ANALISA DAN PENGELOLAAN BARANG BUKTI. (dalam kajian teoritis dan kerangka Peraturan Kapolri Nomor 10 Tahun 2010 tentang pengelolaan barang bukti) Oleh

dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN. Tindak pidana korupsi merupakan salah satu kejahatan yang merusak moral

BAB I PENDAHULUAN. melibatkan pemeriksaan investigatif oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

PENEGAKAN HUKUM. Bagian Keempat, Penyidikan Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 3.4 Penyidikan Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

BAB I PENDAHULUAN. karena kehidupan manusia akan seimbang dan selaras dengan diterapkannya

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan, baik bidang hukum, sosial, politik, ekonomi dan budaya. Dari

PERTEMUAN 11: BUKTI AUDIT INVESTIGASI

BAB I PENDAHULUAN. dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana. hubungan seksual dengan korban. Untuk menentukan hal yang demikian

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

PERAN DAN KEDUDUKAN AHLI PSIKIATRI FORENSIK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA

BAB I PENDAHULUAN. peradilan adalah untuk mencari kebenaran materiil (materiile waarheid)

PENEGAKAN HUKUM. Bagian Kelima, Penyidikan Oleh Badan Narkotika Nasional (BNN)

dikualifikasikan sebagai tindak pidana formil.

BAB I PENDAHULUAN. yang telah tercakup dalam undang-undang maupun yang belum tercantum dalam

STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR PENYIMPANAN, PEMUSNAHAN, DAN PELELANGAN BARANG BUKTI. oleh KBP. Drs. ISKANDAR IBRAHIM,MM

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH

PERTEMUAN 13: TAHAPAN AUDIT INVESTIGASI

BAB I PENDAHULUAN. maraknya penggunaan media elektronik mulai dari penggunaan handphone

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. dilakukan untuk mencari kebenaran dengan mengkaji dan menelaah beberapa

KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DAERAH NUSA TENGGARA BARAT RESOR DOMPU STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR SAT RES NARKOBA

MEKANISME PENYELESAIAN KASUS KEJAHATAN KEHUTANAN

I. PENDAHULUAN. dirasakan tidak enak oleh yang dikenai oleh karena itu orang tidak henti hentinya

I. PENDAHULUAN. Penanganan dan pemeriksaan suatu kasus atau perkara pidana baik itu pidana

BAB I PENDAHULUAN. Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCABUTANKETERANGAN TERDAKWA DALAM BERITA ACARA PEMERIKSAAAN (BAP) DAN TERDAKWA

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. sering terjadi penyimpangan-penyimpangan terhadap norma-norma pergaulan. tingkat kejahatan atau tindak pidana pembunuhan.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada

BAB I PENDAHULUAN. Di masa sekarang ini pemerintah Indonesia sedang giat-giatnya

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan dan teknologi, mengakibatkan kejahatan pada saat ini cenderung

BAB I PENDAHULUAN. negara harus berlandaskan hukum. Dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang

PERATURAN KEPALA BADAN NARKOTIKA NASIONAL NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN BARANG BUKTI DI LINGKUNGAN BADAN NARKOTIKA NASIONAL

ALAT BUKTI SAH SURAT: PENEMUAN, PEMBUKTIAN, DAN KETERTERIMAAN Budi Sampurna 1

Pembuktian penuntut umum dalam perkara tindak pidana korupsi oleh kejaksaan Sukoharjo. Oleh : Surya Abimanyu NIM: E BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Bukti yang dibutuhkan dalam hal kepentingan pemeriksaan suatu

BUPATI LUWU TIMUR PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DAERAH

BAB V ANALISIS. A. Analisis mengenai Pertimbangan Hakim Yang Mengabulkan Praperadilan Dalam

II. TINJAUAN PUSTAKA. sehingga mereka tidak tahu tentang batasan umur yang disebut dalam pengertian

PENGGUNAAN METODE SKETSA WAJAH DALAM MENEMUKAN PELAKU TINDAK PIDANA

BAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA. diatur secara eksplisit atau implisit dalam Undang-undang Dasar 1945, yang pasti

