Komentar Atas Rancangan Undang-Undang Pemerintahan Daerah

dokumen-dokumen yang mirip
2017, No Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679); M

ANCAMAN RUU PEMDA KEPADA DEMOKRATISASI LOKAL DAN DESENTRALISASI

Tugas, Wewenang, Kewajiban, dan Hak Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Menurut Undang Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Darah

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2017 TENTANG PEMBINAAN DAN PENGAWASAN PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH

PEMERINTAHAN DAERAH. Harsanto Nursadi

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 80 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

INSPEKTORAT KHUSUS INSPEKTORAT JENDERAL KEMENDAGRI

Peraturan pelaksanaan Pasal 159 Peraturan Menteri Keuangan. 11/PMK.07/ Januari 2010 Mulai berlaku : 25 Januari 2010

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 11/PMK.07/2010 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

- 1 - R A N C A N G A N UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBINAAN DAN PENGAWASAN ATAS PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

11/PMK.07/2010 TATA CARA PENGENAAN SANKSI TERHADAP PELANGGARAN KETENTUAN DI BIDANG PAJAK DAERAH DAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN 2017 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBINAAN DAN PENGAWASAN ATAS PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBINAAN DAN PENGAWASAN ATAS PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 5 TAHUN 2016 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

2017, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Inovasi Daerah adalah semua bentuk pembaharuan da

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 108 TAHUN 2000 TENTANG TATACARA PERTANGGUNGJAWABAN KEPALA DAERAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SEMARANG NOMOR... TAHUN... TENTANG TATA CARA PENGANGKATAN DAN PEMBERHENTIAN PERANGKAT DESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERAN GUBERNUR SEBAGAI WAKIL PEMERINTAH PUSAT (BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH)

2008, No.59 2 c. bahwa dalam penyelenggaraan pemilihan kepala pemerintah daerah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pem

BUPATI TORAJA UTARA PROVINSI SULAWESI SELATAN

GUBERNUR SUMATERA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT NOMOR 6 TAHUN 2017 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN PROGRAM PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN EVALUASI PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH

3. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82,

UNDANG-UNDANG TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH. No 23 Tahun 2014 BAB I KETENTUAN UMUM. Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:

PELAKSANAAN UU. NO. 23 TAHUN 2014 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH

BUPATI TASIKMALAYA PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN TASIKMALAYA NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH

UU 22/2003, SUSUNAN DAN KEDUDUKAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

PERATURAN KOMISI PEMILIHAN UMUM NOMOR 05 TAHUN 2008 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 79 TAHUN 2005 TENTANG PEDOMAN PEMBINAAN DAN PENGAWASAN PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH

BUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN BUPATI TANGERANG NOMOR 74 TAHUN 2016

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BUPATI GROBOGAN PROVINSI JAWA TENGAH RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN GROBOGAN NOMOR TAHUN 2015 TENTANG PERANGKAT DESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENGENAAN SANKSI ADMINISTRATIF KEPADA PEJABAT PEMERINTAHAN

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2003 TENTANG

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

PEDOMAN TEKNIS VERIFIKASI SYARAT CALON PENGGANTI ANTARWAKTU ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH PEMILIHAN UMUM TAHUN 2009

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2016 TENTANG PERANGKAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA PERATURAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 44 TAHUN 2008 TENTANG KEBIJAKAN PENGAWASAN ATAS PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH TAHUN 2009

2013, No.41 2 Mengingat haknya untuk ikut serta dalam kampanye Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perw

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2004 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN PERATURAN TATA TERTIB DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA

2017, No Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG BADAN USAHA MILIK DAERA

BUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2014 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN ZAKAT

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR... TAHUN... TENTANG

BUPATI KABUPATEN BIMA PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

2016, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotis

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 108 TAHUN 2000 TENTANG TATA CARA PERTANGGUNGJAWABAN KEPALA DAERAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PENETAPAN KAWASAN KHUSUS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2003 TENTANG PEMILIHAN UMUM PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 1 TAHUN 2010 TENTANG

