I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perubahan iklim adalah fenomena global yang disebabkan oleh kegiatan manusia dalam penggunaan energi bahan bakar fosil serta kegiatan alih guna lahan dan kehutanan. Kegiatan tersebut merupakan sumber utama Gas Rumah Kaca (GRK) terutama karbon dioksida (CO 2 ) yang memiliki kontribusi terbesar berasal dari negara industri. Gas ini memiliki kemampuan menyerap panas yang berasal dari radiasi matahari yang dipancarkan kembali oleh bumi. Penyerapan ini telah menyebabkan pemanasan atmosfer atau kenaikan suhu dan perubahan iklim. Sebagai negara kepulauan yang berciri nusantara dan mempunyai garis pantai terpanjang kedua di dunia, dengan jumlah penduduk yang besar dan kemampuan ekonomi yang terbatas, Indonesia berada pada posisi yang sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim bagi lingkungan dan kehidupan bangsa Indonesia. Dampak tersebut meliputi turunnya produksi pangan, terganggunya ketersediaan air, tersebarnya hama dan penyakit tanaman serta manusia, naiknya permukaan laut, tenggelamnya pulau-pulau kecil dan punahnya keanekaragaman hayati (Kementerian Lingkungan Hidup 2004). Perubahan iklim merupakan sebuah ancaman serius. Karena itu diperlukan usaha bersama yang harus dilakukan secara global. Untuk itu dibentuklah sebuah konvensi yang dikenal dengan Konvensi PBB (Perserikatan Bangsa Bangsa) untuk Perubahan Iklim, tahun 1992 yang dikenal dengan sebutan UNFCCC (United Nations Framework Convention on Climate Change). Tujuan utama UNFCCC adalah menstabilkan konsentrasi GRK di lapisan atmosfer pada tingkat yang aman bagi sistem iklim. Karena konvensi ini sifatnya tidak mengikat dan
2 tidak ada target waktu untuk pencapaian penurunan emisi maka pada pertemuan tahunan ketiga tahun 1997 disepakati Protokol Kyoto (Murdiyarso 2003). Protokol Kyoto atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa- Bangsa tentang Perubahan Iklim mengatur penurunan emisi GRK akibat kegiatan manusia sehingga dapat menstabilkan konsentrasi GRK di atmosfer dan tidak membahayakan sistem iklim bumi. Protokol Kyoto menetapkan aturan mengenai tata cara, target, mekanisme penurunan emisi, kelembagaan, serta prosedur penaatan dan penyelesaian sengketa (Kementerian Lingkungan Hidup, 2004). Negara-negara maju (Annex 1) telah diwajibkan untuk melakukan kegiatan pengurangan dampak (mitigasi) perubahan iklim dengan menekan emisi CO2 sebesar 5% dari tingkat emisi tahun 1990 pada periode komitmen I tahun 2008-2012. Di dalam Protokol Kyoto terdapat tiga mekanisme fleksibilitas yang dapat digunakan untuk membantu negara-negara Annex B mengurangi emisi GRK. Selain upaya domestik, ketiga mekanisme tersebut adalah Joint Implementation (JI), Emissions Trading (ET), dan Clean Development Mechanism (CDM). Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh Tim di bawah koordinasi Kementrian Lingkungan Hidup, potensi Indonesia untuk melakukan kegiatan CDM cukup tinggi. Diperkirakan potensi Indonesia untuk melakukan penurunan emisi dan menyerap karbon mencapai 175 juta ton. Bila satu ton karbon dihargai 2 dollar AS (harga minimal), total penerimaan sektor industri dan kehutanan Indonesia melalui kegiatan ini bisa mencapai 350 juta dollar AS. Jumlah sebesar itu terbagi dua, yaitu 125 juta ton dari sektor energi dan industri, serta 50 juta ton dari sektor kehutanan. Secara umum, CDM merupakan kerangka yang serta
3 memungkinkan negara maju berinvestasi di negara berkembang untuk mencapai target penurunan emisinya. Di sisi lain, negara berkembang berkepentingan menjaga program pembangunan berkelanjutan (Kementerian Lingkungan Hidup 2001). Menurut Murdiyarso (2003), Indonesia dengan luas hutan terbesar ketiga di dunia, bisa berperan penting untuk mengurangi emisi dunia melalui kegiatan carbon sink. Hal ini bisa terjadi jika hutan yang ada dijaga kelestariannya dan melakukan penanaman (afforestasi) pada kawasan bukan hutan (degraded land). Serta melakukan perbaikan kawasan hutan yang rusak (degraded forest) dengan cara penghutanan kembali (reforestasi). Afforestasi bisa dilakukan di kawasan yang bukan merupakan hutan sejak (base year) 50 tahun lalu sedangkan reforestasi pada kawasan hutan yang dikategorikan rusak hingga 31 Desember 1989 (atau sejak tahun 1990). Berdasarkan ketentuan di atas maka lahan yang layak untuk CDM ialah (i) lahan yang sejak 50 tahun digunakan untuk kegiatan non-kehutanan seperti kegiatan pertanian, dan (ii) lahan hutan yang sejak 31 Desember 1989 sudah bukan merupakan hutan. Dengan demikian maka sebelum proyek CDM dilaksanakan, pengusul proyek harus menyediakan dokumen yang mendukung bahwa lahan yang akan digunakan memenuhi salah satu dari kriteria di atas. Pendekatan yang paling baik ialah membuktikan bahwa lahan yang digunakan memenuhi kriteria Hasil National Strategy Study (MOE 2002) menunjukkan bahwa lahanlahan yang diperkirakan potensial untuk CDM (lahan Kyoto) ialah lahan-lahan terlantar atau lahan kritis yang sudah ada sejak tahun 1990 baik dalam bentuk
4 alang-alang, lahan terbuka atau semak belukar, atau lahan lahan pertanian yang sudah diusahakan sejak 50 tahun yang lalu. Sebagian lahan bekas perladangan berpindah yang mengalami degradasi kemungkinan juga memenuhi kriteria lahan Kyoto. Dengan pertimbangan tersebut, kemungkinan luas lahan yang layak untuk CDM mencapai 30 juta ha (Tabel 1). Tabel 1. Luas Lahan yang Tersedia pada Tahun 1990 dan 2000 untuk Kegiatan Penambatan Karbon No. Jenis lahan 1990 2000 Luas (Ha) Luas (Ha) 1. Lahan kritis 1 4 898 000 15 411 798 2. Lahan pertanian dan sawah 2 8 112 883 8 106 356 3. Lahan bera/terlantar 3 9 823 175 10 260 492 4. Alang-alang 1 3 219 648 2 424 469 5. Bekas perladangan berpindah/pekarangan/kebun 3 12 718 787 12 768 711 Total lahan 4 38 772 493 48 971 826 Sumber: MOE (2002). 1 Berdasarkan definisi Kyoto kemungkinan besar lahan-lahan tersebut bukan hutan sehingga layak dijadikan sebagai lahan untuk kegiatan CDM. 2 Sebagian besar lahan ini 50 tahun sebelumnya mungkin masih berupa hutan; 3 Lahan-lahan tersebut berpotensi untuk berubah kembali menjadi hutan secara alami sehingga menjadi tidak layak untuk kegiatan CDM. 4 Ada kemungkinan bahwa sebagian lahan ini saat ini sudah kembali menjadi hutan. Kurang memadainya kondisi keuangan negara saat ini, memerlukan penggalangan sumber pendanaan alternatif guna mendukung pembangunan kehutanan dan perkebunan, dimana rehabilitasi dan konservasi merupakan program prioritas. Clean Development Mechanism (CDM) adalah salah satu sumber pendanaan luar negeri yang dapat diarahkan untuk mendukung program di atas (Kompas 2001). CDM merupakan peluang memperoleh dana luar negeri untuk mendukung program-program prioritas, penciptaan lapangan kerja dengan adanya investasi baru. Di sektor Kehutanan, CDM dapat diarahkan untuk mendukung:
5 1. Pembangunan hutan tanaman pada lahan hutan yang rusak, 2. Rehabilitasi areal bekas kebakaran, 3. Rehabilitasi hutan mangrove dan hutan gambut, 4. Agroforestri, 5. Penerapan RIL (Reduced Impact Logging), 6. Peningkatan permudaan alam, 7. Perlindungan terhadap forest reserve yang rawan perambahan, 8. Perlindungan terhadap hutan yang rawan kebakaran dan perambahan Roshetko et al (2002) menyatakan bahwa sistem agroforestri memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi dan menghasilkan jenis produk yang beragam baik kayu maupun non-kayu. Kandungan biomasanya juga tinggi sehingga pembangunan sistem agroforestri pada lahan-lahan kritis dan terlantar selain dapat memperlambat terjadinya pemanasan global juga memberikan dampak yang positif terhadap lingkungan dan sosial-ekonomi masyarakat. 1.2. Rumusan Masalah Aktivitas manusia yang telah menyebabkan terjadinya pemanasan global telah berlangsung bertahun-tahun dan apabila tidak ada usaha pengurangan laju pemanasan global dengan peningkatan penyerapan karbon maupun pengurangan pelepasan karbon maka permasalahan lingkungan di dunia seperti banjir, tanah longsor, perubahan iklim dan bencana alam lainnya diperkirakan akan semakin meningkat. Indonesia sebagai salah satu negara berkembang yang telah meratifikasi Protokol Kyoto sebagai wujud kepedulian terhadap lingkungan memiliki
