PENGARUH LAMA MATURASI DAN LEUKAEMIA INHIBITORY FACTOR TERHADAP PERKEMBANGAN EMBRIO SAPI SECARA IN VITRO

dokumen-dokumen yang mirip
PENGARUH MEDIA IVM DAN IVC PADA PERKEMBANGAN EMBRIO SAPI SECARA IN VITRO

FERTILISASI DAN PERKEMBANGAN OOSIT SAPI HASIL IVF DENGAN SPERMA HASIL PEMISAHAN

PENGARUH KONSENTRASI SPERMATOZOA PASCA KAPASITASI TERHADAP TINGKAT FERTILISASI IN VITRO

PEMANFAATAN SEL KUMULUS PADA MEDIUM KULTUR IN VITRO EMBRIO MENCIT TAHAP SATU SEL

PENGARUH PENAMBAHAN HORMON PADA MEDIUM PEMATANGAN TERHADAP PRODUKSI EMBRIO SECARA IN VITRO

I. PENDAHULUAN. memproduksi dan meningkatkan produktivitas peternakan. Terkandung di

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Bahan Penelitian Metode Penelitian Superovulasi Koleksi Sel Telur

Korelasi antara Oosit Domba yang Dikoleksi dari Rumah Pemotongan Hewan dengan Tingkat Fertilitasnya setelah Fertilisasi in vitro

PRODUKSI EMBRIO IN VITRO DARI OOSIT SAPI BETINA MUDA (JUVENILE)

PRODUKSI EMBRIO IN VITRO DARI OOSIT HASIL AUTOTRANSPLANTASI HETEROTOPIK OVARIUM MENCIT NURBARIAH

Kelahiran Anak Sapi Hasil Fertilisasi secara in Vitro dengan Sperma Hasil Pemisahan

Z. Udin, Jaswandi, dan M. Hiliyati Fakultas Peternakan Universitas Andalas, Padang ABSTRAK

Perbandingan Penggunaan Medium CR1aa dan KSOM sebagai Medium Kultur dalam Produksi Embrio Sapi In Vitro

PENGARUH PREGNANT MARE SERUM GONADOTROPIN (PMSG) PADA MATURASI DAN FERTILISASI IN VITRO OOSIT KAMBING LOKAL

BAHAN DAN METODE. Waktu dan Tempat Penelitian. Bahan Penelitian. Metode Penelitian

BAB I. PENDAHULUAN A.

(In Vitro Quality of Filial Ongole Bovine Oocytes Collected from Ovary after Transported in Different Transportation Period) ABSTRAK

PRODUKSI EMBRIO IN VITRO DENGAN MODIFIKASI WAKTU DAN HORMON GONADOTROPIN SELAMA PEMATANGAN OOSIT

Jurnal Sains & Matematika (JSM) ISSN Volume 14, Nomor 4, Oktober 2006 Artikel Penelitian:

Penggunaan Medium CR1aa untuk Produksi Embrio Domba In Vitro

Perlakuan Superovulasi Sebelum Pemotongan Ternak (Treatment Superovulation Before Animal Sloughter)

HUBUNGAN JUMLAH FOLIKEL PER OVARI DENGAN KUALITAS OOSIT DAN LAMA HARI TERBENTUKNYA BLASTOSIT FERTILISASI IN VITRO PADA SAPI FRIES HOLLAND

Efektivitas Manipulasi Berbagai Ko-Kultur Sel pada Sistem Inkubasi CO 2 5% untuk Meningkatkan Produksi Embrio Sapi Secara In Vitro

PENGARUH UKURAN DAN JUMLAH FOLIKEL PER OVARI TERHADAP KUALITAS OOSIT KAMBING LOKAL

PENGARUH LAMA PENYIMPANAN DAN INVIGORASI TERHADAP VIABILITAS BENIH KAKAO (Theobromacacao L.)

Embrio ternak - Bagian 1: Sapi

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada 7 13 April 2014, di BIBD Lampung,

Pengaruh Jenis Otot dan Lama Penyimpanan terhadap Kualitas Daging Sapi

PENGARUH STIMULASI CIDR TERHADAP PERKEMBANGAN FOLIKEL BOVINE OOSIT FOLIKEL JUVENILE YANG DIPEROLEH MELALUI LAPARATOMY

Pengaruh Waktu dan Suhu Media Penyimpanan Terhadap Kualitas Oosit Hasil Koleksi Ovarium Sapi Betina Yang Dipotong Di TPH

Pengaruh Pemberian Susu Skim dengan Pengencer Tris Kuning Telur terhadap Daya Tahan Hidup Spermatozoa Sapi pada Suhu Penyimpanan 5ºC

Penggunaan Pregnant Mare's Serum Gonadotropin (PMSG) dalam Pematangan In Vitro Oosit Sapi

KAPASITAS PERKEMBANGAN OOSIT BABI YANG DIMATANGKAN SECARA IN VITRO PADA MEDIA TANPA SUPLEMEN SERUM

ABSTRACT

SUPLEMENTASI FETAL BOVINE SERUM (FBS) TERHADAP PERTUMBUHAN IN VITRO SEL FOLIKEL KAMBING PE

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada April 2014 di Balai Inseminasi Buatan Daerah

