Opini H ukum: Gugatan Ganti Kerugian dalam mekanisme Pengadilan Tipikor. Disiapkan oleh:



dokumen-dokumen yang mirip
BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI

Andri Williyanto Prawira Sitorus SE.,Ak

Perkembangan Kasus Perjadin Mantan Bupati Jembrana: Terdakwa Bantah Tudingan Jaksa

MANTAN BOS ADHI KARYA KEMBALI DAPAT POTONGAN HUKUMAN.

PERAN SERTA MASYARAKAT

BAB I PENDAHULUAN. Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2002 TENTANG

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

PENGANTAR HUKUM ACARA PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA. R. Herlambang Perdana Wiratraman Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, 2 Juni 2008

Pemaparan dimulai dengan ketentuan Pengadaan Barang

UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI [LN 1999/140, TLN 3874]

Pidana Korupsi di Indonesia Oleh Frans Simangunsong, S.H., M.H. Dosen Fakultas Hukum Universitas Surakarta

BAB I PENDAHULUAN. tabu untuk dilakukan bahkan tidak ada lagi rasa malu untuk

I. PENDAHULUAN. kemajuan dalam kehidupan masyarakat, selain itu dapat mengakibatkan perubahan kondisi sosial

TINJAUAN YURIDIS TENTANG PUTUSAN PENGADILAN MENGENAI BESARNYA UANG PENGGANTI DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI SUPRIYADI / D

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

Kekuatan Keterangan Saksi Anak Dibawah Umur dalam Pembuktian Perkara Pidana

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum.

TERDAKWA KASUS KORUPSI DANA BANSOS DITUNTUT 4 TAHUN 6 BULAN PENJARA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I

BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA

BAB I PENDAHULUAN. uang. Begitu eratnya kaitan antara praktik pencucian uang dengan hasil hasil kejahatan

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 102/PUU-XIII/2015 Pemaknaan Permohonan Pra Peradilan

Instrumen Perdata untuk Mengembalikan Kerugian Negara dalam Korupsi

II. TINJAUAN PUSTAKA

Rekomendasi/Usulan Perubahan UU No. 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Aliansi Indonesia Damai (AIDA)

BAB I PENDAHULUAN. melakukan penyidikan tindak pidana tertentu berdasarkan undang- undang sesuai

BAB IV PENUTUP. Tinjauan hukum..., Benny Swastika, FH UI, 2011.

URGENSI PENERAPAN BEBAN PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM UPAYA MENANGGULANGI TINDAK PIDANA KORUPSI

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI. UU No. 31 TAHUN 1999 jo UU No. 20 TAHUN 2001

I. PENDAHULUAN. kali di dalam peraturan penguasa militer nomor Prt/PM-06/1957, sehingga korupsi

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN

BAB II ANALISIS PENGATURAN KOMPENSASI DAN RESTITUSI TERHADAP KORBAN PELANGGARAN HAM BERAT MENURUT HUKUM POSITIF DI INDONESIA

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak

TINJAUAN HUKUM TERHADAP SANTUNAN BAGI KELUARGA KORBAN MENINGGAL ATAU LUKA AKIBAT KECELAKAAN LALU LINTAS MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2009

Matriks Perbandingan KUHAP-RUU KUHAP-UU TPK-UU KPK

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERANAN HAKIM DALAM PENERAPAN PEMBALIKAN BEBAN PEMBUKTIAN DI PERSIDANGAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG. Oleh. I Gusti Ngurah Dhian Prismanatha

BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

KADIS PENDIDIKAN MTB DAN PPTK RUGIKAN NEGARA Rp200 JUTA LEBIH.

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017

NILAI KEADILAN DALAM PENGHENTIAN PENYIDIKAN Oleh Wayan Rideng 1

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG

PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

MANTAN KEPALA DINAS SOSIAL KABUPATEN KARIMUN MASUK BUI

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara

ASPEK HUKUM DALAM SISTEM MANAJEMEN MUTU KONSTRUKSI

I. PENDAHULUAN. nyata. Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk kejahatan juga senantiasa mengikuti perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Salah satu masalah besar yang dihadapi masyarakat pada saat ini

selalu berulang seperti halnya dengan musim yang berganti-ganti dari tahun ke

BAB I PENDAHULUAN. terkait korupsi merupakan bukti pemerintah serius untuk melakukan

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

KORUPSI MENGHAMBAT PEMBANGUNAN NASIONAL. Oleh : Kolonel Chk Hidayat Manao, SH Kadilmil I-02 Medan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Institute for Criminal Justice Reform

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

BAB I PENDAHULUAN. ditetapkannya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang. Undang Nomor 20 Tahun 2001 selanjutnya disebut dengan UUPTPK.