POLICY BRIEF ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM DALAM RANGKA PARTISIPASI PUBLIK DALAM PROSES PENGAMBILAN KEBIJAKAN PUBLIK

-2- Pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan Pemerintahan Daerah terdiri atas pembinaan dan pengawasan umum serta pembinaan dan pengawasan te

BERITA DAERAH KOTA DEPOK NOMOR 51 TAHUN 2016 WALIKOTA DEPOK PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN WALIKOTA DEPOK NOMOR 51 TAHUN 2016

BAGIAN KEDUA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG DEWAN PERWAKILAN DAERAH

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH

HUBUNGAN PEMERINTAH DAERAH, KECAMATAN DAN DESA. Bagian Pemerintahan Setda Kab. Lamongan

MATRIKS PERUBAHAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2007 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, DAN PENGGABUNGAN DAERAH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2010 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2004 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN PERATURAN TATA TERTIB DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH

BUPATI GARUT PROVINSI JAWA BARAT

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2007 TENTANG

I. PENDAHULUAN. Tim UJDIH BPK Perwakilan Provinsi Jawa Barat 1

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 151 TAHUN 2000 TENTANG

Transkripsi:

Komentar Atas Rancangan Undang-Undang Pemerintahan Daerah Iskandar Saharudin Memo Kebijakan #3, 2014 PENGANTAR. RANCANGAN Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah (RUU Pemda) saat ini sedang dibahas oleh DPR bersama Pemerintah. RUU Pemda ini menentukan sistem otonomi daerah yang diterapkan. Apakah desentralisasi sepenuhnya, desentralisasi asimetris, desentralisasi dengan dekonsentrasi dominan. Kepentingan masyarakat sipil terhadap RUU tersebut adalah memastikan fungsi dan kerangka kerja penyelenggaraan urusan pemerintahan ditingkat daerah berada dalam koridor keterbukaan, akuntabilitas, dan kolaborasi multi-stakeholder. Sekaligus juga memastikan RUU tersebut tidak memberikan ekses negatif terhadap demokrasi dan Hak Asasi Manusia. Untuk memperoleh jaminan tersebut, maka masyarakat sipil wajib untuk aktif mengajukan pandangan-pandangannya dan mempengaruhi proses yang terjadi di gedung DPR. Sebagai gambaran, struktur isi dari RUU Pemda versi Pansus ini terbagi atas 24 Bab, 180 Pasal, 43 bagian, dan 56 paragraf. Susunan sistematika dari Rancangan UU Pemda ini adalah: CATATAN ATAS RUU PEMDA. 1. Isu pertama, keterkaitan antara URUSAN dengan KEWENANGAN. Acapkali terjadi sengketa antara tingkatan pemerintahan yang disebabkan oleh ketidakjelasan urusan dan kewenangan yang diberikan. Disamping itu, juga terdapat pengambilan urusan yang tidak sesuai dengan kebutuhan. Konflik provinsi dengan kabupaten/kota terjadi karena adanya kesamaan urusan yang ditangani oleh provinsi dan kabupaten/kota. Terutama urusan yang terkait dengan pelayanan publik. Pengambilan urusan yang bersifat pilihan, meskipun tidak sesuai dengan situasi geografis dan kebutuhan daerah adalah persoalan lain. Pertimbangan untuk memperoleh pendapatan yang lebih besar dari dana transfer menjadi faktor utama. 2. TUJUAN UTAMA. Terlebih-lebih lagi di BAGIAN MENIMBANG dari Rancangan UU ini, topik URUSAN menjadi tekanan utama. Hal itu dapat dicermati dari kutipan berikut: b. bahwa penyelenggaraan Urusan Pemerintahan Daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, dan kekhasan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. c. bahwa efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan Urusan Pemerintahan Daerah perlu ditingkatkan dengan lebih memperhatikan aspek-aspek hubungan antara Pemerintah Pusat dengan Daerah dan antar Daerah, potensi dan keanekaragaman daerah, peluang dan tantangan persaingan global dalam kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan negara. 1

