BAB II PENGANGKUTAN BARANG DAN BONGKAR MUAT BARANG MELALUI LAUT. A. Pengangkutan dan Pihak-Pihak yang Terkait dalam Pengangkutan



dokumen-dokumen yang mirip
BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG PENGANGKUTAN

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENGANGKUTAN BARANG. A. Pengertian dan Pengaturan Perjanjian Hukum Pengangkutan. A.1. Pengertian Pengangkutan Secara Umum

HUKUM PENGANGKUTAN LAUT DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. dan memperlancar perdagangan dalam maupun luar negeri karena adanya

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintah No. 69 Tahun 2001 tentang Kepelabuhanan, pelabuhan adalah

BAB III SISTEM PEMBAYARAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL

DOKUMEN EKSPOR IMPOR. Hertiana Ikasari, SE, MSi

Pesawat Polonia

II. TINJAUAN PUSTAKA. pengirim. Dimana ekspeditur mengikatkan diri untuk mencarikan pengangkut

BAB II KAJIAN UMUM TENTANG PENGANGKUTAN BARANG. A. Sejarah dan Pengertian Pengangkutan Barang

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MAS ALAH

TUGAS MATA KULIAH HUKUM PENGANGKUTAN PERANAN PENTING PENGANKUTAN LAUT. Disusun oleh : YASIR ADI PRATAMA (E1A012096) KELAS B

BAB II LANDASAN TEORI. yang dipergunakan dalam menyelesaikan permasalahan.

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENGANGKUTAN. A. Pengertian Pengangkutan Dan Hukum Pengangkutan

BAB I PENDAHULUAN. perdagangan pada khususnya mengalami pertumbuhan yang sangat pesat. Dalam

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Transportasi merupakan sarana yang sangat penting dan strategis dalam

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PENGANGKUTAN. Menurut R. Djatmiko Pengangkutan berasal dari kata angkut yang berarti

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 74 TAHUN 2015 TENTANG

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. laporan Tugas Akhir ini. Adapun penelitian terdahulu yang penulis ulas

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara kepulauan yang terdiri

Lex et Societatis, Vol. V/No. 1/Jan-Feb/2017

A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. serta sebagai tempat perpindahan intra-dan antarmoda transportasi.

BAB I PENDAHULUAN. pembayaran biaya tertentu untuk pengangkutan tersebut 2. Kedudukan pengirim dan

BAB I PENDAHULUAN. hidupnya sendiri tanpa bantuan dari orang lain. Dalam memenuhi kebutuhan

BAB II LANDASAN TEORI. miliki kepada bangsa lain atau negara asing dengan mengharapkan

BAB I PENDAHULUAN. utamanya dibidang pembangunan ekonomi, maka kegiatan perdagangan merupakan

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

2 3. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Republik In

Berbagai Dokumen Penting Ekspor. Pertemuan ke-6

BAB I PENDAHULUAN. Interaksi sesama manusia dapat disebabkan oleh adanya perbedaan tingkat

PENGERTIAN KAPAL SEBAGAI BARANG DALAM PENEGAKAN HUKUM OLEH PEJABAT DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 70 TAHUN 1996 TENTANG KEPELABUHANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERANAN DAN TANGGUNG JAWAB PERUSAHAAN BONGKAR MUAT DALAM PENGANGKUTAN BARANG DI LAUT

DIPONEGORO LAW REVIEW Volume 5, Nomor 2, Tahun 2016 Website :

BAB III PELAKSANAAN KERJA PRAKTEK. 3.1 Bidang Pelaksanaan Kerja Praktek. marketing. Adapun fungsi bidang ekspor ini adalah melakukan pengurusan

Kekhususan Jual Beli Perusahaan

BAB I PENDAHULUAN. kelancaran arus lalu lintas penduduk dari dan kesuatu daerah tertentu.

TANGGUNG JAWAB PT. MITRA ATLANTIK NUSANTARA SEMARANG MELALUI LAUT SKRIPSI. Diajukan kepada Fakultas Hukum

BAB I PENDAHULUAN. hanya satu, yaitu PT. Pos Indonesia (Persero). Menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 38 Tahun 2009 tentang

Peraturan Pemerintah No. 70 Tahun 1996 Tentang : Kepelabuhanan

TATANAN KEPELABUHAN NASIONAL KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 53 TAHUN 2002 MENTERI PERHUBUNGAN,

BAB I PENDAHULUAN. Dikatakan sangat vital karena sebagai suatu penunjang penting dalam maju

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB III PELAKSANAAN KERJA PRAKTEK

PERATURAN DAERAH PROPINSI SULAWESI TENGAH NOMOR : 03 TAHUN 2007 TENTANG

KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI PERHUBUNGAN, MENTERI KEHUTANAN DAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 69 TAHUN 2001 TENTANG KEPELABUHANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. dari sarana pengangkutnya. Hal tersebut akan mempengaruhi lancar tidaknya. dapat dipastikan proses perdagangan akan terhambat.

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perjanjian adalah peristiwa seseorang berjanji kepada seorang lain atau dua orang

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 82 TAHUN 1999 TENTANG ANGKUTAN DI PERAIRAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. kemampuan yang rendah dalam melakukan muat-bongkar barang dan upah. terciptanya peti kemas (container) (Amir MS, 2004:111).