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA

Dengan Persetujuan Bersama. DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN:

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan

2014, No c. bahwa dalam praktiknya, apabila pengadilan menjatuhkan pidana tambahan pembayaran uang pengganti, sekaligus ditetapkan juga maksimu

PENCEGAHAN KORUPSI PADA PENGELOLAAN KEUANGAN DESA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan salah satu negara yang masih mempertahankan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dirumuskan demikian:

BAB I PENDAHULUAN. yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok. Secara

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan, baik bidang hukum, sosial, politik, ekonomi dan budaya. Dari

BAB III PENUTUP. A. Kesimpulan. Setelah dilakukan penelitian dan pembahasan, maka dapat dirumuskan

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia

Komisi Pemberantasan Korupsi. Peranan KPK Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

BAB I PENDAHULUAN. Hak Asasi merupakan isu pesat berkembang pada akhir abad ke-20 dan pada permulaan

Kasus Korupsi PD PAL

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan

BAB I PENDAHULUAN. mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang Masalah. Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah meluas dalam masyarakat

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 40/PUU-XIII/2015 Pemberhentian Sementara Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi

MASUKAN KOALISI PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN ATAS PERUBAHAN UU NO. 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN.

MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik pelaksanaan hukum

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak

BAB I PENDAHULUAN. semua warga negara bersama kedudukannya di dalam hukum dan. peradilan pidana di Indonesia. Sebelum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan

BAB I PENDAHULUAN. langsung merugikan keuangan Negara dan mengganggu terciptanya. awalnya muncul Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang

2 tersebut dilihat dengan adanya Peraturan Mahkamah agung terkait penentuan pidana penjara sebagai pengganti uang pengganti yang tidak dibayarkan terp

BAB I PENDAHULUAN. perbuatan menyimpang yang ada dalam kehidupan masyarakat. maraknya peredaran narkotika di Indonesia.

Jaksa Siap Periksa Dan Adoe Dalam Kasus Pembebasan Lahan

UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN

BAB IV ANALISIS TENTANG SANKSI PENGGELAPAN PAJAK DALAM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM

BAB V ANALISIS. A. Analisis mengenai Pertimbangan Hakim Yang Mengabulkan Praperadilan Dalam

Sudah Bayar, Terdakwa Korupsi Minta Bebas

Transkripsi:

Opini H ukum: Gugatan Ganti Kerugian dalam mekanisme Pengadilan Tipikor Disiapkan oleh: Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN) 1. Apa itu Gugatan Ganti Kerugian? Tuntutan ganti kerugian sebagaimana diatur di dalam Bab XIII KUHAP adalah tuntutan ganti kerugian, yang ditimbulkan oleh tindak pidana itu sendiri. Mekanisme ini berlaku untuk tindak pidana umum maupun tindak pidana khusus. Dalam mekanisme pengadilan khusus, kita bisa temukan pada kasus pelanggaran HAM berat. Pasal 35 ayat (1) UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, menyebutkan: setiap korban dan saksi dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat dan atau ahli warisnya dapat memperoleh kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi. Namun dalam kasus pidana tipikor, mekanisme ini tidak disebut di dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tipikor maupun UU Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tipikor. Pertanyaannya: apakah Pengadilan Tipikor berwenang menangani tuntutan ganti rugi akibat tindak pidana korupsi, seperti yang diatur di dalam bab XIII KUHAP? Untuk itu, mari kita lihat kewenangan Pengadilan Tipikor dan Hukum Acara di Pengadilan Tipikor. Pasal 6 UU Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tipikor, intinya menyatakan bahwa ada tiga perkara pidana yang menjadi kewenangan Pengadilan Tipikor, yaitu 1) tindak pidana korupsi; 2) tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya adalah tipikor dan 3) tindak pidana yang dalam UU lain disebut sebagi tindak pidana korupsi. Sedangkan pasal 25 UU Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tipikor menyebutkan: Pemeriksaan di sidang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini. Jika merujukan pada tafsir gramatikal pasal 25 ini, maka Pengadilan Tipikor berwenang mengadili tuntutan ganti rugi masyarakat korban tipikor. 1