d. bahwa Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan, dan tuntutan penyelenggaraan Urusan Pemerintahan Daerah sehingga perlu diganti. Dari lima poin materi muatan Bagian MENIMBANG ini, tiga poin, seperti yang dikutip diatas, menyatakan dan menekankan sisi URUSAN Pemerintahan Daerah. Ketiga poin diatas, huruf b, huruf c, dan huruf d menunjuk pada tiga tujuan Rancangan UU ini secara spesifik. Huruf a, menunjuk pada Tujuan Orientasi, yang terdiri dari: (i). Orientasi penyelenggaraan Urusan Pemerintahan Daerah; (ii). Pada dua sasaran utama: Masyarakat sebagai Penerima Manfaat Utama, dan Ekonomi Daerah sebagai Kekuatan; dan (iii). 4 prinsip penyelenggaraan Urusan: demokrasi, pemerataan, keadilan, dan kekhasan daerah. Huruf b, menunjuk pada Tujuan Tata Kelola, yang terdiri dari: (i). Tata kelola penyelenggaraan Urusan Pemerintahan Daerah (indikator efisiensi dan efektivitas); dan (ii). 6 aspek penyelenggaraan Urusan: hubungan pusat dengan daerah, hubungan antar daerah, potensi daerah, keanekaragaman daerah, peluang dari persaingan global, dan tantangan persaingan global. Huruf c, menunjuk pada Tujuan Relevansi, yaitu: (i). Relevansi kontemporer dari 3 sisi: sisi perkembangan keadaan, sisi ketatanegaraan, dan sisi tuntutan penyelenggaraan Urusan Pemerintahan Daerah. Tekanan yang berbeda ini menunjukkan perkembangan peraturan perundang-undangan Pemerintahan Daerah yang bergeser makin spesifik. Saat dibawah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, topik tekanannya adalah penyelenggaraan otonomi daerah. Saat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, topiknya bergeser dan spesifik menjadi penyelenggaraan pemerintahan daerah. Dan saat ini, dalam Rancangan Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah ini, topiknya bergeser makin mengerucut, makin spesifik, yakni penyelenggaraan urusan pemerintahan. Ketiga Tujuan yang teridentifikasi di Bagian MENIMBANG tersebut merupakan panduan untuk menilai konsistensi dan konstruksi dari rancang bangun Rancangan UU yang sedang dibahas saat ini. Karena kedudukannya yang bersifat mendasar, bagian konsideransi ini menjadi pembahasan pertama oleh DPR dan Pemerintah. Sehingga kesepakatan pertama ini yang menjadi rujukan atau panduan. Selain pedoman yang disediakan oleh Konstitusi. 3. Pada Bagian MENGINGAT, dasar hukum atas keberadaan dan materi-materi muatan dari Rancangan UU, belum dicantumkan, dirujuk, dijadikan acuan, adalah Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Serta Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2010 tentang Pe 4. PENGUATAN PROVINSI. Berdasarkan Asas Otonomi, Urusan Pemerintahan Daerah yang menjadi kewenangan Daerah Provinsi harus berbeda dan secara tegas membedakan dirinya dengan Urusan dan Kewenangan Daerah Kabupaten dan Kota. Ukurannya pada tingkatan otonomi dan kedekatannya pada warga masyarakat yang dilayani. Ini sesuai dengan pendapat Litveck (1998) yang menyatakan rasionalitas keberadaan desentralisasi dilandasi argumen bahwa pemerintah yang baik adalah yang memiliki kedekatan hubungan dengan rakyat yang dilayaninya. Ketentuan ini sudah terakomodir pada beberapa pasal berikut, yang membatasi wilayah kerja dan urusan yang ditanganinya yaitu: (i). Yang berskala provinsi atau lintas daerah kabupaten/kota [Pasal 27 ayat (1)]; (ii). Yang berkaitan dengan urusan kehutanan dan kelautan [Pasal 28 ayat (2)]; dan (iii). Yang terkait dengan urusan pemerintahan yang menimbulkan dampak ekologis melewati batas-batas administrasi daerah kabupaten/kota [Pasal 28 ayat (1)]. 5. LEGITIMASI BPKP. Pada Pasal 1 angka 44, dinyatakan bahwa Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP) adalah Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), beserta inspektorat jenderal di kementerian dan lembaga, dan inspektorat di provinsi dan kabupaten/kota. Keberadaan BPKP sebagai APIP hanya menjadi legitimasi keberadaan dari lembaga pemerintah non kementerian. Secara fungsional, tugas pokok dari lembaga ini tumpang tindih dengan inspektorat jenderal dan inspektorat daerah. Dan juga 2

