Sosial, Hakim 1. Menurut Pasal 1 angka 1 UU No. 35 Tahun 2009 Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tananam atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan kedalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam undangundang ini. 2. Menurut Pasal 1 angka 13 UU No. 35 Tahun 2009 Pecandu narkotika adalah orang yang menggunakan atau menyalahgunakan narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada Narkotika, baik secara fisik maupun psikis. 3. Menurut Pasal 1 angka 14 UU No. 35 Tahun 2009 ketergantungan narkotika adalah kondisi yang ditandai oleh dorongan untuk menggunakan narkotika secara terus-menerus dengan takaran yang meningkat agar menghasilkan efek yang sama dan apabila penggunaannya dikurangi dan atau dihentikan secara tiba-tiba, menimbulkan gejala fisik dan psikis yang khas. 4. Menurut Pasal 1 angka 16 UU No. 35 Tahun 2009 Rehebalitasi Medis adalah suatu proses kegiatan pengobatan secara terpadu untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan narkotika. 5. Menurut Pasal 1 angka 17 UU No. 35 Tahun 2009 Rehabilitasi Sosial

11 adalah suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu, baik fisik, mental maupun social, agar bekas pecandu narkotika dapat kembali melaksanakan fungsi social dalam kehidupan masyarakat. 6. Menurut Pasal 1 KUHAP Hakim adalah pejabat peradilan Negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili. Hakim dalam proses persidangan berkedudukan sebagai pemimpin. Kedudukan ini memberi hak untuk mengatur jalannya persidangan dan mengambil tindakan ketika terjadi ketidaktertiban di dalam sidang. Guna keperluan keputusan hakim berhak dan harus menghimpun keterangan-keterangan dari semua pihak terutama dari saksi dan terdakwa termasuk penasehat hukumnya. Hakim yang berkedudukan sebagai pimpinan dalam proses persidangan dalam usaha penerapan hukum demi keadilan harus menyadari tanggung jawabnya sehingga bila ia berbuat dan bertindak tidaklah sekedar menjatuhkan putusan, melainkan juga bahwa dari keseluruhan perbuatannya itu senantiasa diarahkan guna mewujudkan keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, yaitu penelitian yang berfokus pada norma (law in the book) dan penelitian hukum ini memerlukan data sekunder sebagai data utama, sedangkan data primer sebagai penunjang.

12 2. Sumber data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang terdiri dari : a. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan hukum yang bersifat mengikat, berupa : 1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. 2) Undang-Undang No.4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman. 3) Undang-Undang 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. 4) Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. 5) Putusan-Putusan Pengadilan yang berkaitan dengan tindak pidana Narkotika. 6) Ketentuan yang terdapat dalam SEMA No 4 Tahun 2010 tentang Menempatkan Pemakai Narkoba ke dalam Panti Terapi dan Rehabilitasi. b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan hukum yang bersifat menjelaskan terhadap bahan hukum primer, yang terdiri dari : 1) buku-buku literatur 2) artikel 3) hasil penelitian dan 4) karya ilmiah yang berhubungan dengan peneitian ini.

13 3. Metode Pengumpulan Data Data dalam penulisan hukum ini dikumpulkan dengan cara : a. Data sekunder dalam penelitian ini dikumpulkan dengan cara studi dokumen, yaitu mengkaji, mengolah dan menelaah bahan-bahan hukum yang ada kaitannya dengan penelitian ini. b. Sedangkan data primer dikumpulkan dengan melakukan wawancara terhadap Ibu hakim Tinuk Koeshartati, S.H. di Pengadilan Negeri Yogyakarta mengenai putusan rehabilitasi dalam penanggulangan penyalahgunaan narkotika 4. Metode Analisis Data yang diperoleh dalam penelitian ini dianalisis secara kualitatif yaitu analisis dengan menggunakan ukuran kualitatif. Yaitu Proses penalaran dalam menarik kesimpulan dengan menggunakan metode berfikir deduktif. G. Sistematika Penulisan Hukum BAB I : Pendahuluan menguraikan tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, serta sistematikan penulisan. BAB II : Menguraikan tentang Tinjauan Tentang Narkotika dan Penanggulangan PenyalahgunaanNarkotika menurut UU Nomor 35 Tahun 2009, yang akan dibagi menjadi beberapa sub bab, meliputi : A. Sub bab ini memuat tentang tinjauan umum tentang Narkotika yang

14 meliputi : Pengertian Narkotika, Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika, Rehabiliasi Penyalahgunaan Narkotika. B. Sub bab ini memuat tentang Penanggulangan Penyalahgunaan Narkotika menurut UU Nomor 35 Tahun 2009 meliputi : Penyalahgunaan Narkotika di Yogyakarta dan Putusan rehabilitasi terhadap penyalahgunaan narkotika sekaligus sebagai korban BAB III : Dalam bab ini merupakan penutup yang berisi kesimpulan dan saran.