2. Siapa yang dituntut membayar ganti kerugian? Tuntutan ganti kerugian yang diakibatkan oleh tindak pidana, ditujukan kepada Terdakwa (si pelaku tindak pidana). Menurut M. Yahya Harahap (2003, hal 81), tuntutan ganti rugi yang dibebankan kepada Terdakwa, berpotensi menimbulkan kekecewaan dalam pelaksanaan ganti rugi tersebut. Hal ini karena belum tentu Terdakwa mampu membayar kerugian secara cepat. Untuk memberikan jaminan bahwa korban segera mendapatkan penggantian atas kerugiannya, Yahya Harahap menyarankan agar negara membayar terlebih dahulu, kemudian Terdakwa menggantinya dengan system reimburse. Kelemahan tersebut, pada PP Nomor 3 Tahun 2002 tentang Kompensasi, Restitusi dan Rehabilitasi Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat, diatasi dengan membedakan antara kompensasi dan restitusi. Kompensasi adalah ganti kerugian yang diberikan oleh negara karena pelaku tidak mampu memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung jawabnya. Sedangkan restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga, dapat berupa pengembalian harta milik, pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan atau penderitaan, atau penggantian biaya untuk tindakan tertentu (Vide pasal 1 angka 4 dan 5, PP Nomor 3 Tahun 2002). 3. Prinsip hukum yang melandasi Hak gugat ini didasarkan pada prinsip keseimbangan yang diatur dalam KUHAP, yang intinya bahwa hukum pidana bukan hanya mementingkan perlindungan hak dan martabat Terdakwa tetapi juga memberi perlindungan kepada kepentingan orang lain, dalam hal ini kepentingan orang yang menderita kerugian akibat tindak pidana yang dilakukan oleh Terdakwa. 4. Tujuan Penggabungan tuntutan pidana dan perdata 2

a. Untuk menyederhanakan proses pemeriksaan dan pengajuan gugatan ganti kerugian itu sendiri, sehingga dapat dicapai makna yang terkandung dalam asas peradilan yangs ederhana, cepat dan biaya ringan. b. Agar korban bisa segera mendapat ganti kerugian tanpa melalui proses gugat perdata biasa. Serta tidak diharuskan terlebih dahulu menunggu putusan inkraht. 5. Bagaimana tata caranya? Tuntutan ganti rugi diajukan kepada Terdakwa digabung dan diperiksa serta diputus sekaligus bersamaan dengan pemeriksaan dan putusan perkara pidana yang didakwakan kepada Terdakwa. Pasal 98 ayat (2) KUHAP menyebutkan: permintaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diajukan selambat-lambatnya sebelum penuntut umum mengajukan tuntutan pidana. Dalam hal penuntut umum tidak hadir, permintaan diajukan selambat-lambatnya sebelum hakim menjatuhkan putusan. Penjelasannya: dalam hal jaksa penuntut umum hadir dalam persidangan, gugatan ganti kerugian hanya bisa diajukan selambat-lambatnya sebelum penuntut umum mengajukan tuntutan pidana. Namun dalam hal JPU tidak hadir dalam persidangan, misalnya dalam kasus tindak pidana ringan (seperti perkara lalu lintas) tuntutan ganti kerugian dapat diajukan selambat-lambatnya sebelum hakim menjatuhkan putusan. Dalam memeriksa gugatan perdata ini, hakim melakukan pemeriksaan berdasarkan hokum acara perdata. Pertama, hakim memeriksa kompetensi absolut dan relatif. Kompetensi relative dalam hokum acara perdata ditentukan oleh tempat kediaman Tergugat. Dengan kata lain, pengadilan yang berwenang memeriksa gugatan ganti kerugian ini adalah Pengadilan yang sesuai dengan tempat tinggal Tergugat. Selanjutnya hakim memeriksa kebenaran gugatan ganti kerugian, apakah benar kerugian tersebut merupakan akibat langsung yang timbul dari tindak pidana yang dilakukan Terdakwa. Dalam menguji ini, hakim mempertanyakan kausalitas antara tindak pidana yang dilakukan oleh Terdakwa dengan kerugian yang diderita, sebagaimana diatur di dalam pasal 1365 KUH Perdata. 3