LAMPIRAN INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1991 TENTANG KEBIJAKSANAAN KELANCARAN ARUS BARANG UNTUK MENUNJANG KEGIATAN EKONOMI

KEPUTUSAN DIREKSI (Persero) PELABUHAN INDONESIA II NOMOR HK.56/2/25/PI.II-02 TANGGAL 28 JUNI 2002

LEMBARAN DAERAH KOTA CILEGON

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENGANGKUTAN MULTIMODA. pengangkutan barang dari tempat asal ke tempat tujuan dengan lebih efektif dan

II. TINJAUAN PUSTAKA. KUH Perdata di mana PT KAI sebagai pengangkut menyediakan jasa untuk mengangkut

Rp ,- (Edisi Indonesia) / Rp ,- (Edisi Inggris) US$ 750 Harga Luar Negeri

PENYELENGGARAAN DAN PENGUSAHAAN ANGKUTAN LAUT Peraturan Pemerintah (Pp) Nomor : 17 Tahun 1988 Tanggal: 21 Nopember Presiden Republik Indonesia,

RANCANGAN KRITERIA KLASIFIKASI PELAYANAN PELABUHAN

I. PENDAHULUAN. Peranan jasa angkutan dalam menunjang pembangunan. ekonomi memiliki fungsi yang vital. Pengembangan ekonomi suatu

TINJAUAN PUSTAKA. Perjanjian merupakan sumber terpenting yang melahirkan perikatan. Perjanjian

BAB II LANDASAN TEORI

2 Tahun 2009 Nomor 151, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5070); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2010 tentang Kenavigasian (Lemb

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kerangka Teori

I. PENDAHULUAN. berlaku pada manusia tetapi juga pada benda atau barang. Perpindahan barang

2017, No Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 65, Tambahan Lembaran

Deskipsi (S. Imam Wahyudi & Gata Dian A.) Menjelaskan tentang fasilitas Pelabuhan di darat meliputi : fasilitas-fasilitas darat yang berada di

BAB I PENDAHULUAN. merupakan hakikat sebagai makhluk sosial. Proses interaksi tersebut bertujuan

BAB II PENYELENGGARAAN PENGANGKUTAN BARANG MELALUI LAUT MENURUT UNDANG UNDANG PELAYARAN NOMOR 17 TAHUN A. Pihak Pihak Yang

LAMPIRAN INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1985 TANGGAL 4 APRIL 1985

PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP REPUBLIK INDONESIA NOMOR 05 TAHUN 2009 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH DI PELABUHAN

BAB II PERJANJIAN SEBAGAI DASAR TERJADINYA PENGANGKUTAN DALAM UNDANG-UNDANG. atau aktivitas kehidupan manusia sehari-hari. Mulai dari zaman kehidupan

Waktu yang dihabiskan kapal selama berada di pelabuhan akan sangat berpengaruh terhadap pengoperasian kapal tersebut. Semakin lama kapal berada di

2 2. Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2009 tentang Kepelabuhanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 151, Tambahan Lembaran Negara

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PEMBIAYAAN KONSUMEN. Istilah perjanjian secara etimologi berasal dari bahasa latin testamentum,

2016, No kepelabuhanan, perlu dilakukan penyempurnaan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 51 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Pelabuhan L

STANDAR KOMPETENSI LULUSAN EKSPOR IMPOR

PELAKSANAAN PERJANJIAN PENGANGKUTAN BARANG MENGGUNAKAN KAPAL PETI KEMAS MELALUI LAUT (STUDI KASUS PT. MERATUS LINE CABANG PADANG)

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II PELAKSANAAN PERJANJIAN PENGANGKUTAN. A. Pengertian Perjanjian Pengangkutan dan Asas-Asas Pengangkutan

RANCANGAN PERATURAN MENTERI TENTANG PENYELENGGARAAN PELABUHAN PENYEBERANGAN MENTERI PERHUBUNGAN,

BAB I PENDAHULUAN. mobilitas masyarakat yang semakin tinggi di era globalisasi sekarang ini. mengakibatkan kerugian pada konsumen.

BAB I PENDAHULUAN. dengan lainnya yang menjadikan manusia sebagai makhluk sosial atau zoon

2017, No Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2009 tentang Kepelabuhanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 151, Tambahan L

I. PENDAHULUAN. Indonesia. Harus diakui bahwa globalisasi merupakan gejala yang dampaknya

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM. 84 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA INDUK PELABUHAN LINAU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. moyang bangsa Indonesia dikenal sebagai negara maritim. 1

PEMERINTAH KABUPATEN LAMONGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMONGAN NOMOR 2 TAHUN 2010 TENTANG KEPELABUHANAN DI KABUPATEN LAMONGAN

Amelia Febriani Kelompok 3 Buku Kerja Dokumen Produk Ekspor

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PENGANGKUTAN UDARA. suatu barang. Pengangkutan merupakan salah satu kunci perkembangan

a. bahwa berdasarkan Peraturan Menteri Perhubungan MENTERIPERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Secara geografis Indonesia adalah negara kepulauan yang terdiri atas

BAB I PENDAHULUAN. (Asia dan Australia), jelas ini memberikan keuntungan bagi negara indonesia

Transkripsi:

BAB II PENGANGKUTAN BARANG DAN BONGKAR MUAT BARANG MELALUI LAUT A. Pengangkutan dan Pihak-Pihak yang Terkait dalam Pengangkutan Barang Melalui Laut Kata angkut berarti mengangkat dan membawa, memuat atau mengirimkan. Pengangkutan dapat diartikan sebagai pemindahan barang dan manusia dari tempat asal ke tempat tujuan 14. Dalam hal ini terkait unsur-unsur pengangkutan sebagai berikut : 1. Ada sesuatu yang diangkut. 2. Tersedianya kendaraan sebagai alat angkutan. 3. Ada tempat yang dapat dilalui alat angkutan. 15 Di dalam lalulintas arus perpindahan barang, pengangkutan barang melalui laut menjadi alternatif yang paling di minati oleh masyarakat, hal ini di karenakan unsur biaya yang relatif murah disamping angkutan melalui laut sanggup mengangkut barang-barang dalam berat dan volume yang banyak. Pengertian pengangkutan laut menurut Pasal 466 dan Pasal 521 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (selanjutnya disebut KUHD) adalah : Pasal 466 KUHD : 14 Ridwan Khairandy, Machsun Tabroni, Ery Arifuddin, Djohari Santoso, Pengantar Hukum Dagang Indonesia, Jilid 1, Gama Media, Yogyakarta, 2001, hal 195 15 Ibid.

