HUBUNGAN TINGKAT STRES DENGAN KADAR GLUKOSA DARAH PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2 DI RSUD ABDUL WAHAB SYAHRANIE SAMARINDA E-mail : siti.khoir96@gmail.com ABSTRAK Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif korelasional dengan pendekatan Cross sectioanl yang bertujuan untuk menganalisis hubungan tingkat stres dengan kadar glukosa darah pasien DM tipe 2 di RSUD Abdul Wahab Syahranie Samarinda. Sampel pada penelitian ini adalah pasien diabetes mellitus tipe 2 yang dirawat di ruang rawat inap dengan kadar glukosa darah yang belum terkontrol berjumlah 30 responden. Tehnik pengambilan sampel yang digunakan adalah purposif sampling. Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan )antara tingkat stres dengan kadar glukosa darah pasien DM tipe 2 di RSUD Abdul Wahab syahranie Samarinda (p = 0.010) dengan arah hubungan yang positif dan kekuatan korelasinya sedang. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat stres dengan kadar glukosa darah pasien DM Tipe 2.. Penelitian ini merekomendasikan agar kiranya tenaga kesehatan khususnya perawat dapat memperhatikan aspek stres pasien dan dapat melaksanakan manajemen stres agar dapat membantu menurnkan kadar glukosa darah pasien disamping terapi farmakologi juga tetap berjalan. Kata Kunci : Tingkat stres, Kadar glukosa darah, DM tipe 2 ABSTRACT This study was a descriptive correlation study with cross sectional approach which aims to analyze the relationship between stress levels and blood glucose levels of patients with type 2 of Diabetes Mellitus in RSUD Abdul Wahab Syahranie Samarinda. The samples in this study were patients with type 2 of diabetes mellitus treated in hospitalization room with blood glucose levels were not controlled amounted to 30 respondents. The sampling technique used was purposive sampling. The results of study showed a significant relationship between stress levels and blood glucose levels of patients with type 2 of Diabetes Mellitus in RSUD Abdul Wahab Syahranie Samarinda (p = 0.010) with the positive direction of the relationship and the strength of the correlation was medium. From the results of this study can be concluded that there was a significant correlation between stress levels and blood glucose levels of patients with type 2 of Diabetes Mellitus. The study recommends that health professionals, especially nurses would be able to pay attention to aspects of patient s stress and stress management can be implemented in order to help in reducing the patient's blood glucose levels in addition to the pharmacological therapies also keep running. Keywords: stress levels, blood glucose levels, type 2 of diabetes mellitus 0
LATAR BELAKANG Diabetes Melitus (DM) merupakan penyakit gangguan metabolisme menahun/kronik yang ditandai dengan peningkatan kadar glukosa darah (hiperglikemi) yang disebabkan karena jumlah insulin yang kurang atau jumlah insulin cukup bahkan kadang-kadang lebih akan tetapi kurang efektif, kondisi ini disebut dengan resistensi insulin (Waspadji, 2012). Di Indonesia DM merupakan ancaman yang serius bagi pembangunan kesehatan, DM merupakan satu dari empat penyakit tidak menular (PTM) tertinggi yang berakibat pada kematian, tiga penyakit lainnya adalah penyakit jantung dan pembuluh darah, penyakit kanker dan penyakit paru paru kronik (Aditama, 2012). Hasil riset kesehatan dasar (Riskesdas) tahun 2007, menunjukkan bahwa diabetes merupakan penyebab kematian nomor enam dari seluruh kematian pada semua kelompok umur. Berbagai penelitian epidemiologi menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan angka insidensi dan prevalensi DM di berbagai penjuru dunia termasuk juga di Indonesia (Perkeni, 2011). Indonesia sendiri berada pada peringkat ke-10 dengan jumlah penderita 7.3 juta jiwa (IDF, 2011). Badan kesehatan dunia (World Health Organization) memperkirakan kenaikan jumlah penderita DM di Indonesia dari 8.4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21.3 juta jiwa pada tahun 2030. Kondisi ini membuat peringkat Indonesia menduduki peringkat empat setelah Amerika Serikat, Cina dan India (Aditama, 2012). Berdasarkan hasil riset kesehatan dasar (Riskesdas) tahun 2013, prevalensi diabetes yang terdiagnosis oleh dokter sebesar 2.1 % dimana Prevalensi diabetes yang terdiagnosis dokter tertinggi terdapat di DI Yogyakarta (2,6%), DKI