Selanjutnya hakim memeriksa besarnya jumlah penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan (kerugian material). Putusan atas tuntutan ganti rugi ini melekat pada putusan perkara pidananya. Pasal 99 ayat (3) KUHAP menyebutkan: Putusan mengenai ganti kerugian dengan sendirinya mendapat kekuatan tetap apabila putusan pidananya juga mendapat kekuatan hukum tetap. Sifat putusan yang assessor (melekat dan mengikuti putusan perkara pidana) ini mengandung dua implikasi. Pertama, selama putusan pidananya belum memperoleh kekuatan hukum tetap, selama itu pula putusan ganti kerugian belum memperoleh kekuatan hukum tetap. Kedua, jika ada upaya hokum (banding atau kasasi) terhadap perkara pidananya dan tidak terhadap perkara perdatanya, maka secara otomatis dianggap mencakup perkara perdata. Pasal 100 ayat (1) KUHAP menyatakan: Apabila teriadi penggabungan antara perkara perdata dan perkara pidana, maka penggabungan itu dengan sendirinya berlangsung dalam pemeriksaan tingkat banding. Artinya hakim di tingkat banding maupun kasasi harus memeriksa perkara perdatanya. Sebaliknya, pengajuan banding hanya untuk perkata perdata, tidak diperbolehkan. Pasal 100 ayat (2) KUHAP menyatakan: Apabila terhadap suatu perkara pidana tidak diajukan permintaan banding, maka permintaan banding mengenai putusan ganti rugi tidak diperkenankan. 6. Kerugian seperti apa yang bisa digugat menurut mekanisme ini? Kerugian yang bisa digugat hanya sebatas kerugiaan materiil, sedangkan kerugian imateriil harus digugat tersendiri melalui mekanisme gugatan perdata biasa. Pasal 99 ayat (2) KUHAP menyatakan : Kecuali dalam hal pengadilan negeri menyatakan tidak berwenang mengadili gugatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) atau gugatan dinyatakan tidak dapat diterima, putusan hakim hanya memuat tentang penetapan hukuman penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan. Pembatasan ini didasarkan pada pertimbangan praktis yaitu karena kerugian material lebih mudah dibuktikan dan tidak menghambat proses pembuktian perkara pidananya. Pembatasan ini berimplikasi pada putusan pengadilan jika ada tuntutan ganti kerugian immaterial. Terhadap tuntutan kerugian immaterial maka putusannya adalah tidak bisa diterima. Namun demikian, putusan tidak bisa diterima tersebut tidak berdampak pada nebis in 4

idem, artinya korban bisa mengajukan lagi gugatan ke pengadilan perdata untuk kerugian immaterial tersebut. 7. Siapa yang memiliki legal standing? Pasal 98 ayat (1) KUHAP berbunyi : Jika suatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan di dalam suatu pemeriksaan perkara pidana oleh pengadilan negeri menimbulkan kerugian bagi orang lain, maka hakim ketua sidang atas permintaan orang itu dapat menetapkan untuk menggabungkan perkara gugatan ganti kerugian kepada perkara pidana itu. Selanjutnya penjelasan pasal 98 ayat (1) KUHAP menyebutkan: Maksud Penggabungan perkara gugatan pada perkara pidana ini adalah supaya perkara gugatan tersebut pada suatu ketika yang sama diperiksa serta diputus sekaligus dengan perkara pidana yang bersangkutan. Yang dimaksud dengan "kerugian bagi orang lain" termasuk kerugian pihak korban. Pertanyaannya siapakah korban dalam kasus korupsi? Pertanyaan ini membutuhkan jalan berputar untuk mendapatkan jawaban. Jika kita merujuk pada pasal 2 dan 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tipikor, maka yang disebut korban tindak pidana korupsi adalah negara. Pasal 2 intinya menyebutkan bahwa korupsi adalah perbuatan yang dilakukan oleh setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara. Sedangkan pasal 3 intinya bahwa korupsi adalah tindakan yang dilakukan oleh setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian Negara. Apakah dengan demikian, tidak ada kerugian bagi masyarakat atas tindak pidana korupsi? Dalam salah satu diskusi, wakil ketua KPK (Bambang Widjojanto) menyampaikan potret pelayanan publik di Indonesia, pada tahun 2011, yaitu : a. LISTRIK: 35 % (sekitar 84 juta) penduduk Indonesia setiap malam masih dirundung kegelapan - tanpa listrik (sumber : listrikindonesia.com) 5