berhimpitan dengan tugas pokok dan fungsi dari Lembaga Tinggi Negara, yakni Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Oleh karena itu, lebih efisien dan efektif, sesuai dengan Tujuan Pokok Kedua keberadaan Rancangan UU ini, keberadaan BPKP dihapus. Opsi lainnya, pengertian APIP tidak diperlukan, karena secara definitif tidak membutuhkan penjelasan pengertian. Sebagaimana yang telah dilakukan dan diatur dalam UU No 22 Tahun 1999 dan UU No 32 Tahun 2004. Bahkan sesungguhnya definisi APIP tidak dibutuhkan untuk dicantumkan dalam Pasal 1, karena sesuai dengan C.1. angka 102, Lampiran II, Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, bahwa istilah yang dimuat dalam Ketentuan Umum hanyalah istilah yang digunakan secara berulang-ulang dalam pasal tersebut atau beberapa pasal selanjutnya. Sedangkan untuk istilah APIP ini hanya disebut sekali saja di Pasal 257 ayat (2). 6. Pada Pasal 1, terdapat pengertian mengenai Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Menjadi pertanyaan, mengapa tidak ada pengertian tentang Dana Bagi Hasil (DBH). Keberadaan DBH ini terbilang penting dan menjadi faktor yang sangat signifikan, selama ini, sebagai kontributor pendapatan keuangan daerah. 7. WILAYAH ADMINISTRATIF. Pada Pasal 5 ayat (2) dinyatakan bahwa kabupaten/kota mendapatkan status sebagai Wilayah Administratif untuk melaksanakan Urusan Pemerintahan Umum. Apakah yang dimaksud dengan Urusan Pemerintahan Umum dan Wilayah Administratif bagi Kabupaten/Kota, pada Pasal 5 ayat (2)? Apakah dengan penempatan status sebagai Wilayah Administratif bagi Kabupaten/Kota maka Daerah Otonom tersebut memperoleh Hak Dekonsentrasi? Bukankah penempatan status tersebut menunjukkan kedudukannya sebagai Wakil Pemerintah Pusat? Agaknya, meskipun kabupaten/kota sebagai daerah otonom diberikan status sebagai wilayah administratif, hak dekonsentrasi tidak diberikan kepadanya. Karena status tersebut bukan sebagai wakil pemerintah pusat. Namun sebagai pelaksana urusan pemerintahan umum. Bagaimana sesungguhnya perbedaan antara Wilayah Administratif sebagai bagian dari Wakil Pemerintah Pusat, dengan sebagai penyelenggara Urusan Pemerintahan Umum? Bagaimana potensi reduksi, pelemahan, atas keotonoman dari Daerah Kabupaten/Kota dengan pemberian status Wilayah Administratif? Yang harus diwaspadai dari pemberian status baru ini adalah pelimpahan problem konflik kepentingan yang dihadapi Provinsi saat era UU 32/2004. Dualisme fungsi kepala daerah, antara sebagai kepala pemerintah daerah dan sebagai wakil pemerintah pusat. Dalam hal kabupaten/kota, lebih sebagai kepala daerah dan pelaksana urusan pemerintahan umum. Secara definisi, pengertian, urusan pemerintahan umum memiliki substansi, makna, arti yang sama dengan urusan pemerintahan. Pada Pasal 1 angka 5, didefinisikan bahwa Urusan Pemerintahan adalah kekuasaan pemerintahan yang menjadi kewenangan Presiden yang pelaksanaannya dilakukan oleh kementerian negara, lembaga pemerintah non kementerian, dan pemerintahan daerah untuk melindungi, melayani, memberdayakan, dan menyejahterakan masyarakat. Sedangkan pengertian Urusan Pemerintahan Umum adalah Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Presiden sebagai kepala pemerintahan, sebagaimana termaktub di Pasal 20 ayat (5). Lebih tepat apabila Urusan Pemerintahan Umum ini menjadi bagian dari Kewajiban Kepala Daerah, pada Pasal 48. Pada Pasal 32 ayat (3), dinyatakan bahwa Pemerintah akan membentuk Perangkat Pusat yang dibentuk oleh Mendagri untuk membantu Kepala Wilayah Administratif (Gubernur, Bupati, dan Walikota). 8. WAKIL KEPALA DAERAH. Pada Pasal 41ayat (3) dinyatakan bahwa Wakil Kepala Daerah berasal dari Pegawai Negeri Sipil atau jabatan negeri. Untuk wakil gubernur dijabat oleh PNS setingkat eselon 1 B. Sedangkan untuk wakil bupati/wakil walikota dijabat setingkat II A. 3