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL

I. PENDAHULUAN. jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi

BAB I PENDAHULUAN. Kejahatan adalah suatu permasalahan yang terjadi tidak hanya di dalam suatu

BAB I PENDAHULUAN. lazim disebut norma. Norma adalah istilah yang sering digunakan untuk

I. PENDAHULUAN. mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna

I. PENDAHULUAN. pengeledahan, penangkapan, penahanan dan lain-lain diberi definisi dalam. Berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP),

JURNAL KEKUATAN PEMBUKTIAN ALAT BUKTI INFORMASI ATAU DOKUMEN ELEKTRONIK DALAM PERADILAN PERKARA PIDANA KORUPSI

Computer Forensic. Part 1. Abdul Aziz

BAB I PENDAHULUAN. menjadi sorotan masyarakat karena diproses secara hukum dengan menggunakan

I. PENDAHULUAN. Para ahli Teknologi Informasi pada tahun 1990-an, antara lain Kyoto Ziunkey,

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan

BAB I PENDAHULUAN. hukum, tidak ada suatu tindak pidana tanpa sifat melanggar hukum. 1

Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual

BAB I PENDAHULUAN. commit to user

BAB I PENDAHULUAN. Negara yang terbukti melakukan korupsi. Segala cara dilakukan untuk

BAB I PENDAHULUAN. dapat lagi diserahkan kepada peraturan kekuatan-kekuatan bebas dalam

PROSEDUR TINDAKAN KEPOLISIAN TERHADAP PEJABAT NEGARA. Oleh INDARTO BARESKRIM

RINGKASAN SKRIPSI/ NASKAH PUBLIKASI TANGGUNG JAWAB KEJAKSAAN DALAM PRA PENUNTUTAN UNTUK MENYEMPURNAKAN BERKAS PERKARA PENYIDIKAN

STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (SOP) TATA CARA PENGELOLAAN BARANG BUKTI DI LINGKUNGAN DIREKTORAT RESESRE NARKOBA KEPOLISIAN DAERAH NUSA TENGGARA BARAT

TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG. Oleh : PROF.DR.H.M. SAID KARIM, SH. MH. M.Si. CLA

BAB I PENDAHULUAN. kepada pemeriksaan keterangan saksi sekurang-kurangnya disamping. pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi.

PERLUNYA NOTARIS MEMAHAMI PENYIDIK & PENYIDIKAN. Dr. Widhi Handoko, SH., Sp.N. Disampaikan pada Konferda INI Kota Surakarta, Tanggal, 10 Juni 2014

TRANSKRIP WAWANCARA. Baris ke Mohon dijelaskan secara ringkas proses mengadili perkara tindak pidana korupsi?

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG TAHUN 2010 S A L I N A N

Pernyataan Pers MAHKAMAH AGUNG HARUS PERIKSA HAKIM CEPI

PERATURAN DAERAH KOTA BONTANG NOMOR 3 TAHUN 2004 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KOTA BONTANG

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN. perundang-undangan yang berlaku. Salah satu upaya untuk menjamin. dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana ( KUHAP ).

PERATURAN KEPALA BADAN RESERSE KRIMINAL KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. terdakwa melakukan perbuatan pidana sebagaimana yang didakwakan Penuntut. tahun 1981 tentang Kitab Hukum Acara Pidana.