Pengangkutan adalah barang siapa yang baik dalam persetujuan charter menurut waktu atau charter menurut perjalanan, baik dengan persetujuan lain, mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan yang seluruhnya atau sebagian melalui lautan. Pasal 521 KUHD : Pengangkutan dalam arti bab ini adalah barang siapa yang baik dengan charter menurut waktu atau charter menurut perjalanan, baik dengan persetujuan lain, mingikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan angkutan orang (penumpang), seluruhnya atau sebagian melalui lautan. Menurut Hamdani yang dimaksud angkutan muatan laut adalah suatu usaha pelayaran yang bergerak dalam bidang jasa angkutan muatan laut dan karenanya merupakan bidang usaha yang luas bidang kegiatanya dan memegang peranan penting dalam usaha memajukan perdagangan dalam dan luar negeri. 16 Pengangkutan merupakan rangkaian kegiatan pemindahan penumpang atau barang dari satu tempat pemuatan (embarkasi) ke tempat tujuan (debarkasi) sebagai tempat penurunan pemumpang atau pembongkaran barang muatan. 17 Rangkaian peristiwa pemindahan itu meliputi kegiatan : a. Memuat penumpang atau barang ke dalam alat pengangkut ; b. Membawa penumpang atau barang ke tempat tujuan ; dan c. Menurunkan penumpang atau membongkar barang di tempat tujuan. 18 16 Hamdani, Seluk Beluk Perdagangan Ekspor-Impor,Yayasan Bina Usaha Niaga Indonesia,Jakarta, 2003, hal 323. 17 Abdulkadir Muhammad, Hukum Pengangkutan Niaga, Cetakan ke V, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2013, hal 42 18 Ibid, hal 42

Pengangkutan yang meliputi tiga kegiatan ini merupakan satu kesatuan proses yang disebut pengangkutan dalam arti luas. Selain itu, pengangkutan juga dapat dirumuskan dalam arti sempit. Dikatakan dalam arti sempit karena hanya meliputi kegiatan membawa penumpang atau barang dari stasiun/terminal /pelabuhan /bandara tempat pemberangkatan ke stasiun/ terminal/ pelabuhan/bandara tujuan. 19 Jadi, pengangkutan adalah kegiatan pemuatan penumpang atau barang ke dalam alat pengangkut, pemindahan penumpang atau barang ke tempat tujuan dengan alat pengangkut, dan penurunan penumpang atau pembongkaran barang dari alat pengangkut di tempat tujuan yang disepakati. 20 Angkutan di Perairan adalah kegiatan mengangkut dan/ atau memindahkan penumpang dan/ atau barang dengan menggunakan kapal. 21 Menurut Hamdani yang dimaksud dengan angkutan muatan laut adalah suatu usaha pelayaran yang bergerak dalam bidang jasa angkutan muatan laut dan karenanya merupakan bidang usaha yang luas bidang kegiatannya dan memegang peranan penting dalam usaha memajukan perdagangan dalam dan luar negeri. 22 Alat dan sarana angkutan melalui laut yaitu: a. Barang muatan adalah barang yang sah dan dilindungi undang-undang, dimuat dalam alat pengangkut, yang sesuai dengan atau tidak dilarang 19 Ibid, hal 43 20 Ibid, hal 4 21 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 20 Tahun 2010, op.cit, Pasal 1 angka 3 22 Hamdani, Seluk Beluk Perdagangan Ekspor-Impor, Yayasan Bina Usaha Niaga Indonesia, Jakarta, 2003, hal 323

undang-undang, serta tidak bertentangan dengan ketertiban umum atau kesusilaan. 23 b. Kapal adalah kendaraan air dengan bentuk dan jenis tertentu, yang digerakkan dengan tenaga angin, tenaga mekanik, energi lainnya, ditarik atau ditunda, termasuk kendaraan yang berdaya dukung dinamis, kendaraan di bawah permukaan air, serta alat apung dan bangunan terapung yang tidak berpindah-pindah. 24 c. Pelabuhan adalah tempat yang terdiri atas daratan dan/ atau perairan dengan batas-batas tertentu sebagai tempat kegiatan pemerintahan dan kegiatan pengusahaan yang dipergunakan sebagai tempat kapal bersandar, naik turun penumpang, dan/ atau bongkar muat barang, berupa terminal dan tempat berlabuh kapal yang dilengkapi dengan fasilitas keselamatan dan keamanan pelayaran dan kegiatan penunjang pelabuhan serta sebagai tempat perpindahan intra dan antarmoda transportasi. 25 d. Terminal adalah fasilitas pelabuhan yang terdiri atas kolam sandar dan tempat kapal bersandar atau tambat, tempat penumpukan, tempat menunggu dan naik turun penumpang, dan/ atau tempat bongkar muat barang. 26 Didalam pengangkutan, pihak-pihak yang terkait juga diperlukan dalam pengangkutan barang melalui laut. Pihak-pihak yang terkait adalah para subjek hukum sebagai pendukung hak dan kewajiban dalam hubungan hukum 23 Abdulkadir Muhammad, op.cit, hal 115 24 Undang-Undang Republik Indonesia No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, Pasal 1 angka 36 25 Ibid, Pasal 1 angka 16 26 Ibid, Pasal 1 angka 20