Meskipun menjabat sebagai Wakil Kepala Daerah, pejabat negeri ini tidak dapat menjadi kepala daerah tatkala sang-kepala daerah berhalangan. Baik berhalangan sementara maupun tetap. Kondisi ini dikarenakan kedudukannya yang berstatus PNS. Sehingga dinyatakan dalam Pasal 41 ayat (4). Bahwa wakil kepala daerah berhenti bersama-sama dengan berhentinya kepala daerah. Dalam hal jumlah, wakil kepala daerah ini menyesuaikan diri dengan jumlah populasi daerahnya masing-masing. Sesuai Pasal 41 ayat (5) huruf a, huruf b, huruf c untuk Provinsi. Dan Pasal 41 ayat (6) huruf a dan huruf b untuk Kabupaten/Kota. Pihak yang mengangkat wakil gubernur adalah Presiden, dan yang mengangkat wakil bupati/wakil walikota adalah Menteri [Pasal 42 ayat (1) dan ayat (3)]. Meskipun demikian, Menteri untuk usulan calon wakil gubernur dan Gubernur untuk usulan calon wakil bupati/wakil walikota dapat menolak usulanusulan tersebut, dengan ketentuan tidak terpenuhinya persyaratan calon wakil kepala daerah [Pasal 42 ayat (5) dan ayat (6)]. Meskipun pengangkatan dilakukan oleh Presiden dan Gubernur, pelantikan dilakukan oleh Gubernur untuk Wakil Gubernur, dan Bupati/Walikota untuk Wakil Bupati/Wakil Walikota. Sesuai Pasal 43 ayat (1) dan ayat (2). Persyaratan calon Wakil Kepala Daerah sudah diantisipasi untuk menyaring calon-calon: (i). Yang bermasalah secara hukum [Pasal 45 huruf i, huruf l, huruf m]; (ii). Yang berkomitmen untuk transparansi [Pasal 45 huruf h]; (iii). Yang menutup kemungkinan nepotisme [Pasal 45 huruf j]. 9. BERHUBUNGAN DENGAN PERKARA HUKUM. Tugas dan kewenangan Kepala Daerah terlarang untuk dijalankan, apabila sedang menjalani masa tahanan. Kecuali menetapkan Perda dan peraturan kepala daerah. Untuk tugas sehari-hari dijalankan oleh wakil kepala daerah. Apabila wakil kepala daerah tidak ada, dapat dijalankan oleh sekretaris daerah. Lihat Pasal 46 ayat (3), ayat (4), dan ayat (5). Meskipun menjalani masa tahanan, atau diberhentikan sementara, kepala daerah tetap memperoleh hak keuangan. Sedangkan hak protokolernya dicabut [Pasal 56 ayat (3)]. Bahkan dalam kerangka menjalankan inovasi, kepala daerah dapat memiliki kekebalan hukum [Pasal 269]. Bagi kepala daerah yang diberhentikan sementara, lalu ternyata tidak terbukti bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, paling lambat 30 hari Pemerintah merehabilitasi dan mengaktifkan kembali kedudukannya sebagai kepala daerah [Pasal 65 ayat (1)]. Namun, kepala daerah tersebut dapat langsung diberhentikan apabila kemudian dalam putusan pengadilan yang bersangkutan dinyatakan bersalah [Pasal 65 ayat (2)]. Dalam hal kepala daerah berhenti sebagaimana dimaksud pada Pasal 59 ayat (2) huruf a dan huruf g, dilakukan pemeriksaan menyeluruh dalam aspek keuangan dan aset daerah oleh instansi yang berwenang dan apabila hasil pemeriksaan dinyatakan tidak ada perbuatan yang melawan hukum maka tidak dapat dituntut pidana atas tindakannya dalam pengelolaan keuangan dan aset daerah selama masa jabatannya 10. PEMBERHENTIAN SEMENTARA KEPALA DAERAH. Sanksi administrasi dikenakan kepada kepala daerah yang tidak melaksanakan program strategis nasional. Sanksi itu berupa teguran tertulis oleh Menteri untuk gubernur, dan oleh gubernur untuk bupati/walikota [Pasal 49 ayat (1)]. Apabila dua kali berturut-turut ditegur tetap tidak dilaksanakan, maka kepala daerah diberhentikan sementara selama 3 bulan [Pasal 49 ayat (2)]. Apabila tetap tidak melaksanakan program strategis nasional, seusai masa pemberhentian sementara, maka yang bersangkutan diberhentikan sebagai kepala daerah [Pasal 49 ayat (3)]. Pemberhentian sementara kepada kepala daerah juga dilakukan apabila yang bersangkutan turut serta dalam kepengurusan suatu perusahaan, swasta maupun negera/daerah, atau yayasan bidang apapun. Dan juga apabila yang bersangkutan melakukan perjalanan keluar negeri tanpa izin [Pasal 58 ayat (1) dan ayat (2)]. 4