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

FUNGSI DAN KEDUDUKAN SAKSI A DE CHARGE DALAM PERADILAN PIDANA

1. HUKUM ACARA PIDANA ADALAH hukum yang mempertahankan bagaimana hukum pidana materil dijalankan KUHAP = UU No 8 tahun 1981 tentang hukum acara

Kekuatan Keterangan Saksi Anak Dibawah Umur dalam Pembuktian Perkara Pidana

BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

ALAT BUKTI PETUNJUK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA. (Studi Kasus Di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Surakarta)

Modul E-Learning 3 PENEGAKAN HUKUM

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (SOP)

BAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat.

selalu berulang seperti halnya dengan musim yang berganti-ganti dari tahun ke

Jurnal Ilmiah Universitas Batanghari Jambi Vol.16 No.3 Tahun 2016

Nama : ALEXANDER MARWATA

BUPATI TUBAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN TUBAN NOMOR 18 TAHUN 2016 TENTANG

NASKAH PUBLIKASI KEKUTAN PEMBUKTIAN BUKTI ELEKTRONIK DALAM PERSIDANGAN PIDANA UMUM

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di

BAB I PENDAHULUAN. A Latar Belakang Masalah. Keberadaan manusia tidak dapat dipisahkan dari hukum yang

BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PENGGUNAAN ALAT PENDETEKSI KEBOHONGAN (LIE DETECTOR) PADA PROSES PERADILAN PIDANA

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Proses peradilan yang sesuai dengan prosedur menjadi penentu

permasalahan bangsa Indonesia. Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah sangat meluas dan

SURAT TUNTUTAN (REQUISITOIR) DALAM PROSES PERKARA PIDANA

- 2 - BAB I KETENTUAN UMUM

STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (SOP)

BAB I PENDAHULUAN. Hukum materiil seperti yang terjelma dalam undang undang atau yang

BAB I PENDAHULUAN. adanya jaminan kesederajatan bagi setiap orang di hadapan hukum (equality

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tata Cara Pelaksanaan Putusan Pengadilan Terhadap Barang Bukti

Transkripsi:

ANALISA DAN PENGELOLAAN BARANG BUKTI (dalam kajian teoritis dan kerangka Peraturan Kapolri Nomor 10 Tahun 2010 tentang pengelolaan barang bukti) Oleh Akhmad Wiyagus* I. Pendahuluan Penyelidikan dan penyidikan tindak pidana merupakan suatu tanggung jawab yang besar yang diemban oleh seorang penyidik. Muaranya adalah terbuktinya sebuah tindak pidana di pengadilan dan memperoleh keputusan yang memiliki kekuatan hukum tetap. Namun permasalahan timbul ketika pembuktian tindak pidana tersebut tidak kuat, dan tidak dapat membentuk keyakinan Hakim bahwa telah terjadi suatu tindak pidana, yang bagi Hakim akan menjadi dasar adanya penjatuhan hukuman terhadap terdakwa. 1 Banyak hal yang dapat melemahkan pembuktian tersebut, salah satu diantaranya adalah alat bukti yang ada tidak dapat diterima di pengadilan ( not admissible at court ). Banyak hal yang menyebabkan sebuah barang bukti tidak dapat diterima menjadi alat bukti di pengadilan, proses ekstraksi atau pengambilan barang bukti yang tidak profesional, tidak ada kesesuaian antara perkara dengan alat bukti yang ditampilkan, atau hal - hal lain yang merupakan kesalahan dari penyidik. Terkait dengan hal itu, makalah ini akan mengkaji proses analisa dan pengelolaan barang bukti dalam pembuktian tindak pidana korupsi. Harus diakui bahwa kajian ini hanya merupakan kajian singkat dan hanya menyentuh permasalahan secara 1 Republik Indonesia, Undang Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, pasal 183. 1

teoritis sehingga tidak dapat dijadikan acuan dalam pelaksanaan tugas penyidik di kemudian hari. Diperlukan literatur dan pelatihan yang lebih mendalam bagi setiap penyidik, agar lebih memahami bagaimana memanfaatkan barang bukti secara efektif guna kepentingan pembuktian perkara yang sedang ditangani. II. Proses pengumpulan dan analisa data Terlepas dari apapun definisi yang diberikan dalam aturan perundang - undangan kita mengenai pengertian penyidik dan penyelidik, dan tugas yang diembannya, 2 ada hal yang bisa digeneralisir bahwa fungsi dari seorang penyidik dan penyelidik adalah nyaris serupa dengan seorang peneliti, yaitu mencari fakta dan kebenaran. Untuk itu seorang penyidik dan penyelidik harus memiliki kemampuan untuk melakukan pengumpulan dan analisa data. Secara teori, pengumpulan dan analisa data dalam proses penyelidikan dan penyidikan tindak pidana adalah sebagai berikut Mendapatkan data awal Penyusunan hipotesa Penyusunan rencana kegiatan Penyelidikan Ditemukan Mens rea danactus reus Penyidikan Data mining Data awal didapatkan dari Data refinery Data clasification 2 Ibid, pasal 1,4,6, 2