pengangkutan. 27 Yang menjadi pihak-pihak dalam pengangkutan barang ada beberapa pendapat antara lain : 1. Wiwoho Soedjono menjelaskan bahwa didalam pengangkutan di laut terutama mengenai pengangkutan barang, maka perlu diperhatikan adanya tiga unsur, yaitu pihak pengirim barang, pihak penerima barang, dan barangnya itu sendiri. 2. HMN Purwosutjipto menjelaskan bahwa pihak-pihak dalam pengangkutan yaitu : a. Pengangkut adalah orang yang mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang dan/ atau orang lain dari suatu tempat ke tempat tujuan tertentu dengan selamat. b. Pengirim adalah pihak yang mengikatkan diri untuk membayar uang angkutan dimaksudkan juga ia memberi muatan. 3. Abdulkadir Muhammad, menjelaskan bahwa pihak-pihak dalam pengangkutan barang melalui laut adalah : a. Pihak Pengangkut yang berkewajiban utama menyelenggarakan pengangkutan dan berhak atas biaya pengangkutan. b. Pihak Pengirim yang berkewajiban utama membayar biaya pengangkutan dan berhak atas pelayanan pengangkutan barangnya. 27 Hasim Purba, Op.cit, hal 11

c. Pihak Penumpang yang berkewajiban utama membayar biaya pengangkutan dan berhak atas pelayanan pengangkutan. Selain pihak-pihak tersebut, dalam suatu pengangkutan barang melalui laut terdapat suatu perjanjian pengangkutan. Menurut Subekti, perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dan menurut Pasal 1313 KUHPerdata, perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Dan untuk sahnya suatu perjanjian menurut Pasal 1320 KUHPerdata diperlukan empat syarat, antara lain : 1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya ; 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan ; 3. Suatu hal tertentu ; 4. Suatu sebab yang halal. Sehingga perjanjian pengangkutan dapat dirumuskan sebagai persetujuan dimana pengangkut mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan penumpang dan/ atau barang dari satu tempat ke tempat tujuan tertentu dengan selamat dan penumpang atau pemilik barang mengikatkan diri untuk membayar biaya pengangkutan. 28 Pihak-pihak yang terkait di dalam perjanjian pengangkutan laut adalah pihak pengirim barang dan pengangkut yang diawali dengan serangkaian perbuatan 28 Abdulkadir Muhammad, Op.cit., hal 46

tentang penawaran dan permintaan yang dilakukan oleh pengangkut dan pengirim secara timbal balik dengan cara antara lain : a. Penawaran dari pihak pengangkut Cara terjadinya perjanjian pengangkutan dapat secara langsung antara pihak-pihak, atau secara tidak langsung dengan menggunakan jasa perantara (ekspeditur). Apabila perjanjian pengangkutan dilakukan secara langsung, maka pihak pengangkut langsung menghubungi pengirim, dimana pengangkut juga mengumumkan/mengiklankan kedatangan dan keberangkatan kapalnya, sehingga pengirim barang menyerahkan barangnya kepada pengangkut untuk diangkut. b. Penawaran dari pihak pengirim Apabila penawaran dilakukan oleh ekspeditur, maka ekspeditur menghubungi pengangkut atas nama pengirim barang. Kemudian pengirim barang menyerahkan barang pada ekspeditur untuk diangkut. Setelah terjadinya kesepakatan antara kedua belah pihak mengenai segala kondisi, maka pengangkutan dimulai dengan diawali membuat perjanjian pengangkutan itu sendiri. Dalam pengangkutan laut timbul suatu perjanjian timbal balik antara pengangkut dan pengirim. Dari adanya perjanjian pengangkutan laut tersebut menimbulkan hak dan kewajiban bagi pengangkut dan pengirim. Pengangkut mempunyai kewajiban untuk menyelenggarakan pengangkutan barang dan/ atau orang dari satu tempat ke tempat tujuan tertentu dengan selamat, sedangkan pengirim mempunyai kewajiban untuk membayar angkutan. Antara pengangkut

dan pengirim sama-sama saling mempunyai hak untuk melakukan penuntutan apabilah salah satu pihak tidak memenuhi prestasi. Fungsi pengangkutan ialah memindahkan barang atau orang dari suatu tempat ke tempat lain dengan maksud untuk meningkatkan daya guna dan nilai. 29 Pengangkutan pada pokoknya berfungsi membawa barang-barang yang dirasakan kurang sempurna bagi pemenuhan kebutuhan ditempat lain dimana barang tersebut menjadi lebih berguna dan bermanfaat. Juga mengenai orang, dengan adanya pengangkutan maka orang akan berpindah dari satu tempat yang dituju dengan waktu yang relative singkat. Apabila tidak ada pengangkutan maka manusia akan terpaksa berjalan kaki kemana-mana. Untuk mencapai hasil yang diharapkan serta dapat tercapai fungsi-fungsi pengangkutan, maka dalam pengangkutan diperlukan beberapa unsur yang memadai berupa : (1) Alat angkutan itu sendiri (operating facilities) Setiap barang atau orang akan diangkut tentu saja memerlukan alat pengangkutan yang memadai, baik kapasitasnya, besarnya maupun perlengkapan. Alat pengangkutan yang dimaksud dapat berupa truk, kereta api, kapal, bis atau pesawat udara. Perlengkapan yang disediakan haruslah sesuai dengan barang yang diangkut. (2) Fasilitas yang akan dilalui oleh alat-alat pengangkutan (right of way) Fasilitas tersebut dapat berupa jalan umum, rel kereta api, 29 Ibid

