BEBERAPA MASALAH DALAM PENYELESAIAN PERSELISIHAN HASIL PEMILIHAN UMUM 1

dokumen-dokumen yang mirip
Muchamad Ali Safa at

SILABUS PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PENINGKATAN PEMAHAMAN HAK KONSTITUSIONAL WARGA NEGARA PUSAT PENDIDIKAN PANCASILA DAN KONSTITUSI

PERSELISIHAN HASIL PEMILIHAN

BAB III KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM SENGKETA PEMILIHAN KEPALA DAERAH. A. Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam Sengketa Pilkada

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI MAHKAMAH KONSTITUSI, MAHKAMAH AGUNG, PEMILIHAN KEPALA DAERAH

PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 15 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN BERACARA DALAM PERSELISIHAN HASIL PEMILIHAN UMUM KEPALA DAERAH

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 129/PUU-XII/2014 Syarat Pengajuan Calon Kepala Daerah oleh Partai Politik dan Kedudukan Wakil Kepala Daerah

I. PARA PEMOHON 1. Dr. Andreas Hugo Pareira; 2. H.R. Sunaryo, S.H; 3. Dr. H. Hakim Sorimuda Pohan, selanjutnya disebut Para Pemohon.

KUASA HUKUM Muhammad Sholeh, S.H., dkk, berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 20 Oktober 2014.

I. PARA PEMOHON Deden Rukman Rumaji; Eni Rif ati; Iyong Yatlan Hidayat untuk selanjutnya secara bersama-sama disebut Para Pemohon.

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 130/PUU-VII/2009 Tentang UU Pemilu Anggota DPR, DPD & DPRD Tata cara penetapan kursi DPRD Provinsi

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

Kuasa Hukum Dwi Istiawan, S.H., dan Muhammad Umar, S.H., berdasarkan Surat Kuasa Khusus tanggal 29 Juli 2015

Panduan Teknis Beracara dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

Kuasa Hukum Dwi Istiawan, S.H., dan Muhammad Umar, S.H., berdasarkan Surat Kuasa Khusus tanggal 29 Juli 2015

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

I. PENDAHULUAN. Kedaulatan rakyat menjadi landasan berkembangnya demokrasi dan negara republik.

I. PEMOHON 1. Perhimpunan Magister Hukum Indonesia (PMHI), diwakili oleh Fadli Nasution, S.H., M.H. 2. Irfan Soekoenay, S.H., M.H

Prosedur berperkara di Mahkamah Konstitusi

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN KEDUA Perkara Nomor 29/PUU-XII/2014 Hak Politik Bagi Mantan Terpidana Politik

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PILPRES & PILKADA (Pemilihan Presiden dan Pemilihan Kepala Daerah)

Kuasa Hukum Badrul Munir, S.Sg., SH., CL.A, dkk, berdasarkan surat kuasa khusus tertanggal 2 April 2015.

II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian Formil Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota

I. UMUM

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 71/PUU-XIII/2015 Penyalahgunaan Wewenang oleh Pejabat

I. PARA PIHAK A. Pemohon Saul Essarue Elokpere dan Alfius Tabuni, S.E. (Bakal Pasangan Calon)

II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah

Sejarah pembentukan Pancasila: - Pembahasan dalam

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 90/PUU-XV/2017 Larangan Bagi Mantan Terpidana Untuk Mencalonkan Diri Dalam Pilkada

Kuasa Hukum Badrul Munir, S.Sg., SH., CL.A, dkk, berdasarkan surat kuasa khusus tertanggal 2 April 2015.