Sanksi administratif dikenakan juga kepada kepala daerah yang tidak menyampaikan laporan pemerintahan daerah dan informasi laporan pemerintahan daerah, kepada Presiden melalui Menteri untuk gubernur, dan kepada Menteri melalui gubernur untuk bupati/walikota [Pasal 54 ayat (1)]. Berbeda dengan pengabaian atas program strategis nasional, untuk perkara ini, apabila tidak juga dilaksanakan meskipun sudah mendapatkan teguran tertulis dua kali berturut-turut, maka kepala daerah diwajibkan untuk mengikuti program pembinaan khusus pendalaman bidang pemerintahan yang dilaksanakan oleh Kementerian [Pasal 54 ayat (2)]. Kewajiban mengikuti program pembinaan khusus ini juga diberlakukan bagi kepala daerah yang: (A). Tidak menyampaikan laporan keterangan pertanggungjawaban, setelah melalui: (i). Mekanisme hak interpelasi DPRD, (ii). Pelaporan DPRD kepada menteri (untuk gubernur) dan kepada gubernur (untuk bupati/walikota), dan (iii). Sanksi administratif dua kali berturut-turut (Pasal 54 ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6)]. (B). Meninggalkan tugas dan wilayah kerja lebih dari 7 (tujuh) hari tanpa izin, setelah melalui sanksi administratif dua kali berturut-turut [Pasal58 ayat (3) dan ayat (4)].. Pemberhentian sementara dapat dilakukan tanpa melalui usulan DPRD apabila kepala daerah didakwa tindak pidana dengan ancaman pidana paling singkat 5 tahun. Dan diberhentikan sepenuhnya berdasarkan Putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap [Pasal 63 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 64 ayat (1) dan ayat (2)]. Pemberhentian sementara dilakukan berdasarkan register perkara di pengadilan [Pasal 66 ayat (1)]. 11. PEMBERHENTIAN KEPALA DAERAH. Selain dikarenakan mengabaikan program strategis nasional, pemberhentian kepala daerah dilakukan karena hal-hal yang diatur dalam Pasal 59 ayat (2) huruf a, huruf b, huruf c, hiruf d, huruf e, huruf f, huruf g, dan huruf h. Khusus untuk Pasal 59 ayat (2) huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf f, diatur mekanisme pemberhentian melalui putusan MA atas pendapat DPRD. Sehingga proses politik DPRD dirubah menjadi perkara hukum. Pemberhentian dapat pula dilakukan oleh Pemerintah, apabila: (i). DPRD mengabaikan pelanggaran kepala daerah [Pasal 61 ayat (1)]; atau (ii). DPRD tidak melaksanakan Putusan MA atas Pendapat DPRD [Pasal 60 ayat (1)]. Apabila pemberhentian diambil alih Pemerintah, maka Pemerintah dapat melakukan dua hal. (i). Apabila Pimpinan DPRD mengabaikan Putusan MA atas Pendapat DPRD, Pemerintah akan memberhentikan kepala daerah paling lambat 14 hari. Atau (ii). Apabila DPRD mengabaikan pelanggaran kepala daerah, Pemerintah dapat memberhentikan kepala daerah setelah terlebih dahulu melakukan dua hal: (a). Melakukan pemeriksaan untuk menemukan bukti-bukti pelanggaran; dan (b). Menyampaikan hasil pemeriksaan kepada MA untuk mendapatkan keputusan. Pemberhentian wakil kepala daerah lebih sederhana karena hanya berdasarkan usulan dari kepala daerah. Mekanisme hukum di MA yang berupa Putusan MA atas Pendapat DPRD tentang pelanggaran kepala daerah menjadi pertanyaan tentang bentuk, jenis, dan hukum acaranya. Peraturan Pemerintah yang menjadi peraturan mandatorik RUU ini menunjuk keberadaan tata cara pemberhentian kepala daerah, baik oleh DPRD [Pasal 59 ayat (5)], maupun oleh Pemerintah [Pasal 61 ayat (5)]. Apakah Peraturan Pemerintah ini dapat dipergunakan oleh MA sebagai sumber hukum acara? Materi muatan pelanggaran yang menjadi panduan MA dalam penentuan Putusannya telah ditentukan pada Pasal 59 ayat (4) huruf d. Namun, apakah MA dalam penentuan Putusannya terikat kewajiban untuk mempertimbangkan Pasal tersebut? Yang harus ditelusuri lagi adalah tugas dan kewenangan MA, menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung, apakah mengatur tentang kewenangan MA dalam menentukan Putusan atas Pendapat DPR tentang pelanggaran kepala daerah. 5