peraiaran/sungai, Bandar udara, navigasi dan sebagainya. Jadi apabila fasilitas yang dilalui oleh angkutan tidak tersedia atau tersedia tidak sempurna maka proses pengangkutan itu sendiri tidak mungkin berjalan dengan lancar. (3) Tempat persiapan pengangkutan (terminal facilities) Tempat persiapan pengangkutan ini diperlukan karena suatu kegiatan pengangkutan tidak dapat berjalan dengan efektif apabila tidak ada terminal yang dipakai sebagai tempat persiapan sebelum dan sesudah proses pengangkutan dimulai Selain itu dalam dunia perdagangan pengangkutan memegang peranan yang sangat penting. Tidak hanya sebagai sarana angkutan yang harus membawa barang-barang yang diperdagangkan kepada konsumen tetapi juga sebagai alat penentu harga dari barang-barang tersebut. Karena itu untuk memperlancar usahanya produsen akan mencari pengangkutan yang continue dan biaya pengangkutan yang murah. 30 Pengangkutan diselenggarakan dengan tujuan untuk membantu memindahkan barang atau manusia dari satu tempat ke tempat lain secara efektif dan efisien. Dikatakan efektif karena perpindahan barang atau orang tersebut dapat dilakukan sekaligus atau dalam jumlah yang banyak sedangkan dikatakan efisien karena dengan menggunakan pengangkutan perpindahan itu menjadi relatif singkat atau cepat dalam ukuran jarak dan waktu tempuh. 30 Sri Rejeki Hartono, Pengangkutan dan Hukum Pengangkutan Darat. Semarang UNDIP, 2001, hal 8

Adanya pengangkutan tentunya juga akan menunjang usaha dari pemerintah dalam rangka untuk meratakan hasil pembangunan diseluruh tanah air, karena suatu daerah yang tadinya tidak mempunyai hasil pertanian misalnya, maka dengan adanya pengangkutan akhirnya daerah tersebut mendapatkan barangbarang yang dibutuhkan dengan cepat dan harga terjangkau. Disamping itu pengangkutan juga sangat membantu dalam mobilitas tenaga kerja dari satu tempat ke tempat lain karena tanpa adanya pengangkutan maka aktivitas yang akan dilakukan tidak dapat berjalan. Dengan demikian pengangkutan dapat meningkatkan nilai guna suatu barang atau manusia sebagai obyek dari pengangkutan B. Dasar Hukum dan Peranan Perusahaan Bongkar Muat dalam Pengangkutan Barang Melalui Laut Sebelum mengetahui dasar hukum dalam bongkar muat, terlebih dahulu diketahui mengenai dasar hukum pengangkutan laut yang diatur dalam berbagai macam peraturan antara lain : 1. Undang-Undang No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran. 2. Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2009 Tentang Kepelabuhanan 3. Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2002 Tentang Perkapalan 4. Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 2010 Tentang Angkutan Perairan 5. Peraturan Pemerintah No. 5 Tahun 2010 Tentang Kenavigasian 6. KUHD Buku II Bab V Tentang Perjanjian Charter Kapal 7. KUHD Buku II Bab Va Tentang Pengangkutan Barang-Barang

8. KUHD Buku II Bab Vb Tentang Pengangkutan Orang 9. Keputusan Menteri Perhubungan Nomor : KM 14 Tahun 2002 Tentang Penyelenggaraan dan Pengusahaan Bongkar Muat Barang dari dan ke Kapal 10. Peraturan Khusus lainnya seperti : a. Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 55 Tahun 2002 tentang Pengelolaan Pelabuhan Khusus. b. Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 33 Tahun 2001 tentang Penyelenggaraan dan Pengusahaan Angkutan Laut. Perusahaan Bongkar Muat pertama kali di Indonesa dikenal dan diangkat keberadaannya dalam Peraturan Perundang-undangan sejak tahun 1957 yakni dalam Peraturan Pemerintah No. 47 Tahun 1957 yang pada saat itu dikenal dengan nama Perusahaan Muatan Kapal Laut (PMKL). Dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah No. 5 Tahun 1964 selanjutnya PMKL ditiadakan sebagai perusahaan yang berdiri sendiri. Selanjutnya jika dilihat Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 1965 tentang Penyelenggaraan dan Pengusahaan Angkutan Laut disebutkan bahwa kegiatan bongkar muat dari dan ke kapal dilaksanakan oleh Perusahaan Bongkar Muat yang merupakan bagian dari Perusahaan Induk (Pelayaran). Perusahaan Bongkar Muat ini telah dibina dengan baik oleh Pemerintah dengan keluarnya INPRES No. 4 Tahun 1985, dan dilanjutkan dengan Ketetapan Menteri Perhubungan (KEPMENHUB No. 88/AL.305/THB.85, tertanggal 11 April 1985) dan Keputusan Dirjen Perhubungan Laut No. A-2167/AL.62 tanggal 31 Desember

1985. Pada isi pokok ketetapan tersebut disebutkan bahwa unit usaha bongkar muat dipisahkan dari induk perusahaan pelayaran dan berdiri sendiri dalam bentuk badan hukum yang khusus didirikan di bidang usaha bongkar muat dan memuat berbagai persyaratan yang ditentukan. Perusahaan Bongkar Muat harus didirikan dengan badan hukum yang khusus untuk pekerjaan tersebut dan pelayaran tegastegas dilarang untuk melakukan pekerjaan bongkar muat. Demikian pula BUMN maupun Koperasi boleh membuat Perusahaan Bongkar muat dengan badan hukum yang khusus ditujukan untuk pekerjaan tersebut. Terlaksananya Undang-Undang No. 17 tahun 2008 tentang Pelayaran, Pemerintah juga mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2009 tentang Kepelabuhanan. Demikian pula Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 2010 tentang Angkutan di Perairan, telah memberikan kewenangan bagi pelayaran untuk melakukan bongkar muat barang yang diangkutnya tanpa perusahaan yang didirikan khusus untuk itu. Keputusan Menteri Perhubungan No. 33 Tahun 2001 tentang Penyelenggaraan dan Pengusahaan Angkutan Laut dapat dijadikan sebagai dasar hukum kegiatan bongkar muat barang. Selain itu masih terdapat pula Keputusan Menteri Perhubungan No. 14 Tahun 2002 tentang Penyelenggaraan dan Pengusahaan Bongkar Muat Barang dari dan ke Kapal. Pada Undang-Undang No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran yang merupakan pengganti Undang-Undang No. 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran mengatakan bahwa untuk kelancaran kegiatan angkutan di perairan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, dapat diselenggarakan usaha jasa terkait dengan angkutan di perairan, yang salah satunya adalah perusahaan bongkar muat barang.

Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran menjelaskan bahwa usaha bongkar muat barang dilakukan oleh badan usaha yang didirikan khusus untuk itu. Selain badan usaha yang didirikan khusus untuk itu, kegiatan bongkar muat dapat dilakukan oleh perusahaan angkutan laut nasional hanya untuk kegiatan bongkar muat barang tertentu untuk kapal yang dioperasikan. Pelabuhan di luar negeri, termasuk terminal dan dermaganya, umumnya dikuasai oleh perusahaan dan pemerintah daerah, misalnya Pelabuhan Amsterdam, Bremen dan Hamburg, bahkan Pelabuhan Felixstowe di Inggris seluruhnya dikelola oleh swasta. Sedangkan pelabuhan-pelabuhan di Indonesia hampir semuanya merupakan warisan Pemerintah Hindia Belanda sehingga hampir semua pelabuhan dan terminal serta pergudangannya dikuasai oleh Pemerintah Republik Indonesia yang pengelolaannya dilimpahkan kepada Badan Usaha Pelabuhan yang dalam hal ini adalah PT. Pelabuhan Indonesia (Persero). Di Pelabuhan Belawan segala kegiatan bongkar muat barang dari dan ke kapal dilakukan di terminal dan pergudangan milik PT. Pelabuhan Indonesia I atau yang dikuasakan oleh PT. Pelabuhan Indonesia (Pelindo) kepada swasta yang antara lain yaitu PT. Samudera Indonesia. Kegiatan bongkar muat dari dan ke kapal di Pelabuhan Belawan dilakukan di tiga jenis terminal dan juga gudang/lapangan yakni : a. Terminal Konvensional, adalah terminal untuk melayani kegiatan bongkar muat kargo umum, barang curah kering, dan barang curah cair. Di

terminal konvensional juga bisa dilakukan bongkar muat peti kemas terutama muatan antar pulau dengan menggunakan peralatan bongkar muat sebagian besar dilakukan oleh perusahaan bongkar muat milik swasta. b. Terminal Petikemas, dilengkapi dengan peralatan petikemas modern seperti container crane (gantry-crane) tipe post-panamax. Selain itu, terminal juga dilengkapi dengan peralatan untuk penanganan dan transportasi dari petikemas seperti transtainer, sideloade, forklift, crane, toploader, dan lain-lain. c. Terminal Penumpang, tidak ada kegiatan bongkar/muat barang, tetapi hanya melayani debarkasi atau embarkasi penumpang dari dalam maupun luar negeri. d. Gudang/Lapangan (Terminal Serba Guna), gudang penampungan biasanya terletak tidak begitu jauh dari terminal konvensional. Di Indonesia, gudang-gudang ini merupakan warisan Kolonial Belanda yang kemudian diambil alih oleh pemerintah dan dilimpahkan ke PT. Pelindo. Sekarang yang melakukan kegiatan di terminal konvensional adalah PBM yang diberi kuasa oleh PT. Pelindo berdasarkan kontrak. Kegiatan dari dan ke gudang dulunya dilakukan secara manual yakni barang dipikul oleh buruh ke gudang. Demikian pula dengan aktifitas penumpukannya dilakukan secara manual. Pada perkembangan berikutnya, barang dari kapal diangkut menggunakan gerobak dorong. Namun sampai saat ini pekerjaan barang secara manual masih sulit dihilangkan dari pelabuhan-pelabuhan di Indonesia. Di

era petikemas sekarang ini, tenaga buruh masih dibutuhkan untuk melakukan stuffing dan stripping petikemas. Dahulu dengan PP No. 61/1954 dan PP No. 5/1964, pekerjaan di dermaga dan gudang deepsea atau gudang lini I seluruhnya dipegang oleh PBM sehingga bongkar muat barang bisa dilakukan secara terpadu. Model ini memudahkan penyelesaian jika timbul klaim akibat kerusakan atau kehilangan barang. Dengan adanya Inpres No. 4/1985, perusahaan bongkar muat menjadi badan hukum tersendiri terpisah dari pelayaran. Gudang serta dermaga berada di bawah kekuasaan PT. Pelabuhan Indonesia. Mengenai peranan perusahaan bongkar muat, perusahaan bongkar muat hanya menyediakan jasa (buruh) untuk kegiatan bongkar muat dari gudang ke kapal dan dari kapal ke gudang. Kegiatan bongkar muat barang dari dan ke kapal dibagi pada beberapa rangkaian kegiatan sebagai berikut : 1. Kegiatan Operasi Pembongkaran Muatan (discharging), yang terdiri dari 4 tahapan yaitu : a. Persiapan muatan dari dalam palka dan mengkaitkan ganco muatan. Tahap pertama ini meliputi kegiatan membongkar muatan dari posisi muatan dalam ruang muat kapal (palka), memindahkan setiap muatan dengan menggunakan cara-cara konvensional ataupun dengan menggunakan alat-alat mekanis seperti Forklift, Conveyor, dll ke ruang mulut palka (hatch square) kemudian menyusunnya di atas pallet, jala-