Penting bagi seorang penyidik untuk memperoleh data awal untuk kemudian ditelaah serta digunakan untuk mengambil hipotesa awal. Seorang penyelidik dan penyidik, sebelum memulai kegiatan penyidikan maupun penyidikan, harus dapat menggali data sebanyak - banyaknya dari data yang sudah dimiliki ( data mining ) untuk kemudian dilakukan penyaringan ( data refinery ) guna mengetahui data yang layak digunakan maupun tidak, serta melakukan pengelompokan dan analisa dari data yang sudah mengalami proses penyaringan tersebut. Dari semua data yang sudah melalui proses diatas, kemudian seorang penyelidik atau penyidik harus mampu menyimpulkan hipotesis ( menduga - duga ) peristiwa apa yang terjadi, dengan cara menyimpulkan hubungan - hubungan atau interkoneksi antara data tersebut. Penyusunan hipotesis ini sangat berguna untuk mempersempit ruang lingkup penyelidikan dan menghemat waktu serta sumber daya dalam proses lidik. Tahap berikutnya adalah memperdalam data yang ada untuk mencari perbuatan pidana ( actus reus ) maupun motif dari perbuatan pidana tersebut ( mens rea). Sampai di titik ini seorang penyidik harus tetap obyektif. Seorang penyelidik harus berusaha sekuat tenaga untuk dapat menemukan motif kejahatan dan perbuatan yang terjadi untuk memutuskan apakah sebuah kejadian atau insiden layak dinaikkan statusnya ke tingkat penyidikan. 3

III. Analisa barang bukti Terminologi barang bukti memang tidak dijelaskan secara eksplisit dalam KUHAP. Kata barang bukti tersebut muncul dalam pasal 181 KUHAP tentang kewajiban Hakim untuk menunjukkan barang bukti yang ada kepada terdakwa dan saksi, serta pasal 39 ayat 1 KUHAP terkait dengan penyitaan barang. meskipun dalam hukum acara kita tidak diatur secara eksplisit apa yang dimaksud dengan barang bukti, dan hanya menjelaskan mengenai pengertian alat bukti, 3 dalam pembahasan ini barang bukti akan dimaknai sebagai seluruh dokumen atau barang yang digunakan oleh penyidik maupun penyelidik dalam proses penyelidikan sebuah perkara, sedangkan alat bukti adalah barang bukti yang sudah ditampilkan ke pengadilan dalam sebuah proses persidangan. Menurut Andi Hamzah ciri - ciri benda yang dapat menjadi barang bukti adalah : 1. Merupakan objek materiil; 2. Berbicara untuk diri sendiri; 3. Sarana pembuktian yang paling bernilai dibandingkan sarana pembuktian lainnya; 4. Harus diidentifikasi dengan saksi dan keterangan terdakwa. 4 3 Ibid, pasal 184 4 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, 254. 4