6 sumberdaya lahan yang dapat dikembangkan untuk peningkatan rosot karbon sektor kehutanan melalui CDM sekitar 30 juta ha. Namun demikian kajian lebih detil untuk mengindentifikasi lokasi dan luasan lahan yang layak untuk CDM terutama di wilayah Indonesia Timur, seperti Provinsi Sulawesi Tenggara di sekitar Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai (TNRAW) belum ada. Oleh karena itu perlu dilakukan kajian tentang ketersediaan lahan kritis yang layak untuk kegiatan CDM di sekitar TNRAW, Sulawesi Tenggara. Salah satu bentuk kegiatan CDM adalah pembangunan sistem agroforestri. Sistem agroforestri sudah dikenal dan dilakukan oleh sebagian masyarakat desa sekitar TNRAW disamping sistem pertanian lainnya. Namun demikian analisis tentang sistem mana yang paling baik untuk dikembangkan sesuai dengan kebutuhan dan kondisi sosial ekonomi masyarakat serta memenuhi aturan CDM juga belum ada. Disamping itu kendala untuk pelaksanaan sistem agroforestry yang potensial seperti modal, ketersediaan tenaga kerja dan pemasaran dan sebagainya juga belum dikaji secara mendalam. Berdasarkan uraian mengenai permasalahan yang akan diangkat dalam penelitian ini maka dapat dirumuskan masalah yaitu : 1. Berapa besar luas lahan kritis yang layak untuk CDM di sekitar TNRAW, Sulawesi Tenggara. 2. Bagaimana sistem pertanian masyarakat lokal dan apakah dapat memenuhi kebutuhan hidup masyarakat. 3. Bagaimana alternatif sistem agroforestri yang dapat dikembangkan di wilayah TNRAW sesuai dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat (preferensi
7 masyarakat) dan kesesuaian lahan dan apakah layak diusahakan secara finansial. 4. Kendala-kendala apa saja yang dapat menghambat pengembangan alternatif sistem agroforestri yang diajukan. 5. Bagaimana alokasi penggunaan lahan kritis optimal dengan sistem agroforestri untuk peningkatan pendapatan masyarakat dan rosot karbon dengan CDM dengan kendala-kendala yang ada di lapangan. 1.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk : 1. Inventarisasi lahan kritis yang layak untuk kegiatan CDM di sekitar kawasan TNRAW, Sulawesi Tenggara. 2. Identifikasi sistem pertanian masyarakat lokal di sekitar TNRAW dan struktur pendapatan dan pengeluaran masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidup. 3. Menentukan alternatif sistem agroforestri berdasarkan kondisi sosial ekonomi (preferensi masyarakat) dan kondisi fisik lahan yang mungkin dikembangkan di sekitar TNRAW dan menganalisis kelayakan finansial terhadap alternatif sistem agroforestri. 4. Mengidentifikasi kendala-kendala dalam implementasi alternatif sistem agroforestri. 5. Mengalokasikan penggunaan lahan kritis optimal dengan sistem agroforestri untuk peningkatan pendapatan masyarakat dan peningkatan rosot karbon dengan CDM dengan kendala-kendala yang ada.
8 1.4. Manfaat Penelitian 1. Sebagai bahan masukan untuk Pemerintah Daerah dalam pengembangan wilayah khususnya untuk rehabilitasi lahan kritis dan peningkatan sosial ekonomi masyarakat sekitar hutan. 2. Bagi masyarakat diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan apabila hasil penelitian dapat diaplikasikan. 3. Bagi dunia akan meningkatkan kualitas lingkungan dan mereduksi efek gas rumah kaca. 1.5. Kerangka Pemikiran Bumi merupakan tempat makhluk-makhluk ciptaan Tuhan beraktivitas selama berabad-abad dimana manusia sebagai penguasa diberi kebebasan untuk memanfaatkan sumberdaya demi memenuhi kebutuhannya. Tetapi akibat pemanfaatan yang berlebihan maka terjadi ekses-ekses yang merugikan manusia itu sendiri, diantaranya pemanasan global. Pemanasan global terjadi akibat peningkatan konsentrasi gas rumah kaca (GRK) di lapisan atmosfer bumi yang dihasilkan dari kegiatan manusia yang berhubungan dengan pembakaran bahan bakar fosil (minyak, gas, dan batubara). Perubahan iklim merupakan sebuah ancaman serius. Kerangka pemikiran penelitian ini yang disajikan pada Gambar 1 menggambarkan salah satu usaha menghadapi perubahan iklim yang sedang terjadi.