I. PARA PIHAK A. Pemohon H.M. Sukiman Azmy dan H. M. Syamsul Luthfi, S.E., M. Si. (Pasangan Calon Nomor Urut 3)

BAB III Pastikan proses penetapan calon terpilih berdasarkan rekapitulasi hasil penghitungan suara sesuai tingkatannya

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN

MAHKAMAH KONSTITUSI. Oleh: Letjen TNI (Purn) H. AchmadRoestandi, S.H. BANDUNG -JUNI

Hukum Acara Pembubaran Partai Politik. Ngr Suwarnatha

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor Tentang Keberatan Atas Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah Dan Wakil Kepala Kabupaten Kudus

Info Lengkap di: buku-on-line.com 1 of 14

BAB III PERALIHAN KEWENANGAN MAHKAMAH AGUNG KEPADA MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MENYELESAIKAN SENGKETA PEMILUKADA

I. PEMOHON 1. Perhimpunan Magister Hukum Indonesia (PMHI), diwakili oleh Fadli Nasution, S.H., M.H. 2. Irfan Soekoenay, S.H., M.H

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 96/PUU-XIII/2015 Penundaan Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Calon Tunggal)

I. PARA PEMOHON 1. Dr. Andreas Hugo Pareira; 2. H.R. Sunaryo, S.H; 3. Dr. H. Hakim Sorimuda Pohan, selanjutnya disebut Para Pemohon.

BAB V KESIMPULA DA SARA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 142/PUU-VII/2009 Tentang UU MPR, DPR, DPD & DPRD Syarat menjadi Pimpinan DPRD

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 132/PHPU.D-XI/2013 Tentang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah Dan Wakil Kepala Daerah Kota Serang

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 51/PUU-XI/2013 Tentang Kewenangan KPU Dalam Menetapkan Partai Politik Peserta Pemilu

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 60/PUU-XIII/2015 Persyaratan Menjadi Calon Kepala Daerah Melalui Jalur Independen

PEDOMAN PENYUSUNAN KETERANGAN PIHAK TERKAIT (PERSEORANGAN CALON ANGGOTA DPRA DAN DPRK)

DR. R. HERLAMBANG P. WIRATRAMAN MAHKAMAH KONSTITUSI FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS AIRLANGGA, 2015

2017, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 73, Tamb

MAHKAMAH KONSTITUSI. R. Herlambang Perdana Wiratraman Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, 19 Juni 2008

Ringkasan Putusan. 1. Pemohon : HABEL RUMBIAK, S.H., SPN. 2. Materi pasal yang diuji:

PEDOMAN PENYUSUNAN KETERANGAN PIHAK TERKAIT (PERSEORANGAN CALON ANGGOTA DPD)

BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA PERATURAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. Pada tanggal 9 April 2009, bangsa Indonesia telah. menyelenggarakan pemilihan umum (Pemilu) untuk memilih Anggota

DAFTAR PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TENTANG PENGUJIAN UU PEMILU DAN PILKADA

PUTUSAN Nomor 20/PUU-XV/2017 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

BAB III GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN

P U T U S A N. Perkara Nomor : 032/PHPU.A-II/2004 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

PUTUSAN. Nomor 37/PHPU.A-VII/2009 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

Kewenangan Memutus Sengketa Hasil Pemilukada

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

PEDOMAN PENYUSUNAN KETERANGAN PIHAK TERKAIT (PARTAI POLITIK LOKAL)

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan pemaparan dalam hasil penelitian dan pembahasan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 44/PUU-XV/2017

Lex Administratum, Vol. IV/No. 2/Feb/2016

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 111 /PUU-VII/2009 Tentang UU Pemilu Anggota DPR, DPD & DPRD Pembagian kursi tahap kedua

KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA ANCANGAN

KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MENYELESAIKAN PERSELISIHAN HASIL PEMILIHAN UMUM MENURUT UU NO. 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

KEPUTUSAN KOMISI PEMILIHAN UMUM PROVINSI GORONTALO NOMOR : 01/Kpts/Pilgub/KPU-Prov-027/2011

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 70/PUU-XV/2017

PUTUSAN Nomor 168/PHPU.D-XI/2013 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 69/PUU-XII/2014 Sistem Rekapitulasi Berjenjang

Hubungan Antar Lembaga Negara IRFAN SETIAWAN, S.IP, M.SI

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 103/PUU-XIII/2015 Penolakan Pendaftaran Calon Peserta Pemilukada

BAB III BAWASLU DALAM MENYELESAIKAN SENGKETA PEMILU. A. Kewenangan Bawaslu dalam Menyelesaikan Sengketa Pemilu