IDENTIFIKASI DAN UJI BIOAKTIVITAS GROWTH FACTOR DAN HORMON STEROID SEKS HASIL BIAKAN MONOLAYER SEL HEPAR DAN SEL KUMULUS SAPI

BAB III METODE PENELITIAN. primer sel otak fetus hamster ini merupakan penelitian eksperimental yang

Viabilitas Demi Embrio Sapi In Vitro Hasil Splitting Embrio Segar dan Beku

I PENDAHULUAN. berasal dari daerah Gangga, Jumna, dan Cambal di India. Pemeliharaan ternak

BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Analisis Hasil Pertanian dan

TINGKAT PEMATANGAN OOSIT KAMBING YANG DIKULTUR SECARA IN VITRO SELAMA 26 JAM ABSTRAK

PENDAHULUAN. 25,346 ton dari tahun 2015 yang hanya 22,668 ton. Tingkat konsumsi daging

DAYA HIDUP SPERMATOZOA EPIDIDIMIS KAMBING DIPRESERVASI PADA SUHU 5 C

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian Pengaruh Vitamin E (α-tocoferol) Terhadap Kerusakan,

MUHAMMAD RIZAL AMIN. Efektivitas Plasma Semen Sapi dan Berbagai Pengencer

Jurnal Kajian Veteriner Volume 3 Nomor 1 : ISSN:

Jurnal Pertanian ISSN Volume 2 Nomor 1, April PENGARUH VITAMIN B 2 (Riboflavin) TERHADAP DAYA TAHAN SPERMATOZOA DOMBA PADA SUHU KAMAR

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian tentang populasi bakteri dan keberadaan bakteri gram pada

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi

FERTILITAS DAN PERSENTASE EMBRIO KERBAU SAMPAI MORULA YANG DIKULTUR DENGAN PENAMBAHAN GLUTATHIONE SECARA IN VITRO

IDENTIFIKASI PROFIL PROTEIN OOSIT KAMBING PADA LAMA MATURASI IN VITRO YANG BERBEDA DENGAN SDS-PAGE. Nurul Isnaini. Abstrak

SCREENING IBR DAN DIFERENSIAL LEUKOSIT UNTUK PENGENDALIAN GANGGUAN REPRODUKSI SAPI PO DI DAERAH INTEGRASI JAGUNG-SAPI. Bogor, 8-9 Agustus 2017

BAB III METODE PENELITIAN. Chlorella sp. tiap perlakuan. Data di analisa menggunakan statistik One Way

(Biopotency Test of Monoclonal Antibody Anti Pregnant Mare Serum Gonadotropin in Dairy Cattle)

PENGARUH PEMBERIAN BAP (Benzil Amino Purin) DAN NAA (Naftalen Asam Asetat) TERHADAP MORFOGENESIS DARI KALUS SANSEVIERIA (Sansevieria cylindrica)

Buletin Peternakan Vol.34(1): 8-15, Februari 2010 ISSN

PENGARUH LAMA MATURASI DAN LAMA INKUBASI FERTILISASI TERHADAP ANGKA FERTILITAS OOSIT SAPI PERANAKAN ONGOLE SECARA IN VITRO

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian mengenai evaluasi kualitas semen beku sapi Brahman post

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian jangka panjang tentang Studi

JURNAL ILMU TERNAK, DESEMBER 2015, VOL.15, NO.2

Pengaruh Waktu Pelapisan Spermatozoa Sapi Pada Media TALP yang Disuplementasi bovine serum albumin (BSA) Terhadap Jenis Kelamin Embrio In vitro

Lampiran 1 Pembuatan Medium Kultur DMEM Lampiran 2 Pembuatan Larutan PBS Lampiran 3 Prosedur Pewarnaan HE

TINGKAT PERKEMBANGAN AWAL EMBRIO SAPI IN VITRO MENGGUNAKAN MEDIA TUNGGAL BERBAHAN DASAR TISSUE CULTURE MEDIUM (TCM) 199

INDUKSI TUNAS PISANG ROTAN [Musa sp. ( AA Group.)] DARI EKSPLAN BONGGOL ANAKAN DAN MERISTEM BUNGA SECARA IN VITRO

Pengaruh Serum Domba dan Serum Domba Estrus terhadap Tingkat Maturasi dan Fertilisasi Oosit Domba In Vitro

BAB III BAHAN DAN METODE. Penelitian dilakukan dari 2 Juni dan 20 Juni 2014, di Balai Laboraturium

STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (SOP) SEKSI PRODUKSI DAN APLIKASI (PA)

II. METODELOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN. eksperimental dengan Rancangan Acak Terkontrol. Desain ini melibatkan 5

BAB IV METODE PENELITIAN. digunakan adalah penelitian Posttest Only Control Design ( Gliner,2000 ) dengan kultur in

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN. 4.1 Jenis Penelitian Penelitian ini adalah eksperimental laboratorik. Penanaman sel ke 96-wells plate. Uji Viabilitas Sel

II. BAHAN DAN METODE

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Materi Penelitian Rancangan Percobaan Metode Penelitian Koleksi Blastosis