Jakarta (2,5%), Sulawesi Utara (2,4%) dan Kalimantan Timur (2,3%). Berdasarkan riskesdas tahun 2007 jumlah penderita DM di Kalimantan Timur sbesar 1.5%, dari hasil tersebut menggambarkan bahwa terdapat kenaikan jumlah penderita diabetes melitus di Kalimantan Timur. Dari kenaikan jumlah insidensi penyakit diabetes melitus tersebut, diabetes melitus tipe 2 merupakan jenis yang paling banyak ditemukan yaitu lebih dari 90 % kasus (Soegondo, Soewondo & Subekti, 2011). Meningkatnya jumlah penderita DM dapat disebabkan oleh banyak faktor, diantaranya adalah faktor keturunan/genetik, obesitas, perubahan gaya hidup, pola makan yang salah, obat-obatan yang mempengaruhi kadar glukosa darah, kurangnya aktifitas fisik, proses menua, kehamilan, perokok dan stres (Soegondo, Soewondo & Subekti, 2011). Pada penderita DM, stres fisiologi dan emosional seperti keadaan sakit, infeksi dan pembedahan dapat menimbulkan hiperglikemia. Sebagai respon terhadap stres 1
akan terjadi peningkatan hormon-hormon stres yaitu glukagon, epinefrin, norepinefrin, kortisol dan hormon pertumbuhan. Hormonhormon ini akan meningkatkan produksi glukosa oleh hati dan mengganggu penggunaan glukosa dalam jaringan otot serta lemak dengan cara melawan kerja insulin. Menurut Lorentz (2006), stres menyebabkan peningkatan sekresi hormon epineprin dan kortisol yang meningkatkan kadar glukosa darah. METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif korelasional dengan pendekatan Cross sectioanl. Sampel pada penelitian ini adalah pasien diabetes mellitus tipe 2 yang dirawat di ruang rawat inap dengan kadar glukosa darah yang belum terkontrol berjumlah 30 responden. Tehnik pengambilan sampel yang digunakan adalah purposif sampling. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan tingkat stres dengan kadar glukosa darah pasien DM tipe 2 di RSUD Abdul Wahab Syahranie Samarinda. Alat dan metode pengumpulan data pada penelitian ini menggunkan kuesioner skor skala DASS untuk mengukur tingkat stres responden. Sedangkan untuk mengukur kadar glukosa darah responden dengan menggunakan glukometer. Untuk penilaian respon stres, peneliti menggunakan skala DASS (depression anxiety and stres scale) yang dikembangkan oleh Lavibond & Lavibond (1995). Dikatakan dalam kategori normal jika jumlah skor DASS 0-14, stres ringan jika jumlah skor 15 18, stres sedang jika jumlah skor 19 25, stres berat jika jumlah skor 26 33 dan stres yang sangat berat jika jumlah skor lebih dari 34. Skala stres DASS telah digunakan dan diujikan baik reliabilitas maupun validitasnya oleh Damanik (2006). Analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis data univariat dan bivariat. Analisis univariat menggambarakan karakteristik masing masing variabel yang diteliti. Analisis univariat yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan mean, median dan standar deviasi. Sedangkan Analisis bivariat yang digunakan dalam penelitian adalah uji Korelasi Person. HASIL PENELITIAN Tabel 1 Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin dan Berat Badan (IMT) di RSUD Abdul Wahab Syahranie Samarinda, (n = 30) Variabel F % Jenis Kelamin Laki-laki 10 33.3 % Perempuan 20 66.7 % Berat Badan (IMT) BB kurang 3 10.0 % BB normal 14 46.7 % BB lebih 13 43.3 % Pada tabel 1 menunjukkan bahwa jenis kelamin responden pada penelitian ini paling banyak adalah perempuan (66.7%), dan 2
berdasarkan berat badan yang paling banyak adalah berat badan normal (46.7%) dan berat badan lebih (43.3%). N o Tabel 2 Distribusi Responden Berdasarkan Usia, Stres dan Kadar Glukosa Darah di RSUD Abdul Wahab Syahranie Samarinda (n = 30) Variabel Mean SD Min- Max 95 % 1 Usia responden 52.90 8.75 40-70 49.63-56.17 2 Tingkat Stres Responden 3 Kadar Glukosa darah responden CI 22.40 5.519 11-33 20.34-24.46 237.3 3 67.279 133-370 212,21-262.46 *Bermakna pada α : 0.05 Pada tabel 3 terlihat bahwa rata-rata tingkat stres responden adalah 22.40 dengan standar deviasi 5.519., sedangkan rata rata kadar glukosa darah responden adalah 237.33 mg/dl dengan standart deviasi 67.279 mg/dl. Dari hasil korelasi person didapatkan nilai P Value : 0.010 < 0.05 yang berarti bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat stres dengan kadar glukosa darah pasien. Dari hasil tersebut juga didapatkan nilai korelasi person (r) sebesar 0.463 yang menunjukkan korelasi positif dengan kekuatan