jala atau mengikatnya dengan sling ataupun menggunakan alat bantu bongkar muat lainnya yang disesuaikan dengan jenis muatan. Kemudian mengkaitkan muatan pada ganco crane atau derek. b. Mengangkat muatan serta menurunkan di dermaga atau kendaraan yang tersedia (truk, lorry, kereta api). Kegiatan pada tahap kedua ini disebut juga dengan hook transfer atau pemindahan muatan dengan menggunakan ganco derek, muatan diangkat dari ruang mulut palka dengan menggunakan ships crane ataupun shore crane keluar dari palka ke dermaga ataupun ke atas barge yang ada disisi kapal ataupun langsung diletakkan di atas truk, gerbong-gerbong kereta api. Pada tahap ini keselamatan barang sangat diperhatikan. c. Melepaskan sling dari ganco muatan. Melepaskan muatan dari ganco regu kerja dermaga dengan hati-hati menjaga muatan agar aman mendarat di dermaga, ke truk atau gerbong kereta api ataupun tongkang-tongkang disisi kapal, kemudian melepaskan muatan dari ganco dan siap untuk dikembalikan ke dalam palka kapal. d. Pengembalian ganco muatan ke atas kapal, kemudian mengeluarkan muatan dari sling atau jala-jala. Pada tahap keempat ini kegiatan yang dilakukan adalah pengembalian ganco muatan (hook return) ke dalam palka dan siap untuk digunakan pada pengangkatan muatan berikutnya. 31 31 Suryono, Cargo Handling, Makalah pada Acara Pelatihan Cargo dan Container Handling Tanggal 27-29 September 2004 di Medan, hal 2

Rangkaian kegiatan dari tahap pertama sampai ke tahap empat disebut dengan hook cycle (siklus ganco), dimana waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan 1 (satu) siklus ganco disebut dengan hook cycle time. C. Dokumen-Dokumen Dalam Pengangkutan Barang Melalui Laut Terkait Dengan Proses Bongkar Muat Barang Dokumen angkutan laut merupakan surat-surat yang diperlakukan sebagai prasyarat untuk menjamin kelancaran dan keamanan pengangkutan barang dan atau penumpang dilaut 32. Dokumen-dokumen tersebut sangat penting dan tidak lepas dari pengangkutan barang melalui laut, yakni antara lain 33 : 1. Manifest Kapal Manifest adalah suatu dokumen kapal yang menerangkan seluruh jumlah dan jenis barang-barang yang diangkut dalam kapal tersebut. Demikian pula dengan kapal pengangkut penumpang, dokumen manifest memuat daftar namanama dan jenis kelamin dari seluruh penumpang yang diangkut dalam kapal tersebut. Dokumen manifest kapal sangat penting karena dengan tercantumnya barang-barang yang diangkut dalam manifest, berarti barang tersebut telah dimuat secara sah ke dalam kapal. Demikian pula dengan manifest kapal pada kapal 32 Hasim Purba, Modul Kuliah Hukum Pengangkutan Di Laut, Fakultas Hukum USU, Medan, 2011, hal 67 33 Ibid., hal 145

pengangkut penumpang, maka seluruh penumpang yang terdaftar dalam manifest kapal tersebut dianggap sebagai penumpang yang sah dan telah memenuhi kewajibannya sebagai penumpang. Manifest merupakan suatu dokumen utama yang sangat penting dalam pengangkutan barang maupun pengangkutan penumpang dengan kapal laut. Sebelum kapal berangkat (berlayar) dari pelabuhan asal, manifest harus sudah selesai dan telah memuat data-data yang sebenarnya tentang jumlah dan jenis barang maupun jumlah dan jenis kelamin penumpang. 2. Bill of Lading (konosemen) Konosemen mempunyai arti penting dalam dunia perusahaan pengangkutan perairan khususnya pengangkutan laut. Dalam Pasal 506 KUHD, dokumen muatan disebut konosemen, sedangkan dalam bahasa inggris disebut bill of lading. Konosemen adalah surat bertanggal dimana pengangkut menerangkan bahwa dia telah menerima barang tertentu untuk diangkut ke suatu tempat tujuan yang ditunjuk dan disana menyerahkannya kepada orang yang ditunjuk (penerima) disertai dengan janji-janji apa penyerahan akan terjadi. Dalam ketentuan Pasal 506 KUHD ini, maka fungsi konosemen adalah : 1. Dokumen angkutan 2. Dokumen penerimaan barang oleh pengangkut 3. Dokumen hak pemilikan atas barang dan yang dapat dipindahtangankan (dokumen of title)

Pengertian dari Bill of Lading (B/L) atau disebut juga dengan Konosemen adalah dokumen pengangkutan barang yang didalamnya memuat informasi lengkap mengenai nama pengirim, nama kapal, data muatan, pelabuhan muat dan pelabuhan bongkar, rincian freight, dan cara pembayarannya, nama consignee (penerima) atau pemesan, jumlah B/L yang harus ditandatangani, dan tanggal penandatanganan. 34 Bill of lading adalah tanda terima barang yang telah dimuat di dalam kapal laut, yang juga merupakan documents of title yang berarti sebagai bukti atas pemilikan barang, dan disamping itu merupakan bukti dari adanya perjanjian pengangkutan barang-barang melaui laut. 35 Sedangkan menurut Abdulkadir Muhammad, fungsi konosemen adalah : 1. Pelindung barang yang diangkut dengan kapal 2. Surat bukti penerimaan barang di atas kapal 3. Tanda bukti milik atas barang 4. Kuitansi pembayaran biaya pengangkutan 5. Kontrak atau persyaratan pengangkutan. 36 Di dalam konvensi-konvensi internasional pengangkutan di laut seperti The Hague Rules 1924 maupun dalam The Hamburg Rules 1978, mengenai konosemen (bill of lading) juga ada diatur. 34 Capt.R.P.Suyono, Shipping Pengangkutan Intermodal Ekspor Impor Melalui Laut, Jakarta, PPM, 2003, hal 309 35 Amir, M.S. Seluk Beluk dan Teknik Perdagangan Luar Negeri, Jakarta: 2000 36 Abdulkadir Muhammad, op.cit, hal 139