9 Aktivitas Manusia Pemanasan Global UNFCCC Protokol Kyoto JI CDM ET Kehutanan Energi Inventarisasi Lahan Kritis Layak CDM Identifikasi Sistem Pertanian Lokal dan Struktur Pendapatan dan Pengeluaran. Alternatif Sistem Agroforestri untuk Lahan Kritis dan Analisis Kelayakan Finansialnya Kondisi Sosial Ekonomi Kondisi Kesesuaian Lahan Identifikasi Kendala-kendala dalam Penerapan Alternatif Sistem Agroforestri Alokasi Optimal Penggunaan Sumberdaya Lahan Kritis dengan Sistem Agroforestri untuk Peningkatan Rosot Karbon di Sulawesi Tenggara Gambar 1. Kerangka Pemikiran : Proses Penelitian Alokasi Optimal Penggunaan Lahan Kritis dengan Sistem Agroforestri untuk Peningkatan Rosot Karbon di Sulawesi Tenggara
10 Usaha bersama menghadapi ancaman perubahan iklim harus dilakukan oleh semua negara di seluruh dunia. Untuk itu dibentuklah sebuah konvensi yang dikenal dengan Konvensi PBB (Perserikatan Bangsa Bangsa) untuk Perubahan Iklim, tahun 1992. Dikenal dengan UNFCCC (United Nations Framework Convention on Climate Change). Pertemuan tahunan ke tiga tahun 1997 menghasilkan perjanjian internasional yang disebut Protokol Kyoto. Di dalam Protokol Kyoto terdapat tiga mekanisme fleksibilitas yang dapat digunakan untuk membantu negara-negara Annex B mengurangi emisi GRK. Selain upaya domestik. Ketiga mekanisme tersebut adalah Joint Implementation (JI), Emissions Trading (ET) dan Clean Development Mechanism (CDM). Secara umum, CDM merupakan kerangka yang memungkinkan negara maju berinvestasi di negara berkembang untuk mencapai target penurunan emisinya. Ada 2 sektor yang termasuk dalam CDM yaitu sektor energi dan Kehutanan. Indonesia dengan luas hutan terbesar ketiga di dunia, bisa berperan penting untuk mengurangi emisi dunia melalui kegiatan carbon sink. Kawasan Timur Indonesia memiliki potensi sumberdaya hutan yang dapat berfungsi untuk peningkatan rosot karbon (carbon sink) namun belum banyak penelitian tentang penilaian potensi Kawasan Timur Indonesia untuk mengurangi emisi dunia melalui kegiatan CDM di antaranya di kawasan TNRAW. Oleh karena itu perlu dilakukan identifikasi lahan kritis yang layak untuk kegiatan CDM di sekitar TNRAW. Agar dapat menetapkan sistem apa yang paling sesuai untuk diterapkan untuk kegiatan CDM terlebih dahulu harus diidentifikasi sistem pertanian
11 masyarakat lokal dan menganalisis apakah sistem tersebut dapat memenuhi kebutuhan hidup masyarakat. Sistem agroforestri sebagai salah satu kegiatan CDM juga telah menjadi salah satu sistem pertanian yang telah dikenal dalam kehidupan sebagian masyarakat sehari-hari. Oleh karena itu system agroforestri dapat dijadikan salah satu alternative dalam permasalahan ini dengan berdasarkan penilaian aspek sosial ekonomi dan penilaian kondisi fisik lahan dapat diusulkan beberapa alternatif pola tanam dengan sistem agroforestri yang dapat dikembangkan di sekitar TNRAW. Dalam penerapan alternatif sistem agroforestri yang diusulkan diduga akan ada kendala-kendala seperti modal untuk investasi awal, tenaga kerja dan pemasaran produk pertanian. Oleh karena itu harus diketahui apakah alternatif sistem agroforestri dapat diterapkan jika masyarakat menggunakan modal swadana. Apabila tidak maka kegiatan CDM dapat dijadikan salah satu sumber dana, oleh karena itu perlu dilakukan penghitungan biomassa untuk menentukan kemampuan alternatif sistem agroforestri yang diusulkan untuk meningkatkan rosot karbon sehingga dapat diketahui berapa besar kemampuan menyerap emisi karbon dari sistem agroforestri yang diusulkan dan dapat dihitung nilai jualnya. Namun agar suatu kegiatan dapat diikutsertakan dalam kegiatan CDM maka ada beberapa tahap mulai dari pengajuan usulan proyek sampai dengan disetujuinya proyek yang membutuhkan dana yang disebut dengan biaya transaksi. Dengan adanya biaya transaksi maka nilai nominal bersih yang diterima adalah nilai jual dikurangi oleh biaya transaksi. Besarnya biaya transaksi yang dikeluarkan tetap artinya tidak tergantung besar kecilnya ukuran proyek.
12 Oleh karena itu perlu dihitung berapa luas lahan kritis optimal yang dapat dikelola dengan alternatif sistem agroforestri yang diusulkan dengan kendala-kendala yang ada. Sehingga masyarakat di sekitar TNRAW dapat meningkatkan kesejahteraannya.