Barang bukti merupakan komponen penting dari penyelidikan tindak pidana korupsi. Dari barang bukti terutama yang bersifat dokumen minimal dapat diketahui : 1. Orang - orang yang berperan dalam peristiwa pidana tersebut; 2. Tanggal - tanggal penting yang berguna bagi penyusunan kronologis perkara; 3. Back ground story atau cerita yang mendasari adanya terjadinya tindak pidana tersebut. Namun, sebelum barang bukti tersebut berbicara, harus diingat bahwa biasanya barang bukti terkait dengan proses penyelidikan tindak pidana korupsi sangat banyak. Hal ini terjadi karena penyelidik atau penyidik biasanya punya kecenderungan untuk mengambil dokumen apa saja, terkait dengan penyelidikan perkara yang ditangani, salah satu sebabnya adalah karena waktu pengumpulan dokumen biasanya terbatas dan adanya pembatasan - pembatasan oleh undang - undang yang berlaku. Banyaknya dokumen atau barang bukti yang ada sering menjadi masalah dalam proses analisa barang bukti. Terkait dengan hal ini, menjadi penting bagi seorang penyelidik untuk mencari barang bukti yang relevan terkait dengan perkara. Harus diingat, bahwa tidak selamanya dokumen yang diperoleh oleh penyidik penting bagi penyelidikan maupun penyidikan. Association Certified Fraud Examiner sendiri mengatakan bahwa dokumen yang diperoleh tersebut seorang penyidik atau penyelidik memiliki 2 ( dua ) sifat : 5

1. Dapat menolong proses penyidikan atau penyelidikan sebuah perkara; 2. Dapat menciderai proses penyidikan atau penyelidikan perkara tersebut. Lebih lanjut lagi Association Certified Fraud Examiner menjelaskan bahwa kedua hal tersebut terjadi tergantung dari bagaimana seorang penyidik atau penyelidik tersebut melakukan analisa maupun mengelola barang bukti yang ada sehingga menjadi alat bukti yang diterima di pengadilan. 5 Perlu diingat bahwa relevansi dari sebuah barang bukti tidak dapat dengan mudah ditentukan diawal penyelidikan, maka untuk itu diperlukan analisa mendalam oleh penyelidik, dengan cara melakukan penyaringan dan menyusun klasifikasi dokumen sebagaimana sudah dijelaskan diatas. Namun yang paling penting bahwa proses analisa tersebut tidak menyebabkan adanya perubahan maupun kerusakan dari dokumen tersebut. Ada aturan dasar mengenai bagaimana sebuah dokumen dikumpulkan guna kepentingan penyelidikan dan penyidikan antara lain : 1. Apabila mungkin dapatkan dokumen yang asli; 2. Buat copy dari dokumen tersebut sebagai kertas kerja bagi penyelidik dalam menganalisa dokumen tersebut; 3. Usahakan bahwa dokumen yang asli disimpan secara terpisah dan aman; 4. Jangan pernah mengakses dokumen asli terlalu sering. Apalagi dokumen yang berbentuk data digital karena ada mungkin ada kepentingan pembuktian forensik yang bisa dilakukan, antara lain pembuktian keaslian tanda tangan, waktu pembuatan dokumen, umur tinta dan lain - lain; 5 ACFE, International Fraud Examiners Manual 2013, 3.101 6

5. Buat sistem penomoran dan filling terhadap dokumen tersebut, terutama apabila penyelidik maupun penyidik menerima dokumen atau barang bukti dalam jumlah besar. Penomoran dan fillng tersebut sangat penting karena dapat menjaga chain of custody dari dokumen atau barang bukti tersebut. 6 Terkait dengan pengorganisasian dokumen atau barang bukti yang besar dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut : 1. Pemisahan dokumen. Secara umum penyelidik maupun penyidik harus mampu untuk mampu untuk melakukan pemisahan dokumen atau barang bukti yang terkait a. Dengan saksi saksi yang diperiksa b. Peristiwa, atau kronologis kasus sesuai dengan temuan awal atau hipotesa yang kita buat 2. Tentukan barang bukti kunci, atau barang bukti yang akan sering digunakan untuk kepentingan penyidikan maupun penyelidikan. Barang bukti kunci tersebut harus disisihkan karena akan sering digunakan dalam proses penyelidikan. Barang bukti kunci tersebut harus sering di review karena penyelidikan mengalami dinamika dan selalu membuat back up dari dokumen tersebut. 3. Database barang bukti harus dibuat segera setelah dokumen atau barang bukti tersebut didapatkan dan dilakukan penomoran serta kode yang mudah dimengerti penyelidik, penyidik atau pihak - pihak lain yang memerlukan barang bukti tersebut. 6 ibid 7