korelasi sedang. Tabel 1 mennjukkan bahwa rata-rata usia responden adalah 52.90 tahun dengan standar deviasi 8,75 dimana usia terendah responden adalah 40 tahun dan usia tertinggi adalah 70 tahun. Rata-rata tingkat stres responden adalah 22.40 denagn standart deviasi 5.519 dimanatingkat stres responden termasuk dalam kategori stres sedang. Rata-rata glukosa darah responden adalah 237.33 mg/dl dengan standar deviasi 62.279 dimana kadar gula darah terendah responden adalah 133 mg/dl dan kadar gula darah tertinggi adalah 370 mg/dl. Tabel 3 Hubungan Tingkat stres dengan kadar glukosa darah pasien di RSUD Abdul Wahab Syahranie Samarinda (N=30) N Variabel Mean SD r P Value o 1 Tingkat Stres 22.40 5.519 0.463 0.010 2 Kadar Glukosa darah 237.33 67.279 PEMBAHASAN Diabetes Melitus (DM) merupakan penyakit gangguan metabolisme menahun/kronik yang ditandai dengan peningkatan kadar glukosa darah (hiperglikemi) yang disebabkan karena jumlah insulin yang kurang atau jumlah insulin cukup bahkan kadang-kadang lebih akan tetapi kurang efektif, kondisi ini disebut dengan resistensi insulin (Waspadji, 2012). DM dapat disebabkan oleh banyak faktor, diantaranya adalah faktor keturunan/genetik, obesitas, perubahan gaya hidup, pola makan yang salah, obat-obatan yang mempengaruhi kadar glukosa darah, kurangnya aktifitas fisik, proses menua (usia), kehamilan, perokok dan stres (Soegondo, Soewondo & Subekti, 2011). Usia merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kejadian diabetes melitus. 3
Dalam penelitian ini didapatkan hasil bahwa rata-rata usia responden adalah 52.9 tahun dimana usia terendahnya adalah 40 tahun dan usia tertinggi adalah 70 tahun. Rata-rata usia responden diabetes melitus ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa mayoritas DM tipe 2 akan muncul pada penderita yang berusia lebih dari 40 tahun (Waspadji, Soebekti, Yunir & Sukardji, 2012). Sedangkan menurut Soegondo, Suwondo & Subekti (2011) faktor resiko penderita DM tipe 2 adalah usia 45 tahun. WHO menyebutkan bahwa setelah seseorang mencapai umur 30 tahun, maka konsentrasi glukosa darah akan meningkat 1 2 mg % pertahun pada saat puasa dan akan naik sekitar 5.6 13 mg% pada 2 jam setelah makan, sehingga variabel usia merupakan salah satu faktor utama terjadinya kenaikan prevalensi diabetes serta gangguan toleransi glukosa (Rochmah dalam Sudoyo, 2009). Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa sebagian besar responden berjenis kelamin perempuan, yaitu sebanyak 20 orang (66.7%). Hasil penelitian ini mendukung data yang didapatkan oleh Riskesdas (2007) dimana didapatkan hasil bahwa DM lebih banyak dijumpai pada perempuan (6.4%) dibandingkan dengan laki-laki (4.9%). Banyaknya jumlah penderita diabetes yang berjenis kelamin perempuan pada penelitian ini menurut asumsi peneliti dihubungkan dengan faktor kegemukan yang merupakan faktor pencetus DM tipe 2, hal ini sesuai 4 dengan pendapat Corwin (2009) dalam Novayanti (2012), yang menyatakan bahwa wanita cenderung mengalami obesitas karena peningkatan hormon estrogen yang menyebabkan peningkatan lemak pada jaringan sub kutis, sehingga wanita memiliki resiko lebih besar terkena diabetes jika memiliki gaya hidup yang tidak sehat. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa responden yang memiliki berat badan normal sebanyak 14 responden (46.7%), sedangkan yang memiliki berat badan lebih sebanyak 13 responden (43.3%), dari hasil statistik didapatkan bahwa rata-rata berat badan responden berdasarkan indeks massa tubuh berada dalam kategori berat badan lebih dengan Rata-rata IMT 23,12. Hasil penelitian ini sejalan dengan Perkeni (2011) yang menyatakan bahwa prevalensi berat badan berlebih/obesitas pada DM sampai saat ini masih cukup tinggi demikian juga kejadian DM dan gangguan toleransi glukosa pada obesitas juga sering dijumpai. Obesitas, terutama obesitas sentral secara bermakna berhubungan dengan sindroma dismetabolik (dislipidemia, hiperglikemia, hipertensi) yang didasari oleh resistensi insulin (Perkeni, 2011). Pada obesitas sel-sel lemak yang menumpuk akan menghasilkan beberapa zat yang digolongkan sebagai adipositokin yang jumlahnya lebih banyak daripada keadaan tidak gemuk. Zat-zat ini yang menyebabkan resistensi terhadap insulin. Akibat resistensi ini glukosa darah