b. ENERGI: 35,6% konsumsi energi di negeri ini sangat tergantung pada BBM? subsidi untuk BBM pada tahun 2011 menghabiskan hampir 14% APBN. (sumber : bicaraenergi.com & jpnn.com) c. KESEHATAN: 2/3 penduduk Indonesia masih mengkonsumsi makanan kurang dari 2.100 kalori per hari? sebagaian besar masyarakat kita hidup di bawah standar garis kemiskinan. d. AIR: 85 juta penduduk miskin di perkotaan tidak memiliki akses terhadap air bersih. Penyediaan air bersih saat ini baru menjangkau 9% dari total penduduk Indonesia. (sumber : Kementerian PU) e. KERUSAK AN ALAM : 3,8 juta hektar hutan di Indonesia dibabat setiap tahunnya, belum lagi yang disebabkan oleh kebakaran. Akibatnya, 39% habitat alami turut musnah. (sumber : isai.or.id) Selain itu, wakil ketua KPK juga menyampaikan potret kemiskinan di Indonesia, yang bisa dilihat dari angka-angka statistik berikut ini: a. Angka malnutrisi Indonesia adalah 5 kali lebih buruk dibandingkan Brazil, 3 kali lebih buruk dari China. b. Lebih dari 80% anak dari keluarga miskin putus sekolah sebelum kelas 10. c. Angka kematian ibu di Indonesia hamper 10 kali lebih tinggi dari Malaysia. d. Ada sekitar 4 juta anak terlantar di Indonesia. e. Kebanyakan pekerja tidak memiliki pension. f. 92% pekerja bekerja di sector informal atau tanpa kontrak. g. Angka pengangguran pemuda jauh lebih tinggi dibandingkan angka pengangguran pekerja dewasa. Bambang Widjajanto menilai potret pelayanan public dan potret kemiskinan tersebut, ada hubungannya dengan pola korupsi yang sedikit terjadi pada enam bidang, yaitu : a. Penerimaan non pajak, yang meliputi: Penyalahgunaan perizinan, tidak ada single data base, Penyelewenangan penyetoran b. Belanja barang dan jasa, yang meliputi: penyimpangan prosedur pengadaan 6

c. Bantuan Sosial, yang meliputi: Penyimpangan peruntukan, Penggelapan dan Fiktif d. Pungutan daerah, yang meliputi : PERDA tak mengacu pada peruu dan Penghasilan aparat. e. DAU/ DAK/ Dekonsentrasi Masuk pada APBD, yang meliputi: Penyalahgunaan wewenang, penggelapan, Pelaporan tidak standar, Alokasi penggunaan tidak transparan f. Penerimaan pajak, yang meliputi : Penyelewengan dari target, Pemerasan kepada wajib pajak, Manipulasi data, Terjadi COI. Jika hubungan antara tingkat korupsi dengan tingkat kemiskinan dan kualitas pelayanan publik sudah nyata, sementara UU Tipikor baru mengadopsi hubungan korupsi dan kerugian negara, yang itu berimplikasi pada bagaimana lembaga Negara menegakkan hukum Tipikor, maka gagasan tentang Popular legal Action, melalui gugatan perbarengan ini menjadi menemukan urgensinya. Bahan Bacaan : 1. Bambang Widjojanto, Road Map KPK: Pemberantasan Korupsi 2011 2023 serta Program KPK 2012 2. KUHAP Bab XIII, pasal 98-101. 3. M. Yahya Harahap, SH, Pembahasan permasalahan dan penerapan KUHAP, edisi kedua, Sinar Grafika, 2003. 4. UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM 5. UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi. 6. UU Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tipikor. 7. PP Nomor 3 Tahun 2002 tentang Kompensasi, Restitusi dan Rehabilitasi bagi Korban Pelanggaran HAM berat. 7