4. Membuat dokumentasi, atau mutasi dari pergerakan barang bukti tersebut, maupun rencana kerja kedepan terkait dengan penggunaan barang bukti tersebut ( pembuatan To do list ). 7 Hipotesa atau kronologis kasus merupakan hal yang harus ditentukan diawal ketika kita akan mengelola atau menganalisa barang bukti. Dengan menggunakan kronologis yang kita buat, kita akan dengan mudah menyusun barang bukti yang mungkin relevan guna pembuktian kasus yang sedang ditangani. Sebagai rangkuman, pengelolaan barang bukti dan analisa barang bukti tersebut akan berhasil apabila seorang penyelidik maupun penyidik yang melakukan analisa dan pengelolaan paham benar mengenai pasal atau perkara yang dipersangkakan, kemudian sudah memiliki konstruksi kasus yang dibuat dari hipotesa maupun data awal, dimana konstruksi kasus tersebut dapat selalu di update sesuai dengan fakta yang didapatkan. Konstruksi kasus tersebut juga berguna untuk mengetahui peran masing - masing pihak yang terlibat dalam perkara yang dianalisa serta barang bukti yang mendukung peran orang - orang tersebut. Untuk mempermudah, dalam sebuah barang bukti kita dapat menggali apa yang ada di dalamnya dengan menggunakan alat bantu TED dan 5W 1H yang sering digunakan untuk menyusun pertanyaan terhadap terperiksa. TED ( Tell me, Explain, Describe ) merupakan hipotesa kita sendiri mengenai kegunaan alat bukti tersebut dalam penanganan perkara. Sedangkan 5W 1H 7 Ibid, 3.103 8

( What, Where, When, Who, Why, How ) merupakan sarana refinering ( penyaringan ) antara lain, 1. Apa hubungan antara barang bukti dengan perkara yang sedang dilakukan penyelidikan; 2. Dimana dan kapan peristiwa yang diduga tindak pidana tersebut terjadi; 3. Siapa saja yang terlibat dalam peristiwa tersebut, dan; 4. apa yang mendasari dibuatnya dokumen tersebut. diterimanya barang bukti sebagai alat bukti di pengadilan Hal yang tidak kalah penting adalah bagaimana kita menjaga barang bukti dapat diterima oleh pengadilan sebagai alat bukti. Sesuai dengan pasal 184 KUHAP, alat bukti yang sah adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat petunjuk dan keterangan terdakwa, dimana alat bukti tersebut kemudian diperluas dengan adanya Undang - Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik ( ITE ) yang menjelaskan bahwa informasi elektronik dan / atau dokumen elektronik dan / atau hasil cetakannya merupakan alat bukti hukum yang sah 8. Dalam praktek terkadang sebuah alat bukti gagal untuk memperkuat perkara yang sedang disidangkan dikarenakan kegagalan penyidik dan penyelidik dalam proses pengambilan dan pengelolaan barang yang akan dijadikan alat bukti di pengadilan. Yang memperburuk keadaan ini adalah terkadang, seorang penyidik merasa cukup puas apabila berkas perkaranya sudah diterima oleh penuntut 8 Republik Indonesia, Undang Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi elektronik, pasal 5. 9