sulit masuk ke dalam sel sehingga glukosa di dalam darah meningkat (Nurrahmani,2012). Obesitas juga menyebabkan respon sel beta terhadap glukosa darah menjadi berkurang. Selain itu reseptor insulin pada target sel diseluruh tubuh kurang sensitiv dan jumlahnya berkurang sehingga insulin di dalam darah tidak dapat dimanfaatkan (ilyas dalam Soegondo, Soewondo & soebekti, 2011). Dari hasil diatas didaptakan bahwa rata rata tingkat stres responden adalah 22.40 yang jika dikategorikan termasuk dalam kategoi stres sedang. Berdasarkan hasil analisa bivariat didapatkan hasil bahwa terdapat hubungan yang signifikan antar tingkat stres dengan kadar glukosa darah. Penelitian ini sejalan dengan penelitian novayanti (2012) yang mendapatkan hasil bahwa rata-rata stres responden yang menderita DM berdasarkan skala DASS berada pada tingkat sedang (23.58). Hal ini juga sejalan dengan pendapat Surwit (2002) yang mengatakan bahwa Stres merupakan kontributor potensial untuk kondisi hiperglikemia pada penderita diabetes, selain itu stres juga dapat mengganggu kontrol diabetes secara tidak langsung melalui efek pada diet, latihan dan perilaku perawatan diri penderita DM. Stres fisiologis dan emosional seperti keadaan sakit, infeksi dan pembedahan dapat menimbulan hiperglikemia pada penderita 5 DM. kondisi stres pada individu akan memicu peningkatan hormon stres dalam tubuh yang akan meningkatkan kadar glukosa darah khususnya bila asupan makanan dan pemberian insulin tidak diubah (Smeltzer & Bare,2010). Sebagai respon terhadap stres akan terjadi peningkatan hormon-hormon stres yaitu glukagon, epinefrin, norepinefrin, kortisol dan hormon pertumbuhan. Hormonhormon ini akan meningkatkan produksi glukosa oleh hati dan penggunaan glukosa dalam jaringan otot serta lemak dengan cara melawan kerja insulin sehingga kadar glukosa darah meningkat. SIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Rata-rata usia responden adalah 52.9 tahun yang merupakan kategori usia yang rentan untuk menderita DM tipe 2, mayoritas jenis kelamin responden adalah perempuan, tingkat stres responden berada pada tingkat stres sedang, sedangkan rata-rata berat badan responden berdasarkan IMT adalah 23.12 yang dikategorikan dalam kategori berat badan lebih dan Rata-rata kadar glukosa darah responden adalah 237.33 mg./dl Dari hasil analisis dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat stres dengan kadar glukosa darah pasien diabetes melitus tipe 2 di RSUD Abdul Wahab Syahranie samarinda dengan arah hubungan yang positif dengan kekuatan korelasi sedang.
Saran : Stres merupakan salah satu faktor yang dapat menyebabkan knaikan kadar glukosa darah, untuk itu diharapkan kepada seluruh perawat untuk bisa melakukan manajemen stres sehingga kadar glukosa darah pasien dapat terkendali. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai acuan untuk peneliti selanjutnya untuk meneliti topik yang sama dengan jumlah sampel yang lebih besar dan memperhatikan faktor diit dan pengobatan farmakologi pasien sebagai faktor konfonding. Selain hal tesebut disarankan untuk penelitian selanjutnya dimana dalam mengukur kadar glukosa darah tidak menggunakan uji klinis dengan glukometer akan tetapi dianjurkan untuk menggunakan pemeriksaan hasil laboratrium hematologi untuk mendapatkan hasil yang lebih akurat. DAFTAR PUSTAKA Anderson, J.G., & Taylor, A.G. (2011). The metabolic sindrome and mind body terapies : A systematic review. Journal of Nutrition and Metabolism. 11. 1-8. Lorentz, M. (2006). Stress and psychoneuroimmunology revisited: Using mind body interventions to reduce stress. Alternative Journal of Nursing, 11, 1-11. Pasiak, T., (2012). Tuhan dalam otak manusia: Mewujudkan kesehatan spiritual berdasarkan neurosains, Bandung: Mizan. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (Perkeni). (2011). Konsensus pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia 2011. Jakarta: Author. Xviii Smeltzer, S.C., Bare, B.G., Hinkle, J.L., & Cheever, K.H. (2010). Texbook of medical surgical nursing Brunner & Suddarth s. (11th.ed.). Philadelphia: Lippincott William & Wilkins Soegondo, S., Soewondo, P., & Subekti, I. (2011). Penatalaksanaan diabetes melitus terpadu. (2th ed). Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Waspadji, S., Soebekti, I., Yunir, E.M., & Sukardji, K. (2012), Petunjuk praktis bagi penyandang diabetes tipe 2. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 6