BAB VI TEKNOLOGI REPRODUKSI

PENGARUH LAMA THAWING DALAM AIR ES (3 C) TERHADAP PERSENTASE HIDUP DAN MOTILITAS SPERMATOZOA SAPI BALI (Bos sondaicus)

Penggunaan Glutathione dalam Medium Fertilisasi Guna Meningkatkan Persentase Blastosis Embrio Sapi

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 7 Maret 19 April 2016, bertempat

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitianini dilaksanakandaribulanagustus - Desember 2015 di

PERTUMBUHAN BIBIT KAKAO (Theobroma cacao L.) PADA MEDIA GAMBUT DENGAN PEMBERIAN URINE SAPI

TINJAUAN PUSTAKA Domba Ovarium Oogenesis dan Folikulogenesis

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III MATERI DAN METODE. Flock Mating dan Pen Mating secara Mikroskopis ini dilaksanakan pada tanggal

II. BAHAN DAN METODE 2. 1 Rancangan penelitian 2.2 Persiapan wadah 2.3 Penyediaan larva ikan patin

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Unit Pelayanan Tekhnis Daerah Balai

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian dilaksanakan bulan Desember 2016 Januari Lokasi

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian mengenai penambahan starter ekstrak nanas dengan level berbeda

EFEK PEMOTONGAN DAN PEMUPUKAN TERHADAP PRODUKSI DAN KUALITAS Borreria alata (Aubl.) SEBAGAI HIJAUAN MAKANAN TERNAK KUALITAS TINGGI

PENDAHULUAN. pemotongan hewan (TPH) adalah domba betina umur produktif, sedangkan untuk

III OBJEK DAN METODE PENELITIAN. Objek penelitian ini berupa ovarium domba lokal umur <1 tahun 3 tahun

Optimalisasi Produksi Embrio dengan Penambahan Glutathione dalam Media Pematangan dan Kultur Embrio Kerbau Secara In Vitro

PERTUMBUHAN DAN HASIL BAWANG MERAH (Allium ascalonicum L.) YANG DIBERI PUPUKKANDANG AYAM DENGAN KERAPATAN TANAM BERBEDA

PROFIL HORMON TESTOSTERON DAN ESTROGEN WALET LINCHI SELAMA PERIODE 12 BULAN

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kimia/Biokimia Hasil Pertanian dan

TUGAS AKHIR - SB Oleh: ARSETYO RAHARDHIANTO NRP DOSEN PEMBIMBING : Dra. Nurlita Abdulgani, M.Si Ir. Ninis Trisyani, MP.

Pengaruh Pengaturan Waktu Pemberian Air Minum yang Berbeda Temperatur terhadap Performan Ayam Petelur Periode Grower.

BAB III METODE PENELITIAN. faktorial yang terdiri dari dua faktor dengan 4 kali ulangan. Faktor pertama adalah

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat Metode Penelitian

PRODUKSI EMBRIO IN VITRO DARI OOSIT HASIL AUTOTRANSPLANTASI HETEROTOPIK OVARIUM MENCIT NURBARIAH

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat Metode Penelitian Penyiapan tanaman uji

Transkripsi:

PENGARUH LAMA MATURASI DAN LEUKAEMIA INHIBITORY FACTOR TERHADAP PERKEMBANGAN EMBRIO SAPI SECARA IN VITRO E%mANG TRC MARGAWA-n Pusat Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi-LIPI, Jl. Raya Bogor, Cibinong 16911, P.O. Box 422, Bogor 16004 (Diterima dewan redaksi 15 Nopember 1995) ABSTRACT MARGAWAR E.T. 1996. Effect of maturation periods and leukaemia inhibitory factor on in vitro bovine embryo development. Jurmd 1lmu Ternak dan Veteriner 1 (3) : 149-154. The period of in vitro maturation,~20 vs 24 hours) with of without supplementation of :,~uk_ni;ia inhib toryy factor (LIF) (0, 500, 1000 or 2000 U/ml) was studied on bovine embryo development in vitro in a 2 x 4 factotial experiment w id oestgnoo i, a randomized block design. A total of 870 bovine oocytes were used. Besides embryo development, cell numbers of blastocysts v. : ;re also co,mted in order to study the quality of the embryos. Oocytes were matured in a modified TCM199 medium containing 10 ug/nil of FS-14 and LṖ, I 1~ t1l rstradiol, fertilized in TALP and cultured in SOF/AABSA medium. There was no interaction between maturation periods and LIF doses on embryo development (P>0.05). Maturation periods, however, affected (P<0.05) blastocyst rates but did not for cleavage o, oocytes and the percentage of oocytes that developed into blastocysts. LIF doses during in vitro maturation did not affect embryo development (P>0.05). Cell numbers of blastocysts were also not affected by maturation periods and LIF doses (P<0.05), however 20 h in vitro maturation and supplementation of LIF doses tended to increase the cell numbers. This study suggests that 20 h maturation increases blastocyst rates and that supplementation with LIF during maturation does not affect the quality of embryos produced in vitro. Key words : in vitro fertilization, oocyte, cleavage, blastocyst, cell numbers of blastocyst ABSTRAK MARGAWATT. E.T. 1996. Pengaruh lama maturasi dan leukaemia inhibilory. factm terhadap perkembangan embrio sapi secara in vitro. Jurnal 11mu Ternak dan Veteriner 1 (3) : 149-154. Lama maturasi (20 berbanding 24jam) dengan atau tanpa penambahan LIF (0, 500. 1000 dan 2000 U/nil) telah diteliti terhadap perkembangan embrio sapi secara in vitro dalam percobaan faktorial 2x4 dan dirancang dalam rancangan acak kelompok. Sebanyak 870 oosit telah digunakan dalam percobaan ini. Selain perkembangan embrio secara in vitro, jumlah sel embrio tahap blastosist telah juga dipelajari untuk mengetahui pengaruh LIF terhadap kualitas embrio. Modifikasi TCM 199 dengan penambahan 10 ughnl FSH, 10 ug/ml LH dan I ug/ml estrogen telah digunakan untuk maturasi oosit, medium TALP telah digunakan untuk fertilisasi dan medium SOF/AABSA untuk menumbuhkan embrio secara in vitro. Tidak terdapat interaksi antara lama maturasi dan dosis LIF terhadap perkembangan embrio (P>0,05). Lama maturasi berpengaruh terhadap mtaan blastosist (P<0,05), namun tidak mempengaruhi persentase oosit yang membelah maupun persentase oosit yang berkembang ke tahap blastosist. Dosis LIF selama maturasi juga tidak berpengaruh (P>0,05) terhadap perkembangan embrio. Jumlah sel tahap blastosist juga tidak dipengaruhi (P>0,05) oleh lama maturasi maupun dosis LIF, namun maturasi 20 jam dengan penambahan LIF cenderung meningkatkan jumlah sel. Disimpulkan bahwa maturasi oosit selama 20jam meningkatkan rataan blastosist dan penambahan LIF tidak mempengaruhi kualitas embrio. Kata kunci : fertilisasi in vitro, oosit, pembelahan, blastosist, jumlah sel tahap blastosist PENDAHULUAN Studi tentang fertilisasi in vitro untuk memroduksi embrio secara laboratoris telah banyak dipelajari oleh para peneliti sebelumnya, di antaranya TERVIT et al. (1972) ; FIRST dan PARRISH (1987) ; GORDON (1990). Banyak kendala yang dihadapi dalam proses kegiatannya, juga disadari bahwa produksi embrio hasil in vitro ini masih rendah. Beberapa usaha untuk meningkatkan produksi telah banyak dilakukan, di antaranya akhirakhir ini menggunakan berbagai faktor penumbuh seperti epidermal growth factor (EGF), insulin-like growth factor (IGF), transforming growth factor (TGF), fibroblast growth factor (FGF), platelet-derived growth factor (PDGF). Sementara itu, penggunaan leukaemia inhibitory factor (LIF) belum banyak dilakukan. Penggunaan LIF telah dipelajari untuk perkembangan embrio domba (FRY et al., 1992a) dan embrio sapi (FRY et al., 1992b ; FUKUI dan MATSUYAMA, 1994). Penelitian sebelumnya masih mengonsentrasikan penggunaan LIF 149