umum, tanpa mempedulikan kualitas analisa dan pengelolaan barang bukti yang ada. Menjaga kualitas dan admisibilitas barang bukti, meskipun dianggap sepele, sangat penting untuk dilakukan, karena sebagaimana diterangkan diatas, barang bukti memiliki dua sifat yang sangat bertolak belakang, memperkuat perkara, atau bahkan menciderai perkara yang dipersangkakan. Dalam dunia peradilan di Indonesia, terkenal istilah dua alat bukti yang sah guna membentuk keyakinan hakim dalam mengambil keputusan. 9 Sehubungan dengan hal tersebut, penting bagi seorang penyelidik maupun penyidik untuk memahami aturan atau protokol pengambilan alat bukti sesuai dengan hukum acara yang berlaku di yuridiksi dari penyidik maupun penyidik tersebut agar memenuhi beberapa persyaratan yang secara teori dijelaskan sebagai berikut : 1. Dapat diterima di pengadilan ( admissible ); 2. Orisinalitasnya terjaga ( authentic ); 3. Dapat membantu menjelaskan sebuah perkara secara lengkap ( complete ); 4. Prosedur pengambilan, dan pengelolaan barang bukti dapat diuji dan dipertanggung jawabkan ( reliable ); 5. Alat bukti tersebut disajikan dengan baik dan dapat dimengerti seluruh pihak yang mengikut persidangan ( believable ). 10 9 Above n 1, pasal 183 10 Scott M Giordano, Electronic Evidence and the Law, Information systems frontiers(netherlands, 2004) 161. 10

Teori diatas, dapat diaplikasikan secara general di yuridiksi manapun, tinggal kecermatan, keterampilan dan pengetahuan seorang penyidik maupun penyelidiklah yang kelak akan menentukan kualitas sebuah barang bukti yang digunakan untuk menuntaskan sebuah perkara. IV. Pengelolaan barang bukti oleh Polri berdasar Perkap Nomor 10 Tahun 2010 Pengelolaan barang bukti oleh Polri sudah diatur pelaksanaannya berdasarkan Perkap Nomor 10 Tahun 2010 tentang pengelolaan barang bukti di lingkungan Kepolisian Republik Indonesia dimana dalam pelaksanaannya tetap mengacu pada prinsip - prinsip legalitas, transparan, proporsional, akuntabel, efektif dan efesien. Legalitas artinya prinsip pengelolaan dilaksanakan mengacu pada hukum acara yang berlaku yakni KUHAP, baik dalam rangka proses penyitaannya, maupun menjaga agar barang bukti tersebut tetap terjaga chain of custodynya. Transparan proporsional dan akuntabel sendiri mengacu kepada proses pencatatan dan penyimpanan barang bukti atau barang sitaan tersebut, hal ini mengacu pada proses dimana barang bukti yang ada harus tetap dipertanggungjawabkan keberadaannya, pengelolaannya dan penggunaannya dalam rangka penyidikan maupun penyelesaian perkara, dimana dalam hal ini berarti barang bukti tersebut sudah diserahkan kepada Jaksa Penuntut Umum sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dalam Peraturan Kapolri ini, juga diatur pejabat pengelola barang bukti yang selanjutnya disingkat PPBB, dimana pejabat ini adalah anggota Polri yang mempunyai tugas dan wewenang untuk menerima, menyimpan, mengamankan, 11

merawat, mengeluarkan dan memusnahkan benda sitaan dari ruang atau tempat khusus penyimpanan barang bukti. Harus diakui bahwa terkait dengan pengelolaan barang bukti yang dilakukan oleh PPBB, Polri masih sangat tergantung dari fasilitas yang dimiliki oleh Kemenkumham, seperti rupbasan. Sedangkan dalam konteks uang, pada saat ini Direktorat Tindak Pidana Korupsi Bareskrim sudah menjalin kerjasama dengan Bank Mandiri untuk menerbitkan rekening khusus yang digunakan sebagai tempat penyimpanan barang bukti uang dalam hal fisik uang tersebut tidak dipentingkan dalam proses pembuktian, dan Bank Mandiri juga sudah menyediakan brankas dalam konteks uang sitaan diperlukan fisiknya, seperti pentingnya nomor seri uang, pita pengikat dan lain - lain yang terkait langsung dengan tindak pidananya. Diharapkan kedepannya, ada suatu mekanisme dan fasilitas khusus terkait dengan pengelolaan barang bukti yang dilakukan oleh penegak hukum baik Kepolisian maupun Kejaksaan sehingga memungkinkan adanya tata kelola pengelolaan barang bukti yang baik dan didukung dengan fasilitas dan anggaran yang memadai. Jakarta, November 2016 12