12. PEMILIHAN KEPALA DAERAH. Pemilihan kepala daerah yang diperkenalkan oleh RUU Pemda ini ada beberapa jenis. (A). Pemilihan kepala daerah melalui DPRD; (B). Pemilihan kepala daerah melalui pemilihan umum.. Pemilihan kepala daerah melalui DPRD dilakukan untuk menentukan kepala daerah pengganti dari kepala daerah lama yang diberhentikan. 13. PEMBATALAN PERDA. Pada Pasal 77 diberikan kewenangan kepada Gubernur untuk melakukan pembatalan terhadap Perda dan Perkada. Padahal perda hanya dapat dibatalkan oleh peraturan yang memiliki tingkatan hukum yang lebih tinggi atau dibatalkan oleh lembaga yang membentuknya. Derajat substansial Perda lebih tinggi daripada Peraturan Kepala Daerah, setingkat Provinsi sekalipun. Karena proses pembahasan Perda melibatkan unsur legislatif ditingkat daerah. Penulis : Iskandar Saharudin, Peneliti Hukum dan Kebijakan, PATTIRO. Jl. Intan No 81, Cilandak Barat, Jakarta Selatan. No. 021 7591 5498, 021 7591 5546 Fax. 021 751 2503 E. info@pattiro.org www.pattiro.org 6