Kuasa Hukum Iwan Gunawan, SH., MH. dan Unoto Dwi Yulianto, SH. MH. berdasarkan Surat Kuasa Khusus tanggal 6 Januari 2013

GARIS-GARIS BESAR PERKULIAHAN (GBPP)

2008, No.59 2 c. bahwa dalam penyelenggaraan pemilihan kepala pemerintah daerah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pem

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA

RechtsVinding Online

Oleh. Imam Asmarudin, SH.,MH. Abstraksi

BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA PERATURAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2013 TENTANG

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 51/PUU-XI/2013 Tentang Kewenangan KPU Dalam Menetapkan Partai Politik Peserta Pemilu

I. PARA PIHAK A. Pemohon Ir. H. Ami Taher. dan Drs.H. Suhaimi Surah, M.Si, MBA. (Bakal Pasangan Calon)

PEMILIHAN UMUM. R. Herlambang Perdana Wiratraman, SH., MA. Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, 6 Juni 2008

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 130/PUU-XII/2014 Pengisian Kekosongan Jabatan Gubernur, Bupati, dan Walikota

BAB II DESKRIPSI (OBYEK PENELITIAN) hukum kenamaan asal Austria, Hans Kelsen ( ). Kelsen menyatakan

Transkripsi:

BEBERAPA MASALAH DALAM PENYELESAIAN PERSELISIHAN HASIL PEMILIHAN UMUM 1 Oleh: A. Mukthie Fadjar 2 I. Pendahuluan Salah satu kewenangan konstitusional yang diberikan kepada Mahkamah Konstitusi (disingkat MK) oleh Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk memutus tentang perselisihan hasil pemilihan umum. Dari ketentuan tersebut belum jelas tentang pengertian dan ruang lingkup apa yang dimaksud dengan perselisihan hasil pemilihan umum (selanjutnya disingkat PHPU), sehingga beberapa masalah dapat diajukan, antara lain: 1. macam-macam pemilu yang dapat diperselisihkan hasilnya di MK; 2. pengertian PHPU, apakah juga termasuk proses Pemilu yang melanggar asas pemilu luber dan jurdil (pelanggaran administratif dan pidana Pemilu) yang dapat mempengaruhi hasil Pemilu; 3. mekanisme pengajuan keberatan di MK dan bagaimana tindak lanjut (eksekusi) putusan MK tentang PHPU. II. Macam-macam Perselisihan Hasil Pemilu Secara eksplisit, melalui Pasal 22E ayat (2) UUD 1945, yang dimaksud dengan Pemilu adalah Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPD, dan DPRD, serta Presiden dan Wakil Presiden. Oleh karena itu, dapat dimengerti apabila UU No. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) melalui Pasal 74 s.d. 79 UU MK hanya mengatur hukum acara perselisihan hasil Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD, serta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Mengenai pemilihan kepala daerah (gubernur, bupati, walikota), Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 hanya mengamanatkan bahwa harus dipilih secara demokratis, sehingga menimbulkan perdebatan apakah termasuk 1 Materi Hukum Acara Penyelesaian Sengketa Hasil Pemilu 2009. 2 Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi.

rezim hukum Pemilu atau bukan. Akan tetapi, berdasarkan UU No. 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilihan Umum (disingkat UU 22/2007) pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah kemudian dikategorikan sebagai Pemilu yang juga harus diselenggarakan oleh KPU beserta jajarannya (KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota), sehingga disebut Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (untuk selanjutnya disingkat Pemilukada). Semula, perselisihan hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah (Pilkada) berdasarkan Pasal 106 UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah (UU 32/2004) menjadi kewenangan Mahkamah Agung (MA) untuk menyelesaikannya. Namun, dengan lahirnya UU No. 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua UU 32/2004, kewenangan mengadili perselisihan hasil Pilkada atau sekarang disebut Pemilukada dialihkan ke MK (vide Pasal 236C UU 12/2008) yang secara efektif telah berlaku sejak 1 November 2008 lewat serah terima resmi dari MA ke MK pada tanggal 29 Oktober 2008. Dengan demikian, macam-macam Pemilu dan PHPU ada tiga, yakni: a. Pemilu dan PHPU Anggota DPR, DPD, dan DPRD; b. Pemilu dan PHPU Presiden dan Wakil Presiden; c. Pemilukada dan PHPU Pemilukada. II. Pengertian dan Ruang Lingkup PHPU Di atas sudah dikemukakan bahwa UUD 1945 tidak menegaskan tentang pengertian dan ruang lingkup mengenai apa yang dimaksud dengan perselisihan tentang hasil pemilihan umum yang tercantum dalam Pasal 24C ayat (1), sehingga undang-undanglah yang kemudian mengaturnya, yakni UUMK, UU Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD, UU Pemilu Presiden, dan UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah yang terakhir dengan UU 12/2008. Pasal 74 ayat (2) UUMK memberikan pengertian bahwa perselisihan hasil pemilu adalah perselisihan mengenai penetapan hasil pemilihan umum yang dilakukan secara nasional oleh KPU yang mempengaruhi: a. terpilihnya calon anggota DPD;