ENDANG TRI MARGAwA71 : Pengaruh LamaMaturasi dan Leukaemia Inhibitory Factor atau faktor penumbuh lainnya selama waktu perkembangan embrio, namun belum banyak yang menambahkan faktor penumbuh untuk maturasi oosit dan mengombinasikannya dengan faktor waktu maturasi. Lama maturasi yang tepat akan menghasilkan tidak saja jumlah oosit masak, tetapi secara keseluruhan juga dapat mengefisienkan kegiatan produksi embrio secara in vitro. Terlalu lama waktu maturasi dapat menghasilkan oosit yang terlalu tua dan mengakibatkan terganggunya proses fertilisasi in vitro (CHIAN et al., 1992) dan selanjutnya mempengaruhi perkembangan embrio. Hasil studi MARGAWATI (1995) menunjukkan bahwa lama maturasi dari 18 sampai 22 jam dengan penambahan LIF dapat meningkatkan jumlah oosit masak. Demikian pula penambahan hormon baik gonadotropin maupun estrogen telah dipelajari dan ternyata dapat meningkatkan jumlah oosit yang masak (BAKER et al., 1977). Dalam penelitian ini telah dipelajari pengaruh lama maturasi dengan atau tanpa penambahan LIF serta penambahan hormon FSH, LH dan estrogen selama waktu maturasi terhadap proporsi jumlah oosit yang berkembang ke tahap blastosist. Maturasi in vitro Modifikasi tissue culture medium 199 (TCM 199) atau bicarbonate buffered 199 (B 199) dengan penambahan 10% FCS, 10 ug/ml follicle stimulating hormone (FSH) dan 10 ug/ml luteinizing hormone (LH) serta 1 ug/ml estrogen digunakan untuk maturasi oosit. LIF yang telah dipersiapkan ditambahkan ke dalam setiap vial yang berisi medium maturasi sesuai dengan konsentrasinya (0, 500, 1000 dan 2000 U/ml). Dibuat tetes atau drop maturasi (50 uutetes) sesuai dengan grup perlakuan (2 lama maturasi x 4 konsentrasi LIF= 8 grup) di dalam cawan Petri dan ditutup dengan minyak mineral (mineral oil) kemudian diekuilibrasi di dalam inkubator 5% C02 pada suhu 39 C dengan kelembaban tinggi (80-90%) paling sedikit 2 jam sebelum digunakan untuk maturasi oosit. Setelah pencucian oosit terakhir, setiap 10 oosit yang terseleksi ditanam ke dalam tetes maturasi kemudian dibamkan di dalam inkubator C02 yang sama untuk ekuilibrasi. Sesuai dengan perlakuan yang diberikan, maturasi dihentikan setelah 20 dan 24 jam. Fertilisasi in vitro Penelitian ini dikerjakan di Laboratorium Embriologi AgResearch-Ruakura, Hamilton, Selandia Baru, dari bulan April sampai Juli 1994. Metode dan prosedur fer tilisasi in vitro yang dikerjakan mengacu pada metode TERVIT et al. (1972) dengan beberapa perubahan. Koleksi oosit MATERI DAN METODE Ovarium dikoleksi dari sapi tak teridentifikasi dari Rumah Pemotongan Hewan (RPH) lokal di Hamilton, Selandia Baru dan dibawa ke laboratorium denganphos phate buffered saline (PBS) pada suhu 39 C. Di laboratorium, ovarium segera diproses dan oosit diaspirasi dari folikel berdiameter antara 2-6 mm dengan pompa penyedot (aspiration pump) menggunakan jarum berukuran 18 Gauge. Larutan hangat aspirasi H199 + Heparin + 2% bovine serum albumin (BSA) telah digunakan untuk koleksi oosit. Hanya oosit yang mempunyai morfologi bagus (dilingkari kompak sel kumulus) dikoleksi, kemudian dicuci 2 kali dengan Hepes buffered 199 (H 199) + 10% fetal calf serum (FCS) dan B199 + 10% FCS sebelum dimaturasikan. Sperma beku dari pejantan single Jersey telah digunakan untuk fertilisasi in vitro. Sperma dipersiapkan dengan memisahkan sperma yang mempunyai motilitas tinggi dengan menggunakan percoll gradient. 45% larutan percoll ditempatkan di atas 90% larutan percoll, dan sperma yang telah dicairkan (thawing) ditempatkan di atas 45% percoll di dalam 15 ml tabung berbentuk kerucut. Sperma dipisahkan dengan cara sentrifugasi 2 kali dengan kecepatan sebesar 2.000 rpm dan 1.500 rpm, masing-masing selama 20 dan 5 menit. Pelet sperma dicuci dengan Hepes TALP (Tyrode's medium with albumin, lactate and pyruvate) sebelum sentrifugasi ke dua. Setelah sentrifugasi kedua, pelet sperma dicairkan dengan medium fertilisasi. Dengan haemositometer sperma dihitung dan dibuat menjadi konsentrasi 10 x 10 6 spermatozoit/ml. Seperti pada maturasi medium, dibuat tetes fertilisasi di dalam cawan Petri dengan volume 30 ul/ml per tetes, ditutup dengan minyak mineral dan diekuilibrasi di dalam inkubator C02 paling sedikit 2 jam sebelum digunakan untuk fertilisasi. Sebelum difertilisasi oosit yang masak dipisahkan menjadi oosit tunggal dari lekatan perkembangan sel kumulus sambil dicuci 2 kali dengan Hepes TALP dan medium fertilisasi. Oosit kemudian dialokasikan ke dalam tetes fertilisasi, setiap 5 oosit 150