Dalam The Hague Rules 1924, Bill of Lading (konosemen) merupakan bukti yang kuat bahwa pengangkut telah menerima barang sesuai dengan merek, jumlah dan keadaan barang tersebut. Disamping itu pengirim juga dianggap telah memberi jaminan kepada pengangkut tentang keseksamaan mengenai merek, jumlah, dan beratnya barang pada saat pengapalan, sebagaimana yang telah diberitahukan olehnya. Sedangkan dalam The Hamburg Rules 1978, Bill of Lading (konosemen) adalah dokumen yang membuktikan adanya kontrak pengangkutan laut dan pengambilalihan atau pemuatan barang-barang oleh pengangkut, dengan mana pengangkut melakukan penyerahan barang-barang atas dasar penyerahan dokumen. Sebagaimana dirumuskan pada Pasal 506 KUHD maupun konvensi-konvensi internasional, konosemen sebagai perjanjian pengangkutan (condition of carriage) menyangkut tiga pihak, yaitu : 1. Pengangkut (carrier) 2. Pengirim (shipper) 3. Penerima (consignee) Bill of Lading atau konosemen, biasanya dikeluarkan dalam set lengkap yang lazimnya terdiri dari rangkap tiga (full set B/L) yang penggunaannya adalah: 1. Satu lembar untuk shipper/pengirim 2. Dua lembar untuk consignee/penerima barang. 37 37 Hasim Purba, Op.cit, hal 149

Pada orisinil bill of lading berlaku hukum one for all and all for one yang berarti bila salah satu dari lemabr-lembar orisinal itu telah ditukarkan dengan delivery order (D.O) maka lembar-lembar yang lain dengan sendirinya menjadi batal. 38 Pemilikan atas suatu bill of lading ditentukan oleh kepada siapa bill of lading itu dikeluarkan. Dalam hal ini ada tiga macam bill of lading yang membedakan pemilikan serta hak dan cara pemindahan hak atas bill of lading tersebut. Pada umumnya, bill of lading dikeluarkan : a. Kepada pembawa/penumpang (to bearer/holder) Jika bill of lading dikeluarkan kepada pembawa/pemegang saja, pembawa/ pemegang dianggap sebagai pemilik bill of lading. Pemindahan haknya dilakukan dengan cara penyerahan bill of lading dari tangan ke tangan. b. Atas nama atau kepada pengganti (order) Jika bill of lading dikeluarkan atas nama atau kepada pengganti (order), pemilik bill of lading adalah orang atau badan usaha yang tertulis dalam bill of lading, yang berhak pula memindahkan haknya dengan cara yang berlaku bagi surat atas nama atau kepada pengganti (order), yaitu dengan cara endosemen. c. Atas nama (on name) Jika bill of lading dikeluarkan atas nama, pemilik bill of lading adalah hanya orang atau badan usaha yang tertulis dalam bill of lading itu, 38 Ibid, hal 149

sedangkan pengoperan hak atas bill of lading tidak dapat dilakukan dengan cara penyerahan suratnya, tetapi dengan cara endosemen. 39 Dilihat dari segi dapat atau tidak diperalihkannya konosemen dengan cara endosemen, maka konosemen (bill of lading) dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu : 1. Konosemen atas nama (op naam) atau recta bill of lading. Pada konosemen ini, nama penerima barang harus dicantumkan secara jelas didalam konosemen dalam bagian kolom yang disediakan untuk itu. Ini berarti bahwa barang yang disebut dalam konosemen tersebut hanya boleh diterima oleh mereka yang namanya disebutkan dalam konosemen. Sebagai penerima bisa orang perseorangan (naturlijk persoon) atau suatu badan hukum (recht persoon) ataupun bisa juga orang lain yang bertindak atas nama penerima barang yang dikuasakan untuk menerima barang dan telah membubuhkan tanda tangannya pada halaman depan konosemen sebagai tanda penerimaan barang. 2. Konosemen order Pada konosemen dengan kalusula order dikenal beberapa bentuk, antara lain : a. Penempatan klausula order saja b. Order of shipper c. Order of bank Dalam praktek pelayaran niaga dikenal dua macam Bill of Lading, yaitu : 39 Amir, M.S, op.cit, hal 57

a. Received for shipment bill of lading Konosemen ini dilakukan untuk barang yang akan dimuat ke atas kapal atau disebut juga dengan konosemen to be shipped. Dalam hal ini, barangbarang dari pengirim belum dimuat diatas kapal. Jenis konosemen ini, pengangkut telah menerima barang-barang dari pengirim untuk diangkut dengan kapal tertentu dan waktu tertentu, namun belum terjadi pengapalan barang-barang. b. Shipped on board bill of lading Konosemen ini disebut juga dengan konosemen to shipped. Konosemen ini dikeluarkan apabila barang-barang telah dimuat dikapal tertentu. Bill of Lading juga dapat dibedakan berdasarkan keadaan barang yang akan dimuat, antara lain sebagai berikut : 1. Clean Bill of Lading Pengangkut menganggap keadaan barang yang dimuat cukup baik (in apparent good order and conditions) dan bersih dari catatan-catatan. 2. Unclean Bill of Lading Pengangkut menganggap keadaan barang yang diterima untuk diangkut tidak memuaskan, misalnya pengepakannya tidak sempurna, pada bill of lading dicantumkan catatan-catatan, seperti old case (peti tua) atau bad package (pengepakan tidak sempurna). 3. Certificate of Insurance