b. penentuan pasangan calon yang masuk pada putaran kedua pemilihan Presiden dan Wakil Presiden serta terpilihnya pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden; c. perolehan kursi partai politik peserta Pemilu di suatu daerah pemilihan. Pasal 258 UU 10/2008 merumuskan pengertian perselisihan hasil Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD sbb.: (1) Perselisihan hasil Pemilu adalah perselisihan antara KPU dan Peserta Pemilu mengenai penetapan perolehan suara hasil Pemilu secara nasional. (2) Perselisihan penetapan perolehan suara hasil Pemilu secara nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah perselisihan penetapan perolehan suara yang dapat mempengaruhi perolehan kursi Peserta Pemilu. Dari ketentuan Pasal 201 ayat (1) dan ayat (2) UU 42/2008 dapat disimpulkan bahwa pengertian perselisihan hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden adalah pengajuan keberatan yang diajukan oleh Pasangan Calon terhadap penetapan hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden oleh KPU yang penghitungan suaranya mempengaruhi terpilihnya Pasangan Calon atau penentuan untuk dipilih kembali pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden kepada Mahkamah Konstitusi. Dari ketentuan Pasal 74 ayat (2) UUMK junctis Pasal 258 UU 10/2008 dan Pasal 201 UU 42/2008 dapat disimpulkan bahwa: a. perselisihan hasil Pemilu adalah perselisihan antara Peserta Pemilu (parpol, perseorangan calon anggota DPD, pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden) dan KPU sebagai penyelenggara Pemilu; b. yang diperselisihkan adalah penetapan perolehan suara hasil Pemilu secara nasional oleh KPU; c. perselisihan penetapan perolehan suara hasil Pemilu secara nasional dimaksud harus mempengaruhi: 1) perolehan kursi parpol di suatu daerah pemilihan; atau 2) terpilihnya calon anggota DPD; atau 3) penentuan terpilihnya Pasangan Calon atau penentuan untuk dipilih kembali pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden (putaran kedua).

Dengan demikian, meskipun antara Peserta Pemilu dan KPU terdapat perselisihan mengenai penetapan perolehan suara hasil Pemilu secara nasional, namun apabila secara signifikan tidak mempengaruhi perolehan kursi parpol di suatu daerah pemilihan, atau terpilihnya calon anggota DPD, atau penentuan pasangan calon yang masuk putaran kedua Pemilu Presiden serta terpilihnya pasangan Presiden dan Wakil Presiden, maka hal tersebut tidak dapat dijadikan objek sengketa perselisihan hasil Pemilu. Sedangkan mengenai pengertian perselisihan hasil Pemilu Kepala Daerah, dengan merujuk Pasal 106 UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU 12/2008 dan UU No. 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu, dapat disimpulkan bahwa: a. perselisihan hasil Pemilu Kepala Daerah adalah perselisihan antara pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagai Peserta Pemilu Kepala Daerah dan KPU provinsi dan/atau KPU kabupaten/kota sebagai penyelenggara Pemilu; b. yang diperselisihkan adalah penetapan penghitungan suara hasil Pemilukada yang ditetapkan oleh KPU provinsi atau KPU kabupaten/kota yang mempengaruhi penentuan calon untuk masuk ke putaran kedua Pemilukada atau terpilihnya pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah. Dari uraian tersebut di atas, undang-undang nampaknya membatasi masalah PHPU hanya pada persoalan perselisihan angkaangka perolehan suara Peserta Pemilu yang ditetapkan oleh KPU, sehingga tidak mencakup proses yang mempengaruhi hasil perolehan suara, seperti berbagai pelanggaran administratif dan pelanggaran pidana Pemilu. Seolah-olah MK hanya diminta mengkoreksi kalkulasi suara yang telah dilakukan oleh KPU dan jajarannya dengan mengabaikan berbagai pelanggaran dalam proses Pemilu (electoral process). Padahal, kedudukan dan fungsi MK sebagaimana dijelaskan dalam UU MK adalah menjaga atau mengawal Konstitusi agar dilaksanakan secara bertanggung jawab sesuai dengan kehendak rakyat dan cita-cita demokrasi (Penjelasan Umum UU MK). Mengawal/menjaga Konstitusi