Jumal Ilmu Temak dan Veteriner Vol. 1 No. 3 Th 1996 dengan volume 10 ul medium fertilisasi per tetes dan ditambahkan 10 ul larutan sperma, sehingga menjadikan konsentrasi akhir 2 x 106 sperma/ml. Tetes fertilisasi ini kemudian dieramkan di dalam inkubator 5% C02 pada suhu 39 C dengan kelembaban tinggi selama 24 jam. Perkembangan embrio in vitro Setelah 24 jam fertilisasi, oosit dibersihkan dari kotoran sel kumulus dan sperma yang melekat dengan 0,1% hyaluronidase dan dipusingkan dengan vorteks selama 1-2 menit. Segera oosit dipindahkan ke medium Hepes SOF (synthetic oviductal fluid) untuk dicuci. Pencucian kedua dilakukan di dalam tetes kultur yang telah dipersiapkan 2 jam sebelumnya di dalam cawan Petri ditutup dengan minyak mineral. Seperti pada maturasi dan fertilisasi, tetes kultur diekuilibrasi 2 jam sebelum oosit ditanam di dalam inkubator 5% C02, 7% 02 dan 88% N2 pada suhu 39 C. Medium kultur yang digunakan adalah SOF/AA/BSA, yaitu campuran dari SOF, asam amino essential dan non-essential (AA) serta BSA bebas asam lemak. Setiap 5 oosit dikulturkan ke dalam 30 ul tetes kultur dan dieramkan di dalam inkubator 5% C02, 7% 02 dan 88% N2 pada suhu 39 C dan kelembaban tinggi sampai tahap perkembangan blastosist. Medium kultur ini diganti setiap 48 jam untuk memungkinkan embrio berkembang lebih lanjut. Pengamatan pembelahan dilakukan pada hari ke-2 setelah fertilisasi dan embrio tahap blastosist akan dipanen pada hari ke-7. Pewarnaan Giemsa Untuk penghitungan sel tahap blastosist, perlu dibuat preparat sel pada gelas objek (slide glass). Embrio tahap blastosist yang habis dipanen dicuci dengan Hepes SOF, kemudian ditransfer ke dalam larutan 0,9% Na-citrat selama 15-20 menit. Satu per satu embrio dipindahkan ke dalam larutan fiksasi (campuran etanol, asam asetat dan air) dingin dan segera di cetak di atas gelas objek dan dibiarkan kering udara kemudian diwarnai dengan 4% larutan Giemsa selama 15 menit. Gelas objek dicuci dengan air kran, setelah kering siap dihitung jumlah selnya di bawah mikroskop. Konsentrasi LIF LIF yang digunakan adalah recombinant human LIF (rh-lif) yang dibeli dari AMRAD Corporation Ltd, Australia. Setiap vial mempunyai konsentrasi 5 x 105 unit, dibuat konsentrasi 1 x 106 unit/ml dengan pelarut PBS. Sumber konsentrasi LIF ini digunakan untuk membuat konsentrasi LIF : 0, 500, 1000 dan 2000 Unit/ml dalam medium maturasi. Analisis statistik Lama maturasi (20 berbanding 24 jam) sebagai faktor pertama dikombinasikan dengan dosis LIF (0, 500, 100 dan 2000 U/ml) sebagai faktor kedua dalam percobaan 2 x 4 faktorial dan dirancang dengan rancangan acak kelompok. Dengan demikian terdapat 8 grup perlakuan, masing-masing diulang sebanyak 5 kali. Sebanyak 870 oosit telah digunakan dalam penelitian ini. Data dianalisis dengan prosedur general linear models (GLM) untuk ANOVA (analisis sidik ragam), menggunakan program statistical analysis system (SAS), 1985. Data pembelahan oosit sampai berkembang ke tahap blastosist sebelum diolah dengan GLM, perlu ditransformasi terlebih dahulu dengan transformasi '= sudut (arcsin akar Y atau proporsi) atau kebalikan sinus (sin - akar Y atau proporsi) menurut SNEDECOR and COCHRAN (1980). Untuk memudahkan interprestasi, hasil analisis data telah diretransformasi dengan (Sin - X)2 sebelum disajikan dalam tabel. Data penghitungan jumlah sel langsung diolah dengan GLM. Perbedaan antar perlakuan diuji dengan Student's t-test pada taraf 1-5%. Parameter pengamatan, meliputi : oosit membelah 1. Persentase pembelahan = jumlah oosit x 100% jumlah blastosist 2. Persentase blastosist. = x 100% jumlah oosit 3. 4. Rataan blastosist jumlah blastosist oosit membelah x 100% Jumlah sel tahap blastosist yang dihitung dengan alat penghitung tangan (hand counter) di bawah inverted microscope dengan pembesaran 300 kali. Perkembangan embrio HASIL DAN PEMBAHASAN Persentase oosit yang membelah dan berkembang ke tahap blastosist setelah 20 versus 24 jam maturasi in vitro pada berbagai dosis LIF (0, 500, 1000 dan 2000 U/ml) di sajikan pada Tabel 1. Pada Tabel 1 tampak bahwa tidak terdapat interaksi (P>0,05) antara lama maturasi dan berbagai dosis LIF selama maturasi oosit