berarti termasuk pula menjaga/mengawal agar asas-asas Pemilu yang Luber dan Jurdil dipatuhi baik oleh Penyelenggara Pemilu maupun Peserta Pemilu, bahkan juga seluruh insitusi yang terkait Pemilu. Memang, UU 10/2008 dan UU 42/2008, serta juga UU 32/2004 telah menyediakan mekanisme penyelesaian berbagai pelanggaran pemilu, baik administratif maupun pidana, bahkan Pasal 257 ayat (1) UU 10/2008 dan Pasal 200 ayat (1) UU 42/2008 telah menentukan bahwa kasus pelanggaran pidana Pemilu harus sudah selesai paling lama 5 (lima) hari sebelum KPU menetapkan hasil Pemilu. Akan tetapi, dari pengalaman MK menangani PHPU tahun 2004 dan PHPU Pemilukada tahun 2008 menunjukkan bahwa berbagai pelanggaran Pemilu, baik administratif maupun pidana tidak tertangani di institusi yang berwenang menanganinya. Dalam hal terjadi demikian, MK tentunya akan mengedepankan status dan fungsinya sebagai pengawal Konstitusi, in casu mengawal asas luber dan jurdil yang tercantum dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945, menggali kebenaran dan keadilan materiil, tidak semata-mata prosedural, yaitu apakah pelanggaran-pelanggaran Pemilu tersebut dilakukan secara sistemik dan massif, serta signifikan mempengaruhi perolehan suara peserta Pemilu, sehingga dapat mengubah perolehan kursi atau pemenang Pemilu. IV. Mekanisme pengajuan keberatan Mekanisme pengajuan keberatan terhadap penetapan hasil Pemilu yang diatur dalam Pasal 74 s.d. Pasal 79 UU MK sangat sumir dan hanya menyangkut PHPU Anggota DPR, DPD, dan DPRD serta PHPU Presiden dan Wakil Presiden yang hanya memuat: 1. Pihak yang berhak mengajukan keberatan, yaitu perorangan WNI calon anggota DPD Peserta Pemilu, pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden Peserta Pemilu, dan Partai Politik (Parpol) Peserta Pemilu, yang disebut sebagai Pemohon. UU MK bahkan tidak menegaskan apakah KPU merupakan Termohon; 2. Objek permohonan, yaitu penetapan hasil Pemilu yang ditetapkan secara nasional oleh KPU yang mempengaruhi terpilihnya calon anggota DPD, penentuan pasangan Presiden dan wakil Presiden yang

masuk putaran kedua atau terpilihnya pasangan calon, dan perolehan kursi Parpol disuatu daerah pemilihan (dapil); 3. Tenggat (tenggang waktu) mengajukan permohonan, yaitu 3 X 24 jam sejak KPU menetapkan hasil Pemilu secara nasional; 4. Isi permohonan, yaitu posita mengenai adanya kesalahan hasil penghitungan suara yang ditetapkan KPU dan hasil yang benar menurut Pemohon, serta petitum berupa permintaan membatalkan penetapan KPU dan menetapkan hasil penghitungan suara yang benar menurut versi Pemohon; 5. Tenggat pengiriman berkas permohonan ke KPU, yaitu 3 hari kerja sejak permohonan diregistrasi di Kepaniteraan MK; 6. Tentang berbagai kemungkinan amar putusan: a) tidak dapat diterima, jika tak memenuhi syarat subjectum litis, objectum litis, dan tenggat; b) ditolak, jika permohonan tidak beralasan, dan c) dikabulkan, jika permohonan beralasan, disertai pernyataan pembatalan hasil Pemilu yang ditetapkan KPU dan menetapkan hasil penghitungan suara yang benar; 7. Tenggat (batas waktu) penanganan PHPU di MK, yaitu untuk Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD paling lambat 30 hari kerja sejak permohonan diregistrasi dan untuk PHPU Presiden dan Wakil Presiden 14 hari kerja sejak permohonan diregistrasi; 8. Penyampaian Putusan MK tentang PHPU kepada Presiden. Mengingat begitu sumirnya hukum acara PHPU yang diatur dalam UU MK, maka sesuai kewenangan yang diberikan Pasal 86 UU MK, diterbitkanlah berbagai Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK), yaitu PMK No. 04/PMK/2004 dan PMK No. 05/PMK/2004 yang memuat Pedoman Beracara dalam PHPU untuk Pemilu 2004. Sedangkan untuk PHPU pada Pemilu 2009 mendatang, telah diterbitkan PMK No. 14 Tahun 2008 untuk PHPU Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD yang kemudian diganti dengan PMK No. 16 Tahun 2009 dan sudah diterbitkan PMK No. 17 Tahun 2009 untuk PHPU Presiden dan Wakil Presiden. Sedangkan untuk PHPU Pemilukada yang belum ada pengaturannya dalam UU MK telah dikeluarkan PMK No. 15 Tahun 2008 yang acuannya adalah UU 32/2004 dan PMK PHPU Presiden dan Wakil

Presiden atas dasar pertimbangan bahwa pada hakikatnya prosedur penyelesaian PHPU Pemilukada hampir sama dengan PHPU Presiden dan Wakil Presiden, terutama tenggat 14 hari kerja harus selesai. Sudah barang tentu, apa yang diatur dalam PMK No. 15 Tahun 2008, PMK No. 16 Tahun 2009, dan PMK No. 17 Tahun 2009 tersebut masih harus terus menerus dievaluasi dan disempurnakan, terutama perlunya memuat berbagai klausula apabila MK harus kembali kepada khittahnya sebagai pengawal Konstitusi, tatkala berbagai pelanggaran Pemilu (administrasi dan pidana) sudah menggoyahkan prinsip-prinsip Pemilu yang luber dan jurdil. Mengenai tindak lanjut Putusan MK mengenai PHPU, Pasal 259 ayat (3) UU 10/2008 dan Pasal 201 ayat (4) UU 42/2008 telah memuat ketentuan bahwa KPU beserta jajarannya wajib menindaklanjuti Putusan MK tentang PHPU. V. Penutup Peradilan perkara PHPU oleh MK memang merupakan peradilan yang cepat yang oleh undang-undang telah ditetapkan tenggat penyelesaiannya. Bahkan, khusus untuk PHPU Anggota DPR, DPD, dan DPRD serta PHPU Presiden dan Wakil Presiden juga harus memperhatikan kalendar ketatanegaraan lima tahunan yang tidak boleh dilewati, yaitu pelantikan/pengambilan sumpah Anggota DPR dan DPD pada tanggal 1 Oktober dan pelantikan/pengambilan sumpah Presiden dan Wakil Presiden pada tanggal 20 Oktober. Pada dasarnya, PMK tentang PHPU yang diterbitkan oleh MK sekedar sebagai pedoman atau acuan bagi kelancaran penanganan PHPU, karena hukum acara yang diatur dalam undang-undang masih sangat sumir, sangat terbuka untuk penyempurnaan, serta harus menampung berbagai dinamika dalam persidangan, termasuk persidangan melalui video conference. --amf--