ENDANG Mu MARGAWAn : Pengaruh Lam Maturasi clan Leukaemia Inhibitory Factor Tabel 1. LIF dalarn maturasi medium (U/ml) Pengaruh lama maturasi clan LIF selama maturasi in vitro pads perkembangan embrio (Mean ± SEM) Jumlah oosit Pembelahan Perkembangan embrio (%) Blastosist Rataan blst (dari pembelahan) 20 jamjvm 0 112 77,78±4,04 20,84±3,33 27,14±3,53 500 110 80,14±4,04 21,02±3,33 26,79±3,53 1000 111 80,40±4,04 25,34±3,33 32,40±3,53 2000 110 77,04±4,04 17,15±3,33 22,80±3,53 24 jamivm 0 96 77,99±4,04 12,00±3,33 15,20±3,53 500 110 88,70±4,04 20,52±3,33 23,20±3,53 1000 112 86,24±4,04 19,23±3,33 22,47±3,53 2000 109 76,32±4,04 14,24±3,33 19,33±3,53 Mean = Rataan; SEM= Standard error for the means= simpangan baku rataannya ; IVM= In vitro maturation. Tidak berbeda (P>0,05) antar perlakuan yang diberikan terhadap % oosit yang membelah, % blastosist clan rataan blastosist; blst= blastosist in vitro pada persentase kejadian oosit yang membelah clan pembentukan blastosist setelah fertilisasi clan kultur embrio secara in vitro. Meskipun interaksi antar perlakuan tidak nampak, namun ads suatu kecenderungan bahwa lama maturasi oosit 20 clan 24 jam dengan penambahan LIF sebesar 500 clan 1000 U/ml selama waktu maturasi dapat meningkatkan persentase oosit yang membelah pada hari ke-2 setelah fertilisasi in vitro (80,14% ; 80,40% clan 88,70% ; 86,24%) clan juga meningkatkan pembentukan blastosist dari oosit yang membelah (rataan blastosist= 26,79% ; 32,40% clan 23,20% ; 22,47%). Diperkirakan ads peran positif dari LIF selama proses maturasi sebelum oosit dibuahi. Dugaan ini jugs ditunjang oleh studi sebelumnya (MARGAWATI, 1995) bahwa faktor penumbuh LIF yang selama ini belum terungkap perannya dalam maturasi in vitro telah menunjukkan dapat meningkatkan jumlah oosit yang masak dari oosit muda (immature oocytes) yang dikoleksi dari RPH clan tersedianya oosit yang masak ini memungkinkan terjadinya fertilisasi in vitro. Seperti diungkapkan oleh FIRST clan PARRISH (1987), keberhasilan fertilisasi in vitro sangat tergantung pada ketersediaan sperma yang masak atau terkapasitasi clan juga oosit yang masak. Secara keseluruhan, maturasi oosit selama 20 jam baik dengan maupun tanpa penambahan LIF menunjukkan persentase yang lebih tinggi baik pada oosit yang membelah maupun yang terus berkembang ke tahap blastosist daripada maturasi selama 24 jam dengan atau tanpa LIF. Meskipun tidak terdapat interaksi di antara perlakuan yang diberikan, namun lama maturasi berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap rataan blastosist (Tabel 2). Dari Tabel ini dapat dilihat bahwa maturasi oosit yang singkat (20 jam) menghasilkan rataan blastosist lebih tinggi (27,22± 1,70) daripada maturasi selama 24 jam (19,95±1,70). Hasil serupa juga dilaporkan oleh DOMINKO and FIRST (1992) bahwa maturasi yang lebih lama (24 jam) baik dengan penambahan LH (5g/ml) maupun SH (25g/ml) menghasilkan proporsi rataan blastosist yang lebih rendah (10% clan 12%) daripada oosit yang dimaturasi selama 16 jam (47% clan 34%) atau pada 20 jam maturasi (35% clan 30%). Dalam studi ini, maturasi selama 24 jam diperkirakan mengakibatkan oosit menjadi tua atau kelewat masak. Lebih lanjut dijelaskan oleh CHIAN et al. (1992) bahwa oosit yang tua menunjukkan adanya peningkatan kejadian polyspermic fertilization clan selanjutnya pembelahan menjadi 4 sampai 16-sel akan terganggu. Dari perhitungan statistik tidak diperoleh pengaruh yang nyata (P>0,05) dari dosis LIF yang ditambahkan (0, 500, 1000 clan 2000 U/ml) selama proses maturasi terhadap jundah oosit yang membelah clan berkembang ke tahap blastosist. Jundah sel tahap blastosist Jumlah sel tahap blastosist sesudah maturasi 20 berbanding 24 jam pada berbagai dosis LIF (0, 500, 1000 clan 2000 U/ml) disajikan pada Tabel 3. Seperti halnya pada perkembangan embrio, data pada Tabel 3 menunjukkan tidak terdapat interaksi (P>0,05) antara lama maturasi clan dosis LIF selama waktu maturasi oosit pada jumlah sel tahap blastosist yang dihasilkan sesudah fer- 152

Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner Vol. 1 No. 3 Th 1996 Tabe12. Perkembangan embrio sapi dari 20 dibanding 24jam maturasi setelah fertilisasi dan kultur in vitro (Mean ± SEM) Lama Perkembangan embrio (%) maturasi Jumlah (jam) oosit Pembelahan Blastosist Rataan blst. (dari pembelahan) 20 443 78,86±1,97 24 427 82,63±1,97 21,01±1,62 27,22±1,708 16,34±1,62 19,95±1,706 Mean= Rataan; SEM= Standard error for the means (simpangan baku rataannya) a,b = berbeda nyata (P<o,05) antar perlakuan terhadap rataan blastosist; blst= blastosist Tabel 3. Pengaruh lama maturasi dan LIF selama maturasi in vitro terhadap jumlah sel embrio tahap blastosist setelah kultur embrio in vitro (Mean ± SEM) Lama maturasi (jam) 0 500 Dosis LIFdalam maturasi medium (U/ml) 1.000 2.000 20 123,20±8,94 (n=24) 131,89±9,42 (n=29) 24 118,12±14,1 115,80±8,94 (n=8) ' (n=20) 141,82±9,70 131,59±9,70 (n=22) (n=26) 128,82±9,70 127,75±11,5 (n=17) (n=12) Mean= Rataan ; SEM= Standard error for the means (simpangan baku rataannya) tidak berbeda nyata antar perlakuan (P>0,05) terhadap jumlah sel embrio tahap blastosist tilisasi dan kultur embrio secara in vitro. Meskipun demikian data pada Tabel 3 menunjukkan bahwa jumlah sel embrio tahap blastosist cenderung lebih tinggi pada embrio yang berkembang dari oosit yang dimaturasikan selama 20 jam baik dengan atau tanpa penambahan LIF. Demikian juga hasil analisis menunjukkan tidak terdapat perbedaan (P>0,05) baik di antara perlakuan lama maturasi (20 berbanding 24 jam) maupun dosis LIF selama waktu maturasi (0, 500, 1000 dan 2000 U/ml) pada jumlah sel embrio tahap blastosist setelah fertilisasi dan kultur embrio secara in vitro. Maturasi oosit selama 20 jam dengan penambahan 1000 U/ml LIF meng- hasilkan jumlah sel embrio tahap blastosist yang paling tinggi (142 sel). Secara keseluruhan jumlah sel hasil penelitian ini masih lebih tinggi bila dibandingkan dengan rataan jumlah sel embrio tahap lanjut blastosist (expanded dan hatched blastocyst) tanpa penambahan faktor penumbuh, masing-masing berjumlah 43 dan 80 sel (IWASAKI and NAKAHARA, 1990). Studi lain menguji berbagai faktor penumbuh pada jumlah sel tahap blastosist menunjukkan bahwa beberapa faktor penumbuh dapat meningkatkan persentase embrio yang berkembang baik menjadi morula maupun blastosist tanpa meningkatkan jumlah selnya (YANG et al., 1993). KESIMPULAN DAN SARAN Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa pengaruh lama maturasi oosit secara in vitro dan penambahan LIF selama maturasi oosit tidak berpengaruh terhadap perolehan oosit baik yang membelah maupun yang terus berkembang ke tahap blastosist. Meskipun demikian maturasi oosit selama 20 jam telah memberi perolehan embrio yang lebih banyak daripada maturasi selama 24 jam. Jumlah sel embrio tahap blastosist dengan perlakuan LIF terbukti masih menunjukkan jumlah sel yang tinggi. Dari hasil penelitian ini dapat disarankan untuk mengefisienkan waktu dalam memroduksi embrio secara in vitro, waktu maturasi oosit dapat diturunkan dari 24 jam menjadi 20 jam. Faktor penumbuh LIF yang ditambahkan selama maturasi oosit dapat membantu 153

ENDANG TRI MARGAwAm : Pengaruh Lama Maturasi dan Leukaemia Inhibitory Factor mengembangkan oosit yang membelah dan berkembang ke tahap blastosist tanpa menurunkan kualitasnya. UCAPAN TERIMA KASIH Penelitian ini merupakan sebagian dari thesis Master penulis di Massey University, Selandia Baru. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ms. Anne Pugh dan Dr. H.R. Tervit dari Embryology Laboratory, AgResearch-Ruakura, Hamilton, Selandia Baru dan Prof M.F. McDonald dari Department of Animal Science of Massey University, Selandia Baru atas saran dan bimbingannya selama penelitian berlangsung. DAFPAR PUSTAKA BAKER, T.G., J.S.G. Blocs, and R.H.F. HUNTER. 1977. Control of oocyte maturation in mammals. In : James, V.H.T., ed. Endocrinology. Excerpta Medica, Amsterdam 1 : 351-361. CHIAN, R.C., H. NAKAHARA, K. NtwA, and H. FUNAHASHI. 1992. Fertilization and early cleavage in vitro of ageing bovine oocytes after maturation in culture. Theriogenology 37 : 665-672. DOMINKO, T. and N.L. FutsT. 1992. Kinetics of bovine oocyte maturation allows selection for developmental competence and is affected by gonadotropins. Theriogenology 37 : 203.(Abstr,). FIRST, N.L. and J.J. PARRISH. 1987. In vitro fertilization of ruminants. J. Reprod. Fertil. Suppl. 34 : 151-165. FRY, R.C., P.A. BATr. R.J. FALRL.OUGH, and R.A. PARR. 1992a. Human leukaemia inhibitory ovine embryos. Biol. Reprod. 46 : 470-474. factor improves the viability of cultured FRY, R.C., T.L. PURDoN, T.J. SQuRes, and R.A. PARR. 19926. The development of bovine embryos cultured hlif. Proc. Aust. Soc. Reprod Biol. 24: 92. (Abstr.). in media containing FuKut, Y. and K. MATSUYAMA. 1994. Development of in vitro matured and fertilized bovine embryos cultured in media containing human leukaemia inhibitory factor. Therlogenology 42 : 663-673. GORDON. I. 1990. Laboratory production of cattle embryos. Proceedings of 3rd Symposium on Advance Topics in Animal Reproduction. pp. 63-87. IwAsAKi, S. and T. NAKAHARA. 1990. Cell number and incidence of chromosomal anomalies in bovine blastocysts fertilized in vitro followed by culture in vitro or in vivo in rabbit oviduct Theriogenology 33 : 669-675. MARGAwAm, E.T. 1995. The Effect of Leukaemia Inhibitory Factor (LIF) on Bovine Embryo Development in vitro. Master Thesis. Massey University. New Zealand. SNHDECOR, G.W. and W.G. COCHRAN. 1980. Statistical Methods. 7th ed. The Iowa State University Press. Ames, Iowa, U.S.A. TFRvrr, H.R., D.G. WHMINGHAM, and E.A. ROWSON. 1972. Successful culture in vitro of sheep and cattle ova. J. Reprod. Fertil. 30: 493-497. YANG, B.K., X. YANG, and R.H. FooTE. 1993. Effect of growth factors on morula and blastocyst development of in vitro matured and in vitro fertilized bovine oocytes. Theriogenology 40: 521-530.